Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Kota Pekanbaru Provinsi Riau

Peta Kota Pekanbaru


Sejarah
Nama Pekanbaru dahulunya dikenal dengan nama "Senapelan" yang pada saat itu dipimpin oleh seorang Kepala Suku disebut Batin. Daerah yang mulanya sebagai ladang, lambat laun menjadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki yang terletak di tepi muara sungai Siak.

Nama Payung Sekaki tidak begitu dikenal pada masanya melainkan Senapelan. Perkembangan Senapelan berhubungan erat dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di Senapelan, beliau membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Diperkirakan istana tersebut terletak di sekitar Mesjid Raya sekarang. Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah mempunyai inisiatif untuk membuat Pekan di Senapelan tetapi tidak berkembang. Usaha yang telah dirintis tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu disekitar pelabuhan sekarang.

Selanjutnya pada hari Selasa tanggal 21 Rajah 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi "Pekan Baharu" selanjutnya diperingati sebagai hari lahir Kota Pekanbaru. Mulai saat itu sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer sebutan "PEKAN BAHARU", yang dalam bahasa sehari-hari disebut PEKANBARU.

Perkembangan selanjutnya tentang pemerintahan di Kota Pekanbaru selalu mengalami perubahan, antara lain sebagai berikut :

1. SK Kerajaan Besluit van Her Inlanche Zelf Bestuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru bagian dari Kerajaan Siak yang disebut District.

2. Tahun 1931 Pekanbaru masuk wilayah Kampar Kiri dikepalai oleh seorang Controleur berkedudukan di Pekanbaru.

3. Tanggal 8 Maret 1942 Pekanbaru dikepalai oleh seorang Gubernur Militer disebut Gokung, Distrik menjadi Gun dikepalai oleh Gunco.

4. Ketetapan Gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No.103 Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut Haminte atau Kota b.

5. UU No.22 tahun 1948 Kabupaten Pekanbaru diganti dengan Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru diberi status Kota Kecil.

6. UU No.8 tahun 1956 menyempurnakan status Kota Pekanbaru sebagai kota kecil.

7. UU No.1 tahun 1957 status Pekanbaru menjadi Kota Praja.

8. Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959 Pekanbaru menjadi ibukota Propinsi Riau.

9. UU No.18 tahun 1965 resmi pemakaian sebutan Kotamadya.

10. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebutan Kotamadya berubah menjadi Kota.

Lambang Kota Pekanbaru



Bentuk Umum Lambang
· PERISAI YANG BERBENTUK GERBANG KOTA
· SETANGKAI PADI DAN SEDAHAN KAPAS
· SATU LINGKARAN RANTAI
· RODA TERBANG
· POHON KARET DAN MENARA MINYAK MEMAKAI TAKAL

Warna Lambang
. Merah
. Putih
. Hijau
. Kuning
Dipakai pula warna hitam dan warna sebenarnya alam. Sedangkan warna merah putih dipakai ruangan perisai ditengah-tengah.

Arti Lambang
1. Perisai dengan memakai pintu gerbang kota warna hitam mewujudkan lambang dari sebuah kota.

2. Lima buah pintu gerbang berarti Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia.

3. Padi dan kapas lambang kemakmuran atau sandang pangan rakyat.

4. Rantai yang melingkari mengartikan kekokohan persatuan rakyat.

5. Roda terbang melambangkan perkembangan yang dinamis.

6. Pohon karet, menara minyak takal berarti sebagai kota dagang dan kota pelabuhan yang banyak mengekspor hasil hutan dan hasil bumi.

7. Ditengah-tengah perisai yang berbentuk jantung terdapat sebuah tombak bambu yang tangkainya berwarna coklat tua, matanya berwarna perak tegak lurus, mewujudkan kepahlawanan (kekuatan rakyat) dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan tanah air.

8. Garis lurus melintang yang terletak antara merah putih, maksudnya melukiskan khatulistiwa.
Visi Kota
Pernyataan visi yang dirumuskan oleh aparat penyelenggara pemerintah Kota Pekanbaru menuju tahun 2020 adalah "Terwujudnya Kota Pekanbaru Sebagai Pusat Perdagangan Dan Jasa, Pendidikan serta Pusat Kebudayaan Melayu, Menuju Masyarakat Sejahtera yang Berlandaskan Iman dan Taqwa".

Visi tersebut diatas mengandung makna sebagai berikut:

1. Pusat Perdagangan dan Jasa, menggambarkan keadaan masyarakat Kota Pekanbaru yang diinginkan dalam decade 20 tahun kedepan Pemerintah Kota Pekanbaru dengan dukungan masyarakatnya yang dinamis akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan Kota Pekanbaru menjadi pusat perdagangan dan jasa di kawasan Sumatera.

2. Pusat Pendidikan, pemerintah Kota Pekanbaru kedepan akan selalu berusaha untuk memberdayakan masyarakatnya agar dapat berperan serta secara aktif meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rnagka menciptakan pembangunan manusia seutuhnya. Pemberdayaan sumber daya manusia lebih diarahkan kepada terwujudnya sarana dan prasarana pendidikan formal dan non-formal dibidang keahlian dan kejuruan yang terpadu diikuti dengan upaya penyiapan sarana dan prasarana pra pendidikan sampai perguruan tinggi. Dengan langkah tersebut sangat diharapkan dalam decade 20 tahun kedepan di Kota Pekanbaru akan dapat tersedia sarana pendidikan yang lengkap dan unggul.

3. Pusat Kebudayaan Melayu merupakan refleksi dari peradaban tatanan nilai-nilai budaya luhur masyarakat Kota Pekanbaru yang mantap dalam mempertahankan, melestarikan, menghayati, mengamalkan serta menumbuhkembangkan budaya Melayu. Kehendak menjadikan Kota Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu antara lain akan diarahkan kepada tampilnya identitas fisik bangunan yang mencerminkan kepribadian daerah, adanya kawasan beridentitas adat Melayu serta makin mantapnya kehidupan adapt yang digali dari nilai-nilai luhur Melayu.

4. Masyarakat Sejahtera merupakan salah satu tujuan kehidupan masyarakat Kota Pekanbaru pada decade 20 tahun kedepan. Dalam kondisi ini dicita-citakan masyarakat akan dapat hidup dilingkungan yang relatif aman, bebas dari rasa takut dan serba kecukupan lahir batin secara seimbangan dan selaras baik material maupun spiritual yang didukung dengan terpenuhinya kualitas gizi, kesehatan, kebersihan dan lingkungan.

5. Berlandaskan iman dan taqwa merupakan landasan spiritual moral, norma dan etika dimana masyarakat pada kondisi tertentu mempunya pikiran, akal sehat dan daya tangkal terhadap segala sesuatu yang merugikan dengan memperkukuh sikap dan prilaku individu melalui pembinaan agama bersama-sama yang tercermin dalam kehidupan yang harmonis, seimbang dan selaras.

Moto
Kota pekanbaru yang dikenal dengan slogan "KOTAKU, KOTAMU DAN KOTA KITA BERTUAH", mempunyai motto: BERSIH, TERTIB, USAHA BERSAMA, AMAN, dan HARMONIS dengan arti:

* BERSIH
Bersih lahir, jiwa, rumahtangga, lingkungan pasar, pendidikan, tempat hiburan/rekreasi, jalur hijau dan pusat kesehatan.
* TERTIB
Tertib pribadi, keluarga, lingkungan pekerjaan, beribadat, lalu lintas sehingga terwujud warga yang selalu menjunjung tinggi norma kaidah dan peraturan yang berlaku.
* USAHA BERSAMA
Keterlibatan kebersamaan dari pemerintah, orpol, ormas, generasi muda, alim ulama, cerdik cendekiawan, seniman dan seluruh lapisan masyarakat dalam berfikir dan berusaha guna mewujudkan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
* AMAN
Rasa tentram setiap pribadi, keluarga, lingkungan masyarakat dan kotanya dari gangguan ancaman dan hambatan dalam berfikir dan berusaha guna menjalankan ibadah dan melaksanakan pembangunan.
* HARMONIS
Serasi, seiya sekata, senasib, sepenanggungan saling hormat menghormati.
Setukul bagai palu
Seciap bagai ayam
Sedencing bagai besi
Yang tua dihormati
Yang muda dikasihi
Yang cerdik pandai dihargai
Yang memerintah ditaati.

Pendudukan
Masalah penduduk di Kota Pekanbaru sama halnya seperti daerah lain di Indonesia. Untuk mencapai manusia yang berkualitas dengan jumlah penduduk yang tidak terkendali akan sulit tercapai.

Program kependudukan yang meliputi pengendalian kelahiran, menurunkan tingkat kematian bagi bayi dan anak, perpanjangan usia dan harapan hidup, penyebaran penduduk yang seimbang serta pengembangan potensi penduduk sebagai modal pembangunan yang harus ditingkatkan.

Penduduk Kota Pekanbaru berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 berjumlah 585.440 jiwa, terdiri dari laki-laki 298.464 jiwa dan perempuan 286.976 jiwa (termasuk tunawisma dan awak kapal).

Dalam bab ini disajikan data jumlah penduduk menurut hasil regristasi tahun 1999 sebanyak 531.635 jiwa dan tahun 2000 sebanyak 586.223 jiwa, mengalami pertambahan sebanyak 54.588 jiwa (10,27%).

Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1999 dengan tahun 2000 dari 8 (delapan) Kecamatan di Kota Pekanbaru, maka kepadatan penduduk terbesar adalah di Kecamatan Sukajadi yakni 12.042 jiwa setiap km?, sedangkan yang terkecil di Kecamatan Rumbai yaitu 323 jiwa setiap km.

Geografis
1. Letak dan Luas
Kota Pekanbaru terletak antara 101°14' - 101°34' Bujur Timur dan 0°25' - 0°45' Lintang Utara. Dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 5 - 50 meter.

Permukaan wilayah bagian utara landai dan bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 5 - 11 meter.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 Tanggal 7 September 1987 Daerah Kota Pekanbaru diperluas dari ± 62,96 Km² menjadi ± 446,50 Km², terdiri dari 8 Kecamatan dan 45 Kelurahan/Desa. Dari hasil pengukuran/pematokan di lapangan oleh BPN Tk. I Riau maka ditetapkan luas wilayah Kota Pekanbaru adalah 632,26 Km².

Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan menyebabkan meningkatnya kegiatan penduduk disegala bidang yang pada akhirnya meningkatkan pula tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas dan utilitas perkotaan serta kebutuhan Lainnya. Untuk lebih terciptanya tertib pemerintahan dan pembinaan wilayah yang cukup luas, maka dibentuklan Kecamatan Baru dengan Perda Kota Pekanbaru No. 4 Tahun 2003 menjadi 12 Kecamatan dan Kelurahan/Desa baru dengan Perda tahun 2003 menjadi 58 Kelurahan/Desa.

2. Batas
Kota Pekanbaru berbatasan dengan daerah Kabupaten/Kota :

* Sebelah Utara : Kabupaten Siak dan Kabupaten Kampar
* Sebelah Selatan : Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan
* Sebelah Timur : Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan
* Sebelah Barat : Kabupaten Kampar

3. Sungai
Kota Pekanbaru dibelah oleh Sungai Siak yang mengalir dari barat ke timur. Memiliki beberapa anak sungai antara lain : Sungai Umban Sari, Air Hitam, Siban, Setukul, Pengambang, Ukui, Sago, Senapelan, Limau, Tampan dan Sungai Sail.
Sungai Siak juga merupakan jalur perhubungan lalu lintas perekonomian rakyat pedalaman ke kota serta dari daerah lainnya.

4. Iklim
Kota Pekanbaru pada umumnya beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 34,1º C - 35,6º C dan suhu minimum antara 20,2º C - 23,0º C
Curah hujan antara 38,6 - 435,0 mm/tahun dengan keadaan musim berkisar :

* Musim hujan jatuh pada bulan Januari s/d April dan September s/d Desember.
* Musim Kemarau jatuh pada bulan Mei s/d Agustus

Kelembapan maksimum antara 96% - 100%. Kelembapan minimum antara 46% - 62%.

5. Jarak Ibukota

Kota Pekanbaru merupakan Ibukota Propinsi Riau yang mempunyai jarak lurus dengan kota-kota lain sebagai Ibukota Propinsi lainnya sebagai berikut :

Pekanbaru Taluk Kuantan = 118 Km

Rengat = 159 Km

Tembilahan = 21.3,5 Km

Kerinci = 33,5 Km

Siak = 74,5 Km

Bangkinang = 51 Km

Pasir Pangaraian = 132,5 Km

Bengkalis = 128 Km

Bagan = 192,5 Km

Dumai = 125 Km

Obyek Wisata di Kota Pekanbaru
Danau Limbungan


Bendungan air yang awalnya dibangun untuk tujuan pengairan ini terdapat di daerah yang dikelilingi oleh perbukitan berpanorama alam indah yang memiliki daya tarik sebagai tempat wisata. Melihat potensi tersebut, tempat ini kemudian dikembangkan sebagai daerah wisata yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan sarana untuk keperluan rekreasi, seperti aneka jenis sepeda air, perahu, restoran, panggung hiburan, taman bermain, cottage dan sebagainya.

Tempat rekreasi ini berjarak sekitar 10 Km dari pusat Kota Pekanbaru dan dapat dicapai oleh angkutan umum. Tak jauh dari sini terdapat pula sebuah lokasi sebagai arena lomba motorcross. *Sumber : Pesona Riau (Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Riau)

Pasar Bawah


Tempat umum yang menjadikan objek dan daya tarik wisata di Kota Pekanbaru adalah wisata belanja. Tepatnya di Pasar Bawah, setelah mengalami kebakaran keberadaan Pasar Bawah di bangun lebih representatif sehingga wisatawan lebih nyaman ketika berkunjung.

Lokasi Pasar Bawah tidak terlalu luas dan merupakan pasar tertua. Berbagai kelengkapan yang dijual di komplek Pasar Bawah, antara lain keperluan sehari-hari, elektronik, alat-alat rumah tangga, pakaian, souvenir berupa keramik yang dijual disini banyak didatangkan dari negara-negara penghasil keramik unggulan dunia seperti Cina, Taiwan, Hongkong dan Italia, dengan harga yang cukup kompetitif. *Sumber : Pesona Riau (Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Parisiwata Pemerintah Propinsi Riau)

Shopping Center


Kota Pekanabaru Memiliki banyak pusat-pusat perbelanjaan yang terlengkap dan termegah. Diantaranya adalah Mall Pekanbaru, Mall Ciputra, Mall SKA, Plaza Citra, Plaza Senapelan, Plaza Sukaramai, dan Pasar Bawah yang terkenal dengan penjualan keramiknya.

Mesjid Raya dan Makan Marhum Bukit serta Makam Marhun Pekan


Mesjid Raya Pekanbaru yang dibangun pada abad ke-18 merupakan mesjid tertua di Kota Pekanbaru, Mesjid yang terletak di Kecamatan Senapelan ini memiliki arsitektur tradisional yang amat menarik. Mesjid ini sekaligus menjadi bukti kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di Pekanbaru, yaitu di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) dan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Sultan Siak ke-5).

Di areal komplek mesjid ini terdapat makam Sultan Marhum Bukit dan Marhum Pekan. Marhum Bukit adalah nama lain dari Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) yang memerintah pada tahun 1766-1780.

Di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah inilah Senapelan dijadikan pusat Kerajaan Siak, dibawah pemerintahannya kegiatan perdagangan berkembang pesat sehingga timbullah pemikiran untuk mendirikan sebuah pekan.

Namun ide mendirikan sebuah pekan ini baru terlaksana pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (anak Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah).

Semenjak saat itu, tepatnya pada tanggal 23 Juni 1784 nama Senapelan mulai tidak dipakai lagi. Senapelan berganti dengan PEKANBARU. *Sumber : Pesona Riau (Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Riau).

Sumber : http://www.pekanbaru.go.id
Peta : http://www.badilag.net

Kota Sabang Provinsi Aceh

Peta Kota Sabang


Sejarah
Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881. Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan.

Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibombardir pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian terpaksa ditutup.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

Gagasan itu kemudian diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Pada tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang diprakarsai BPPT dengan fokus kajian ingin mengembangkan kembali Sabang. Disusul kemudian pada tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya.diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Keppes No. 171 tanggal 28 September 1998.

Era baru untuk Sabang, ketika pada tahun 2000 terjadi Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid di Sabang dengan diterbitkannya Inpres No. 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000. Dan kemudian diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pada tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Tetapi pada tahun 2004 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Sabang juga mengalami Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, namun karena palung-palung di Teluk Sabang yang sangat dalam mengakibatkan Sabang selamat dari tsunami. Sehingga kemudian Sabang dijadikan sebagai tempat transit Udara dan Laut yang membawa bantuan untuk korban tsunami di daratan Aceh. Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menetapkan Sabang sebagai tempat transit untuk pengiriman material kontruksi dan lainnya yang akan dipergunakan di daratan Aceh

Wilayah Administrasi
Wilayah Kota Sabang terbagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Sukakarya dan Sukajaya.

Kecamatan Sukajaya terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Kelurahan Paya, Keuneukai, Beurawang, Jaboi, Balohan, Cot Abeuk, Cot Ba'u, Anoi Itam, Ujong Kareung, dan Ie Meulee.Sedangkan di Kecamatan Sukakarya terdapat 8 kelurahan, yaitu Kelurahan Iboih, Batee Shok,

Paya Seunara, Krueng Raya, Aneuk Laot, Kota Bawah Timur, Kota Bawah Barat, dan Kota Atas.Kota Sabang mempunyai jumlah penduduk 26.505 jiwa, yang terdiri dari 13.579 Laki-laki dan 12.926 Perempuan. Pada kecamatan Sukajaya terdapat 12.348 jiwa, yang terdiri dari 6.385 Laki-laki dan 5.963 Perempuan. Sedangkan pada kecamatan Sukakarya terdapat 7.194 Laki-laki dan 6.963 Perempuan, sehingga total penduduk pada kecamatan ini 14.157 jiwa. (BPS, 2003).

Di wilayah Kota Sabang, terdapat beberapa kelompok etnis dimana antara satu dan yang lainnya tidak jauh berbeda baik dalam kehidupan maupun dalam berbahasa. Pola hidup pada umumnya memiliki kesamaan dengan pola hidup masyarakat Aceh di daratan.

Penduduk di wilayah ini pada umumnya bermata pencaharian dalam bidang Pertanian dan Perikanan. Kemudian diikuti dengan Buruh, Perdagangan, Jasa, Angkutan, Pegawai, dan lainnya.

Lambang Kota Sabang




Geografis, Kondisi Fisik, Topografi, Geologi dan Iklim
Wilayah administrasi Kota Sabang, secara geografis, terletak di antara 95° 13' 02" dan 95° 22' 36" Bujur Timur, dan antara 05° 46' 28" dan 05° 54' 28" Lintang Utara. Dari segi geografis Indonesia, wilayah Kota Sabang merupakan wilayah administratif paling barat, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India.

Wilayah Kota Sabang dikelilingi oleh Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan, Selat Malaka di Timur dan Samudera Hindia di Barat.Kota Sabang terdiri atas 5 (lima) buah pulau yaitu Pulau Weh (121 km2), Pulau Rubiah (0,357 km2), Pulau Seulako (0,055 km2), Pulau Klah (0,186 km2), dan Pulau Rondo (0,650 km2). Di Pulau Weh terdapat sebuah danau air tawar bernama Aneuk Laot.Keadaan topografi Kota Sabang pada umumnya bergelombang, berbukit-bukit sedang sampai curam dan di sepanjang pantai penuh dengan batu-batuan. Topografis wilayah secara umum terbagi menjadi 3% dataran rendah, 10% dataran bergelombang, 35%berbukit, dan 52% berbukit sampai bergunung.Pulau Weh merupakan sebuah pulau vulkanik, sebuah pulau atol (pulau karang) yang proses terjadinya mengalami pengangkatan dari permukaan laut. Proses terjadinya dalam tiga tahapan, terbukti dari adanya tiga teras yang terletak pada ketinggian yang berbeda.

Umumnya Pulau Weh terdiri atas dua jenis batuan, yaitu tuf marina dan batuan inti. Tuf marina dijumpai hampir sepanjang pantai sampai pada ketinggian 40 sampai 50 meter. Lapisan tuf yang terlebar didapat di sekitar kota Sabang, di bagian pantai berlapis sempit. Batuan sempit adalah batuan vulkanik yang bersifat andesitik.

Berdasarkan wilayah, tampak bahwa wilayah Barat pulau Weh terdapat topografi paling berat. Mulai dari Sarong Kris sebagai puncak tertinggi di sebelah Timur, terdapat tiga barisan punggung yang berjolak menuju ke Barat Laut, sehingga lembah-lembah yang ada di antara punggung itu sempit.T

opografi di sebelah Timur terdapat sebuah pegunungan yang arahnya dari Utara ke Selatan yang memisahkan Pulau Weh Timur dengan bagian lainnya. Gunung Leumo Mate merupakan puncak yang tertinggi. Di bagian ini terdapat lapisan tuf marina yang lebih besar.

Di antara bagian Barat dan Timur terdapat aliran dua buah sungai, yaitu Sungai Pria Laot dan Sungai Raya. Daerah ini merupakan sebuah slenk dari sebuah fleksun (patokan yang tidak sempurna).Kondisi geologis wilayah ini terdiri dari 70% batuan vulkanis (andesite), 27% batuan sedimen (line stone dan sand stone), dan 3% endapan aluvial (recent deposit). Pulau Weh mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan lazimnya jatuh pada bulan September sampai Pebruari. Musim kemarau pada bulan Maret hingga bulan Agustus. Menurut hasil pengukuran Stasiun Meteorologi Sabang, curah hujan yang tercatat rata-rata 1.745 - 2.232 mm/tahun, dengan angka terendah pada bulan Maret sebesar 18 mm dan angka tertinggi pada bulan September sebesar 276 mm. Pada bulan September dan Oktober terjadi peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan.

Infrastruktur
Infrastruktur utama yang ada di Kota Sabang saat ini adalah infrastruktur perhubungan darat yang berupa jalan. Jaringan jalan darat pada umumnya telah dapat menjangkau semua wilayah pemukiman di Kota Sabang dan daerah-daerah obyek wisata baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Saat ini Kota Sabang memiliki dua buah pelabuhan yaitu Pelabuhan Samudra (alam) di teluk Sabang dan Pelabuhan Ferry di teluk Balohan. Pelabuhan Samudra saat ini digunakan sebagai sarana Pelabuhan Bebas Sabang yang dapat dirapati oleh kapal-kapal besar dari berbagai negara.

Pelabuhan Ferry Balohan menghubungkan Pulau Weh dengan Aceh daratan dimana ada dua macam moda angkutan yaitu Kapal Ferry dan Kapal Cepat yang melakukan penyeberangan dua kali sehari ke Pelabuhan Uleleu.

Di Kota Sabang juga terdapat bandar udara Maimun Saleh, yang mempunyai jalur penerbangan utama ke bandara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh.

Flora dan Fauna
Seperti halnya di Sumatera, hutan di Pulau Weh sebagai daerah tropis ditumbuhi oleh tiga jenis pohon-pohonan sebagai hutan belantara yang padat. Pohon yang dominan terdiri dari batang kayu yang relatif kecil dan rimbun. Di bawah pohon-pohon ini tumbuh semak belukar, terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang berbatang lampai dan berbagai jenis pohon menjalar.

Data hasil inventarisasi menunjukkan bahwa sepanjang jalan menuju Ujung Ba’U banyak ditemukan permudaan dari pohon Tampu, Mentaling, Ara, Gelumpang dan lain-lain. Mendekati ujung Ba’u banyak ditemukan pohon-pohon besar antara lain pohon Beringin, Asam kandis, Damar laut, Bungo, Kenari, Ketapang dan lain-lain. Sedangkan vegetasi bawah didominasi oleh jeruk hutan yang berduri dan jenis rotan.

Tumbuhan yang dibudidayakan yang paling dominan adalah kelapa, cengkeh dan sudah mulai dikembangkan kamiri dan coklat (cacao).

Fauna di pulau ini menunjukkan contoh evolusi pembentukan suatu daerah "zooglografis" tersendiri walaupun pada umunya kehidupan binatang di pulau ini mempunyai pola yang sama dengan kehidupan di pulau induknya, Sumatera.

Jenis satwa yang ada antara lain Kera (Macacus), Babi hutan (Sus vittasus), Ular sawah, Ular sendok, dan berbagai jenis burung seperti Srigunting, Celemeh, Alap-alap, Punai, But-but, Bayan Tiung yang sering terdengar suaranya, serta burung Dara Nikobar yang pada musim-musim tertentu melakukan migrasi ke Pulau Weh.

Marina fauna di sekitar Pulau Weh terdiri dari banyak spesies ikan bertulang dan bertulang rawan yang cukup menarik bagi penyelidikan Zoologis. Di dalam karang yang membentuk taman laut yang sangat indah, di kedalaman 8-10 meter terdapat ikan kecil aneka warna yang merupakan representasi marina tropis yang amat mengagumkan, terutama di taman laut Pulau Rubiah. Perpaduan antara keindahan dan kejernihan air dengan berjenis-jenis bunga karang, ahinoderma, malussca, arthopoda dan ikan kecil dengan beragam jenis bunga karang dan biota laut lainnya yang beraneka warna.

Wisata Alam
Pulau Weh mempunyai keunikan dan keindahan akan kecantikan alami dan tempat-tempat sejarah. Selain daripada meriam-meriam dan benteng-benteng kuno, masih banyak lagi obyek masa lalu yang menarik. Beberapa tempat menarik adalah sebagai berikut.

Taman Laut Rubiah
Taman Laut Rubiah terletak sekitar 23,5 km sebelah barat kota Sabang, dapat dicapai melalui darat, atau sekitar 7 km dengan menggunakan perahu boat, dan terletak bersebelahan dengan desa Iboih. Pemerintah Indonesia telah menentukan daerah perairan ini, sekitar 2600 hektar sekitar pulau Rubiah sebagai daerah special nature reserve. Terletak di teluk Sabang, dimana air disini relatif tenang dan sangat jernih (25 m visibility) laut disini diisi oleh bermacam trumbu karang dan ikan bermacam warna. Dapat ditemukan gigantic clams, angel fish, school of parrot fish, lion fish, sea fans, dan banyak lagi.

Pantai IboihBagi penggemar snorkel berpengalaman, Octopus dan Stingrays dapat dilihat disini. Berjemur sinar matahari di pantai dengan pasir yang halus dan putih dapat dilakukan pada pantai yang berseberangan. Tempat ini merupakan surganya turis penggemar snorkel dan selam.Terumbu karang hanya berjarak sekitar 5 meter dari tepi pantai berpasir.

Akomodasi berupa makanan dan penginapan tersedia di desa Iboih. Iboih adalah desa kecil dimana kondisi dan layanan penduduk sangat menunjang kenyamanan dalam menikmati atraksi alam sekitar.

Hutan Wisata Iboih terletak bersebelahan dengan Taman Laut Rubiah, dengan luas sekitar 1300 hektar dan juga merupakan daerah terlindung. Hutan ini merupakan hutan hujan tropis yang masih tinggi kerapatannya tetapi selalu mengundang pengunjung untuk menikmati keindahan keasliannya. Hutan ini tempat bagi beragam binatang, banyak terdapat monyet, reptil kecil dan besar, dan burung beraneka warna termasuk burung dara Nicobar yang tidak terdapat di bagian lain Indonesia.

Pantai
Pantai di pulau Weh sangat beragam dan sangat menarik untuk dikunjungi. Pantai Kasih adalah pantai yang paling dekat dengan kota Sabang. Sekitar dua km ke arah Barat Daya terdapat pantai berbatu dengan banyak pepohonan kelapa sepanjang semenanjung. Di sepanjang semenanjung ini juga dapat ditemui beberapa peninggalan Perang Dunia II berupa benteng-benteng tempat senjata berat seperti meriam.

Pantai GapangMengikuti sepanjang pantai sekitar dua kilometer kita akan sampai di Pantai Tapak Gajah. Jika kita teruskan maka akan sampai di Pantai Sumur Tiga. Pasir putih yang halus dan air yang jernih sangat ideal untuk berenang dan snorkel. Sekitar dua kilometer dari Pantai Sumur Tiga terdapat Pantai Ujung Kareung. Disini banyak terdapat terumbu karang, ikan-ikan karang, dan juga bintang laut di dekat pantai. Pantai yang indah lainnya dapat ditemui di Gapang, yaitu pantai berpasir putih yang luas dan indah di dekat desa Iboih, arah Barat kota Sabang.

Gua Pantai
Terdapat beberapa gua alami di pantai barat Pulau Weh yang terletak berseberangan dengan Hutan Wisata Iboih. Gua-gua ini menghadap ke samudra dan dihuni bermacam burung, kelelawar, dan ular. Menjelajahi tempat ini dengan menggunakan perahu harus didampingi oleh penduduk lokal karena lokasi yang cukup sulit dijangkau, dan berbahaya, terutama antara bulan Mei dan September saat musim angin Barat. Kondisi ini sangat menantang bagi pencinta gua.

Sumber : http://www.sabangkota.go.id
Peta : http://1.bp.blogspot.com
Logo : http://i92.photobucket.com

Fungsi Budaya Megalitik di Orahili-Gomo Kabupaten Nias

Oleh : Supsiloani, S.Sos dan Sulian Ekomila, S.Sos

Ikan- ikan hias dan pantai berpasir putih. Adapun peninggalan Budaya zaman Megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo adalah hal yang paling menarik untuk dibahas sekaligus dilestarikan.

1. Latar Belakang Munculnya Budaya Megalitik di Orahili-Gomo, Kabupaten Nias Selatan
Sesungguhnya Kebudayaan Megalitik meninggalkan bekas-bekas di seluruh Indonesia. Akan tetapi, sebagai peninggalan prasejarah yang telah diselidiki dan diteliti dengan benar diketahui bahwa peninggalan ini terutama sekali terdapat di daratan Sumatera dan Jawa. Di Sumatera, yang paling terkenal terdapat di Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kepulauan Nias, pada suatu daerah yang bernama Orahili-Gomo.

Orahili adalah nama kampung/desa yang berada di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan (Teluk Dalam). Posisinya berada di daerah perbukitan atapun pegunungan dekat dengan lembah sungai Gomo yang cukup datar dan lebar. Pada catatan perjalanan sejarah, kondisi geografis seperti inilah yang menjadi alasan daerah ini di pilih oleh nenek moyang suku bangsa Nias sebagai lokasi yang cocok untuk mendirikan suatu perkampungan.

Wilayah yang berada di dataran yang tinggi serta dikelilingi oleh jajaran bukit-bukit yang tinggi sehingga tersembunyi dari dunia luar, sesuai dengan makna nama Orahili yang berarti tempat yang dikelilingi oleh pegunungan.

Membahas tentang Megalitik, Haryono dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990:219) menyatakan bahwa : “Megalitik adalah suatu istilah yang menunjuk pada peninggalan-peninggalan Budaya Prasejarah yang menggunakan batu-batu besar; (bahasa Yunani; Mega artinya besar dan Lithos artinya batu).”

Ada suatu periode dalam sejarah peradaban manusia di Bumi saat tradisi batu-batu besar (megalit) begitu mewarnai kehidupan mereka. Ini gejala di seluruh permukaan Bumi. Sebagai contoh, sebut saja Piramid di Mesir, Piramid di Babilonia dan Asiria (zigurat), Piramid di Pulau Bimini dekat Azores di tengah Atlantik, Piramid di Maya-Aztec-Inca Purba di Meksiko dan Peru, Stonehenge di Inggris, Megalit di Eropa Baratlaut dari Norwegia sampai Spanyol, Megalit di Pulau Paska di ujung timur gugusan kepulauan Polinesia (seperti yang pernah diulas Ariadi), Megalit di tengah-tengah Cina, atau Megalit yang banyak ditemukan di negeri kita sendiri seperti di Banten, Pasemah, Nias dan Sumba.

Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan berdasarkan perjalanan sejarah, di prediksi berasal dari Zaman Batu Muda (Neolithicum) sekitar 1000 – 1500 M. Hal tersebut diyakini demikian karena sejalan dengan terjadinya perpindahan penduduk dari daratan Asia menuju keberbagai pelosok melalui Semenanjung Malaka, maupun melalui Asia Kecil ke jazirah Arab kemudian menuju India bagian Selatan dan seterusnya di Pulau Nias. Selain itu, sampai pada saat ini di Indonesia tidak atau belum ditemukan persamaan jenis peninggalan setua itu.

Kebudayaan Megalitik pada awalnya disebarkan oleh masyarakat pendukungnya ke daerah Timur, sehubungan dengan kegiatan mereka mengadakan perjalanan mencari kerang, mutiara dan emas. Kebudayaan Megalitik sangat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat di Indonesia. Pada daerah yang memiliki peninggalan Kebudayaan Megalitik, kegiatan religi masyarakatnya selalu berkaitan dengan aset budaya peninggalan tersebut.

Letak peninggalan di lokasi perbukitan ataupun pegunungan juga diyakini sebagai alasan logis bagi masyarakatnya dalam hal mengupayakan sisi praktis dalam menjaga keamanan dari serangan musuh. Nenek moyang suku bangsa Nias mendirikan tempat pemukiman di gunung karena adanya anggapan bahwa gunung merupakan tempat yang suci dan keramat.

Masyarakat Nias pada umumnya dan khususnya masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, sangat mengagungkan peninggalan kebudayaan Megalitik di Orahili-Gomo. Peninggalan di Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai dan fungsi yang sangat besar bagi masyarakat setempat sampai pada masa sekarang.

Peninggalan Megalitik di daerah ini terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain : Batu Tegak, Batu Datar, Meja Batu, Batu Tegak Segi Empat Pipih, Batu Tegak Segi Empat Balok, Batu Bulat Berlumpang Dua dan Patung Manusia. Salah satu bentuk peninggalan yang terpenting adalah sekumpulan besar Menhir, Dolmen, Sakrofagus dan hasil-hasil kebudayaan Megalitik lainnya. Benda-benda Megalitik dalam upacara religi bertujuan menghormati arwah nenek moyang yang dipercaya dapat melindungi masyrakat dari berbagai macam bahaya dan malapetaka.

Variasi bentuk Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili Gomo memiliki ciri khas tersendiri yang tidak atau belum ditemukan persamaannya di daerah atau tempat lain di Indonesia. Bentuknya ada yang menyerupai manusia dan juga binatang. Keunikan bentuk peninggalan tersebut memiliki fungsi yang mengandung makna simbol, seperti : Batu Tegak dipergunakan sebagai simbol dari laki-laki, sedangkan Batu Datar merupakan symbol perempuan. Selain itu peninggalan ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan pada dewa, penghormatan pada nenek moyang, orangtua dan kepala adat, juga sebagai tempat penguburan.

2. Fungsi Kebudayan Megalitik Bagi Masyarakat Orahili-Gomo.a. Fungsi Nilai Religi
Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Nias Selatan memiliki peranan yang sangat besar dalam setiap segi kehidupan masyarakatnya. Peranan tersebut tidak hanya dalam kaitannya dengan kegiatan religi masyarakatnya, akan tetapi juga berperan dalam aspek hukum dan seni. Peninggalan Kebudayaan Megalitik ini tidak hanya mempengaruhi masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sacral seperti upacara-upacara keagamaan, namun juga mempengaruhi dasardasar nilai dalam kegiatan hidup masyarakat sehari-hari.

Penyelidikan dan penelitian tentang kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan dilakukan oleh M. G. Thomsen dan Von Heine Gildern. Berdasarkan sejarah, nenek moyang yang pertama tiba di Kepulauan Nias adalah Hia Walangi Adu yang kemudian mendirikan perkampungan Orahili-Gomo. Hia Walangi diberi gelar Hia Walangi Adu, karena telah berhasil menyelesaikan ukiran patung Adu Zatua. Patung atau berhala inilah yang kemudian disembah oleh Hia Walangi berikut kaum dan pengikutnya. Inilah yang menjadi awal agama nenek moyang suku bangsa Nias yang disebut dengan Agama Folohe Adu.

Tidak gampang bagi masyarakat Nias, khususnya di Orahili-Gomo,Kabupaten Nias Selatan dewasa ini untuk memahami agama kuno asli nenek moyang mereka. Hal ini disebabkan oleh perubahan dan pergeseran yang menyentuh kehidupan sosial-budaya mereka telah lama mewarnai nilai-nilai dan unsur-unsur kehidupan. Meskipun sangat dimaklumi bahwa perubahan dan pergeseran tersebut tidak hanya akan menimbulkan perkembangan yang saling menguntungkan bahkan memperkaya, tetapi sebaliknya juga memungkinkan terjadinya suatu pemusnahan.

Menurut cerita para sesepuh masyarakat Nias, pada dasarnya dahulu keaslian agama kuno asli nenek moyang di bahagian Selatan berbeda dengan di bahagian Utara. Pergeseran mulai terjadi setelah pada tahap perkembangannya masyarakat Nias banyak melakukan kontak dengan bangsa-bangsa lain. Para pedagang dari Tionghoa, Inggris, Belanda dan Jerman, bahkan juga dari daerah lain di Indonesia tidak hanya menyebabkan pergeseran budaya tetapi juga pergeseran kepercayaan/keyakinan atau agama. Keaslian agama kuno asli nenek moyang masyarakat Nias Selatan kemudian bercampur baur bahkan bertentangan/berbeda dengan masyarakat di bahagian Utara.

Pada kegiatan pemujaan mereka mempersembahkan berbagai be’elo (persembahan) kepada Dewa Lowalangi yang direfleksikan melalui sebuah patung dengan harapan agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera serta mendapat perlindungan dari malapetaka dan bencana. Kegiatan pemujaan pada arwah nenek moyang merupakan suatu kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh masyarakat Nias Selatan. Ke giatan tersebut dilaksanakan sebagai tanda pengejawantahan sekaligus penghormatan terhadap orangtua mereka yang telah meninggal dunia, serta juga kegiatan pemujaan kepada dewa agar mereka mendapat perlindungan serta terhindar dari segala malapetaka, bencana, wabah penyakit, kutukan bahkan kematian. Kegiatan pemujaan dapat juga mengandung makna sebagai alat control sosial bagi masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan.

Pada masa penyebaran agama Kristen, para missionaris memilih istilah Lowalangi sebagai cara memperkenalkan Tuhan yang tertinggi pada masyarakat Nias Selatan. Konsep tersebut disamakan dengan Allah dalam agama Kristen. Pembauran istilah seperti ini mempengaruhi pandangan masyarakat Nias Selatan tentang konsep Tuhan sebagai Pencipta dunia. Dewasa ini Lowalangi tetap menjadi istilah bagi Tuhan sang pencipta bagi masyarakat Nias Selatan, meskipun mereka menganut agama Kristen dan meskipun pada agama kuno asli mereka

Lowalangi hanyalah sebagai dewa yang berkuasa yang dikaitakan dengan seorang pemimpin bagi pengikut atau masyarakatnya.

3. Fungsi Nilai Kontrol Sosial
Peninggalan yang menyerupai bangunan monumental hasil kebudayaan Megalitik tersebut memiliki arti simbol tersendiri yang erat kaitannya dengan usaha para pemimpin dan ketua adat setempat dalam menjada harkat dan martabat kaumnnya. Menurut kepercayaan mereka, bahwa arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia masih tetap hidup meskipun di dunia yang berbeda yakni di dunia arwah. Arwah nenek moyang dipercaya masih mengawasi bahkan memberi petunjuk ataupun teguran pada keturunannya. Oleh karena itu pula mereka juga meyakini bahwa unsur-unsur kehidupan mereka sehari-hari masih tetap dipengaruhi oleh arwah nenek moyang mereka tersebut. Mereka juga bahkan menganggap bahwa kesehatan, keamananan, kesejahteraan, kesuburan dan lain-lain sangat ditentukan oleh bagaimana mereka memperlakukan ataupun menghormati arwah nenek moyang mereka. Apabila mereka memperlakukan arwah nenek moyang dengan baik, seperti dengan mengadakan rutinitas pemujaan, maka mereka akan memperoleh perlindungan seperti yang mereka harapkan. Perlakuan baik terhadap arwah nenek moyang tidak semata-mata melalui kegiatan pemujaan ataupun persembahan. Menjalankan unsurunsur kehidupan dalam garis nilai-nilai yang telah dilaksanakan sejak masa arwah nenek moyang tersebut hidup, juga merupakan wujud penghormatan.

Masyarakat Orahili-Gomo, memahami sifat-sifat dewa dan roh nenek moyang mereka melalui kuasa-kuasa para dewa ataupun roh itu sendiri. Kekuasaan dengan kata lain ”ke-supranatural-an” merupakan kekuasaan yang berlimpah-limpah. Mereka mempercayai bahwa kekuasaan ini ditunjukkan pada mereka melalui cara-cara khusus seperti melalui krisis-krisis yang muncul dan terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adanya kelahiran dan kematian, kesejahteraan dan kesengsaraan, bencana dan anugrah, malapetaka, wabah dan lain sebagainya yang terjadi di dunia merupakan wujud adanya upaya
menjalin komunikasi antara dewa ataupun roh nenek moyang pada para
pengikutnya atau masyarakatnya.

Oleh karena itu, kegiatan pemujaan dan persembahan dianggap merupakan salah satu cara menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi tersebut membutuhkan suatu sarana sebagai perantara dan batu-batuan Megalit menjadi pilihan bagi tersedianya sarana tersebut. Kebudayaan Megalitik ini dapat dikatakan juga sebagai hasil dari suatu pesta jasa yang dilakukan oleh nenek moyang suku bangsa Nias yang disebut dengan “Owasa”. Owasa adalah suatu kegiatan upacara khusus yang pada awalnya yang dilaksanakan nenek moyang suku bangsa Nias yang meliputi kegiatan penguburan tulang belulang para leluhur, persembahan karena perbaikan derajat kehidupan ataupun penobatan, juga kegiatan distribusi ekonomi seperti panen dan sebagainya.

Berdasarkan fungsi dan bentuk, peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili –Gomo, menandakan bahwa masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan sangat menjunjung tinggi serta menghormati nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh nenek moyang suku bangsa Nias. Dahulu pada saat masyarakat mengadakan pemilihan pemimpin adat, maka sebagai tanda akan baktinya, maka setiap kepala suku beserta pengikutnya berhak mendirikan sebuah Menhir. Pada masa hidupnya, bagi seorang kepala suku, Menhir ini berfungsi sebagai lambang akan
jasa-jasanya dan pada saat dia telah meninggal dunia, maka Menhir ini akan menjadi lambang dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap diri dan jasanya semasa hidup beralih menjadi suatu kegiatan pemujaan terhadap dirinya oleh kaum dan pengikutnya yang dianggap dapat memberikan perlindungan. Pelaksanaan kegiatan upacara-upacara tertentu, mengandung makna bahwa roh dari kepela suku tersebut akan menyatu dengan Menhir sehingga dapat berhubungan langsung dengan para pemujanya.

Kegiatan-kegiatan ini juga mengandung makna, bahwa pada prinsipnya para dewa dan arwah nenek moyang menginginkan masyarakat Nias Selatan selalu hidup dalam keselamatan dan kesejahteraan dengan selalu mengingat dan menghormati dewa dan arwah nenek moyang. Pelaksanaan kegiatan pemujaan dan persembahan ini juga memupuk rasa persaudaraan yang kuat dalam masyarakat karena mereka akan bergotongroyong mengadakannya, dengan demikian akan tercipta kerukunan.

4. Fungsi Nilai Hukum
Seperti yang dilantunkan dalam syair orang Nias, manusia pertama yang turunkan di Gomo dan sekitarnya di Nalawö sia’a Mbanua yang merupakan suatu pemukiman dan kemudian berkembang ke Sifalagö Gomo. Mulai dari sinilah disekitar Turumbaho yang kemudian dengan nama Börönadu / Orahili-Gomo, penyelenggaraan Hukum yang pertama.

Situs pemukiman ini masih dapat dilihat sampai saat ini dan pernah ditinjau langsung oleh Bapak H. Adam Malik, pada masa beliau menjabat sebagai wakil presiden RI, pada tanggal 2 Juni 1980.

Kunjungan tersebut juga disertai oleh beberapa pejabat tinggi Negara termasuk Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada masa tersebut, dan para Antropolog baik dalam maupun luar negeri.

Pada lokasi inilah ditemukan bukti berupa batu-batuan yang telah dipahat dan dibentuk sedemikian rupa (Megalit) yang berasal dari zaman 1000-1500 M. Batuan Megalit tersebut ditemukan dalam berbagai bentuk dan rupa yang diyakini sesuai dengan kepentingan manusia pada masa tersebut. Untuk kepentingan hukum, ditemukan budaya Megalitik Fondrakö Mazingö Raya di Lawindra.

Adapun yang menjadi dasar-dasar hukum (Fondrakö) menurut masyarakat Orahili-Gomo, Kabupaten Nias Selatan, yang berlaku pada masa lampau adalah sebagai beriku :

a. Fo’adu
Menurut bahasa, Fo’adu berarti membuat, menghargai, ataupun menyembah patung dan berhala sesuai dengan kebiasaan pada kepercayaan agama kuno masyarakat Nias Selatan. Patung mengandung nilai sakral sehingga layak menduduki posisi untuk dihormati, dipuja dan disembah dalam kehidupan religi masyarakat.

Fo’adu juga berarti berbuat dengan baik, sempurna dan tanpa tercela. Mo’adu berarti pantas sehingga dapat dipedomani oleh orang banyak, yang secara keseluruhan mengandung arti / makna yakni berbuat hal-hal yang baik, suci yang datangnya haruslah dari keikhlasan hati yang paling dalam.

b. Fangaso
Fangaso mengandung arti pengadaan. Pengadaan dalam hal ini merujuk pada upaya peningkatan kesejahteraan, yang pada zaman dahulu diwujudkan dalam kegiatan masyarakat dalam mengelola bidang mata pencaharian. Pada zaman dahulu kegiatan ini meliputi bidang pertanian, peternakan yang kemudian pada masa perkembangannya masyarakat akhirnya mengenal bidang perkonomian yakni perdagangan bahkan sistem perbankan, berupa kegiatan membungakan uang.

c. Fa’ehao-hao
Fa’ehao-hao mengandung arti budi daya. Budi daya dalam hal ini mengandung nilai moral. Artinya manusia selalu dituntut untuk bermoral, berbudi luhur, tangkas, trengginas dan trampil. Kesemuanya ini dituntut untuk selalu tercermin dalam tata karma hidup sehari-hari.

d. Fobarahao
Fobarahao berarti unsur kelembagaan. Kelembagaan dalam perwujudan pembentukan kampong / pemukiman mengandung makna persatuan dan kesatuan. Masyarakat dalam perkampungan terkenal dengan adanya unsure musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan hidup bersama. Musayawarah mufakat (Aro Gosali) dilaksanakan pada tempat persidangan yang disebut dengan Ni’okölimanu.

e. Fa’oböwö / Foböwö
Fa’oböwö / Foböwö mengandung arti keadilan. Böwö juga dapat diartikan sebagai sikap saling pengertian, saling Bantu membantu dalam azas gotongroyong. Böwö juga mengadung makna jujuran dalam pelaksanaa perkawinan yang berarti kasih sayang yang tidak berkesudahan atau kasih sayang abadi.

5. Fungsi Nilai Seni
Peninggalan Budaya Megalitik di Orahili-Gomo, kabupaten Nias Selatan, juga merupakan wujud peninggalan kebudayaan seni rupa nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman dahulu. Patung-patung banyak diciptakan dengan menggunakan berbagai media, antara lain :

Kayu, logam maupun batu-batuan. Batuan yang dipahat dan diukir sedemikian rupa (batu Megalit) merupakan hasil karya seni yang unik yang dapat dinikmati sampai pada masa sekarang. Media batu-batuan merupakan bahan yang tahan menghadapi tantangan waktu.

Patung di Orahili-Gomo selain unik memiliki karakteristik tersendiri. Perwujudan patung nenek moyang banyak ditampilkan apa adanya dengan memperlihatkan alat kelamin dan atribut di kepala yang sangat tinggi. Bentuk hidung yang mancung, lurus dan besar hamper menyatu dengan dahi menjadi ciri khas bentuk yang menggambarkan postur dan bentuk wajah khas suku bangsa nias.

Demikianlah fungsi budaya Megalitik yang sangat mempengaruhi hampir disetiap segi kehidupan masyarakat di Kabupaten Nias Selatan. Meskipun pada masa sekarang masih dapat kita nikmati keberadaannya, namun dapat saja tanpa kita sengaja akan termusnahkan karena tidak dikelola dengan baik.

Sumber : http://www.geocities.ws

Sejarah Singkat Masjid Istiqlal



Masjid Istiqlal ialah masjid terbesar di Asia Tenggara. Sebagai rasa syukur atas kemerdekaan yang diperoleh republik Indonesia masjid Istiqlaldapat kita artikan Merdeka. Ide awal pembangunan masjid ini ialah dari bapak. KH. Wahid hasyim (menteri agama tahun 1950) dan bapak Anwar Cokroaminoto. Tahun 1953 dibentuk lah pantia pembangunan masjid Istiqlal yang diketuai oleh Bapak. Anwar Cokroaminoto. Belio menyampaikan rencana pembangunan masjid pada Ir. Soekarno dan ternyata mendapatkan sambutan hangat dan akan mendapat bantuan sepenuhnya dari presiden.

Ir. Soekarno sejak tahun 1954 oleh panitia diangkat menjadi kepala bagian teknik pembangunan Masdjid istiqlal, dan belio juga menjadi ketua dewan juri untuk menilai syayembara maket Istiqlal. Tahun 1955 diadakan syayembara memebuat gambar dan Maket pembangunan masjid Istiqal. Diikuti oleh 30 Orang peserta dan hanya 27 orang peserta yang menyereahkan gambar. Dan hanya 22 orang saja yang memenuhi persyaratan lomba. Setelah di diskusikan oleh dewa juri yang menjadi pemenang ialah 5 orang dan dari 5 orang terebut terpilih Arsitek F Silaban dengan Sandi ketuhanan.

Pada tahun 1961 diadakan penanaman tiang pancang pertama pembangunan masjid Istiqlal. 17 tahun kemudian bangunan masjid selesai dibangun, dan penggunaannya dilakukan sejak tanggal 22 Februari 1978. Pembangunan majid ini didanai dengan APBN sebanyak 7.000.000.000 dan 12.000.000 US. Luas tanah areal masjid Istoqlal ialah 9.3 hektar. Lokasi pembangunan gedung ialah seluas 2,5 hektar terdiri dari; gedung Induk/Utama dan balkon bertingkat lima luasnya 1 hektar, bangunan teras 1,5 hektar, Areal parkir luasnya 3,35 Hektar, Pertamaan dan air mancur seluas 3,47 hektar.

Konstruksi Bangunan:
1. Tiang pancang seluruhnya 5.138 tiang, termasuk 180 tiang pada gedung pendahuluan.
2. Seluruh Bangunan, konstruksi Beton Bertulang.
3. Lantai dan dinding baik dalam maupun luar seluruhnya terbuat dari Marmer, kecuali lantai teras raksasa.
4. Plafond seluruhnya yaitu balkon, borde tangga, jendela, terawang, lisplank, kusen, dan tempat wudlu seluruhnya terbuat dari stainles steel, seberat 377 ton.
5. Kubah bebrbentuk setengah bola dengan fasilitas:
a. Kerangk polyhendra eks Jerman Barat
b. Konstruksi Beton bertulang garis tengah 45 meter
c. Ditunjang 12 Tiang kolom bergaris tengah 2,5 meter, dihubungkan denga beton ring berukuran 2,45 meter
d. Dipuncak Kubah dipasang lambang bulan Bintang terbuat dari stainlees steel tinggi tiang 17 meter,. Bergaris tengah 3 meter, berat seluruhya 2,5 ton.
e. Kubah kecil diatas gedung pendahuluan bergaris tengah 8 meter
f. Menara, letaknya disebelah timur dengan ketinggian 66,66 meter (melambangkan jumlah ayat alquran. Puncak menara dengan ketinggian 30 meter dan berat 28 ton terletak diatas tempat azan.

Bagian Gedung/Bangunan Masjid Istiqlal:
1. Gedung Induk/ Utama da Balkon bertingkat lima adalah tempat sholat
2. Gedung pendahuluan
3. Gedung penghubug
4. Teras raksasa di lantai dua, luasnya 19.800 m2.
5. Koridor di lantai dua
6. Lantai dasar tempat perkantoran, seluas 25.000 m2
7. Pintu gerbang masuk areal masjid Istiqlal, terdiri dari;

- Sebelah Selatan : 3 buah
- Sebelah Timur : 1 buah
- Sebelah Utara : 3 buah

Pintu Masuk masjid Istiqlal
- Sebelah barat: Pintu Al-malik (Pintu VIP) No 26
- Sebelah selatan: Pintu Ar-Rahman (no. 31), Pintu Ar Rozak (no. 14), Pintu Al Ghafar (no. 19)

Tangga masuk gerbang Utama
- Jumlah tangga menuju lantai utama sebanyak 11 buah, tiga diantaranya berukuran besar, berfungsi sebagai tangga utama.
- Tiga buah tagga berukuran besar berukuran lebar 15 m
- Delapan buah tangga berukuran lebar 3n
- Lift khusus penyandang cacat

Bangunan Penunjang Lainnya
1. Gedung tempat pemotongan hewan Qurban, sebelah Timur masjid seluas 144 m2
2. Gedung jaga satpam dan Wartel sebelah utara masjid seluas 50 m2.
3. Pos jaga satpam, disebelah Timur dan Selatan masjid

Sarana dan Prasarana masjid Istiqlal
Sarana penunjang kebersiahan
- Tempat wudlu ada 600 kran, dapat melayani 600 jamaah secara bersamaan
- Kamar mandi dan WC tertutup rapat sebanyak 52 Kamar terdiri atas; Emper Barat dekat menara 12 kamar, Emper Selatan 12 kamar, Emper Timur 28 Kamar
- Lokasi Urinoir ada dua tempat yang dapat menampung kurang lebih 80 Orang
- Sumur Artetis ada tiga buah untuk penyediaan air bersih, berkapasitas 600 liter permenit
- Air Pam untuk penyediaan air bersih, berkapasitas 0,117 m3 permenit atau perbulan berkapasitas5,065 M3.

Sarana penerangan
- Sarana penerangan listrik bekerjasama dengan PLN, dilengkapi 1 gardu berkapasitas 1.730 KVA. Untuk menagglangi pemadaman arus listrik dari PLN disediakan 3 buah generator: 2 buah berkekuatan 100 KVA, dan 1 buah berkekuatan 500 KVA.

1. Daya yang terpakai rata-rata 151,32 KVA = 151.320 Watt
2. AC central 330 unit dengan kapasitas 10.110 KVA
3. Lampu TL sebanyak 5.325 Unit = 213 KVA/213.000 Watt

Sarana Penunjang Kemanan
- Metal detektor untuk ceking benda terlarang di dalam badan dan juga barang bawaan.
- Miror detektor untuk ceking benda terlarang didalam mobil
- Security door khusus untuk ceking benda terlarang yang mungkin ada pada badan/ pakaian seseorang
- HT yang digunakan untuk komunikasi petugas satpam.
Daya Tampung Masjid

Untuk shalat berjamaah seluruhnya dapat menampung 200.000 jamaah dengan rincian;
- Gedung Induk/Utama : 61.000 jamaah
- Gedung Pendahuluan : 8.000 jamaah
- Teras raksasa : 50.000 jamaah
- Koridor dan tempat ainya : 81.000 jamaah

Daya tampung pelataran parkir, dapat menampung 800 kendaraan.
Perkantoran, Ruag sidang, Ruang tunggu, Ruang Pelaksana teknis lainnya menempati lantaidasar seluas 25.000 M2.

1. Kantor badan pelaksana pengelola Masjid Istiqlal (BPPMI)
2. Lembaga kegamaan yang berkantor di masjid istiqlal;

- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
- Dewan masjid Indonesia (DMI) pusat
- Dewan penseht pembinaan dan pelestarian perkawinan Pusat (BP4) Pusat
- Badan komunikasi pemuda remaja masjid Indonesia (BKPRMI)
- Lembaga pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) tingkat nasional
- Pusat perpustakan Islam Indonesia (PPII)
- Terjemah Alquran selama 40 jam
- Badan pembina Rohani islam (BABINROHIS)
- Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI)
- Ikatan persaudaraan Qori Qoriah hafiz hafizah Indonesia (IPQOH)
- Kantor tabloid jum’at
- Badan musyawarah Organisasi Islam wanita Indonesia (BMOIWI)
- Kantor Sekertariat majelis Ilmuan Muslim Muslimah sedunia Cabang Indonesia

1. Ruang sidang dan aula salah satunya berukuran 18 x 24 m
2. Ruang tunggu khusus VIP
3. Unit pelaksana teknis masjid Istiqlal

- Perpustakaan masjid Istiqlal
- Koperasi masjid Istiqlal
- Pramuka masjid Istiqlal
- Taman kanak-kanak masji Istiqlal
- Pengajian
- Poliklinik Masjid Istiqlal
- KBIH masjid Istiqlal
Bedug dan Kaligrafi

Bedug masjid Istiqlal terbear di Indonesia, dengan ukuran;

- Garis tengah depan 2 meter
- Garis tengah bgian belakang 1,71 meter
- Panjang 3 meter
- Berat 2.30 ton
- Jenis kayu meranti merah dari Kalimantan Timur

Kaligrafi di ruang utama
- Bagian depan ruang mama, sebelah kanan lafaz jalalah (Allah), di ruang surat Thaha ayat ayat 14, dan sebelah kiri lafaz
- Ditengah-tengah lingkaran kubah lafadz ayat Qursi dan Surat Al-Ikhlas

Sumber:
Direktori masjid Bersejarah
Departemen Agama RI
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembiaan Syari’ah
Jakarta tahun 2008
http://wisatasejarah.wordpress.com
Foto : http://masjidnet.files.wordpress.com

Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya

Oleh : Inajati Adrisijanti
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM

I. Latar belakang dan Permasalahan
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota kuno di Indonesia yang tetap hidup, bahkan makin hari makin berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakatnya maupun segi spasialnya. Pada waktu berdirinya, kota Yogyakarta berperan sebagai kota pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlangsung terus sampai 17 Agustus 1945. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah, pada waktu itu Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan, dan diikuti pernyataan Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyatukan diri dengan negara yang baru berdiri ini. Kemudian kota Yogyakarta sementara berganti status dari kota pusat pemerintahan kesultanan menjadi ibukota Republik Indonesia, dan pusat revolusi Indonesia. Setelah itu Yogyakarta menjadi ibukota propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dikenal luas sebagai kota pendidikan tinggi serta salah satu pusat kebudayaan Jawa. Sungguh suatu dinamika yang menarik.

Berbagai aspek yang menarik perhatian itulah yang menyebabkan banyak ahli yang membahas kota Yogyakarta dari sudut pandang keahlian masing-masing. Ada yang membahas dari sudut pandang sejarah, dari sudut pandang politik, ada yang mengupas arsitektur, ada yang mengupas aspek sosiologis, kehidupan seni, dan masih banyak yang lain. Kota Yogyakarta memang suatu kota yang mempunyai banyak aspek untuk dibahas dan dikupas. Maka dari itu, dalam kesempatan ini akan dicoba untuk mengupas potensi dan masalah yang muncul berkaitan dengan status kota Yogyakarta sebagai kawasan pusaka budaya.

Beberapa pengertian :
1. Kota adalah permukiman yang permanen, relatif padat, penduduknya heterogen, mempunyai bangunan-bangunan untuk mewadahi berbagai macam kegiatan penduduk (Kostof, 1991: 37-38). Kota juga mempunyai hubungan erat dengan daerah hinterland di sekitarnya.

2. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003: Kesepakatan)

3. Kawasan Cagar Budaya adalah kawasan yang melingkupi aglomerasi wilayah yang memiliki benda atau bangunan cagar budaya dan mempunyai karakeristik serta kesamaan latar belakang budaya dalam batas geografis yang ditentukan dengan deliniasi fisik dan non fisik (Perda Prov. DIY no. 11 tahun 2005 ps. 1 ayat 6)

4. Benda Cagar Budaya adalah:
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesauan atau kelompok, atau bagian-bagiannya aau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa potensi dan permasalahan di Kota Yogyakarta ?
2. Bagaimana mengangkat potensi dan mengatasi permasalahan yang ada?
3. Bagaimana sosialisasi tentang potensi dan permasalahan Kota Yogyakarta?

II. Gambaran Potensi dan Permasalahan
a. Dari hutan menjadi kota
Secara substansial Kraton Yogyakarta diakui keberadaannya sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 21 Jumadil Awal 1680 J = 13 Februari 1755 TU oleh Sunan Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi. Akibat langsung dari hal iu adalah pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi penguasa pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tidak lama kemudian Sri Sultan 3

memerintahkan untuk membangun kraton dengan berbagai macam sarana¬prasarana, untuk mewadahi aktivitas pemerintahan.

Kraton Yogyakarta dibangun di kawasan hutan Beringan, dan sementara itu sultan beserta kerabatnya tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang (Gamping). Setelah kraton selesai dibangun pada tanggal 13 Sura 1682 J = 7 Oktober 1756 TU Sultan pindah ke kraton ( Adrisijanti ed., 2003: 28). Pada perkembangan selanjutnya Sultan Hamengku Buwana I dan para penerusnya melakukan pengembangan¬pengembangan, baik fisik maupun lingkungan, sesuai dengan kebutuhan dan konteks jamannya.

Lingkungan binaan yang mereka perintahkan untuk dibuat difungsikan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas pemerintahan, baik berupa kegiatan politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun empat tinggal. Tampaknya lingkungan binaan itu keberadaannya selain memenuhi aspek fungsi juga didasari unsur estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius.

Sementara itu, orang-orang asing (Belanda, Cina) mulai datang dan bermukim di kota Yogyakarta. Demikian juga terjadi perubahan dalam hal politik, dengan pembagian wilayah antara Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Kedatangan orang-orang Belanda ke kota Yogyakarta makin banyak seiring dengan maraknya aktivitas perkebunan dan pabrik di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut juga mendorong dibuatnya sarana-prasarana baru pada masa itu.

b. Potensi
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota kuno di Indonesia yang sebenarnya secara spasial dapat dirunut tahap-tahap perkembangannya, mulai dari bagian yang paling kuno sampai yang muncul pada abad XX, atau bahkan abad XXI. Di sini dapat disaksikan kota yang lahir dengan direncanakan (cf. Elisseeff, 1980:91), mulai dari pemilihan lokasi sampai rencana tata ruang bagi komponen-komponennya, dari civic centersampai permukiman penduduknya.

Civic centerdalam hal ini berarti bagian dari kota yang secara spasial menjadi pusat bagi berbagai macam kegiatan masyarakat penghuninya (Kostof, 1992:80-81), di antaranya kegiatan politik, spiritual, ekonomi, pertahanan, dan rekreasi. Bertitik tolak dari teori Kostof ini maka civic center kota Yogyakarta kuno secara spasial adalah kawasan kraton dan sekitarnya sampai Kepatihan. Di dalam kawasan itu terdapat bermacam-macam bangunan dan pemukiman penduduk, yang menunjukkan beragam fungsi dan aspek kehidupan masyarakat penghuni Yogyakarta. Bangunan-bangunan dan pemukiman itu tampak ditata dalam suatu pola yang teratur dan unik.

Pola tersebut adalah: Alun-Alun Lor yang merupakan pusat kota dikelilingi oleh beberapa komponen lain, yakni: masjid agung di sebelah barat, kraton di sebelah selatan, pasar di sebelah utara. Di samping itu masih ada lagi Alun-Alun Kidul. Kawasan yang memuat keempat komponen itulah yang disebut civic center, artinya pusat kehidupan penduduk kota, karena keempat komponen itu adalah representasi aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan ekonomi. Pemukiman penduduk didistribusikan mengelilingi kawasan civic center. Biasanya kraton mempunyai pagar keliling tinggi atau benteng yang merupakan representasi aspek pertahanan-keamanan di kota bersangkutan. Ada kalanya benteng juga dibangun mengelilingi kawasan civic centeratau bahkan seluruh kawasan kota.

Pemukiman penduduk/perkampungan pada kota-kota kuno itu dapat dilacak keberadaannya dari toponim yang berarti nama tempat. Toponim itu sendiri masing¬masing mempunyai arti, misalnya di kota Yogyakarta antara lain ada: Pacinan berarti pemukiman orang-orang Cina, Sayidan berarti pemukiman orang Arab, Gerjen berarti pemukiman penjahit, Dagen berarti pemukiman tukang kayu, Siliran berarti pemukiman abdi dalem silir (= urusan lampu), Gamelan berarti pemukiman abdi dalem gamel (= pemelihara kuda), Mangkubumen berarti tempat tinggal Pangeran Mangkubumi, Wijilan berarti tempat tinggal Pangeran Wijil, Bugisan berarti pemukiman abdi dalem Prajurit Bugis.

Toponim-toponim di kota Yogyakarta menggambarkan keanekaan profesi, asal, dan lapisan masyarakat penduduk kota Yogyakarta pada masa lalu. Selain itu, dari keberadaan toponim-toponim tersebut dapat dilacak distribusi pemukiman di kota Yogyakarta. Menarik perhatian bahwa toponim-toponim di banyak kota, termasuk di kota Yogyakarta, masih terabadikan sampai saat ini.

Pada kota Yogyakarta kuno dapat dilihat tata letak komponen¬komponennya yang jika diurutkan dari utara terdapat susunan sebagai berikut. Di sisi utara jalan Malioboro terdapat kompleks Kepatihan, pasar Beringharjo, Alun¬Alun Lor, masjid agung, kraton dengan cepurinya, Taman Sari, Alun-Alun Kidul, tembok baluwarti, jaringan jalan, dan pemukiman penduduk termasuk abdii dalem Kemudian di dalam kawasan ini muncul "sisipan" berupa bangunan¬bangunan Belanda, yakni kantor dan kediaman residen Belanda (Gedung Agung sekarang), benteng Vredeburg, gereja Margamulya dan Kidul Loji, serta Loji Kecil. Tidak seberapa jauh dari civic center ini di utara berdiri Tugu Pal Putih, dan di selatan berdiri Gedhong Panggung / Panggung Krapyak.

Bangunan-bangunan tersebut, termasuk kraton, didirikan dalam waktu yang tidak bersamaan. Sebagai contoh: kraton dibangun pada 1682 AJ (= 1756 TU = Tarikh Umum), sementara Prabayeksa dan Sitinggil Ler baru dibangun pada tahun 1769 TU, Taman Sari mulai dikerjakan tahun 1770, dan Masjid Ageng diresmikan tahun 1773 TU (Ricklefs, 1974: 80,166). Adapun benteng Rustenburg kemudian dinamai Vredeburg selesai dibangun beberapa waktu sebelum tahun 1790 (Bruggen, 1998: 19), sedang kantor residen selesai dikerjakan tahun 1824 (Wahyuhono, 1997:2).

Jika diplot dalam peta kota Yogyakarta tampak bahwa komponen-komponen pada civic center itu ditata di sepanjang poros utara — selatan yang sudah banyak dikenal itu. Adapun pemukiman berada di sekeliling / di sekitar civic center. Hal ini tentu "tidak terjadi begitu saja". Ini pasti sengaja diatur menurut alur pikiran tertentu yang tersusun juga didasari oleh pengalaman-pengalaman tertentu.

Banyak di antara kita yang tidak menyadari mengapa bangunan-bangunan dan pemukiman tersebut berada di dalam tatanan seperti itu. Banyak yang menganggap bahwa itu takes for granted, sudah dengan sendirinya. Ada pula yang dengan mudah merunutnya ke kraton Majapahit (bandingkan: Sumadio, 1990: 234 — 235, catatan 237 — 239), padahal data arkeologi di lapangan mengarah kepada hal yang berbeda, karena keperluan hidup penduduk kota berbeda, dan dasar filosofinya juga berbeda. Di sisi lain, bukan mustahil bahwa terjadinya tata letak pada civic center kota Yogyakarta kuno melalui proses yang mungkin diperoleh melalui pengalaman sang pencetus ide, yaitu Sultan Hamengku Buwono I.

Pada waktu Kadipaten Pakualaman muncul, maka muncul juga suatu civic center lain, yakni kawasan Pakualaman. Civic center tersebut juga lengkap komponen-komponennya seperti di kawasan kesultanan, meskipun ukurannya lebih kecil. Di lingkup kawasan ini kemudian dirintis pemukiman untuk orang Belanda, yaitu Bintaran.

Ketika jumlah mereka yang bermukim di kota Yogyakarta membesar, maka pada awal abad XX dibuatlah area permukiman baru untuk orang Belanda yang dirancang secara cermat, berlandaskan konsep-konsep perancangan arsitektur modern. Area tersebut dinamai Nieuwe Wijk yang setelah kemerdekaan disebut Kota Baru.

Dalam struktur kota Yogyakarta lama diketahui adanya pepohonan di banyak tempat, misalnya di kawasan seputar kraton, Taman Sari, Kota Baru. Ada pepohonan yang ditanam dengan landasan konsep filosofis tertentu, misalnya pohon beringin kembar yang ditanam di tengah Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul, serta 63 pohon beringin yang ditanam di sekeliling Alun-Alun Lor. Ada pula pohon yang ditanam untuk keperluan konsumsi tertentu, misalnya pohon buah-buahan dan rempah¬rempah yang dahulu ditanam di kompleks Pesanggrahan Taman Sari, atau pohon kepel di lingkungan kraton. Ada pula pohon yang tampaknya ditanam untuk memenuhi kebutuhan estetika dan lingkungan (sebagai peneduh), seperti pohon nagasari dan gayam yang ditanam sepanjang beberapa jalan tertentu. Ada pula peneneman pohon yang dilandasi oleh gabungan beberapa aspek tersebut di depan (Adrisijanti, 2002:12).

Pada waktu kekuasaan Belanda masuk ke dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Yogyakarta, mereka juga melakukan pepohonan, baik di halaman rumah maupun di ruang-ruang publik. Sebagai contoh adalah: rumah residen (sekarang Gedung Agung) yang di halamannya tampak deretan pepohonan besar dan rindang, halaman rumah-rumah di Kotabaru sampai beberapa waktu lalu, boulevard- boulevard di Kotabaru.

Keberadaan pepohonan di kota Yogyakarta juga dapat dirunut dari beberapa data. Pertama, toponim di kota Yogyakarta yang menunjukkan jenis-jenis pohon, seperti Gayam, Jambu, Nagasari, Cemarajajar, Ngasem, dan Sawojajar. Kedua, tembang yang menggambarkan keadaan kota Yogyakarta jaman dulu, di antaranya: bentengnya tinggi, jagangnya dalam dan airnya jernih, jalan dengan deretan pohon gayam dan nagasari. Ketiga, berita yang ditulis orang-orang asing yang mengunjungi Yogyakarta pada waktu lalu. Keempat, foto-foto lama yang menggambarkan keadaan kota Yogyakarta pra-PD II sampai tahun 1960-an

c. Masalah
Kota Yogyakarta adalah kota yang hidup, terus berkembang, dan semarak sejak lahirnya sampai saat ini. Ditinjau dari segi kewilayahan, kota Yogyakarta juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari wilayah kota Yogyakarta lama yang diapit oleh Sungai Code dan Sungai Winanga, di antara Tugu Pal Putih dan Gedhong Panggung, melebar secara radial a.l. ke timur Sungai Code, ke utara Tugu Pal Putih, dan ke barat ke arah sungai Winanga.

Akan tetapi, civic center tetap berada di seputar civic center lama, meskipun kemudian muncul beberapa civic center baru. Bangunan-bangunan di areal-areal permukiman lama banyak yang diminati untuk dipindahtangankan, kemudian dilakukan perubahan fungsi, serta perubahan bentuk. Pernah pula muncul keinginan untuk mengubah peruntukan suatu areal tertentu. Kejadian-kejadian tersebut tidak lepas dari nilai-nilai ekonomi, serta prestise.

Di sisi lain, penduduk kota Yogyakarta mengalami pertambahan jumlah daari masa ke masa. Pertambahan jumlah penduduk membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti: pertambahan sarana-prasarana, pertambahan limbah. Di samping itu, perkembangan zaman juga membawa implikasi lain seperti : perubahan jenis kendaraan, pergeseran tradisi, perkembangan kebutuhan penduduk kota.

Hal-hal tersebut di atas memicu terjadinya ancaman-ancaman, perusakan¬perusakan baik disengaja maupun karena ketidaktahuan. Tentu saja harus difahami pula bahwa banyak bangunan lama di kota Yogyakarta yang sudah mengalami keausan karena factor umur. Hal ini juga mengakibatkan kerusakan, atau keinginan untuk "merusak".

III. Diskusi
Di dalam uraian di atas diharapkan dapat difahami bahwa tinggalan-tinggalan yang berupa hasil budaya bendawi dapat dipakai untuk melacak jejak-jejak sejarah, dan menggali pikiran atau konsep yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini perunutan asal tata letak civic center kotaYogyakarta dilakukan dengan memakai tinggalan-tinggalan yang disebutkan di atas sebagai clue yang penting nilainya. Namun, di sisi lain banyak tinggalan arkeologis yang rusak atau dirusak, karena orang tidak memahami maknanya, atau orang tidak peduli lagi, atau bahkan orang memandangnya sebagai barang kuno yang secara ekonomis tidak ada harganya.

Ditilik dari sudut pengertian-pengertian, latar belakang, dan potensinya, maka jelas bahwa kota Yogyakarta adalah salah satu kawasan besar pusaka budaya di Indonesia. Di sisi lain juga kelihatan adanya sejumlah ancaman dan kerusakan yang terjadi pada kota Yogyakarta sebagai kawasan pusaka budaya.

Di sisi lain nilai penting tinggalan-tinggalan itu sudah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan, sehingga harus dilindungi. Sebenarnya, di wilayah Republik Indonesia dan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah diundangkan peraturan perundangan untuk melindungi pusaka-pusaka budaya. Peraturan perundangan tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakartano. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya. Upaya-upaya untuk sosialisasi peraturan perundangan, dan penerapannya di dalam kehidupan bermasyarakat juga sudah dilakukan.

Demikian pula, kajian-kajian tentang berbagai aspek kota Yogyakarta, khususnya yang berhubungan dengan statusnya sebagai kawasan pusaka budaya sudah dilakukan. Namun, rasanya sosialisasi masih perlu lebih diintensifkan dan diperluas jangkauannya, serta dilakukan dengan bersinergi antar berbagai kalangan. Misalnya dengan membuat versi populer baik dalam bentuk cetak atau elektronik kajian-kajian yang pernah dilakukan, melakukan lawatan-lawatan sejarah pada siswa-siswa sekolah dan para guru, dll. Sebab sangat diharapkan bahwa tinggalan¬tinggalan kota kuno yang masih relatif utuh di Yogyakarta dipelihara dan dijaga supaya kita tidak kehilangan jejak-jejak sejarah yang berharga. Kelonggaran yang diperoleh dalam memanfaatkannya jangan disalah gunakan. Ini untuk kepentingan kita semua dan generasi-generasi mendatang.

Daftar Pustaka
Adrisijanti, Inajati, t.th., Arkeologi Perkotaan Mataram -Islam, Yogyakarta: Jendela

------, 2002, "Kota Yogyakarta dan Pepohonannya", dalam Jogja di Mataku, Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, hlm.11- 16

----- (ed.), 2003, Mosaik Pusaka BudayaYogyakarta, Yogyakarta: Balai Pelestarian Purbakala Yogyakarta

Bruggen, M.P. et.al., 1998, Djokja en Solo. Beeldvan de Vorstensteden, Purmerend: Asia Maior

Elisseeff, Nikita, 1980, "Physical Lay-out", dalam The Islamic City, Paris: UNESCO,90-103

Kostof, Spiro, 1992, The CityAssembled, London : Thames and Hudson

Ric klefs, M. C., 1974, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749 —1792. A History ofthe Division ofJava, London: Oxford University Pess

Sumadio, Bambang (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta:Balai Pustaka

Sumber :
Makalah disajikan dalam Diskusi Sejarah "Kota dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Sejarah", diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 11 -12 April 2007.

Pantai Nambo


Wilayah Kota Kendari sekaligus sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, letak Kota Kendari di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia, di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Kendari, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Sampara. Wilayah Kota Kendari terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah daratannya sebagian besar terdapat di daratan Pulau Sulawesi mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat satu pulau yaitu Pulau Bungkutoko.

Luas wilayahnya mencapai 295,89 km2 atau 0,70 persen dari luas daratan Sulawesi Tenggara. Kota Kendari diresmikan sebagai kota dengan UU RI No. 6 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995. Secara administratif, Kota ini terdiri dari 6 kecamatan dengan populasi 226.056 jiwa pada tahun 2005.

Jenis tanaman bahan makanan yang diusahakan di Kendari terdiri dari padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau. Jenis tanaman buah-buahan terdiri dari mangga, rambutan, duku, jeruk, jambu air, durian, pepaya, pisang, nenas, salak, nangka, serikaya, sawo, kedondong, belimbing, sukun, jambu biji, petai, dan melinjo. Jenis tanaman perkebunan rakyat terdiri dari kelapa, kopi, kapuk, lada, cengkeh, jambu mete, kemiri, cokelat, enau, kelapa hybrida, asam jawa, pinang, jahe. Dari tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan itu yang sedang dikembangkan karena produksinya sangat potensi untuk ekspor baru; kelapa, kopi, kapuk, lada, cengkeh, jambu mete, kemiri, cokelat, kelapa, asam jawa dan pinang.

Di sektor pariwisata, potensi yang dimiliki kota ini antara lain Teluk Kendari yang terletak di pusat kota lama Kendari dan memiliki panorama pantai yang indah dan unik. Teluk ini membentang melingkar dengan bibir pantai yang menghijau oleh pepohonan, sunset di sore yang cerah dan jajanan khas Kota Kendari disepanjang tepi jalan yang berbatasan dengan teluk serta pemandangan aneka warna kapal nelayan. Ada juga Pantai Nambo, sebuah pantai indah yang jaraknya 12 km dari Kota Kendari, dan masih banyak lagi potensi wisata bahari dan budaya yang dimiliki.

Pantai Nambo adalah sebuah pantai indah yang jaraknya ± 12 km dari Kota Kendari atau sekitar 15 menit kearah selatan Kota Kendari dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dan dapat pula menggunakan perahu tradisional ketinting (kole-kole) sekitar 15 menit dari pelabuhan Kota Kendari menyusuri teluk Kendari.

Pantai ini diminati banyak pengunjung karena letaknya yang relatif dekat. Pantai Nambo memiliki pasir putih yang landai suasana yang tenang, udara yang sejuk dan panorama yang menakjubkan sehingga tempat ini selalu merupakan pilihan masyarakat Kota Kendari untuk melepas kejenuhan dan rutinitas sehari-hari pada akhir pekan, ditempat ini telah disediakan tempat parkir, gazebo, tempat bilas mandi dan pedagang tradisional yang menawarkan berbagai jenis dagangannya.

Pantai Nambo sebagai obyek wisata andalan Pemerintah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Pantai Nambo mudah dijangkau, baik oleh wisatawan lokal maupun dari luar daerah.

Pantai Nambo selalu dipenuhi wisatawan, baik lokal maupun luar daerah terutama pada hari libur yakni Sabtu dan Minggu. "Lokasi Pantai Nambo juga sering dimanfaatkan warga Kendari untuk rekreasi keluarga karena lokasinya mudah dijangkau sekitar tujuh kilomter dari pusat Kota Kendari, dan udaranya yang sejuk serta lokasinya selalu terjaga kebersihannya.

Pantai Nambo dilengkapi dengan 31 unit gazebo, dua unit ruang bilas, satu villa, rumah anti gempa dan tempat parkir kendaraan yang luas.

Pemerintah Kota Kendari terus mengupayakan melakukan pembenahan terhadap obyek wisata tersebut, di lokasi wisata Pantai Nambo saat ini tengah dilakukan menyediakan sarana dan prasarana seperti tempat peristirahatan untuk pengunjung dan wisatawan yang datang. Agar pengunjung dapat menikmati keindahan Pantai Nambo dengan tenang dan tentram dan lokasi wisata terus dipelihara agar tetap bersih dari kotoran.

"Harga karcis masuk Rp 2500 per orang. Khusus bagi kendaraan yang diizinkan masuk parkir dalam area pantai, dikenakan biaya parkir sebesar Rp 5 ribu untuk roda dua dan Rp 10 ribu untuk roda empat.(dd)

Sumber :
http://www.indonesia.go.id
http://www.kompas.com
http://www.swaberita.com
http://www.koranindonesia.com
http://www.cps-sss.org
Foto : http://www.indonesia.go.id

Obyek Wisata Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara


Kabupaten Mandailing Natal memiliki objek wisata berupa keindahan alam dan peninggalan sejarah. Daerah ini memiliki hutan yakni Taman Nasional Batang Gadis 108.000 hektar (26 % dari luas hutan), dengan kisaran ketinggian 300 – 2.145 meter diatas pemukaan laut.

Taman ini memiliki 242 tumbuhan berpembuluh (vascular plaut) atau 1,00 % dari tanaman pembuluh di Indonesia, memiliki 218 jenis satwa burung (38 jenis langka), dan 25 jenis mamalia besar.

Objek peninggalan sejarah berupa Bagas Godang (Istana Raja), Terowongan Jepang, Meriam Portugis dan Sumur Multatuli, merupakan potensi wisata yang cukup baik.

Objek wisata yang masih alami tetapi telah banyak dikunjungi para wisatawan adalah :

1. Air Panas Sibanggor, di Kecamatan Tambangan
2. Air Panas Sampuraga, di Kecamatan Panyabungan
3. Air Panas Siabu, di Kecamatan Siabu
4. Danau Siombun, di Kecamatan Panyabungan
5. Danau Marambe, di Kecamatan Panyabungan Barat
6. Bendungan Batang Gadis, di Kecamatan Panyabungan
7. Atraksi Monyet, di Kecamatan Siabu
8. Air Panas Putusan, di Kecamatan Panyabungan Selatan
9. Air Terjun Sitaut, di Kecamatan Kotanopan
10. Panaroma Sopotinjak, di Kecamatan Batang Natal
11. Sumur Multatuli, di Kecamatan Natal
12. Pantai Natal, di Kecamatan Natal
13. Pantai Sikara-Kara, di Kecamatan Natal

Cerita Rakyat
Sampuraga
Salah satu cerita yang diwariskan secara turun temurun di Mandailing adalah cerita ataupun “Legenda Sampuraga”.

Dahulu, Sampuraga dan ibunya tinggal di tempat daerah Padang Bolak. Keadaan sangat miskin di tempat ini, sehingga menyebabkan Sampuraga berkeinginan untuk merubah kehidupannya. Dia tidak ingin pekerjaannya hanya mencari kayu bakar setiap harinya. Ia ingin menjadi pemuda yang membayangkan masa depan yang cerah. Kemudian ia berniat untuk merantau dan mohon izin pada ibunya yang sudah sangat tua. Sampuraga meninggalkan orang tuanya dengan linangan air mata. Dia berjanji akan membantu keadaan ibunya apabila telah berhasil kelak. Ibunya kelihatan begitu sedih, karena Sampuraga adalah putera satu-satunya yang dimilikinya. Ia melepas kepergian putranya dengan tetesan air mata.

Sampuraga terus melanjutkan petualangannya dengan kelelahan yang terus menerus. Setelah beberapa lama sampailah ia ke Pidelhi (Pidolo sekarang), dan berdiam disana untuk beberapa waktu. Kemudian dilanjutkannya perjalanannya ke Desa Sirambas. Pada waktu itu Sirambas dipimpin oleh seorang raja yang bernama Silanjang (Kerajaan Silancang). Ditempat ini Sampuraga bekerja keras yang merupakan kebiasannya sejak masa kanak-kanak. Rajapun tertarik dan ingin menjodohkannya pada putrinya. Tentu saja Sampuraga sangat senang setelah mengetahui hal ini. Raja bermaksud membuat pesta besar, semua raja-raja di sekitar Mandailing diundang. Sementara ibunya sangat rindu pada putranya. Sampuraga telah tumbuh menjadi dewasa dengan begitu banyak perubahan. Dia tidak lagi seorang yang miskin seperti dahulu. Dia adalah lelaki yang kaya raya dan menjadi seorang raja.

Ketika upacara perkawinan tiba, ibunya dating ke pesta itu berharap dapat berjumpa denganputranya secepatnya. Tetapi apa yang terjadi ??? Sampuraga tidak mengakui kalau itu adalah ibunya. Dia malu kepada istrinya karena ibunya kelihatan sangat tua renta dan miskin, dia menyuruh ibunya untuk pergi dari tempat itu.

Sampuraga berkata “Hei orang tua, kamu bukan ibu kandungku, ibuku telah lama meninggal dunia. Pergi…!!!” Sampuraga tidak peduli dengan kesedihan dan penderitaan ibunya.

Ibunya pun pergi sambil memohon dan berdo’a kepada Allah SWT, Sampuraga dikutuk oleh ibunya dan kedurhakaannya tidak lain adalah disebabkan oleh kekayannya, ibunya memeras air susunya, Sampuraga lupa bahwa ia pernah disusui oleh ibunya.

Atas kehendak Allah SWT, datanglah badai tiba-tiba disekitar tempat istana menjadi banjir dan dihempas oleh air. Sampuraga tenggelam dan tempat itu menjadi Sumur Air Panas. Itulah yang dikenal dengan Air Panas Sampuraga di Desa Sirambas.

Wisata Sejarah
Multatuli
Multatuli (Bahasa Latin untuk “Saya sungguh menderita”) adalah salah satu nama yang terkenal di Natal. Multatuli adalah nama samaran untuk Eduard Douwes Dekker yang menulis buku “Max Havelaar”.

Buku ini disebut sebagai “buku yang menghapuskan kolonialisme”. Multatuli tinggal di Natal pada tahun 1842-1844. Disini da-pat dilihat bebe-rapa peningga-lan Multatuli se-perti sebuah sumur besar yang duhulunya digunakan oleh Multatuli pada saat dia tinggal di Natal.

Pesanggrahan Kotanopan
Pesanggrahan Kotanopan, pesanggrahan terbesar dan terbagus di Sumatera pada abad XIX. Bahkan Presiden Soekarno pun pernah berkunjung ke pesanggrahan ini pada 16 Juni 1948 untuk menggelar rapat raksasa. Di depan pesanggrahan ini juga terdapat prasasti yang memuat nama para Perintis Kemerdekaan yang berasal dari Mandailing.

Rumah Kontrolir Natal pada Abad XIX
Perayaan 10 Muharram memperingati hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW. Hasan dan Husin di halaman kediaman Kontrolir Natal, Asisten Residensi Mandailing Angkola di Natal pada abad XIX.

Bagas Godang dan Sopo Godang
Bagas Godang (Rumah Raja) senantiasa dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak di hadapan atau di samping Rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagai-mana jumlah anak tangganya. Untuk melambangkan bahwa pemerintahan dalam Huta adalah pemerintahan yang demokratis, maka Sopo Godang dibangun tanpa di dinding.

Dengan cara ini, semua sidang adat dan pemerintahan dapat dengan langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat Huta. Sopo Godang tersebut dipergunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras sebagai wakil rakyat untuk "tempat mengambil keputusan-keputusan penting dan tempat menerima tamu-tamu terhormat". Sesuai dengan itu, maka bangunan adat tersebut diagungkan dengan nama Sopo Sio Rancang Magodang inganan ni partahian paradatan parosu-rosuan ni hula dohot dongan (Balai Sidang Agung tempat bermusyawarah/mufakat, melakukan sidang adat dan tempat menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat). Biasanya di dalam bangunan ini ditempatkan Gordang Sambilan yaitu alat musik tradisional Mandailing yang dahulu dianggap sakral.

Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh kerana itulah maka kedua bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman Bagas Godang dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang). Sesiapa yang mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat keselamatan dalam halaman ini. Menurut adat Mandailing, pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman ini, ia dilindungi Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat.

Sesuai dengan fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang, kedua bangunan adat tersebut melambangkan keagungan masyarakat Huta sebagai suatu masyarakat yang diakui sah kemandiriannya dalam menjalankan pemerintahan dan adat dalam masyarakat Mandailing.

Karena itu, kedua bangunan ter-sebut dimuliakan da-lam kehidupan mas-yarakat. Adat-istiadat Mandailing menjadi-kan kedua bangunan adat tersebut sebagai milik masyarakat Huta tanpa mengu-rangi kemulian Raja dan keluarganya yang berhak penuh menem-pati Bagas Godang. Oleh kerana itu, pada masa lampau Bagas Godang dan Sopo Godang maupun Alaman Bolak Silangse Utang dengan sengaja tidak berpagar atau bertembok memisahkannya dari rumah-rumah penduduk Huta.

Lubuk Larangan
Di sepanjang Sungai Batang Gadis ada sebuah bagian yang disebut Lubuk Larangan yang panjangnya kira-kira 1 km. Biasanya dua kali dalam setahun terbuka bagi umum untuk menangkap ikan namun dalam bantuk yang terorganisir. Pada waktu lain dilarang keras untuk menangkap ikan disini. Seseorang yang ingin ikut ambil bagian dalam menangkap ikan harus mendaftarkan dirinya kepada sekretariat dan harus membayar uang pendaftaran. Uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan umum dalam komunitas masyarakat tersebut.

Gagasan dibalik lubuk larangan ini adalah untuk menghasilkan pendapatan untuk desa dan pelestarian ikan-ikan langka seperti ikan merah (sejenis jurung).

Wisata Alam
Sopotinjak
Di Kecamatan Batang Natal terdapat sebuah puncak yang bernama Sopotinjak. Pemandangannya sangat indah. Dari puncak bukit ini kita dapat memandang pemandangan alam Mandailing Natal yang dikelilingi oleh hutan tropis. Udaranya sangat segar dan sejuk. Anda dapat menikmati segelas bandrek untuk menghangatkan tubuh.

Bendungan Batang Gadis
Taman Rekreasi Bendung Batang Gadis dinyatakan sebagai salah satu jembatan besar di Indonesia. Terletak di desa Aek Godang. Bendungan ini dibangun sbelum trbentukanya Kabupaten Mandailing Natal. Pada waktu itu danau buatan ini masih termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Bendung Batang Gadis memberikan banyak manfaat. Bendungan ini digunakan untuk pengairan sawah di Kabupaten Mandailing Natal. Belakangan ini kawasannya sudah ditata indah. Lokasinya yang luas dan strategis menarik pengunjung karena mereka dapat menikmati keindahan alam Mandailing Natal. Banyak yang berkunjung pada saat Idul Fitri.

Gunung Sorik Merapi
Gunung berapi Sorik Marapi terletak pada ketinggian 2.142 m di atas permukaan laut. Hutan di sekeliling gunung ini masih dalam kondisi yang baik dan penuh dengan berbagai keanekaragaman hayati dan menjadi asset terbesar untuk pengembangan Taman Nasional batang Gadis. Kegiatan trekking akhir-akhir ini sudah mulai sering dilakukan untuk penelitian kekayaan alam Mandailing Natal. Ada beberapa trek menuju puncak Sorik Marapi ini. Untuk mencapai ke puncak Sorik Marapi ini dibutuhkan waktu rata-rata 3 jam.

Danau Marambe
Danau Marambe terletak di Desa Sirambas, Kecamatan Panyabungan Barat. Danau ini sangat indah, hijau dan asri dengan luas genangan ± 20 hektar.

Danau ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang membuat alamnya sejuk dan menyenangkan. Danau ini dimanfaatkan juga sebagai tempat pemancingan dan membuat pengunjung lebih tertarik berkunjung ke tempat ini terutama bagi yang mempunyai hobby memancing.

Air Panas Sibanggor
Sibanggor merupakan sebuah tempat yang menyenangkan yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi. Sibanggor terdiri atas tiga desa : Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Seluruh daerah Sibanggor penuh dengan air panas kecil. Lokasi yang paling nyaman terletak di pinggir jalan antara Sibanggor Tonga dan Jae.

Air panas disini mangandung belerang. Ba-nyak pengun-jung dari dae-rah lain da-tang khusus untuk mengobati berbagai jenis penyakit kulit. Di lokasi ini juga terdapat beberapa kamar mandi dimana pengunjung dapat menikmati kehangatan air belerang dan juga ada beberapa tempat khusus untuk merebus telur. Disamping itu, disini juga dapat menikmati pemandangan dan rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional.

Danau Siombun
Danau ini sangat bersih. Air yang mengalir keluar dari danau kecil ini digunakan masyarakat lokal untuk mandi. Air danau ini juga digunakan sebagai persediaan air untuk Panyabungan. Menurut masyarakat setempat,dahulu kala ada seorang anak yang meminta air pada ibunya. Tapi ibunya tidak memberikannya air sehingga dia menjadi marah dan membuang air yang ada disana. Sebuah sumur muncul tiba-tiba dan makin membesar yang akhirnya membentuk Danau Siombun.

Air Panas Siabu
Air Panas ini terletak di desa Siabu ±100 meter dari Kantor Camat Siabu. Objek wisata ini banyak dikunjungi masyarakat pada saat hari libur. Temperaturnya tidak begitu panas bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Kab. Mandailing Natal. Air panas ini juga tidak mengandung belerang.

Pantai Sikara-kara dan Pulau Unggeh
Pantai Sikara-Kara dan Pulau Unggeh terletak di Kecamatan Natal. Jaraknya ± 6 km dari Kota Natal. Seperti halnya Pantai Natal, Pantai Sikara-Kara juga belum dikelola secara optimal. Di tengah pantai ini terdapat Pulau Unggeh yang berarti unggas. Disebut Pulau Unggeh karena di pulau ini terdapat banyak jenis unggas atau burung di pulau ini. Pantai ini sangat indah dengan hamparan pasir putihnya, terlebih-lebih pada saat matahari terbenam.

Pantai Natal
Salah satu karunia terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada masyarakat Mandailing Natal adalah kawasan pantai yang cukup panjang kira-kira 170 mil. Pantai Natal termasuk sumber daya alam yang banyak sekali manfaatnya. Pantai ini terletak di Kecamatan Natal. Pantai ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari yang tidak kalah menariknya dengan kawasan wisata bahari di daerah lain

Sumber : http://www.madina.go.id
Foto : http://www.mandailing.org