Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Calung

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

Calung Jingjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
Sumber Rujukan

* Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
* wikipedia.org

Sumber : http://www.kasundaan.org

Calung Sebagai Simbol Budaya Lokal Masyarakat Banyumas

Calung atau sering juga disebut dengan istilah gamelan Calung adalah nama dari seperangkat alat musik tradisional yang ada di sebaran budaya masyarakat Banyumas. Gamelan Calung yang ada di daerah Banyumas memiliki sistem pelarasan yang relatif sama dengan sistem pelarasan gamelan yang ada di wilayah-wilayah sekitarnya seperti Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro.

lazim difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan gamelan Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping kedudukan gamelan Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian pertunjukan kesenian rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu bentuk kekuatan spirit musikal yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai daya ungkap seniman Banyumas, karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas dan unik jika dibandingkan dengan jenis kesenian manapun.

Melalui proses perjalanan yang cukup panjang kesenian lengger-calung telah mampu menempatkan posisinya yang terdepan dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di karesidenan Banyumas. Hal yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung bagi masyarakat Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual seperti syukuran (nadar), sedekah bumi dan sedekah laut.

Melihat betapa kompleksnya fungsi dan peran Calung pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka beban profesi seniman Lengger Calungpun menjadi sangat berat. Apalagi jika harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada kejayaan di masa lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang selalu berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor zaman adalah bentuk dan garap.

Perubahan garap calung apabila dilihat secara historis dalam konteks budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi zamannya. Arah perubahan garap yang kurang ditangani secara serius dan profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal bagi kehidupan kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa yang akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya, karena garap adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman terhadap nilai-nilai estetik yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang semakin dinamis.

Kerangka kehidupan kesenian yang dinamis tersebut mempunyai konsekuensi dan jelas merupakan faktor perubahan secara konseptual maupun ujud penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan jaman yang berorentasi pada selera pasar. Peristiwa yang terjadi setiap kurun waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan garap secara musikal maupun bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger mengarah pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan dengan gamelan Calung, melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu “pop” (dangdut) yang bernuansa kekinian. Masuknya alat musik seperti gitar, seruling, keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam sajian lengger-calung yang telah terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya eksistensi musik calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini adalah fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten yang ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an.

Menurut Kasbi (seniman/pimpinan lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian lagu-lagu “pop” (musik campursari) adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai faktor mendangkalnya garap gamelan Calung, karena Calung sudah tidak lagi dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan telah diperlakukan sebagai barang mati seperti balung ( tulang). Dalam kenyataannya calung hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam sajian lagu-lagu campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap yang disajikan hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com

Arti dan Fungsi Upacara Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi

Berlangsungnya suatu sistem akan sangat bergantung pada kemampuan unsur-unsurnya dalam memenuhi fungsinya masing¬-masing, karena kesatuan fungsional unsur-unsur inilah yang membentuk bangun suatu sistem. Apabila salah satu unsurnya terganggu dan tidak berfungsi lagi, maka bangun sistem itu pun secara keseluruhan akan mengalami gangguan. Demikian pula halnya dengan kebudayaan. Keberadaan dan kelangsungan suatu kebudayaan akan sangat bergantung pada kemampuan fungsional dan eksistensial dari unsur-unsurnya.

Bila kita merujuk pada konsep unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang mengemukakan 7 unsur kebudayaan yang universal (cultural universal), di mana sistem kepercayaan merupakan salah satu dari ketujuh unsur tersebut, maka persoalan mengenai upacara-upacara daur hidup merupakan bagian dari sistem kepercayaan. Namun demikian, aktifitas upacara daur hidup ini pun tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial, bahasa, kesenian, sistem hukum dan unsur-unsur budaya lainnya, karena semua unsur-unsur ini terdapat aktifitas upacara-upacara tradisional, khususnya upacara daur hidup. Dalam kenyataannya, memang di antara ketujuh unsur kebudayaan itu berada dalam suatu hubungan fungsional dari eksistensial, di mana unsur budaya yang satu tidak dapat.di paskan dari unsur budaya lainnya; dan keberadaan salah satu unsur melengkapi keberadaan unsur budaya lainnya. Ini adalah salah satu teori yang dapat menjadi landasan dalam menganali¬sis masalah kebudayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara¬-upacara daur hidup.

Dalam pada itu, wujud suatu kebudayaan pun dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai tata¬kelakuan atau sistem ide. Dalam hal ini, kebudayaan dapat dilihat sebagai kompleks norma dan nilai-nilai yang mengatur dan me¬latarbelakangi serta menjadi pedoman bagi setiap pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam mewujudkan tindakan¬nya. Dalam wujud ini, kebudayaan merupakan sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat dilihat melalui gejala-gejala yang nampak.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku manusia. Kebudayaan dalam wujud ini dapat dilihat sebagai kompleks dan pola-pola aktivitas yang merupakan manifestasi dari kompleks nilai yang berada di balik perilaku. Perilaku di sini merupakan gejala-gejala yang dapat diamati dan dapat di¬observasi melalui pengamatan terhadap berbagai bentuk akti¬fitas, seperti aktifitas upacara, kesenian, pola-pola interaksi, dan sebagainya.

Ketiga, wujud kebudayaan materi (material culture). Dalam • wujud ini kebudayaan nampak sebagai benda-benda budaya, karya-karya seni, bangunan/arsitektur, dan sebagainya. Ketiga wujud kebudayaan ini berada dalam suatu pola hubungan siber¬netik, di mana unsur bagian bawah membangun unsur bagian alas, yang secara keseluruhan menampakkan bangunan suatu ke¬budayaan.

Teori ini pun dapat dijadikan landasan menganalisis kebu¬dayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara-upacara tradi¬sional. Dengan bertolak pada kedua teori inilah, upacara-upa¬cara data hidup pada masyarakat Betawi dianalisis dan diungkap¬kan nilai nilai hudayanya.

Pandangan Orang Betawi mengenai Upacara Daur Hidup
Bahwa setiap kebudayaan memiliki persepsi tersendiri ter¬hadap masalah masa-masa krisis dalam kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan masyarakat Betawi. Mereka mempercayai bahwa ada tahap-tahap tertentu dalam perjalanan hidup manusia yang dipandang sebagai masa kritis. Pada saat-saat demi¬kian, individu yang bersangkutan dipandang sangat riskan, dan ia berada dalam masa transisi dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya, sehingga diperlukan aktifitas-aktifitas atau upacara¬-upacara tertentu untuk menangkal dan menghindari kemungkin¬an gangguan yang akan datang pada individu yang bersangkutan. Aktifitas-aktifitas ini dimanifestasikan dalam bentuk upacara daur hidup. Di antara masa kritis yang dipandang penting oleh orang Betawi untuk diantisipasi adalah masa bayi di dalam kan¬dungan, khususnya pada usia kehamilan tujuh bulan, masa kanak-¬kanak, dan masa memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Masa-masa kritis ini selalu diperingati dengan penyelenggaraan upacara, yang tujuannya bukan saja untuk mengantisipasi terhadap bahaya atau kemungkinan gangguan yang akan mengenai individu yang bersangkutan, melainkan juga sebagai ungkapan rasa ber¬syukur dari individu maupun pihak keluarganya, karena ia telah selamat melampaui tahap hidup yang telah dilaluinya.

Sesungguhnya, banyak makna dan arti dan penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang biasa dilaksanakan oleh orang Betawi, yang kaitannya erat dengan jenis upacara itu sendiri, dan dengan masa-masa kritis yang dipandang penting oleh masya¬rakat Betawi.

Beberapa jenis upacara daur hidup yang dipandang penting oleh orang Betawi, seperti upacara kehamilan, upacara Khatam Al Quran, upacara khitanan, dan upacara perkawinan. Upacara-upacara ini dipandang penting dalam siklus hidup orang Betawi. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dan pelaksanaan upacara-upacara ter¬sebut, berupa uraian analitis.

1. Upacara Nujuh Bulanin
Masa kehamilan adalah suatu masa yang dipandang sangat penting dan sangat berharga dalam kehidupan rumah tangga orang Betawi. Khususnya kehamilan anak pertama, adalah sangat diharapkan oleh setiap ibu rumah tangga orang Betawi, karena dengan mengandung bayi menunjukkan bahwa ia telah dapat memenuhi fungsinya sebagai seorang istri. Oleh sebab itu, masa ke¬hamilan ini disambut dengan penuh kegembiraan, baik oleh si istri maupun oleh suaminya, dan bahkan oleh orang tua suami istri tersebut.
Akan tetapi, di balik kegembiraan itu, terbersit pula sebercik kekhawatiran dan suami istri tersebut akan bayi yang tengah dikandungnya itu. Kekhawatiran ini pada dasamya timbul karena mereka mempunyai harapan-harapan atas anak yang akan dilahir¬kannya, dan mereka merasa khawatir kalau harapannya ini tidak terwujudkan kelak. Oleh sebab itu, masa kehamilan ini dipandang sebagai saat kritis yang akan menentukan jalan hidup si bayi kelak di kemudian hari. Oleh sebab itu pada masa kehamilan ini biasa ditandai dengan penyelenggaraan upacara-upacara tradisional.

Upacara "Nujuh bulanin" misalnya, dipandang sangat penting, karena pada usia kehamilan demikian, bayi yang tengah dikan¬dung, badannya telah berbentuk dan telah diberi roh oleh Tuhan. Dengan kata lain, pada usia demikian, si bayi sudah berada dalam keadaan sempurna. Akan tetapi, masa itu pun dianggap kritis, karena usia bayi masih terlalu muda dan dipandang sangat riskan dan mudah terkena gangguan, dan masa itu pun dipandang sebagai masa-masa pembentukan dasar-dasar watak. Oleh sebab itu, dalam upacara "Nujuh bulanin", dukun beranak, yang biasanya bertin¬dak sebagai pemimpin upacara senantiasa memberikan petuah¬-petuah, yang di dalam petuah-petuah tersebut terkandung harapan terhadap bayi yang tengah dikandung. Hal ini dapat dilihat dan bayi mantera yang dibacakan oleh dukun beranak pada waktu memimpin upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:

assalamaamualiakum, waalaikum salam,
sami Allah nutup iman,
masukaaken si jabang bayi,
masuk aken si putih,
si jabang bayi rep sirep sing idup putih.

bunyi mantera di atas jelas mencerminkan harapan agar si bayi ke¬lak menjalin kehidupannya di atas bumi, menempuh jalan 'putih',- yakni jalan kebenaran. Harapan ini juga tercermin pada mantra lainnya, yang biasanya diucapkan dukun beranak (paraji) pada saat mengurut perut si ibu hamil, masih dalam rangka penye¬lenggaraan upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:

Assalaamualaikum,
sekarang si jabang bayi lu ditutupi bulan,
supaya lu selamet menjadikan orang bener,
nantii kali udah waktu medal,
di surge yang lempeng, yang bener.

Jalan lurus dan benar yang diharapkan oleh Orang Betawi, adalah jalan hidup yang telah ditujukan oleh agama Islam, yakni menjalani perintah agama, dan taat serta patuh kepada kedua orang tua.

2. Upacara Masa Kanak-Kanak
Tibanya saat kelahiran, tidak berarti bahwa masa kritis itu te¬lah terlampaui, karena masih ada tahap-tahap selanjutnya yang juga penuh resiko dan dipandang kritis dalam perjalanan hidup manusia. Setelah bayi lahir sesungguhnya awal dari perjalanan hidupnya, maka untuk mewujudkan harapan-harapan yang dikan¬dung oleh kedua orang tuanya. Semenjak kecil si anak telah diajari dengan berbagai macam pengetahuan yang akan menuntunnya dan menjadi pedoman hidupnya kelak di kemudian hari. Pengetahuan yang diajarkan kepada si anak, selain pengetahuan budaya, adalah juga pengetahuan agama Islam. Ketika si bayi baru lahir, dide¬ngungkan azan yang biasanya dilakukan oleh ayah si bayi atau oleh kakeknya. Maksudnya tiada lain adalah untuk 'memperkenal¬kan nama Allah. Ini menunjukkan betapa kuat pengaruh agama Islam bagi kehidupan masyarakat Betawi.

Setelah anak berusia 40 hari dilakukan upacara cukur rambut yang disertai dengan "marhaban". yakni pembacaan Hikayat Nabi Muhammad S.a.w. Kembali hal ini membuktikan kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat Betawi, bah¬wa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.AW. dijadikan sebagai contoh dan teladan bagi pengikutnya. Itu pula yang ingin mereka wujudkan dengan menyelenggarakan upacara cukur rambut dan "Marhaban".

Bagi kebanyakan orang Betawi, pengajaran membaca kitab suci Al Quran, dipandang sangat penting dan sangat diutamakan, karena pengetahuan membaca Al Quran dipandang sebagai dasar bagi pengajaran agama. Oleh sebab itu ada suatu upacara khusus yang menandai bahwa seseorang anak telah selesai mempelajari salah satu tahap pengajaran agama, yakni pelajaran membaca Al Quran. Upacara ini dinamakan upacara "Khatam Al Quran".

Menurut pandangan masyarakat setempat, kepatuhan terhadap agama harus ditanamkan semenjak kanak-kanak atau semenjak dini, sehingga nilai-nilai keagamaan akan tertanam dan meresap di dalam sanubari si anak. Caranya adalah dengan mewasjibkan anak-anak berusia antara 6-7 tahun pergi belajar mengaji mengirimkan mereka ke lembaga-lembaga yang mengurus masalah keagamaan. Suatu lembaga keagamaan sudah pula dibentuk secara turun temurun, yaitu mereka yang dittunjuk untuk memberi pelajaran agama sekaligus membimbing anak-anak agar mereka memahami aturan-aturan dan norma-norma agama Islam. Hal ini dipandang masyarakat Betawi sebagai kebutuhan yang mutlak, agar mereka kelak dapat menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebagai sarana sosialisasi, cara ini amat penting sebab memungkinkan si anak dapat membe¬dakan mana yang benar dan kelakuan mana yang menyimpang dan norma-norma keagamaan.

Upacara khatam Al Quran pada hakekatnya mempunyai tuju¬an sebagai sarana untuk memberitahukan kepada khalayak ramai, bahwa sejumlah anak telah menyelesaikan pelajaran mengaji. Mak¬sud lainnya ialah untuk memberikan penghargaan kepada anak-¬anak tersebut atas jerih payahnya belajar mengaji Al Quran. Sete¬lah selesai belajar, suatu hal yang wajar apabila para orang tuanya merasa bangga dan bahagia atas keberhasilan anak-anaknya. Oleh sebab itu dilakukanlah serangkaian upacara dan diberikannya anak-anak itu seperangkat pakaian yang maksudnya tidak lain sebagai ekspresi dari rasa bahagia mereka.

Di lain pihak, anak-anak merasa bangga sebab pada saat upaca¬ra berlangsung, mereka menjadi obyek perhatian masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut- Sebagian orang tua akan mendorong pula untuk mengirim anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut supaya dapat merasakan kebahagiaan seperti yang dialamai oleh para orang tua yang tengah mengkhatamkan anak-anaknya.

Oleh karena upacara Khatam Al Quran tidak dikaitkan dengan kepercayaani terhadap makhluk halus lainnya, maka semua sesajian yang dihidangkan semata-mata hanya untuk menjamu para un¬dangan serta anak-anak yang diupacarakan. Demikian pula doa-doa yang dibacakan seluruhnya mengandung makna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas.

Satu masa peralihan pada masa kanak-kanak yang juga dipan¬dang sangat penting adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke ma¬sa remaja muda, yang ditandai dengan upacara khitanan. Pada ma¬syarakat pelaksanaan upacara khitanan mempunyai beberapa tujuan seperti "mengislamkan", dan sebagai media bagi si anak (individu) untuk memasuki tahapan kehidupan baru yang akan dijalaninya.

Seorang akhli folklor berbangsa Perancis, yakni Van Gennep, menyatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-peru¬bahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis men¬tal. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlulan"regene¬rasi" semangat kehidupan sosial. Selanjutnya Van Gennep menje¬laskan pula, bahwa dalam masa-masa peralihan, seseorang perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi, para anak muda yang sedang menjalani upacara itu diper¬siapkan untuk kehidupan sosialnya yang baru sebagai orang dewa¬sa dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985 : 32-33).

3. Upacara Perkawinan
Perkawinan bagi banyak masyarakat dianggap sangat penting. Tidak terkecuali dengan masyarakat Betawi, peristiwa perkawinan dipandang sebagai peristiwa sosial dan keaga¬maan. Bagi masyarakat setempat, perkawinan bukan saja dipan¬dang sebagai peristiwa peralihan status seseorang dan status lajang (bujang/gadis) ke kehidupan berumah tangga menjadi suami istri, tetapi juga dipandang sebagai pemenuhan kewajiban agama. Oleh sebab itu, dalam upacara perkawinan tampak adanya percampuran unsur-unsur adat istiadat dan unsur-unsur agama, dalam hal ini agama Islam.

Di samping itu, perkawinan juga dipandang sebagai suatu wa¬dah atau media untuk menunjukkan gengsi kemasyarakatan (social prestige). Tidak jarang suatu upacara perkawinan dirayakan secara besar-besaran dan memakan biaya serta tenaga yang tidak sedikit. Semakin besar penyelenggaraan upacaranya, khususnya dalam perkawinan yang biasanya dibarengi dengan berbagai jenis hiburan, maka cenderung akan semakin meningkat status keluarga tersebut di mata masyarakatnya. Selain itu, tampak pula adanya pertim¬bangan efisiensi dalam penyelenggaraan hiburan. Dewasa ini, jenis hiburan yang menjadi trend di masyarakat Betawi dalam rangka pesta perkawinan adalah pertunjukan layar tancep. Segi efisiensi dari pertunjukan ini ialah si penyelenggara tidak usah repot-repot mengurusi konsumsi dan makan teknisi. Mereka cukup mem¬berikan uang sewa film berikut upah teknisnya. Cara begini diang¬gap lebih praktis oleh mereka daripada menyelenggarakan pertun¬jukan kesenian tradisional, seperti topeng betawi, cokek, gambang kromong, dan lain-lain yang dianggap merepotkan. Sebagaimana diketahui, bahwa personil kesenian tradisional cukup banyak, sehingga tuan rumah (penyelenggara upacara) merasa repot kalau harus menjamu dan melayani mereka. Itu sebabnya mereka cende¬rung lebih memilih pertunjukan layar tancep daripada kesenian daerah mereka sendiri.

Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup seperti yang telah diuraikan di atas, menunjukkan pandangan masyarakat Betawi terhadap masa-masa kritis yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia. Inilah sesungguhnya yang melatarbela¬kangi penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup di ka¬langan masyarakat Betawi. Kenda¬ti di sana sini tampak adanya perubahan bentuk penyelenggaraan upacara, namun pada hakekatnya persepsi masyarakat dan sistem nilai yang melatarbelakangi masih tetap mereka pegang teguh.

4. Fungsi Religius dari Upacara Daur Hidup
Koentjaraningrat dalam salah sebuah buku karangannya mengemukakan tentang lima komponen religi, yaitu :

1) emosi keagamaan,
2) sistem keyakinan,
3) sistem ritus dan upacara,
4) peralatan ritus dan upacara,
5) umat agama.

Kelima komponen ini satu sama lain saling terkait dan keseluruhannya merupakan satu sistem dari sistem religi.

Emosi keagamaan yang menggetarkan jiwa manusia menye¬babkan manusia mempunyai sikap serba religi. Sistem keyakinan menggambarkan gagasan dan konsepsi manusia tentang Tuhan, tentang alam gaib, alam akhirat, roh-roh nenek moyang. Sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keaga¬maan, ajaran kesusilaan yang mengatur tingkah laku manusia.

Sistem ritus dan upacara berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau mahluk-mahluk halus lainnya. Sistem ritus dan upacara juga merupakan manifestasi hubungan manusia dengan Tuhan dan kekuatan-kekuatan supernatural.

Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan ber¬macam-macam sarana dan peralatan, serta para pelaku yang tidak dalam keadaan keseharian, melainkan dalam keadaan yang dianggap serba suci dan bersih, termasuk dalam berpakaian.

Komponen kelima adalah umat beragama, yang bisa berwujud sebagai keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih luas, kesatuan komunitas, seperti desa, dan organisasi-organi¬sasi keagamaan.

Demikian, penyelenggaraan upacara daur hidup pada masya¬rakat Betawi tidak terlepas dan kelima komponen di atas. Ada suatu perasaan tidak enak bahkan perasaan berdosa dari masyara¬kat setempat bila mereka tidak melaksanakan upacara-upacara daur hidup yang telah mentradisi di kalangan mereka. Ini terjadi karena telah begitu mendalamnya tradisi tersebut di dalam diri masing-masing individu, sehingga tidak menyelenggarakannya dirasakan sebagai suatu penyimpangan dan akan berakibat dosa.

Dalam kaitannya dengan sistem keyakinan, kekhawatiran yang mereka rasakan, mereka hubungkan dengan kekuasaan Tuhan dan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga isi kekhawatiran mereka bilamana tidak menyelenggarakan upacara daur hidup adalah takut terkena bencana dan malapetaka. Untuk menghindari malapetaka yang mereka yakini bakal menimpa, maka mereka pun melaksanakan upacara-upacara sebagaimana yang dituntutkan oleh adat dan oleh sistem kepercayaan mereka. Selain itu, penyelenggaraan upacara-upacara itu pun dianggap sebagai wujud bakti mereka kepada Tuhan yang mereka yakini.

Upacara-upacara daur hidup yang dilaksanakan oleh masya¬rakat Betawi cenderung lebih bersifat keagamaan yang didominasi oleh agama Islam. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya tidak banyak peralatan upacara yang dikaitkan dengan kepercayaan mereka terhadap arwah-arwah nenek moyang maupun kekuatan-kekuatan gaib lainnya, selain kepada Tuhan.

Penyelenggara upacara, bergantung pada jenis upacara yang dilaksanakan. Bila yang dilaksanakan adalah upacara kehamilan, maka yang bertindak sebagai penyelenggara adalah keluarga inti, yakni suami istri yang bersangkutan. Pihak kerabat terdekat khususnya orang tua kedua belah pihak, senantiasa terlibat dan ikut andil sebagai penyelenggara. Mereka biasanya tidak hanya menyumbangkan tenaga dan pikiran, melainkan juga biaya ikut menanggungnya. terlebih lagi bila upacara yang diselenggarakan adalah upacara perkawinan.

5. Fungsi Sosial dan Upacara Daur Hidup
Dan hasil analisisnya mengenai ritus dan upacara peralih¬an pada umumnya, berdasarkan data etnografis dari seluruh dunia, Van Gennep sampai pada kesimpulannya yang mengatakan, bah¬wa : ritus dan upacara religi secara universal pada dasarnya ber¬fungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.

Pendapat di atas juga dapat diterapkan pada masyarakat Betawi. Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup pada masyarakat setempat, selain mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial yang menonjol dari penyelenggaraan upacara daur hidup di antaranya adalah untuk membangkitkan emosi kemasyarakatan, serta sekaligus berfungsi sebagai sarana kontrol sosial. Dalam pelaksanaan upacara daur hidup, tampak adanya rasa kesatuan dan persatuan dari tiap-tiap anggota masya¬rakat maupun para kerabat penyelenggara upacara. Kebutuhan tenaga yang cukup besar dapat diperoleh melalui bantuan yang diberikan oleh para tetangga maupun kerabat. Di sini solidaritas sosial tampak menonjol.

6. Fungsi -Fungsi Kepariwisataan
Dalam era pembangunan dewasa ini, di mana semua sektor digiatkan guna menunjang proses pembangunan nasional di segala bidang, masalah kepariwisataan menjadi cukup penting dan strategis. Dalam upaya mengembangkan sektor kepariwisataan, aspek kebudayaan merupakan penunjang yang sangat penting.

Sebagaimana di maklumi hahwa panorama Indonesia yang indah dan nyaman menawarkan asset kepariwisataan yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, kekayaan budaya Nusantara juga tidak kalah menariknya dengan wisata alam, dan dapat mengundang wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Berbagai jenis upacara tradisional yang dimiliki oleh semua suku bangsa di Nusantara, adalah modal wisata budaya yang perlu terus dikembangkan. Modal ini cukup potensial, mengingat yang menjadi sasaran para wisatawan adalah "keanehan-keanehan" yang lain dari suasana di lingkungan budaya mereka.

7. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Upacara Daur Hidup
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kebudayaan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek tata kelakuan sebagai kompleks nilai, wujud kelakuan sebagai pola-pola tindakan, dan sebagai wujud benda (kebudayaan materi). Nilai-nilai budaya hanya dapat diungkapkan melalui telaahan terhadap unsur-unsur yang nampak atau menggejala. Demikian pula nilai-nilai yang terkandung di dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, dapat diungkapkan melalui arti dan lambang dari setiap aktifitas maupun benda-benda upacara dalam keseluruhan sistem upacara yang bersangkutan. Berikut ini akan diuraikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara daur hidup yang telah dideskripsikan di muka.

8. Nilai Kegotongroyongan
Nilai kegotongroyongan tercermin dalam pengerahan tenaga yang diperoleh secara spontanitas pada saat seseorang atau suatu keluarga akan menyelenggarakan suatu upacara daur hidup. Para tetangga terdekat maupun para kerabat, tanpa harus diundang terlebih dahulu akan datang untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang mempunyai hajatan. Kadangkala bukan hanya tenaga yang mereka sumbangkan, tetapi juga dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, lauk pauk, serta kue-kue seperti dodol.

Malninowsky menjelaskan, bahwa sifat kegotongroyongan bukan semata-mata tanpa pamrih, melainkan terwujud sebagai prinsip reciprosity (prinsip timbal balik) di antara sesama anggota masyarakat. Pamrih atau balasan yang akan diterima tidak datang pada saat itu, akan tetapi akan tiba pada saatnya nanti.

Bila diamati, prinsip timbal balik ini ternyata juga mewarnai bentuk kegotongroyongan pada masyarakat Betawi. Para tetangga yang datang membantu ataupun yang memberikan sumbangannya dalam bentuk bahan-bahan makanan, tidak hanya semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban sosial, melainkan ada tujuan tertentu, yaitu mereka mengharapkan balasan bilamana suatu saat mereka mengadakan upacara atau selamatan yang serupa, mereka juga akan mendapat bantuan dari tetangganya. Motivasi inilah yang mendorong mereka untuk memberikan sumbangannya kepada tetangga yang punya hajat.

9. Nilai Musyawarah
Pada masyarakat bangsa kita, nilai musyawarah adalah sangat diutamakan, bahkan yang menjadi ciri hakiki dari demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Nilai ini digali dari kebudayaan di daerah-daerah sehingga dengan sendirinya sudah mengakar pada tiap-tiap suku bangsa di Indonesia. Demikian juga halnya dengn masyarakat Betawi.

Nilai musyawarah untuk mufakat senantiasa diterapkan dalam kehidupan masyarakat Betawi, hal ini nampak pada penye¬lenggaraan upacara daur hidup. Seseorang individu atau suatu keluarga yang akan menyelenggarakan upacara daur hidup, akan terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaum kerabat terdekat¬nya. Dalam musyawarah ini dibicarakan masalah pembiayaan, waktu serta segala sesuatu yang akan diperlukan kelak pada waktunya. Biasanya hasil musyawarah inilah yang akan menjadi pegangan mereka dalam melaksanakan upacara. Khususnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang berskala "be¬sar", seperti upacara perkawinan dan upacara khitanan, musya¬warah ini menjadi sangat penting, karena selain menyangkut peren¬canaan biaya, juga rencana tenaga kerja.

10. Nilai Anak
Dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Betawi menganut sistem bilateral, artinya kerabat dari kedua belah pihak suami dan istri sama-sama dipertimbangkan dan dimasukkan ke dalam daftar kerabatnya. Jadi, bila dilihat dari sistem ini, maka pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki maupun anak perempuan di mata mereka. Akan tetapi, dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, tampaknya ada suatu perbedaan nilai dari orang tua ter¬hadap anak laki-laki dengan anak perempuan. Nilai yang dimaksud di sini adalah harapan orang tua terhadap anaknya. Perbedaan ini tampak pada waktu penanaman ari-ari (placenta). Sebelum di¬kuburkan, ari-ari perempuan diberi bumbu-bumbu dan diberi benang dan jarum, sedangkan untuk ari-ari bayi laki-laki, selain diberi bumbu juga diberi pinsil dan buku. Barangkali ini mengan¬dung makna pengharapan, bahwa anak laki-laki kelak diharapkan untuk bersekolah yang tinggi hingga menjadi orang yang pandai dan berguna, sedangkan anak perempuan diharapkan untuk men¬jadi ibu rumah tangga. Demikian pula tempat penanaman atau tempat menguburkan ari-ari tersebut ada perbedaan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan. Ari-ari bayi perempuan biasanya dikuburkan di samping sebelah kiri rumah atau di dekat peda¬ringan (tempat menyimpan beras), sedangkan ari-ari bayi laki¬-laki dikuburkan di samping sebelah kanan rumah atau dihanyut¬kan ke kali. Ini pun mengandung makna harapan bahwa anak perempuan nantinya supaya lebih banyak di rumah dan bekerja sebagaimana layaknya seorang ibu rumah tangga, sedangkan anak laki-laki diharapkan pergi ke luar untuk mencari nafkah.

Mungkin interpretasi ini terlalu naif dan apriori, akan tetapi adanya perbedaan ini tidak dapat dipungkiri. Dapat juga dijelas¬kan lebih lanjut, bahwa perbedaan pengharapan ini bertolak dari persepsi mereka tentang diferensiasi kerja secara seksual yang didasarkan pada pandangan mereka tentang kodrat laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki kodratnya adalah sebagai pe¬mimpin dan kepala rumah tangga, sedangkan wanita adalah sebagai ibu rumah tangga.

Kesimpulan
Masyarakat Betawi, seperti juga kelompok-kelompok suku bangsa lainnya di Indonesia memiliki kekhasan budaya tersendiri yang membedakannya dari suku-suku bangsa lainnya dan sekaligus memberikan karakteristik dan identitas sebagai suatu kelompok masyarakat yang berbudaya. Kekhasan kebudayaan Betawi, nam¬pak pada penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup. Kendati upacara daur hidup ini sifatnya universal dan ada pada hampir semua kebudayaan di dunia, akan tetapi dalam penyelenggaraan¬nya memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing.

Penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup selain mencirikan identitas budaya suatu masyarakat juga sekaligus memiliki fungsi¬-fungsi terapan dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan, upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, berfungsi membang¬kitkan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini timbul karena sistem keyakinan mereka yang didominasi oleh agama Islam, sehingga dalam pelaksanaan upacara-upacara ini lebih mencirikan unsur-unsur agama Islam.

Selain itu, nampak pula unsur-unsur adat istiadat yang telah melembaga pada masyarakat yang bersangkutan. Unsur-unsur agama dan adapt istiadat ini tampak membaur dalam pelaksanaan upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, sehingga secara sepintas agak sulit membedakan mana yang unsur agama dan mana yang unsur adat istiadat.

Upacara daur hidup sebagai aktifitas budaya dilatarbelakangi oleh sistem nilai yang hidup dalam alam pikiran mereka. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan upacara daur hidup terkandung nilai¬nilai budaya Betawi yang dipedomani dan menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan berbagai tindakan. Nilai-nilai budaya ini dapat diungkapkan melalui pengkajian terhadap aktifitas upacara itu sendiri serta kajian terhadap sistem perlengkapan dan peralatan yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Sistem nilai di sini erat pula berkaitan dengan pandangan hi¬dup masyarakat setempat mengenai tahap-tahap yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia (stage along the life cycle). Dalam kerbudayaan Betawi, tahap-tahap yang dianggap penting adalah masa-masa kehamilan, khususnya pada usia ke¬hamilan tujuh bulan; masa kanak-kanak, masa mempelajari ajaran-¬ajaran agama Islam, yang ditandai dengan upacara Khatam Al Quran dan upacara khitanan; serta masa perkawinan. Semua tahapan hidup yang dianggap penting itu senantiasa diperingati dengan menyelenggarakan upacara pada tiap-tiap daur hidup.

Selain memiliki fungsi keagamaan, upacara daur hidup juga mempunyai fungsi sosial. Penyelenggaraan upacara daur hidup ternyata dapat menghidupkan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai kegotongroyongan, dan nilai-nilai musyawarah, disamping itu dapat juga mengaktifkan fungsi sosial kontrol.

Daftar Pustaka
Abdurachman, dkk., (1986) Pakaian Adat Tradisional DKI Jakar¬ta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.

Astrid, S. Susanto (1975), Pandangan Umum, Burni Cipta, Cetak¬an I, Bandung.

Darmo Sutopo, R. (1983), "Pandangan Orang Jawa terhadap Leluhur", dalam Analisis Kebudayaan, tahun ke-4 Nomor 2.

Heru Satoto, B. (1985), Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita, Yogyakarta.

Kleden, Ninuk P. (1987), Teater Topeng Betawi, Sebagai Teks dan Maknanya: Suatu Tafsiran Antropologi, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

MCalat.oa, dkk. (1981), Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah DKI Jakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumen¬tasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.

Koentjaraningrat, (1967), Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.

----,(1970), Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Penerbit Ja mba tan, Jakarta.

Koentjaraningtat, (1974), Kebudayaan, Mentalitet dan Pem¬bangunan, Gramedia, Jakrta.

Sumber :
Yunus Ahmad H. dkk., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Bathing Beauties di Kali Molenvliet


Oleh : Alwi Sahab
Generasi sekarang sudah tidak banyak lagi mengenal Molenvliet. Padahal, sampai awal 1960'an, jalan yang kini bernama Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Jakarta Kota lebih dikenal dengan Molenvliet. Kata dalam Belanda yang artinya Molen (kincir) dan vliet (aliran). Karena dulunya sini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan di Belanda. Di tengah kedua jalan yang selalu hiruk-pikuk ini terdapat Kali Ciliwung, yang dulunya juga lebih dikenal sebagai kali Molenvliet. Kali ini sendiri merupakan kanal dengan menyedot kali Ciwilung.

Sungai atau kanal ini membujur dari selatan ke utara hingga Pasar Ikan diapit oleh jalan Hayam Wuruk dan Gajah, mulai dari Harmoni hingga Kalibesar. Sampai awal 1950-an, sungai ini masih jernih sehingga menjadi tempat cuci pakaian, mandi dan buang air besar. Bahkan, di antara yang mandi ada yang berbugil ria, sehingga jadi pentas tontonan bathing beauties. Tetapi sekarang sudah demikian kotor, penuh Lumpur dan sampah. Fungsinya sendiri sudah hilang, ketika dibangun sebagai kanal pertengahan abad ke-17 untuk memperlancar arus barang dari selatan ke pusat kota, dan sebaliknya.

Akibat tidak berfungsinya sungai ini, pernah ada sejumlah insinyur mengusulkan ditutup dan ditimbun saja. Guna mengurangi kemacetan lalu lintas di Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Kita sengaja mengetengahkannya, karena Banyak yang tidak tahu bahwa sungai tersebut merupakan sungai buatan atau tepatnya sebuah kanal dengan 'menyobek' kali Ciliwung yang dialirkan ke sana. Arsitek dari proyek besar waktu itu, adalah Phoa Beng Gan, seorang kapiten Cina yang dikenal sebagai ahli pengairan.

Seperti diketahui Jan Pieterszoon Coen mendirikan Batavia di atas rawa-rawa. Hingga bila musim hujan daerah itu terendam, airnya susah kering. Dan kota menjadi sarang nyamuk malaria. Banyak orang mati karena penyakit ini. VOC sendiri tidak bisa berbuat apa-apa menghadapinya.

Dalam keadaan demikian, Kapiten Phoa Beng Gan merasa terpanggil. Apalagi korbannya banyak etnis Cina yang saat itu hampir mayoritas di Batavia. Phoa kemudian mengadakan rapat kongkoan (Dewan Tionghoa) yang setuju membiayai penggalian kanal mengingat VOC tidak punya uang.

Penggalian dimulai pada 1624 dari ujung Molenvliet, di depan Harmoni sekarang. Penggalian dipimpin oleh Phoa sendiri. Ia menggunakan tenaga kerja sangat banyak mengingat peralatan untuk penggalian masih sangat sederhana.

Saat penggalian sampai ke Jalan Ketapang, mulai terlihat manfaat pembuatan kanal tersebut. Daerah rawa di sekitarnya menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles makin berkurang. Dengan banyaknya rawa mengering, banyak dibangun rumah dan perkebunan. Sedangkan hasil buminya dapat diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.

Sayangnya, kebahagiaan penduduk Batavia tidak ber¬langsung lama. Karena ketika terjadi bencana kekeringan yang hebat akibat musim panas berkepanjangan, air sungai Molenvliet jadi kering kerontang. Perdagangan dan pertani¬an menjadi mandek total. Tapi, Kapiten Phoa tidak putus asa. Ia pun merencanakan proyek pembuatan kali yang lebih besar yang akan dapat menyalurkan air ke tengah-tengah kota Batavia. Ia mengadakan survei ke daerah lebih selatan yang waktu itu masih hutan belukar, dan banyak binatang buas. Di daerah hutan belukar itu, yang sekarang bernama Pejambon, terdapat sungai Ciliwung yang airnya sangat deras.

Dia pun merencanakan membuat kanal yang akan menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Molenvliet. Ketika usulnya disampaikan ke VOC, kebetulan Batavia sedang menghadapi seruan Inggris. AL Inggris memblokade kota, hingga pasokan mesiu untuk mempertahankan kota terhenti. Maka diputuskan proyek penggalian kanal ditambah dengan pembangunan pabrik mesiu.

Pabrik mesiu ini harus didirikan ditempat yang jauh dari pusat kota agar bila terjadi kecelakaan tidak mengganggu penduduk. Tempatnya di Jl Hayam Wuruk, tidak jauh dari pertokoan Harco, Glodok sekarang.

Di samping membangun kanal dan pabrik mesiu, kapiten Phoa juga membangun 'Rumah Sakit Cina' dengan obat-obatan serba lengkap. Lokasinya sekarang di Jl Pejagalan, Jakarta Kota. RS ini kemudian `merana' akibat tersaingi oleh CBZ (kini RS Cipto Mangunkusumo) di Salemba. RS Cina kemudian dibongkar gemeente (dewan kota) karena punya utang verponding selama puluhan tahun. Kemudian, masyarakat Cina mendirikan RS `Jang Seng Ie' yang kini bernama RS Husada di Jl Mangga Besar.

Sedangkan kali Molenvliet, sampai tahun 1950'an sering digelar berbagai atraksi. Seperti pesta perahu (peh cun) di malam hari, diiringi tanjidor clan tarian cokek di mana para siacia dan kongcu saling ngibing, atau joget sekarang ini.

Dari Queen of The East (Koningen Van Oost)

Sumber : http://www.strada.or.id
Foto : http://images.djawatempodoeloe.multiply.com

Seni Pertunjukan Jawa Menghadapi Masa Depan

Oleh : Darmanto Jatman

- Nut jaman kelakone!
Elinga kandane Bilung: Ora ana dadi ana
Sing ana iku dudu.

Masih ingat kan tembang dari Sunan Kalijaga: “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh ayu luputa ing baya / Luputa bilahi kabeh...”.

Sebagai ekspresi pengalaman yang indah, bebas dan jujur, kesenian telah berkata “ya!” pada kehidupan; bahkan kesenian merayakan kehidupan, termasuk tentu saja seni pertunjukan yang memelihara harkat dan martabat manusia, sembari dengan temen, tulus dan ikhlas menjaga manusia menjalani siklus hidupnya: Metu, Manten, Mati : Sangkan¬Parannya! Melaksanakan darmanya memadukan Manusia, Jagad dan Tuhannya. Para sesepuh kita selalu mengingatkan bahwa pertunjukkan wayang purwa itu bukan sekedar tontonan, tapi juga tuntunan. Kekhusyukan orang nonton wayang kulit tidaklah berkurang karena “guyon parikena” yang tergelar disana – sekalipun seringkali imbuhan pesan-pesan pembangunan etcetera – telah menjadikan seni pertunjukkan itu jadi demikian “padat pesan” penuh tendensi !

Kesenian memang menjanjikan kualitas hidup yang lebih baik; termasuk bila ia melancarkan kritik terhadap karakter-karakter yang secara normatif disukai atau sebaliknya diselaki oleh khalayak. (Yang dimaksud khalayak disini bukan hanya dalang, waranggana, penabuh, penonton, tapi juga yang punya hajat (penanggap) ). Tidak berlebihan bila para penonton disebut “ndelok” (kendel alok) dan berhak pulang sembari tetembangan “Petis Manis” (Kecap), ati-ati yen ngucap, supaya ora diurak khalayak. Jazuli (Prof. Dr) dengan tlesih meneliti perubahan pewayangan diantara berbagai macam dalang, yang menunjukkan pluralisme dan relativisme sebagai roh yang diperlukan dalam setiap pertunjukkan. (“Siapa bilang dalang pakem tidak menanggapi konteks jamannya?!”).

Karena itu, bila akhir-akhir ini muncul dalang pop yang membatasi masa pertunjukkannya hanya dua jam saja (seperti bioskop yang secara teoritis dan empiris memperhitungkan psikologi penonton) baik dalam acara pertunjukkan di televisi maupun dihadapan turis mancanegara yang punya semangat lihat sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya – dalang itu bolehlah kita bela sebagai shaman yang “empan papan, among mongsa” jauh dari tudingan “melik nggendong lali”. (Berbeda dengan pertunjukkan “Mahakarya Borobudur” yang dianggap memarjinalkan penari-penari lokal seputar Borobudur).

Makna Kala
Cara bodon, yang dimaksud “kala” adalah waktu. Waktu magis, mistis, mitis. Bathara Kala seperti yang terungkap dalam Murwakala, bukan saja anak nafsu Bathara Guru pada permaisurinya Uma ketika mereka berboncengan bercengkerma naik lembu Andini melanglang buana di angkasa raya. Mani Bathara Guru itu jatuh ke laut dan menjadi denawa maha srakah yang dinamai Bathara Kala. Itulah sifat Bathara Kala ketika dilahirkan. (Gawan Bayi). Ia makan apa saja seperti dorongan hasrat nafsu aluamahnya. Sebagai ayahnya, Bathara Guru melindungi anaknya dengan menerakan rajah dijidatnya “Ya maraja Jaramaya / Ya Marani Niramaya / Ya Silapa Pasiya / Ya Sihama Mahasiya...”. Praktis tidak ada makhluk yang bisa membinasakan Bathara Kala. Nah, dalam Murwakala itulah Bathara Wisnu yang berkewajiban untuk menjaga isi dunia menjadi dalang Kandabuwana yang bertugas untuk membebaskan orang yang sukerta dari mangsa Bathara Kala. Itulah sebabnya “kala” difahamkan sebagai kekuatan srakah yang menghabisi dunia (!).

Nenek moyang kita membagi-bagi kontinum waktu dalam beberapa tahap, seperti Kala Suba, Kala Bendu, Kala Yuga – yang biasa kita fahami sebagai “jaman” seperti yang amat terkenal ya “jaman edan” dalam seratan R. M. Ng. Ronggowarsita. Sementara beberapa sarjana dunia memilah-milah jaman dalam beberapa jaman: Pertama adalah jaman “rural agraris” ketika manusia sepenuhnya menyatu dengan alam dan tergantung alam. Sikap kulturalnya atau tunduk, takut, atau memuja, mengagumi: Ajrih-Asih. Sebagian besar karya seni Jawa diproduksi pada jaman ini, termasuk wayang purwa. Bukan hanya wayang, ketoprak, bahkan kratonpun diciptakan dalam jaman ini – sehingga tidak sedikit ahli kejawen menganggap Jawa, eh, Indonesia sebagai lokus berkembangnya budaya teater. Ethok-ethok. Termasuk Budaya Seremonial. Bila anak-anak hanya membutuhkan panggung “sagodong kelor”, ketika mereka mulai memainkan dolanan “Soyang-soyang” (Batik plangi duk Semarang / Ya ya boo ya ya nong), panggung itu meluas bagai destar Aji Saka, memenuhi desa, sampai kota sampai kemana-mana. Bila mestinya panggung itu cuma selebar pendapa, ia menembus batas-batas ketika “Ciet Ciet Trunojoyo dibebencet”. Seluas jagad raya bisa jadi ringkes selebar layar wayang purwa, ketika Arjuna kasmaran sama Dewi Supraba.

Di panggung yang “mulur-mungkret” itulah para dalang memainkan lakon “Begawan Ciptaning” atau “Dewa Ruci”.

Maka datanglah jaman “urban-industrial”, ketika kemudian muncul wayang orang populer Ngesti Pandhowo Sastrosabdo, Nartosabdo di Semarang, atau Kethoprak Mataram Tjokrojiyo di Yogya. Tradisi (Jawa) itu kuasa betul, sehingga mampu “mancala putra¬mancala putri” ketika jaman rural agraris berubah menjadi urban industrial. Gamelan yang setara orkes besar Barat lengkap, mengalami “transformasi” jadi cokekan, bahkan kemudian berpadu dengan kroncong melahirkan “Campursari” dan melahirkan “local genius” seperti Didi Kempot. Pada masa “urban industrial” ini mulailah dikenal film, tape recorder, televisi dan melahirkan perpaduan-perpaduan baru yang “menggoncangkan dunia”. Film-film “Indie” bukan sekedar film produksi Hollywood yang dipas-paskan dengan situasi dan kondisi (capaian teknologi) Jawa. “Opera Jawa” karya sutradara Garin Nugroho jelas merupakan “genre” baru film dunia (!); bukan sekedar film dengan resep Hollywood (Sexy, Sensual, Spektakular, Sensasional) yang di Indonesiakan. Jawa memperlihatkan keunggulan bolehnya “memadu-madukan yang tak terpadukan” (akulturasi, inkulturasi, sinkresi).

Tentu, dalam berbagai hal, terbukti bahwa karya-karya seni itu hanyalah sekedar “imitasi” (seperti dulu terkenal “payung fantasi” yang kemudian dikenal pula “atom” – termasuk “sabuk atom”). Para sutradara kita cuma tiru-tiru teater Barat waktu memainkan repertoar seperti Hamlet, misalnya – sampai kemudian pelan-pelan lahirlah naskah-naskah “orisinal” seperti yang ditulis Arifin C. Noor atau N. Riantiarno!

Lalu kitapun memasuki jaman “komunikasi global”. Melalui hitec komunikasi budaya media (media culture) dengan cepat merebak keseluruh dunia. Kecantikan eksotik blasteran tidak hanya melahirkan Sophia Latjuba atau Tamara Blezinsky di Indonesia, tetapi juga Madonna, Agvillera. Kecantikan eksotik yang tidak diketemukan pada para “lokalis”. Sebuah radio swasta niaga di Jawa Tengahpun mempergunakan semboyan “think globally, act locally” seperti yang biasa diserukan oleh para “pejalan budaya” (maksudnya kaum intelektual yang belajar keluar). Muncullah gejala-gejala “post industrial” yang segera dilecut dengan “sekolah Frankfurt” serta kemudian “postmodernism” yang terkenal itu. Seorang posmodernis Indonesia mencirikan posmo sebagai penolakan terhadap hegemoni “grand theories”: Semua gejala muncul serba serentak. “Tidakkah pluralisme sudah menjadi fitrah budaya Jawa?!” (dan dengan demikian Jawa sudah posmo?!).

Nah. Akhir-akhir ini dalam psikologi mulai kita dengar SQ (Spiritual Quotient) yang belum begitu lama diluncurkan oleh Dannah Zohar. Sebelum itu Daniel Goleman meluncurkan “EQ” (Emotional Quotient); sementara jauh sebelum itu, pada masa Perang Dunia pertama, telah muncul IQ (Intelectual Quotient) yang mengukuhkan kecerdasan (rasional) sebagai fitrah manusia yang berbeda-beda (dan berkelas-kelas). Tidaklah mengherankan apabila banyak antropolog mewacanakan datangnya jaman baru, yakni jaman “Spiritual Humanistik” untuk membedakannya dengan jaman tempo dulu – yang boleh dibilang “spiritual naturalistik”, ketika Jawa masih diliputi mitos, magi, mistik (kosmis¬religius).

Banyak orang Jawa (fundamentalis?!) percaya bahwa jamannya kejawen baru telah tiba.
Bener?!

Keberuntungan Seni Pertunjukkan
Memasuki milenium ketiga Kate Ludeman CS menulis buku “Spiritual Management”. Dengan berani dia bilang bahwa lebih mudah ketemu sufi dipuncak manajemen perusahaan besar di Amerika Serikat ketimbang di vihara, masjid atau gereja. Kate Ludeman menyatakan bahwa kualitas spiritualitas (telah) menjadi ciri utama manajemen mutakhir. Artinya, keadilan, kejujuran, ketemenan dan berbagai kualitas kerokhanian telah menjadi ciri manajemen yang berhasil.

Spiritualitas telah menjadi “trendy”, apalagi ketika Indonesia mengalami berbagai bencana yang terus-menerus, serta masa depan menjadi semakin suram. Pada pengkolan waktu, kemampuan spiritual, transpersonal manusia telah menjadi andalan utama – dalam bahasa Lik Towi keberuntungan – (bahasa Gombloh “tuk wahyuning Allah”) – inilah yang diidamkan para aktivis seni pertunjukkan, yakni membawa pepadang, dijalan rahayu. (Dalam bahasa Savitri: Eling, Pracaya, Mituhu).

Kreativitas multimedia agaknya akan menjadi pilihan para pejoang seni pertunjukkan untuk mencapai “keberuntungan kerokhanian” yang tidak tersergap dimensi-dimensi yang “mutually exclusive” kayata: Film yang mematikan acting vice versa.

Sumber :
Makalah disampaikan pada kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.

Mengembangkan Budaya Lokal (Jawa) Dalam Meredam Konflik Sosial

Oleh : Christriyati Ariani

Abstrak
Banyak norma dalam kehidupan orang Jawa dalam pergaulannya di masyarakat. Istilah-istilah yang akrab melekat dalam sehari-hari merupakan acuan hidup dalam kebersamaan di samping tradisi yang berlaku, misalnya guyub rukun, gugur gunung, gotong royong, tulung-tinulung dan istilah lain yang sarat dengan nilai pekerti luhur. Perkembangan teknologi dalam era global memberi efek positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat termasuk orang Jawa. Nilai positif akan sangat bermanfaat bagi kemajuan bangsa, namun efek negatif akan mengikis nilai norma yang sudah ada. Ada sesuatu yang hilang. Dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan budaya Jawa banyak lontaran keprihatinan dari para budayawan atau pemerhati budaya. Pada umunya mereka menyatakan bahwa pada masa kini budaya Jawa yang adi luhung itu telah terkikis. Pada awalnya kita percaya hal itu. Namun ketika kita dikejutkan dengan hantaman gempa di Jogja dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 yang meluluhlantakkan sebagian hunian, merobek hati masyarakat, kita melihat suatu kenyataan. Saat kesedihan mendera, datang kembali kebersamaan dalam menghadapi musibah itu. Semangat gotong royong, tulung tinulung, guyub rukun, gugur gunung kembali hinggap di hati. Namun ketika terdengar berita akan ada bantuan dari pemerintah bagi korban gempa, apa yang terjadi? Jawaban itu akan dapat diperoleh dalam uraian ini.

Pengantar
Sekitar dua bulan yang lalu di dalam tajuk rencana Kedaulatan Rakyat1 diberitakan tentang bagaimana kondisi warga masyarakat Bantul yang tertimpa musibah gempa bumi dan memporakporandakan wilayahnya. Saat itu warga merasakan kesedihan, keguncangan batin, bahkan masih menyisakan rasa trauma. Namun setelah hampir 20 hari dari peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006, warga mulai bangkit. Mereka begitu bersemangat melihat para relawan dari berbagai daerah maupun negara yang berdatangan membantunya. Tanpa ada halangan perbedaan kulit, ras, golongan, agama maupun suku, bersatu padu membantu “saudara-saudaranya” yang sedang ditimpa musibah. Mereka saling tolong menolong, bahu membahu, dukung mendukung, bergotong royong mengedepankan kebersamaan, keluhuran budi, serta mengesampingkan kepentingan diri dan kelompok untuk mementingkan kepentingan masyarakat. Indah nian kehidupan masyarakat Bantul khususnya dalam suasana duka dan derita, masih tersisa ceria anak manusia yang masih mau berbagi kasih, setia dalam aksi solidaritas antar sesama negara, tanpa mementingkan diri sendiri.

Uraian di atas ini sebenarnya menggambarkan bagaimana hubungan antar manusia, antar sukubangsa, bahkan antar negara sekalipun yang tercermin dalam kegiatan kemanusiaan yang sangat luhur. Barangkali di saat ini yang seringkali dikonotasikan dengan zaman “modern”, nilai¬nilai seperti itu mungkin merupakan sebuah nilai yang mahal harganya. Gaya modernitas yang selalu ditandai dengan individualitas, egoisme serta kehidupan yang penuh dengan”kepura-puraan”, semuanya selalu mengandung pamrih yang diharapkan. Apalagi tidak sedikit dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan sosial, instansi pemerintah dengan berbagai atribut serta “pakaian” nya seakan-akan turut serta berlomba-lomba ingin berpartisapasi dalam penanganan korban gempa, baik selama masa tanggap darurat hingga masa rekonstruksi maupun rehabilitasi.

Di sisi lain, warga korban gempa pun dengan kerendahan hati dan ketulus¬ihklasannya menerima dengan senang hati berbagai bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan dari para dermawan maupun relawan. Bahkan hal yang sangat menarik, di masa rekonstruksi masih ada sekelompok manusia yang dengan tulus ikhlas memberikan sumbangan berupa tenaga. Mereka adalah kaum pekerja yang berasal dari daerah sekitar Sawangan, Kaliangkrik (Magelang), serta daerah-daerah lainnya yang secara rutin setiap hari minggu, turut serta membantu warga Bantul dalam membongkar, serta membersihkan puing¬puing bangunan rumah mereka yang roboh akibat gempa. Mereka berdatangan dengan menggunakan truk-truk terbuka, di pagi hari dan akan kembali di sore hari. Selama mengerjakan pembersihan puing-puing bangunan yang hancur karena gempa, mereka tidak mau merepotkan si pemilik rumah, karena mereka membawa bekal serta kebutuhannya sendiri.

Akan tetapi, kerukunan, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, serta sikap kegotongroyongan, tiba-tiba mulai terusik manakala pemerintah mulai mengumumkan adanya bantuan jaminan hidup (jadup) maupun dana rekonstruksi yang akan diberikan kepada para korban gempa. Jalinan keharmonisan yang sempat terjalin beberapa waktu mulai mengendur. Apalagi banyak disinyalir bahwa penyaluran bantuan tersebut banyak mengalami kendala, ketidakadilan serta penerimaan yang tidak serentak dan merata. Dari situlah mulai tumbuh konflik¬konflik sosial di antara sesama korban, di antara sesama tetangga korban, bahkan di antara sesama dusun maupun desa yang menjadi korban gempa. Bantuan materiil (baca uang) ternyata telah mampu menghapuskan nilai-nilai budaya lokal yang selama ini sebenarnya masih mereka miliki.

Batasan Konsep: Budaya Lokal, Konflik Sosial
Di dalam dunia ilmu antropologi, budaya atau kebudayaan mempunyai batasan yang sangat kompleks dan tidak terhingga, tergantung dari perspektif mana yang akan kita gunakan. Sejalan dengan permasalahan serta topik dari judul artikel ini, maka saya menempatkan budaya (baca kebudayaan) dalam dua hal. Pertama, kebudayaan merupakan suatu sistem ideasional, suatu konsep gagasan yang dimiliki oleh setiap individu yang menjadi pedoman dalam hidupnya. Kebudayaan sebagai sistem ideasional ini berada di dalam sistem kognitif setiap individu, berada di dalam alam pikiran (mind) individu yang dimiliki secara bersama dalam suatu komunitas.2 Di sini, budaya digunakan untuk mengacu pada pola kehidupan suatu masyarakat - kegiatan dan pengaturan materiil dan sosial yang berulang secara teratur.

Dengan demikian, budaya dalam pengertian tersebut, dapat dilihat sebagai sistem pengetahuan yang akan memberikan patokan guna menentukan apa ... ; guna menentukan bisa jadi apa...; guna menentukan bagaimana kita merasakannya; guna menentukan apa yang harus diperbuat tentang hal itu, dan guna menentukan bagaimana cara melakukannya. Atau, dengan kata lain kebudayaan merupakan suatu “alat” yang digunakan dalam pemenuhan kehidupannya. Di dalam sistem gagasan budaya Jawa, hal-hal seperti itu dapat ditemui di dalam berbagai adat-istiadat, tradisi, ungkapan-ungkapan tradisional, norma, aturan, pandangan hidup (ways of life), kearifan lokal, dan sebagainya.

Kedua, kebudayaan atau budaya merupakan suatu sistem makna, yaitu hal¬hal yang selalu berhubungan dengan simbol¬simbol tertentu, dikenal dan diketahui dan disebarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Mengingat budaya (kebudayaan) dianggap sebagai simbol, yang mengandung makna-makna tertentu, berarti ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu dibaca, kemudian ditangkap dan ditafsir maknanya, sehingga pada gilirannya hasil pemaknaan dan penafsiran tersebut akan diketahui dan dibagikan oleh dan kepada masyarakat, serta diwariskan kepada generasi berikutnya.3 Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemaknaan dari sebuah masyarakat yang bersangkutan dalam melihat peristiwa¬peristiwa atau gejala sosial budaya yang sedang terjadi.

Sejalan dengan konsep tersebut, maka di dalam budaya Jawa secara luas telah dikenal dengan berbagai makna dan simbolisasi budaya yang hampir melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Segala perilaku, tindakan, perbuatan maupun peristiwa-peristiwa tertentu yang melingkupi hidup manusia Jawa, selalu dikaitkan dengan simbol serta makna tertentu, yang seringkali dihubungkan dengan kondisi masyarakatnya. Bahkan seperti tanda-tanda alam sekali pun, sering dihubung-hubungkan dengan sesuatu peristiwa yang akan terjadi. Kepiawaian manusia Jawa dalam niteni suatu fenomena alam yang terjadi dalam hidupnya memang tidak perlu diragukan.

Sementara itu, Kuper dan Kuper4 mendefinisikan konflik sosial dalam dua hal. Pertama, konflik sosial merupakan suatu perspektif atau sudut pandang tertentu, di mana konflik dianggap selalu ada dalam setiap bentuk interaksi manusia di dalam struktur sosialnya. Kedua, konflik sosial dapat diartikan secara eksplisit sebagai suatu bentuk pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan dan gerakan perlawanan. Asal mula terjadinya konflik sebenarnya dapat ditelusuri dari tingkat kejadiannya. Pihak-pihak yang berkonflik dapat dibedakan atas dasar tingkat organisasi serta kekompakannya. Konflik sosial juga dapat terjadi akibat adanya pertentangan tujuan, mulai dari pertikaian yang bersifat sederhana yang dianggap bernilai tinggi, hingga kasus-kasus tertentu yang bersifat kompleks seperti penguasaan tanah, perebutan harta benda dan sebagainya. Konflik sosial juga bisa terjadi atas dasar cara yang digunakan, misalnya melalui pemaksaan secara terang-terangan; ancaman, hingga berupa bujukan yang bersifat halus.

Di dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, pada intinya mereka sangat menghindari terjadinya konflik. Walaupun bila terpaksa konflik itu harus terjadi, maka diupayakan untuk tidak dilakukan secara terang-terangan dan eksplisit. Pedoman hidup manusia Jawa yang selalu mengutamakan kerukunan, keharmonisan serta keselarasan, berusaha selalu tetap menjaga kondisi damai, harmoni dan selaras di dalam tatanan sosial, sampai kapan pun dan dimana pun. Oleh karenanya, bagi manusia Jawa istilah-istilah seperti padu, kerengan, neng-nengan diusahakan untuk dihindari, dijauhi bahkan sedapat mungkin dicegah.

Akan tetapi, konflik seringkali muncul, terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, manakala harga diri dan martabat mereka mulai diusik. Konflik bisa juga muncul akibat perseteruan yang dipicu oleh hadirnya pihak lain, terutama yang berkaitan dengan ketidak¬adilan dalam pembagian materi. Walaupun dalam sistem budaya Jawa kondisi seperti itu merupakan hal yang “tabu” dan “saru” untuk diperbincangkan dan dipermasalahkan, namun realitas yang terjadi saat ini sering terjadi. Sejalan dengan banyaknya permasalahan sosial yang muncul pasca bencana saat ini, maka seakan-akan masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilai¬nilai budayanya yang telah melekat dalam dirinya. Mereka mulai menjauhi prinsip hidup yang berpijak kepada hubungan keselarasan, keharmonisan, serta kerukunan, yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilai-nilai budayanya, mulai menjauhi nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki.

Keberadaan Budaya Lokal (Jawa): Perlukah Dikembangkan dan Dilestarikan?
Semenjak berbagai bencana yang melanda negeri ini secara bertubi-tubi (tsunami Aceh dan Nias 2004, gempa bumi Nias 2005, banjir bandang Jatim dan Sumut 2005 serta gempa bumi DIY, Jateng, bencana Merapi dan tsunami Jabar 2006) perlu disadari atau tidak bahwa negeri ini merupakan negeri yang rawan akan bencana. Selain secara geologis Indonesia sebagian besar berada di daerah yang rawan gempa karena berada di atas pertemuan tiga lempeng benua, berbagai bencana yang terjadi pun tidak luput akibat ulah manusia. Mulai dari pembabatan hutan yang ditandai dengan penebangan liar (pembalakan) hingga eksploitasi alam secara besar-besaran yang dilakukannya. Perilaku tersebut mencermin¬kan bagaimana ulah manusia yang tidak memperhatikan kelestarian alam. Nafsu serta keinginan sesaat untuk mewujudkan kepentingan pribadi jauh lebih menonjol, tanpa mempedulikan kepentingan bersama, serta kelangsungan kehidupan lingkungan.

Sebenarnya, di balik semua peristiwa bencana yang kita alami ada hikmah tersendiri yang sangat perlu untuk direnungkan, ada sesuatu yang perlu dimaknai, kemudian dijadikan pelajaran berharga. Hikmah dari peristiwa inilah kemudian dapat dijadikan pedoman dalam menapaki hidup yang lebih baik. Selain mengakibatkan traumatis serta membentuk memori kolektif yang mungkin sulit untuk dihilangkan dalam beberapa waktu, di sisi lain musibah bencana alam juga menimbulkan adanya perubahan yang terjadi dalam diri manusia maupun masyarakat, baik menyangkut sistem pengetahuan, perilaku maupun tindakan. Di dalam budaya Jawa, dengan terjadinya bencana lebih dimaknai sebagai suatu “peringatan”, teguran atau sapaan terhadap perilaku dan perbuatan manusia Jawa, yang selama ini mungkin tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budayanya.

Sejalan dengan hal itu, maka hikmah lain yang saat ini mulai muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya (terutama bagi daerah bencana), adalah tumbuhnya kembali bentuk-bentuk budaya lokal. Ketakutan warga masyarakat akan terjadinya bencana alam secara tidak langsung sebagai media untuk berintrospeksi diri, menggugah serta menanyakan kembali, kesalahan apa yang telah diperbuat, perilaku apa yang harus diubah dan ditinggalkan. Adanya benturan¬benturan batin yang mereka rasakan itulah, pada akhirnya manusia Jawa mulai mencari semua jawaban dalam budaya yang melingkupi hidupnya. Mereka mulai mau mengenali kembali berbagai nilai-nilai budaya lokal, yang saat ini cenderung ditinggalkan, yang justru nilai-nilai budaya tersebut sebenarnya telah mengakar di dalam dirinya.

Dibalik kehidupan yang serba “modern” yang ditandai dengan kecanggihan media informasi, serta telah menghilangkan batas-batas identitas seseorang, ternyata nilai budaya lokal masih “mampu” bertahan, bahkan masih bisa menuntun perilaku manusia. Melalui berbagai bencana yang seringkali mendera mereka, paling tidak bisa dijadikan perenungan tersendiri, kesalahan apa yang telah diperbuatnya, sehingga alam memberikan bencana kepadanya. Semenjak terjadinya bencana, saat ini warga masyarakat cenderung lebih giat melaksanakan tradisi-tradisi, adat istiadat tertentu yang mungkin mereka anggap “kuno”, tidak realistis, serta irasional. Sebagai contoh, berbagai ritual tradisi (wiwit, merti dusun, rasulan, labuhan) untuk memohon keselamatan, mulai aktif dilakukan kembali oleh warga tani; doa keselamatan mulai digelar, nilai-nilai kegotongroyongan mulai bersemi kembali, serta mulai tumbuhnya budaya sambatan, gugur gunung di kalangan masyarakat Jawa. Kesemuanya itu merupakan bentuk-bentuk budaya lokal Jawa yang sebenarnya telah dimiliki dan diajarkan dari leluhur kita. Merawat, memelihara serta menjaga kelestarian lingkungan alam, menjaga keharmonisan hubungan antara manusia-manusia, menjaga keselarasan hubungan antara manusia-alam, bahkan menjaga hubungan manusia-Tuhan, sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat Jawa sejak dahulu.

Namun, selama ini budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kultural yang sangat tinggi tersebut mulai ditinggalkan, karena dianggap kuno, tradisional, serta tidak rasional. Budaya modern yang cenderung “dianggap” lebih mengutamakan kepada sikap-sikap rasionalitas-logika justru lebih diutamakan dan dianggap mampu memecahkan semua permasalahan. Akan tetapi, dengan terjadinya berbagai bencana alam yang membuat situasi dan kondisi warga masyarakat menjadi serba tidak pasti (chaos), menjadikan warga masyarakat korban bencana berusaha untuk mencari ketenangan batin melalui ritus-ritus budaya tersebut. Mereka berusaha mencari perlindungan, ketenangan, serta ketenteraman batin melalui ritual-ritual budaya. Kekuatan spiritual dan mental mulai ditumbuhkan melalui bentuk-bentuk budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Bagi manusia Jawa, fenomena alam yang bersifat periodik dan berpotensi memunculkan bencana, berusaha dicegah melalui ritus budaya. Selain itu, dengan adanya ritus-ritus budaya tersebut tidak lain bertujuan untuk menyegarkan kembali ingatan manusia Jawa akan tuntutan hidup yang lebih arif dan bijaksana lagi dalam memperlakukan alam lingkungannya. Selanjutnya, ritus budaya tersebut dilakukan warga masyarakat sebagai usaha untuk berintrospeksi diri. Manusia Jawa bisa melihat ke “belakang” sebelum bencana terjadi, untuk memperbaiki kehidupan “yang lebih baik” di masa depan. Budaya eling lan waspada mulai dihidupkan kembali.

Instrospeksi diri tersebut kemudian mendorong manusia Jawa untuk hidup lebih seimbang dan selaras dalam hubungannya dengan sesamanya, dengan alam lingkungannya, serta dengan Tuhan atau Pencipta-Nya. Inilah sebenarnya tujuan hakiki yang ingin dicari oleh manusia Jawa dalam menjalani kehidupannya.

Kesadaran akan ketiga hal hubungan dalam diri manusia Jawa itulah yang seharusnya dicari dalam ritus-ritus budaya. Situasi pascabencana yang menyebabkan perasaan setiap orang menjadi lebih sensitif, lebih peka, serta cenderung emosional, sangat mudah memicu timbulnya konflik sosial di antara sesama korban bencana. Kiranya konflik-konflik tersebut dapat diendapkan dan dihindarkan serta dijauhi oleh manusia Jawa, apabila mereka menyadari akan peran dan kedudukannya di alam ini, antara lain bila manusia Jawa memahami dan menyadari dalam melihat ketiga hubungan manusia tersebut. Ritus budaya Jawa yang selama ini telah menj adi tuntunan kehidupannya, kiranya jangan berhenti sebatas ekspresi budaya semata, hanya sebatas seremonial belaka. Namun, semangat atau spirit yang terkandung di dalam ritus budaya Jawa hendaknya harus dipegang dan diterjemahkan untuk selanjutnya diaplikasikan dan diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kegiatan nyata pemulihan pascabencana harus didasari dalam kerangka kearifan dalam melaksanakan sebuah ritual. Hubungan manusia dengan alam harus diselaraskan, hubungan manusia dengan Tuhan (Pencipta) harus diseimbangkan, serta hubungan manusia dengan manusia harus diperbaiki kembali. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan membangun suatu tatanan kehidupan yang seimbang, rukun, selaras serta harmoni.

Melalui ritual budaya lokal, manusia Jawa diajak kembali untuk berpijak kepada tradisi, melihat kembali kearifan lokal yang pernah hidup dan diwarisi dari para leluhur, nenek moyang serta para sesepuh mereka. Kesadaran kolektif manusia Jawa muncul kembali, sehingga mereka sadar bahwa perilaku manusia Jawa, sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan perilaku alam lingkungan yang telah memberikan penghidupan baginya. Pada dasarnya, ritus budaya Jawa merupakan penyatuan antara harapan, doa, dan niat mulia manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Kondisi korban pascabencana yang cenderung menjadi lebih sensitif karena kondisi yang dialami, kiranya semangat kebersamaan harus terus ditumbuhkan, dipupuk dan dilestarikan untuk mencegah terjadinya konflik sosial.

Dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda negeri ini ternyata telah menunjukkan bahwa di antara warga masyarakat maupun bangsa Indonesia secara umum sebenarnya memiliki modal sosial yang sangat besar dan kuat. Dalam skala nasional, dengan terjadinya bencana ternyata telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk mengenyam kembali modal sosial yang pernah tersimpan selama ini. Mungkin di antara kita bisa mengenali kembali modal sosial yang ada di dalam keluarga kita, di dalam kehidupan warga masyarakat, yayasan/lembaga, hingga kepada hal yang paling besar dan kompleks seperti institusi negara. Di sinilah saatnya mulai tumbuh rasa solidaritas sosial yang selama ini mungkin sempat hilang dan tenggelam akibat sikap egosentrisme kelompok, pertikaian politik maupun konflik sosial yang marak terjadi selama ini. Kini saatnya kita memiliki peluang emas untuk merajut kembali ikatan persaudaraan yang sempat mengendur, dengan menumbuhkan kembali kegotongroyongan, kebersamaan, kerukunan serta kejujuran.

Setelah melihat realita yang terjadi di masyarakat saat ini dengan munculnya berbagai ritus budaya Jawa pascabencana, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah semangat tradisi budaya itu benar¬benar telah merasuk dalam kehidupan masyarakat Jawa. Atau, apakah ritual budaya tersebut hanya sekedar ‘etalase’ budaya yang marak dalam waktu sesaat dan akan hilang dalam waktu sekejap saja? Kiranya jawaban pertanyaan ini berpulang kepada diri kita masing-masing sebagai penyangga serta pemilik identitas sebagai manusia Jawa, sehingga apakah nilai-nilai budaya Jawa perlu untuk tetap dilestarikan dan diwariskan kepada pewarisnya?.

Penutup
Dengan maraknya berbagai ekspresi budaya lokal yang tercermin dalam beberapa ritual yang dilakukan warga masyarakat Jawa pascagempa, sedikitnya telah mengingatkan kita kepada bentuk-bentuk nilai-nilai luhur budaya Jawa, ternyata sangat penting bagi kehidupan kita. Rasa kebersamaan, kegotongroyongan, saling bantu membantu, kerukunan, serta tolong menolong, kiranya merupakan “senjata ampuh” guna menanggulangi berbagai permasalahan yang sedang dihadapi saat ini.

Di tengah mencuatnya berbagai ujian persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga mengakibatkan perseteruan, konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa sekalipun semenjak pascabencana, maka nilai-nilai peradaban budaya Jawa yang mengedepankan budaya dan etika kiranya memang sangat diperlukan. Di saat nilai-nilai budaya Jawa mulai terkikis oleh derasnya ombak modernitas, ternyata ia masih mampu bertahan. Oleh karenanya, aspek budaya lokal pada dasarnya mempunyai potensi sebagai perekat bagi terciptanya keutuhan sebuah bangsa. Keanekaragaman budaya lokal yang tercermin dalam berbagai ritual, tradisi, serta semboyan maupun pandangan hidup, selain menjadi identitas dan jati diri bagi suatu sukubangsa, ternyata mempunyai peran yang cukup kuat dalam menciptakan kerukunan, kebersamaan serta keselarasan, di antara sesama warga.

Perubahan paradigma pembangunan saat ini yang menekankan kepada otonomi daerah kiranya sangat memberi peluang terhadap tumbuh berkembangnya budaya lokal termasuk budaya Jawa, sebagai salah satu pedoman bagi kehidupan masyarakat Nilai-nilai dalam budaya lokal diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan. Di samping itu, dengan memelihara, meningkatkan, serta mengembangkan budaya lokal yang bersumber pada nilai-nilai adat tradisi, yang selanjutnya akan membentuk dan memperkuat jati diri daerah, serta mendukung berkembangnya kemandirian daerah, kiranya perlu dilestarikan dan diaplikasikan. Akhirnya, nilai-nilai yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal bisa menjadi identitas dan jati diri bagi seseorang, sukubangsa serta bangsa (nation). Oleh sebab itu, kehidupan yang selalu menekankan kepada aspek kekerabatan (peseduluran) dengan mengedepankan sikap kebersamaan, kerukunan, kegotongroyongan, tentu akan menghasilkan kehidupan masyarakat yang rukun, adem ayem, serta tentrem, jauh dari terjadinya konflik sosial.

Akan tetapi pertanyaan penting yang masih perlu direnungkan dan dicari jawabannya adalah apakah sikap-sikap seperti rukun, guyub, adem ayem, tentrem tersebut, harus muncul setelah bencana terjadi?

Daftar Pustaka
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.

Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Kedaulatan Rakyat. 2006. “Kebangkitan Yogyakarta, Kebangkitan Indonesia”, dalam Tajuk Rencana, Yogyakarta, 20 Juni 2006.

1 Dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2006, hal. 10

2 Keesing, Roger dan Godenough, Antropologi Budaya, Suatu Perspekstif Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1999, hal. 68

3 Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan (terjemahan), Kanisius, 1992, hal. 15

4 Adam Kuper and Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Press, 2000, hal. 155

Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata


Pendalungan : Sebuah `Periuk Besar' Masyarakat Multikultural~

Oleh: Christanto P.Raharjo

Awalan
Dalam konteks sosio-politik Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut antara lain: (a) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember, (b) Aksi pembakaran gereja di Situbondo tahun 1995, (c) Kasus perebutan tanah antara penduduk dan militer di Sukorejo Jember, (c) Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998, dan (d) Aksi masyarakat ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan tahun 2002. Peristiwa-peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah-wilayah tersebut beserta komunitas pendukungya sebagai tempat bersemainya kekerasan karena latar belakang budaya Madura sebagai warga mayoritas. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa kekerasan tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini mem-blow u~ peristiwa kekerasan di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan wilayah ini dinamakan Pendhalungan.
Pendhalungan dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Pendhalungan memang berada pada `ruang lain kebudayaan'. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Pendhalungan hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai `liyan' (the other) yang kurang diminati. Di samping itu, masyarakat Pendhalungan dianggap kurang memiliki atraksi kultural yang bisa dijadikan ikon sepertihalnya wilayah kebuadayaan lain di Jawa Timur (semisal Tengger, Osing, Panaragan, Mataraman, Arek, Madura ataupun Samin) sehingga kurang menarik untuk dijadikan bahan kajian. Tetapi, benarkah `posisi pinggir' dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan Pendhalungan kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis? Tulisan berikut merupakan naskah awal untuk membahas potret sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Pendhalungan.

Menemukan Pendhalungan: Sebuah Defe~i~i Awal
Sampai saat ini, dikarenakan keterbatasan kajian dan referensi, pengertian tentang Pendhalungan masih kabur. Tidak ada kejelasan mulai kapan sebenarnya istilah `Pendhalungan' digunakan. Memang dalam praktiknya, masyarakat awam seringkali mengatakan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan. Beberapa pakar sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi memberikan definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.'

Memang ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di wilayah ini. Tesis tentang perpaduan dan adaptasi budaya memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota, meskipun pada akhirnya tetap berorientasi pada budaya Jawa. Di Jember, misalnya, interaksi antara warga Madura dan Jawa melahirkan sebuah Bahasa Jawa Dialek Jember yang mempunyai perbedaan dalam struktur dengan Bahasa Jawa pada umumnya4.

Dalam konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian berakar dari budaya Jawa. Di Desa Candi Jati, Kecamatan Arjasa Jember, misalnya, ada kelompok ludruk Mara Jaya yang dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Madura karena memang komunitas penontonnya berasal dari etnis Madura. Di Desa Panti, terdapat kelompok jaranan Turonggo Sakti yang memadukan jaranan Jawa dan Osing, sedangkan para pelakukanya merupakan campuran antara warga etnis Madura, Jawa, dan sebagian kecil Osing.

Beberapa definisi dan contoh-contoh di atas sepintas memang sudah mewakili definisi Pendhalungan dalam perspektif perpaduan budaya. Namun citra yang dimunculkan dari definisi semacam ini adalah adanya proses subordinasi terhadap budaya Madura oleh budaya Jawa, meskipun kondisi tersebut tampak sebagai sebuah proses alamiah. Dengan kata lain budaya Jawa berposisi sebagai ordinat, sedangkan etnis Madura sebagai subordinat yang berusaha untuk beradaptasi dan kemudian `menjadi Jawa' secara kultural. Apakah ini yang dinamakan Pendhalungan ketika orang Madura dalam sosialisasi dan adaptasi dengan masyarakat Jawa, secara evolutif menjadi `Jawa Pendhalungan'? Mungkin sebagian pakar berpikir demikian dan itu tidak bisa disalahkan karena fakta tersebut benar-benar terjadi dan sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Lumajang (terutama di wilayah pusat kota dan pinggiran kota).

Kusnadi—dengan lebih menekankan sisi genetik—menjelaskan pengertian lain tentang Pendhalungan dari hasil wawancaranya dengan salah satu informan di Jember sebagai berikut:
......Pak Mangun (51), penduduk Tegal Boto, Jember. Ia dilahirkan di Panaongan, Sumenep Utara, Madura. Ketika bekerja di Jember, ia menikah dengan seorang perempuan Tegal Boto yang disebut sebagai orang Jawa. Pada umumnya, orang Jawa yang menjadi penduduk asli Tegal Boto adalah orang Osing. Ketika penulis bertanya tentang siapa-siapa yang bisa disebut sebagai orang Pendhalungan, Pak Mangun berkata, "Saya ini kan orang Madura. Isteri saya orang Jawa. Dari perkawinan tersebut, saya dikaruniai 2 anak perempuan. Nah, 2 anak saya itu yang bisa disebut sebagai orang Pendhalungan. Beberapa informan di Situbondo juga menyampaikan hal serupa tentang makna Pendhalungan~.

Tetapi pendapat tersebut menurut Kusnadi cenderung mempermudah pemahaman identitas tentang identitas budaya Pendhalungan di tataran masyarakat awam. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa budaya Pendhalungan merupakan hasil dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya.

Pengertian terakhir yang diberikan oleh Kusnadi rupanya sejalan dengan makna kata `Pendhalungan' yang diberikan oleh Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra Jawa¬Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pendhalungan berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti "periuk besar". Dalam konsep simbolik, `periuk besar' bisa didefinisikan sebagai tempat bertemunya bermacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebudayaan kemudian saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang disebut Pendhalungan.

Definisi tersebut akan menjadi pijakan utama dalam membahas Pendhalungan di makalah ini karena dalam konteks historis maupun sosio-kultural interaksi dan komunikasi beragam etnislah—tidak hanya Jawa dan Madura—yang telah menciptakan kondisi kultural masyarakat Pendhalungan. Pendekatan multikultural juga akan menjadi alat bantu dalam menganalisis perkembangan masyarakat Pendhalungan dewasa ini. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan menghasilkan kajian yang lebih komperhensif tentang bagaimana kondisi, peran, kontestasi, dan beragam kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.

Pendhalungan: Hibridasi dan Orkestra Multikultural dalam Sebuah Periuk Besar
Membicarakan Pendhalungan dalam konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa menegaskan keberadaan etnis lain, selain Jawa dan Madura. Tionghoa, Arab dan Osing, meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut berpartisipasi dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Di Jember, misalnya, sejak migrasi era kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat multietnis'.

Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat secara kontinyu berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan beradaptasi untuk saling melengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada yang berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap.

Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pendhalungan. Memang sebagai dua etnis mayoritas, Pendhalungan kemudian lebih bernuansa perpaduan Jawa dan Madura. Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yang luas, maka bisa dimunculkan tesis baru. Pendhalungan merupakan Kiroses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari Kieran sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Pendhalungan merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.

a. Hibridasi ala Pendhalungan
Pieterse (dalam Barker) menjelaskan bahwa hibridasi struktural merupakan proses perpaduan yang menghasilkan piihan organisasional bagi masyarakat sedangkan hibridasi kultural membedakan berbagai respons budaya yang merentang dari asimilasi, bentuk¬bentuk pemisahan, sampai dengan hibrida yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat¬sekat budaya sehingga terjadi persilangan serta munculnya `komunitas terbayang' meskipun tidak selamanya sekat masing-masing budaya terhapus (2004: 208). Artinya, dalam masyarakat Pendhalungan yang multietnik telah terjadi persilangan peran sosial teruatama dalam pilihan organisasi sebagai akibat dari saling berinteraksinya budaya mereka. Saat ini, misalnya, sudah banyak warga etnik Madura yang memilih untuk menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga bukan lagi menjadi dominasi etnis Jawa. Sedangkan hibridasi kultural yang terjadi pada masyarakat Pendhalungan merupakan percampuran bermacam bahasa dan tradisi multietnik yang membentuk `budaya baru' meskipun tidak selamanya baru.

Budaya baru tersebut berbentuk, misalnya, Bahasa Jawa Dialek Jember, yang digunakan komunitas Madura dan Jawa yang bertempat tinggal di kota dan pinggiran kota. tiga etnis tersebut juga melakukan proses interaksi dengan warga Jawa dan Madura. Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksi dagang, banyak berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Madura maupun Bahasa Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan etnis Arab. Di kota-kota kecamatan, seperti Ambulu Jember, kita bisa menjumpai perkampungan Arab di mana warganya banyak yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur logat Bahasa Arab.

Sedangkan dalam tradisi kesenian, disamping penterjemahan konsep kesenian Jawa ke dalam Bahasa Madura, juga terjadi keterlibatan lintasetnis dalam kesenian Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa merubah format pertunjukan maupun bahasanya. Dalam kesenian Barongsai dan Liang liong Jember, misalnya, banyak anggota—baik penari maupun pemusiknya—yang berasal dari etnis Madura maupun Jawa. Begitupula yang terjadi dengan penggarapan kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga melibatkan etnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas, meskipun telah terjadi hibridasi, namun di Pendhalungan tetap belum menghasilkan `sesuatu yang sepenuhnya baru'. Dengan kata lain ada kesadaran dan kemauan personal untuk berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian etnis lain—baik karena motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya—dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri budaya etnis asal mereka.

Di samping hibridasi yang berorientasi pada keterlibatan personal, ada juga hibridasi yang menghasilkan bentuk kesenian baru, semisal kesenian Can -Macanan Kaduk dan Musik Patrol (Jember), Singo ~lung dan lFayang Kerte (Bondowoso). Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can ~Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan Wayang Kerte, terbuat dari kayu pipih (seperti wayang krucil) namun karakter dan ceritanya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

b. Orkestra Multikultural Masyarakat Multietnik
Selain membicarakan Pendhalungan sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita juga bisa membicarakan Pendhalungan dalam konteks masyarakat multikultural. Mengapa demikian? Karena di samping ditemukannya data tentang perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya baru, di wilayah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya budaya masing¬masing etnis yang tetap dipertahankan dalam sebuah proses sosial yang menempati ruang dan waktu yang sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetap kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan identitas masing¬masing demi terjaganya jati diri dan, meminjam istilah Barker (2004: 209), absolutisme etnis. Hal itu membuktikan tesis yang dilontarkan Pietersen bahwa meskipun terjadi proses hibridasi ketika berada dalam ranah interaksi sosial, tetapi identitas etnis tidak terhapus begitu saja dalam tataran kognitif dan praktis kehidupan mereka.

Di Jember, misalnya, kondisi tersebut sangat tampak ketika kita melihat aktivitas budaya di wilayah selatan dan utara. Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial, masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah selatan Jember (seperti Ambulu, Wuluhan, Balung, Puger, Gumukmas, Kencong, Jombang, Umbulsari, dan Semboro) sampai saat ini masih mempraktekkan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa, kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Ambulu dan Wuluhan, misalnya, sampai saat ini masih melestarikan kesenian Beog yang berasal dari nenek moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua masyarakat di selatan juga menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari. Sedangkan untuk urusan pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan formal, meskipun di sana juga terdapat pondok pesantren.

Di wilayah utara, masyarakat tetap bertahan pada orientasi budaya Madura. Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di Kecamatan Arjasa, Jelbug, Sukowono, Kalisat, Sumberjambe, Ledokombo, Mayang, dan sebagian Pakusari. Di samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar melihat pertunjukan Hadrah sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi pendidikan etnis Madura. Pengajian juga menjadi acara favorit karena di samping mendapatkan wejangan-wejangan tentang Islam, mereka juga bisa bertemu dengan para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak kyai) yang dianggap bisa mendatangkan berkah bagi kehidupan warga.

Sedangkan di wilayah tengah—kota dan pinggiran kota—di samping berdagang, etnis Tionghoa—sebagai berkah reformasi politik nasional—juga mulai mengembangkan kesenian Barongsai dan Liang liong sebagai kesenian khas mereka. Pada peringatan Imlek, kesenian ini dipertontonkan menyusuri jalan-jalan protokol kota Jember. Meskipun generasi mudanya sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dengan aksen Tionghoa, Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenalkan lagi. Dalam hal pendidikan sebagian besar warga etnis Tionghoa tetap menyekolahkan anak¬anaknya ke sekolah-sekolah yang dikelola gereja, seperti SD, SMP, dan SMA Santo Yusuf, SMA Setya Cadika, dan lain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuh mempertahankan identitasnya dengan tetap melestarikan pernikahan sesama etnis. Mereka juga masih mempertahankan Musik Gambus sebagai pemenuh kebutuhan estetiknya.

Fakta-fakta di atas merupakan sisi lain Pendhalungan. Sebuah komunitas budaya yang selama ini hanya dianggap bercirikan perpaduan budaya Jawa dan Madura, ternyata menyimpan `sebuah orkestra multikultural' yang berjalan dengan harmonis dan dinamis. Meskipun seringkali dikatakan menghasilkan produk budaya hibrid yang dinamakan Pendhalungan ternyata mereka tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk pemertahanan identitas kultural etnis masing-masing. Mereka yang selama ini melangsungkan kehidupan dalam `sebuah periuk besar' di Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Lumajang ini berhasil mengembangkan satu bentuk masyarakat multikultural yang sangat toleran dalam menghargai perbedaan.

Orkestra multikultural dalam sebuah periuk besar bernama Pendhalungan ini merupakan sisi positif dari sebuah keberagaman yang semestinya terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Komunitas Pendhalungan dengan segala kekurangannya telah memberikan contoh tentang bagaimana membangun kesadaran bersama dalam masyarakat multikultural. Parsudi Suparlan dalam makalahnya mengatakan:

Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut8.

Menyitir pendapat di atas, bisa dikatakan bahwa komunitas pendukung di wilayah kebudayaan Pendhalungan ternyata tidak hanya membuat mozaik budaya, tetapi lebih dari itu, mereka telah menghasilkan orkestra multikultural yang indah di tengah suburnya lahan pertanian dan perkebunan serta denyut nadi bisnis modern dan pendidikan yang mulai menggeliat. Masyarakat Pendhalungan berhasil menggugurkan analisis yang dilontarkan Muhaemin el-Mahdy yang mengatakan bahwa:

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara¬Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok9.

Ternyata selama puluhan—bahkan ratusan—tahun masyarakat Pendhalungan berhasil menciptakan mekanisme interaksi sosial yang mampu menjaga keharmonisan dalam kontestasi budaya masing-masing etnis.

Simpulan
Sepertihalnya sebuah orkestra yang mengusung perpaduan dari permainan bermacam instrumen musik dalam irama harmonis, Pendhalungan bisa dikatakan sebagai `sebuah proses yang akan terus menjadi' di tengah-tengah keragamannya. Artinya apa-apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahami dari wilayah kebudayaan ini adalah sesuatu yang belum mapan (established) dan akan terus menjadi sesuai dengan gerak dinamis kebudayaan etnis-etnis pendukungnya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilontarkan. Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpaduan kebudayaan masing-masing etnis di wilayah ini akan menghasilkan sebuah budaya yang `benar-benar baru' sehingga orang-orang di luar komunitas ini tidak lagi akan mengatakan Jawa Pendhalungan, Madura Pendhalungan, Tionghoa Pendhalungan, ataupun Arab Pendhalungan, tetapi benar-benar mengatakan Kamu Pendhalungan. Kedua, Pendhalungan akan tetap seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada juga atraksi kultural dari masing-masing etnisnya dengan suasana yang semakin dinamis karena datangnya etnis-etnis lain dari seluruh bagian Indonesia, baik karena alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Semuanya bisa saja terjadi dan semuanya akan berdampak positif selagi komunitas pendukung menyadarinya. Yang tidak baik adalah ketika periuk besar ini hancur karena sengaja dipecah oleh mereka yang mengatasnamakan kebenaran demi kepentinganpolitik, agama, ekonomi, ataupun perut.

Catatan akhir
Dr. Harry Yuswadi, M.A. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Penerbit Kompyawisda, hal.101.

4 Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketika mereka berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang berbeda jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1) beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap Bahasa Jawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari¬hari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura (EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku. Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakan usaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal. 1-13.

5 Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol. II/No.2/2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal.3-4.

6 Ibid.
7 Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kuda juga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.

Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.

9 Muhaemin el-Ma'hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diakses dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.

Daftar Bacaan
Barker, Chris.2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. (terjemahan Indonesia oleh Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

el-Ma'hady, Muhaemin. "Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural" dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.

Kusnadi. "Masyarakat "Tapal Kuda": Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik", dalam JurnalIlmu-ilmu Humaniora, Vol.IIINo.2IJuli 2001.Fakultas Sastra Universitas Jember.

Prawiroatmodjo, S.198~. Bausastra Jawa—Indonesia I. Jakarta: Gunung Agung.

Suparlan, Parsudi. "Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural", makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.

Sutarto, Ayu. 2004 "Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur", dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana (et.als). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.

Wibisono, Bambang dan Akhmad Sofyan. "Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)", dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humanioara, Vol.IIINo.1IJanuari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.

Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.

Christanto P.Raharjo Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember.

Sumber :
Makalah disampaikan dalam kegiatan Jelajah Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di Jember 13 Agustus 2006.