Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Rumah Adat Karo


Oleh : Eddy Suranta Sembiring

Mengenal sejenak Rumah Adat
Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.

Nilai Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Nilai Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo
Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Nilai Kebersamaan dari Rumah Adat Karo
Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat. Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan, kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.

Sumber : http://deparita.multiply.com

Busana Dalam Konteks Sosial Budaya Masyarakat Aceh Dan Konteks Kekinian

Oleh : Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA

Prawacana
Busana dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat. Isu busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di Aceh, dan terutama di Bumi Teuku Umar patut mendapatkan perhatian banyak pihak, sebagai suatu realitas sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”.

Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks Aceh hari ini, memiliki latar belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial budaya. Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan jawaban akademik dan praktis. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang (social equilibrium).

Keempat simpul yang menjadi background munculnya isu busana sebagai isu sosial di Aceh, termasuk di Aceh Barat adalah sebagai berikut :

Pertama, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang dikenal kental dengan ajaran syari’at Islam. Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku masyarakat Aceh sejak puluhan abad yang lalu. Masyarakat Aceh menjadikan syari’at Islam sebagai nilai, norma dan standar etika yang memayungi setiap gerak individu dalam kehidupan keseharian. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti oleh seluruh masyarakat Aceh. Nilai, norma dan etika yang dijadikan referensi masyarakat Aceh dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, pada akhirnya melahirkan panduan baku dalam menjalankan sejumlah interaksi sosial.

Proses internalisasi ajaran syari’at Islam menjadi nilai sosial positif ditengah masyarakat Aceh, melalui proses panjang yang berangkat dari pemahaman teks keagamaan. Pemahaman keagamaan sangat dipengaruhi oleh situasi ketika teks itu dibicarakan atau diimplementasikan dalam realitas masyarakat Aceh. Situasi sosial, kultur dan politik ikut juga mempengaruhi proses internalisasi ajaran syari’at menjadi nilai moral, dan nilai kultur yang bersifat implementatif. Dengan demikian, norma, nilai dan etika yang bersifat implementatif, merupakan pemaknaan dari ajaran normatif syari’at Islam.

Dari sisi ajaran normatif syari’at, busana bagi muslim memiliki posisi tersendiri, sehingga sejumlah teks memberikan ruang agar manusia memaknai busana yang dikenakannya sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihargai, dihormati dan dijunjung tinggi. Busana dengan konsep menutup aurat, merupakan bentuk aktualisasi dari nilai budaya suatu komunitas manusia. Oleh karena itu, ketika nilai sosial-budaya yang melekat pada busana/pakaian yang filosofinya menutup aurat, digeserkan pada situasi lain yang berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku selama ini, hampir dapat dipastikan munculnya gelembung dan gejolak sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kerangka pikir di atas secara praktis akan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat kenapa masyarakat muslim menggunakan pakaian yang tidak sejalan dengan aturan syari’at Islam. Bukankan syari’at telah memberikan batasan yang jelas bagaiamana pengaturan mengenai pakaian atau busana yang mesti digunakan oleh masyarakat muslim. Pertanyaan ini muncul di sebagian masyarakat muslim Aceh Barat selama ini, melihat sebagian masyarakat muslim menggunakan pakaian yang diklaim sebagai pakaian yang tidak mencerminkan nilai-niliai yang bersumber pada ajaran agama Islam. Namun, sebagian pandangan memahami apa yang digunakan oleh masyarakat muslim selama ini, dianggap sejalan dengan nilai etika yang berasal dari ajaran Islam. Perbedaan pandangan iniliah yang telah memunculkan reaksi dari berbagai pihak mengenai bagaimana semestinya pakaian /busana yang tepat bagi seorang muslim.

Kedua, Aceh memiliki otonomi khusus dalam menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah). Kewenangan yang dimiliki Aceh dalam menjalankan syari’at Islam mendapat payung hukum yang cukup kuat yaitu UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk menjadikan aturan hukum syari’at yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai hukum positif. Kedua undang-undang ini mendorong rekonstruksi aturan syari’at menjadi hukum positif negara. Proses rekonstruksi materi syari’ah menjadi norma hukum positif dilakukan melalui proses legislasi yang melahirkan Qanun Aceh.

Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur urusan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama Gubernur merupakan wahana yang diberikan sistem hukum Indonesia untuk menampung norma hukum syari’ah, hingga menjadi aturan tertulis yang dapat ditegakan oleh negara. Oleh karenanya, materi qanun sangat terbuka ruang diskusi, sehingga sering dikontraskan dengan apa yang tertulis secara literal dalam teks al-Qur’an dan al-Hadis, dan bahkan tidak jarang pula dikontraskan dengan pemahanan atau pandangan ulama yang terdapat di dalam sejumlah buku-buku fiqh.

Pengaturan busana bagi masyarakat muslim dalam Qanun Aceh belum mendapat tempat secara jelas dan tegas. Qanun tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam hanya mengatur secara umum prinsip berbusana islami yaitu menutup aurat, dengan tidak merinci secara spesifik norma-norma hukum yang harus diikuti seseorang dalam menggunakan busana islami. Akibatnya, prinsip busana islami yang tertera dalam Qanun Aceh diberikan tafsiran secara beragam oleh masyarakat guna mengukur prilaku seseorang dalam berbusana. Keragaman tafsiran mengenai norma hukum yang digunakan telah menimbulkan sejumlah perbedaan dalam memaknai pakaian/busana islami yang memenuhi standar syari’at. Dalam kenyataan sering ditemukan sekelompok orang mengklaim bahwa busana yang ia kenakan sejalan dengan syari’at dan sebagian lagi mengklaim bahwa pakaian yang dikenakan orang tertentu tidak sejalan dengan syari’at. Kecenderungan menilai bahwa busana yang dikenakan seseorang memenuhi standar atau tidak memenuhi standar, sangat tergantung pada nilai yang dianut oleh suatu komunitasnya. Nilai ini bisa saja berbeda antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain.

Ketiga, terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa tindakan yang diambil petugas yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penertiban busana islami terkesan tidak lagi menjurus kepada pesan tazkir dan ta’dib tetapi lebih dirasakan menjurus kepada perlakuan yang dianggap tidak tepat dan tidak adil. Kekhawatiran seperti ini sangat wajar terjadi melihat realitas di mana sosialisasi yang terbatas ikut mempengaruhi terbangunnya persepsi miring terhadap penertiban dan pembinaan masyarakat yang berbusana islami. Harus diakui pula bahwa terdapat juga sekelompok orang yang memproklamirkan diri sebagai penegak syari’at, tetapi melakukan tindakan yang dianggap jauh dari nilai kemaslahatan dan kedamaian. Padahal kedua nilai ini semestinya dijunjung tinggi oleh pelopor dan penegak syari’at.

Keempat, busana mendapat tempat dalam setiap tatanan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Tatanan nilai ini dapat saja berbentuk wahana nilai agama, nilai hukum, nilai sosial, nilai budaya, nilai kesehatan, nilai etika maupun nilai estetika. Nilai-nilai ini diharapkan menjadi kongkrit dalam realitas sosial yang dapat memandu anggota komunitas dalam penggunaan busana. Semakin kongkrit nilai yang ada dalam persepsi masyarakat, semakin mudah masyarakat memahami dan menjadikannya sebagai patokan prilaku terutama dalam kaitannya dengan busana. Walaupun dalam masyarakat tradisional, pengkongkretisasian nilai melalui sejumlah “areal” tidak begitu penting, karena dalam masyarakat tradisional nilai dinyatakan sebagai sesuatu yang melekat di dalam setiap anggota komunitas, dan mereka sendiri yang merasakan pentingnya ditegakkan nilai-nilai itu. Sebaliknya, dalam kehidupan masyarakat modern, nilai-nilai abstrak yang dianut dan dipersepsikan masyarakat memerlukan pengejawantahan secara kongkrit dalam norma positif, sehingga akan memudahkan untuk diukur dan dijadikan patokan dalam setiap prilaku termasuk dalam berbusana. Oleh karenanya, kekosongan kongkretisasi nilai telah menyebakan ketidakseragaman apresiasi masyarakat terhadap nilai itu. Hal ini dapat dibuktikan dalam diskursus busana islami yang terjadi selama ini di Aceh.

Realitas di atas dapat dianggap menjadi background munculnya diskursus panjang seputar busana di kalangan masyarakat muslim, telah mengharuskan kita memetakan sejumlah premis antara lain ; bagaiamana busana dimakna dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh yang islami. Busana dalam bungkus budaya islami tentu tidak bisa menutup diri secara rapat, karena individu merupakan urat nadi budaya yang tidak pernah berhenti berinteraksi dengan sejumlah komponen budaya lain, di antaranya teknologi dan informasi. Kehidupan masyarakat yang semakin hari terus melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan modern, tentu ikut mempengaruhi konstruksi budaya mengenai busana dalam konteks kekinian. Hal ini patut pula kita cermati, karena busana sebagai hasil konstruksi budaya tidak pernah statis dan kaku, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.

Busana dalam seting sosial-budaya
Studi busana dalam seting sosial budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values) yang dianut oleh suatu masyarakat. Nilai tersebut dapat saja bersumber dari ajaran agama atau nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh para leluhur sebagai warisan yang dipegang dan dianut oleh suatu komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi orang-orang terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh generasi selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga eksistensi nilai kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.

Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai (values), bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau menjaga jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat. Nilai yang diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran agama maupun nilai budaya, akan menempatkan individu dalam komunitas sebagai makhluk berbudaya. Oleh karenanya, esensi budaya tertumpu pada seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota masyarakat, yang mana nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku anggota masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan bahkan nilai estetika.

Dalam masyarakat Aceh pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah norma (norm) yang berasal dari syari’at Islam. Ajaran syari’at merupkan sumber nilai moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat Aceh. Nilai yang lahir dari perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat Aceh tidak akan dikonsepsikan sebagai nilai sosial atau budaya Aceh, jika bertentangan dengan nilai yang berasal dari ajaran syari’at Islam. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Aceh adalah syari’at Islam. Oleh karenanya, Ali Hajsmy menyatakan secara tegas bahwa budaya Aceh adalah syari’at Islam, dan jika ada nilai yang dikonsepsikan atau dikonstruksikan sebagai budaya yang bertentangan dengan syari’at Islam bukanlah budaya Aceh. Pandangan Hasjmy ini mempertegas pemahaman bahwa prilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat akan selalu mengacu pada standar nilai syari’at Islam.

Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh cenderung dipahami dalam dua perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Kedua, busana sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat Aceh cenderung mengikuti pola yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Busana masyarakat Aceh yang berakar dari ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi sosialnya. Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas masyarakat, tetapi busana menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat, serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka budaya masyarakat Aceh, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.

Busana dalam masyarakat Aceh didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.

Busana Dalam Konteks Kekinian
Secara alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan kehidupan manusia bisa saja terjadi secara berurut, teratur dan gradual, tetapi dalam realitasnya perubahan dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan cenderung revolusioner. Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat dan potensi diri sebagai anugerah Tuhan guna melalukan perubahan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk mulia, bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan ditujukan untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual. Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati manusia, sehingga dijadikan rujukan dalam setiap prilaku.

Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah dari waktu ke waktu. Nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan umumnya berasal dari ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi manusia terhadap ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder.

Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien, ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien, ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial. Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes, bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan profesionalitas keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris. Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun estetika. Nilai dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula oleh individu ditengah-tengah masyarakat.

Purnawacana
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh dan konteks kekinian.

1. Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.

2. Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.

3. Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi dan persepsi masyarakat yang berkembang untuk suatu kurun waktu tertentu.

4. Busana islami adalah busana yang modern, busana yang mendukung kreatifitas manusia dan busana yang memiliki nilai etis dan estetis, serta tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran syari’at Islam.

Dengan demikian patokan dasar busana yang dikenakan oleh masyarakat muslim adalah :

a. Norma Agama, Moral, Kepatutan, Etika dan Estetika
b. Menutup seluruh aurat

1. Dari material yang halal
2. Tidak sempit dan membentuk tubuh
3. Harus berbeda dengan pemeluk agama lain
4. Berbeda dengan pakaian laki-laki
5. Bukan pakaian untuk dibangga-banggakan dan tidak mempesona orang lain

Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Penegakan Syari’at Islam dalam Pemakaian Busana Islami di Bumi Teuku Umar, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat tanggal 19-20 Desember 2009 di Meulaboh.

Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA Guru Besar Fak.Syari’ah IAIN Ar-Raniry dan Pembantu Rektor IV IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

Sumber : http://www.gsfaceh.com

Tari Topeng Cirebon


Kesenian Topeng di Indonesia merniliki khasanah yang cukup beraneka, tersebar di antara kelompok budaya se-Indonesia. Dalam hal ini Jawa Barat ikut memberikan sahamnya yang sampai sekarang sempat pula berperan serta pada pergelaran Seni Tani Topeng dalam lingkungan Nasional maupun Internasional

Di Jawa Barat, wilayah Cirebon menjadi sumber Kesenian Topeng Jawa Barat dan sampai kini mampu dipertahankan.

Suatu kenyataan bahwa pusat Kesenian Topeng di wilayah Cirebon tersebar luas di desa-desa, bukan berpusat di Keraton. Pewarisannya dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, yaitu dari orang tua diturunkan ke sanak keluarga sebagai penerusnya yang hingga kini masih tekun mempertahankannya. Ketahanan ini disebabkan adanya kesadaran bahwa meneruskan seni leluhur (karuhun) merupakan pancen (keharusan), dan penerusannya adalah tanggung jawab sanak keluarga. Hal ini dapat terjalin karena dukungan pranata sosial masyarakatnya yang memiliki kesadaran bahwa Kesenian Topeng merupakan kelengkapan spiritual kehidupan.

Jenis-Jenis Kesenian Topeng
Pada rumpun Tan Topeng ini umumnya ciri setiap pelaku penari dalam memerankan karaktemya menggunakan tutup muka atau kedok; yang dibuat dari bahan kayu dalam ukuran khusus dengan bentuk wajah dan warn disesuaikan dengan karakter tokoh yang akan ditarikan. Pemakaian topeng ini sebagai rias muka yang dapat diganti dalam waktu singkat.

Tari topeng yang masih menggunakan tutup muka atau kedok tersebut sampai saat ini masih terdapat di beberapa daerah di Jawa Barat di antaranya yang paling baku di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka. Namun tariannya di antaranya: Tani Topeng Panji; bentuk topeng karakter halus warna putih ukiran mata sipit tetapi memiliki daya magis dan kedalaman pandang sebagai salah seorang yang berwibawa dan berbudi luhur. Tan Topeng Pamindo; bentuk topeng karakter remaja memiliki daya tank gembira, warna hijau muda atau kadang-kadang hiasan rambut berwarna putih dan bibir sedikit terbuka. Tari Topeng Rumiang; bentuk topeng karakter di atas karakter Pamindo, hiasan rambut merah muda dan nampak bibir senyum seolah-olah memiliki puncak keremajaan yang mengagumkan. Tari Topeng Tumenggung atau Patih; bentuk topeng dewasa mata terbuka, berkumis, dahi lebar berwajah merah jambu memiliki kemampuan sebagai seorang pejabat Patih Tumenggung atau patih dari suatu kerajaan.

Tani Topeng Kelana; bentuk topeng karakter angkuh atau sosok manusia sombong, pada ukiran ini tampak hiasan kepala memakai siger jambang, mata lebih nampak bengis berkumis tebal serta bibir gigi gereget kesan marah yang tidak puas-puas, warna muka merah tua.

Tari topeng lainnya adalah sejenis Topeng Panakawan atau topeng yang dibuat khusus untuk penari yang bila memerankan tokoh lainnya yang sejenis. Topeng jenis ini disebut Topeng Jantuk; artinya topeng dibuat setengah hanya dari bagman hidung ke atas, bagian bawah terbuka bebas mulut asli tetap nampak.

Topeng-topeng semacam ini di Jawa Barat umumnya dipergunakan dalam pertunjukan Topeng Banjet yang masih ada di daerah Bekasi, Depok, dan Kabupaten Bogor bagian utara.

Kembali kepada wilayah cikal-bakal Kesenian Topeng di Jawa Barat, yaitu Cirebon, di sini terdapat Seni Topeng Babakan, Seni Wayang Wong (wayang topeng), dan Seni Bengberokan atau Bangbarongan. Kenyataannya sekarang Seni Topeng Babakan yang paling banyak tampil di masyarakat, sampai ke Mancanagara.

Ada beberapa alasan mengapa sampai terjadi demikian. Mungkin karena Seni Topeng Babakan tidak memerlukan banyak penari yang tampil, cukup seorang penari Bodor, atau karena tariannya yang umumnya tari tunggal, lebih menarik dengan keanekaannya, berkaitan adanya perwatakan seperti Tari Topeng Panji yang halus; Tari Topeng Pamindo yang lincah, Tari Topeng Tumenggung yang gagah, dan Tari Topeng Kalana yang gagah serta garang. Adapula adegan petikan Tari Tumenggung Magangdiraja dengan Jinggaanom yang mengandung adegan perang serta melawak. Di samping munculnya bodor yang menghilangkan kejenuhan suasana, dan di sini pula dapat disampaikan pesan-pesan budi pekerti dan kemasyarakatan sambil berkomunikasi kepada penonton.

Selain itu kemungkinan lainnya adalah banyaknya perbendaharaan gerak tari yang cukup menarik, terjalin pada setiap pemunculan perwatakan, ditambah gerakan kepala yang tertutup kedok, serta gerakan alat bantu seperti rawis (sumping), gerakan carecet (ules), serta gerakan sodernya. Perkiraan yang menyebabkan ketahanannya sepanjang masa adalah karena Topeng Babakan yang disebut Topeng Dinaan, masih terpaut kepada kebiasaan atau adat masyarakat di wilayah Cirebon yang biasa menanggapnya sehari suntuk (sedina, sadinten), sebelum nanggap Wayang Kulit pada malamnya sebagai kelengkapan suatu perhelatan pernikahan, khitanan, babarit, dan sebagainya. Khasanah Seni Topeng yang lain, di samping Topeng Babakan adalah Wayang Wong dimana para pemainnya merupakan penari yang menggunakan kedok, dengan antawacananya sendiri-sendiri.

Kesenian Wayang Topeng bukan saja menyangkut seni tari topengnya, tapi juga seni pewayangan, seni karawitan, seni pedalangan, seni membuat kedok, termasuk pula busana Wayang Wong Jawa Barat yang memiliki ciri tersendiri. Tidak dipungkiri bahwa pada Wayang Wong dituntut pula kemampuan lain dad penari, yaitu kemampuan melakukan antawacana, atau melakukan gerakan mengikuti kata-kata Sang Dalang bila memakai kedok. Tapi sepanjang yang pernah disaksikan, para pemain Topeng Babakan juga tnampu tampil sebagai pemain Wayang Topeng. Kemampuan ini merupakan living treasure yang sangat berharga, oleh karena itu tidak pantas kalau tidak dimanfaatkan bahkan dikembangkan pemasyarakatannya.

Khasanah Kesenian Topeng lainnya yang telah dikemukakan di depan ialah Bengberokan atau Bangbarongan, yang umumnya hanya terdiri atas seorang 3%1 takUhnik dental Cutup kepada berbentuk ke.pga.Barong (beruarig), dan sekujur badannya ditutupi kain yang berbentuk karung.

Adapun pertunjukannya dilakukan sepanjang jalan dengan iringan tetabuhan yang sangat sederhana, terdiri atas kecrek, bende, kulanter, dan perangkat kecil lainnya. Mereka biasa mengamen, dan bagi yang memberi imbalan, diyakininya akan mendapat pahala atau terhindar dari malapetaka clan wabah penyakit.

Perkembangan Kesenian Topeng
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kesenian Topeng di wilayah Cirebon tersebar luas di desa-desa, bukan berpusat di Keraton, sehingga Kesenian Topeng Cirebon tidak hanya hidup di tengah masyarakat pendukungnya saja. Berkat kelonggaran adat dan tradisi masyarakat Jawa Barat, termasuk Cirebon, maka Kesenian Topeng Cirebon sempat menyebar ke luar wilayahnya. Biasanya pelakunya adalah para pengamen yang terpaksa mencari tambahan biaya hidup di musim paceklik. Hal ini terjadi pada akhir abad 19 sampai dengan abad 20. Selanjutnya kalangan Ningrat di wilayah Priangan menjadi tertarik untuk belajar dari para penari di Priangan. Karena Kesenian Topeng di Priangan tidak ada ikatan dengan pranata sosial masyarakatnya, seperti di wilayah Cirebon, maka pertumbuhannya terbatas kepada jenis-jenis Tani Topeng yang digemari para penari dan penontonnya. Kondisi di Priangan tidak seutuh di Cirebon dalam pelestariannya. Walaupun demikian Tari Topeng di wilayah Priangan pernah menjadi mata acara pergelaran yang menonjol sebagai tarian tunggal.

Penyebaran Kesenian Topeng ke sebelah Barat Jawa Barat pernah pula menyentuh seni teater daerah setempat, sehingga timbul bentuk tester yang disebut Topeng Betawi, Topeng Cisalak atau Topeng Kinang, dan Topeng Kacrit, yang dibuka dengan babak taxi yang menampilkan tan topeng Akan tetapi babak-babak berikutnya menampilkan adegan teater daerah seperti Banjet di daerah Karawang dan Longser di daerah Priangan. Istilah Jipeng adalah berasal dari kata tanji dan topeng. Mungkin di masa lalu juga menampilkan Tari Topeng, namun kini tinggal pertunjukan musik dengan menggunakan alat tiup dari barat.

Topeng Babakan menjadi sumber pertumbuhan topeng tunggal di wilayah Priangan, seperti Topeng Kalana, Topeng Menakjingga, Topeng Koncaran (R. Tjetje Somantni), serta taxi Topeng Tiga Watak (Nugraha Sudireja). Demikian pula dengan thing Keurseus yang sudah menyebar di seluruh Jawa Barat, menurut pemrakarsanya R. Sambas Wirakusumah, ketua Wirahma Sari Rancaekek, adalah diilharni rumpun Tan Topeng Babakan. Selanjutnya karya besar Sendratari Ramayana yang mewakili Jawa Barat pada Festival Ramayana International di Pandaan Jawa Timur pada tahun 1971, telah banyak menggunakan unsur-unsur Topeng Babakan.

Menurut Dr. TH. Pigeaud dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen, Topeng Wayang di Jawa Barat pernah tersebar di Priangan bahkan sampai ke Banten. Sebagai salah satu bukti dikemukakannya pula bahwa koleksi kedok suatu wayang topeng berupa kedok sebanyak 27 buah yang pernah dimiliki Patih Sumedang R. Rangga Soeriadihardja kith masih ada, dan tersimpan secara rapi di Museum Mangkunegaran, Surakarta. Juga terdapat koleksi Mayor Cina Tan Tjin Kie sebanyak 48 bush kedok berasal dari Cirebon. Di Filed Museum Chicago Amerika Serikat terdapat koleksi perlengkapan Wayang Topeng dari Sukabumi yang lengkap dengan busananya, di antaranya tutup kepala yang masih terbuat dan bahan logam (seng) yang disebut Kelingan, karena sambungannya dilcerjakan dengan cara dikeling. Dari Serang, Banten juga masih tersimpan koleksi kelengkapan wayang topengnya.

Sumber :
LP Edisi 16/Desember 1998 ISSN 0854-7475 Kesenian Daerah Di Jawa Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Foto : http://1.bp.blogspot.com

Sejarah Kota Dan Ekonomi Perkebunan

Oleh: Soegijanto Padmo

1.Pengantar
Kota sebagai suatu pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya baru berkembang dengan pesat sekitar dua abad terakhir. Dengan kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya Revolusi Industri serta dikembangkannya berbagai industri massa membuat berbagai kota-kota tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan itu ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung baik untuk pemukiman, pelayanan publik maupun kegiatan industri; sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi; serta urbanisasi yaitu arus kedatangan penduduk pedesaan ke kota (Lihat http://en.wikipedia.org/”Urban History”; http://en.wikipedia.org/”Urban Geography”).

Pada pertengahan abad ke-19 kota-kota di Jawa masih merupakan kota tradisional meskipun beberapa kota di pantai utara Jawa sudah berfungsi sebagai kota pelabuhan yang melayani pelayaran antar pulau antara Jawa-Banjarmasin-Makasar; serta Jawa- Singaraja; maupun Jawa-Jambi-Malaka (O’Campo, 1987; Mashuri, 2000; Singgih Tri Sulistiyana, 1999). Sementara itu kota di pedalaman menjadi pusat kegiatan ekonomi dan politik di hinterland yang bersifat agraris feudal. Apabila dalam proses perkembangannya kota pantai memperoleh dukungan dari kegiatan perdagangan antar pulau maka perkembangan kota pedalaman didukung oleh kemampuan industri pedesaan serta industri manufaktur yang berkembang di kota, serta yang muncul pada paruhan kedua abad ke-19 adalah industri perkebunan (Lihat Soegijanto Padmo, 1999; Fernando, 1982; O’Malley, 1988; Loekman Sutrisno, 1982; dan Elson, 1982). Sebagai pusat kegiatan 2

ekonomi, kota mempunyai berbagai kegiatan ekonomi seperti kegiatan industri dan manufaktur, serta kegiatan pelayanan dan jasa yang mencerminkan tahap perkembangan kehidupan masyarakat kota yang semakin kompleks. Dalam makalah ini akan dibahas tentang hubungan antara perkembangan kota Surakarta dengan ekonomi perkebunan pada periode 1860-1940.
2.Surakarta dan Perusahaan Perkebunan.

Kota Surakarta dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II sebagai ganti Kartosuro yang dianggap tidak layak lagi sebagai ibukota kerajaan. Wilayah Kasunanan Surakarta seluas 6.215 kilometer persegi dengan penduduk 358.230 orang pada 1838 menjadi 2.049.547 jiwa pada 1920 (Deskripsi pada bagian ini berdasarkan pada Suhartono, 1991; Sariyatun, 2003; Suyatno, 1982 kecuali apabila disebut secara khusus). Wilayah kasunanan Surakarta merupakan daerah pertanian yang subur terutama daerah barat yaitu daerah Pajang dan daerah di bagian timur yaitu daerah Sokaowati merupakan daerah yang kurang subur.

Sejak dasawarsa pertama abad ke-19 Vorstenlanden yaitu daerah kerajaan Jogjakarta dan Surakarta persewaan tanah telah dilakukan baik oleh orang Cina maupun orang Eropa. Pada tahun 1816 sampai 1821 misalnya di Surakarta terdapat 16 , 6, 8, 19, 50 dan 27 orang Belanda yang menyewa lahan, sementara itu baru pada 1820 terdapat seorang Cina dan pada 1821 terdapat 63 orang Cina lain menyewa lahan di Surakarta. Di Jogjakarta sejak tiga tahun sebelumnya yaitu pada 1814 telag ada 3 orang Belanda yang menyewa lahan Sultan untuk membangun peristirahatan di Bedoyo. Pada tahun berikutnya sampai tahun 1820 terdapat masing-masing 2, 8, 19, 30, 2, dan 1 orang Belanda menyewa lahan di Jogjakarta. Seperti halnya di Surakarta baru pada 1815 orang Cina mulai menyewa lahan di Jogjakarta (Soegijanto Padmo, 1999:47).

Perkebunan yang dilakukan pada masa awal meliputi tanaman semusim seperti indigo, padi, serat, maupun tanaman keras seperti kopi. Sampai dengan pertengahan abad ke-19 sifat pengusahaan tanaman perkebunan masih bersifat coba-coba dengan cirinya antara 3

lain bahwa kegiatan itu merupakan perusahan patungan antara beberapa orang atau keluarga kaya, mengusahakan di lahan persawaan yang relative sempit yaitu antara 30-50 bau, menguasahakan tanaman local seperti padi, serat, dan kopi, menggunakan teknologi sederhana, produksi skala kecil, serta pemasaran di pasar local. Perkebunan pada masa awal belum menunjukkan adanya pembedaan antara tanaman dataran rendah seperti tembakau dan tebu bukannya padi dan serat maupun tanaman pegunungan atau dataran tinggu seperti kopi karena berbagai tanaman itu ditanam di dataran rendah seperti di Gantiwarno, Klaten. Beberapa tanaman yang semula lebih dimaksudkan sebagai tanaman hias seperti tanaman kopi, di sekitar tempat peristirahatan Keluarga Kasunana maupun orang Belanda seperti di Tawangmangu pada masa berikutnya diusahakan dalam skala luas sebagai perkebunan.
Perkembangan perusahaan perkebunan di Surakarta berjalan cukup pesat bukan hanya untuk perkebunan di wilayah dataran rendah yang subur tetapi juga perkebunan yang diusahakan didataran tinggi seperti di lereng timur Gunung Merapi serta perbukitan di sekitar Tawangmangu. Jumlah perusahaan serta tanaman yang diusahakan. 4

Sistem tanam Paksa yang diterapkan pemerintah colonial di Tanah Jawa sebagai cara untuk memperoleh penyerahan wajib atas hasil bumi pada periode 1830-1870 tidak dapat diterapkan di wilayah Kerajaan yang masih dianggap memiliki kekuasaan. Meskipun demikian pada kurunntersebut para pengusaha Eropa berhasil memperoleh kesempatan menyewa lahan para bangsawan untuk mengusahakan tanaman perkebunan seperti indigo, gula, dan kopi. Para pengusaha Belanda, yang dilarang membuka usaha di daerah lain di jawa, cenderung mengkonsentrasikan usaha mereka di Wilayah Kerajaan terutama setelah 1842.

Pada pertengahan abad ke-19 beberapa tanaman perkebunan memperoleh tempat yang penting di Surakarta. Antara tahun 1842-1849 jumlah produksi kopi di wilayah Mangkunegaran adalah 2.169 kuintal sementara wilayah Kasunanan memproduksi 39.262 kuintal. Dalam waktu tiga tahun, yaitu antara 1861-63, produksi meningkat menjadi 12.127 kuintal di wilayah Mangkunegaran dan 38.020 kuintal di wilayah Kasunanan. Pada 1863, produksi indigo di wilayah Surakarta diperkirakan 32.597 kilogram (Pringgodigdo, 1950).

Tahun 1870 dengan dicanangkannya Undang-undang Agraria menandai berakhirnya pelaksanaan STP di Jawa. Kebijakan baru ini bertujuan untuk mendukung perkembangan perkebunan swasta di Tanah Jajahan, yang secara nyata mendorong meningkatnya jumlah perusahaan perkebunan yang beroperasi di tanah jawa termasuk Surakarta.

Bebarap tanaman tertentu seperti indigo, gula, dan kopi, tetap menjadi tanaman penting pada kurun system liberal. Setelah tahun 1915, proses penggabungan perusahaan swasta Belanda dimulai. Beberapa perusahaan kecil yang merasa kurang kuat untuk bersaing dalam usaha diambil alih oleh perusahaan besar sehingga perusahaan perkebunan yang semula berjumlah 98 menjadi 80 perusahaan pada 1920. Meskipun jumlah perusahaan berkurang namun jumlah modal yang ditanam serta lahan yang dikuasai bertambah. 5

Pada 1906 dikeluarkan Staatblad nomor 93 yang memuat peraturan pemerintah colonial tentang penyewaan lahan di Surakarta yang memberi hak menyewa lahan kepada dua pihak yaitu

Orang Belanda, dan Orang Eropa lain yang mempunyai kegiatan usaha serta perusahaan dagang yang didirikan di Hindia Belanda.

Dengan adanya peraturan ini maka orang Cina yang pada awal abad ke-19 mendominasi persewaan lahan di Surakarta harus melepaskan usahanya dalam persewaan lahan di Surakarta.
Pengusaha swasta Belnda menyewa lahan dari pemegang hak atas tanah atau patuh, yaitu pejabat dan kerabat Sunan. Pada prakteknya, mereka menyewa hak dari patuh termasuk hak menggunakan bekel dan penduduk guna mengguasahakan tanaman perkebunan. Ini berrti bahwa penduduk desa yang dikoordinasikan oleh bekel, mengalami beban kerja yang berat di perkebunan. Perkebunan gula terutama memerlukan kerja berat dari petani (Geertz, 1963).

Hubungan antara penyewa lahan dengan pemegang hak tanah apanage dibawah control Patih atau Bupati Nayoko. Sistem sewa tanah untuk tanaman perkebunan dilakukan dengan cara system glebagan, yaitu rotasi dalam penggunaan lahan. Hak atas tanah dibagi menjadi dua blok yaitu blok A dan blok B. Perusahaan perkebunan diberi hak menggunakan lahan blok A padatahun genap dan menggunakan blok B pada tahun ganjil. Di kala perkebunan menggunakan lahan blok A maka petani berhak mengerjakan lahan di blok B demikian sebaliknya (Adatsrechtbundels, Vol, 19:370; Supomo, 1927:44-45). Dalam system persewaan ini, pengusaha Belanda memperoleh hak para patuh, sementara bekel dan penggarap diwajibkan bekerja untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Sistem serupa dipraktekkan di Jogjakarta, dimana dampak yang berat pada bekel dan para petani penggarap dilukiskan oleh Selo Sumarjan (1962:33-34). 6

3.Kegiatan Ekonomi dan Pembangunan Sarana Prasarana Kota
Pengaruh perkebunan Eropa thd ekonomi petani sangatlah besar, terutama pada periode STP dan system liberal. Dalam system apanage, bekel menguasai lahan dengan luasan tertentu dengan persetujuan patuh termasuk penduduk yang tinggal di tempat tersebut. Hak penduduk atas lahan itu adalah hak anggaduh atau hak menggarap. Patuh mempunyai hak memperoleh tenaga kerja dari penggarap yang disebut bau suku dan pasumbang, yang diperoleh saat ia punya kerja atau acara tradisional lainnya. Selain itu penggarap juga wajib bekerja di lahan patuh yang lain yang disebut kerja kuduran.

Peraturan tentang kerja wajib perkebunan mulai dilaksanakan pada 23 Agustus1909 yang kemudian dikuatkan dengan peraturan Sunan untuk daerah Kasunanan dengan Rijksblad Surakarta, no. 23, 1917 dan untuk Mangkunegaran dalam Rijksblad Mangkunegaran, no. 23, 1920. Tujuan dikeluarkannya aturan ini adalah untuk menjamin agar tenaga yang diperlukan perusahaan perkebunan tersedia setiap saat diperlukan. Jenis pekerjaan adalah bermacam-macam. Pertama, intiran, yaitu kerja di lahan perkebunan selama 10 jam setiap lapan atau 35 hari. Kedua, jaga malam di perkebunan. Ketiga, gugur gunung, yaitu kerja kolektif tanpa upah untuk kepentingan desa atau perkebunan. Lazimnya gugur gunung digunakan untuk memperbaiki atau memelihara saluran irigasi. Bekel dan penggarap bertangung jawab atas pemeliharaan saluran irigasi. Warga desa yang bebas dari kerja wajib ini adalah bekel dan wong numpang, yaituwarga desa yang tidak memiliki rumah dan tanah.

Di Surakarta, petani melakukan kerja wajib dengan upah di perkebunan yang disebut glidig. Penggarap wajib bekerja di perkebunan dengan pengawasan bekel yang melakukan fungsinya sebagai pemimpinnya orang kecil atau pangarepe wong cilik. Bekel dan penggarap yang melalaikan kerja wajib akan menerima hukuman berupa kerja wajib tanpa upah selama tiga bulan hanya memperoleh makanan ringan. Dalam system glidig ini seperti dilaporkan oleh Pringgodigdo (loc.cit) penggarap hamper tidak punya waktu untuk mengerjakan lahan yang menjadi hak mereka. Keadaan inilah yang memicu munculnya system penyakapan dimana wong numpang dapat memperoleh lahan garapan dengan system maro.

Kerja wajib di perkebunan yang menyita sebagian besar waktu penggarap sehingga mereka tidak punya waktu untuk menggarap lahannya merupakan berkah bagi wong numpang. Dalam penelitian yang dilakukan di Klaten Soegijanto Padmo (1999) melaporkan bahwa desa perkebunan kuli penggarap, isteri dan anak-anaknya harus dikerahkan ke ladang perkebunan agar terbebas dari hukuman. Sementara itu system penyakapan yang lazim adalah system maro dimana seluruh sarana produksi menjadi tanggung jawab penyakap. Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan garapan sementara lahan garapan relative stabil, sebagimana dikemukakan oleh Geertz (1963) akan terjadi proses involusi dimana syarat penyakapan semakin berat sementara imbalan yang diterima oleh penyakap semakin kecil.

Prinsip kerja bebas yang diterapkan oleh pemerintah pada awal abad ke-20 memperoleh dukungan pengusaha swasta sampai dengan Masa depresi Ekonomi. Pada masa ini ekonomi uang sedemikian dasyat merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Surakarta. Perusahaan perkebunan yang ada di Surakarta tersebar dari Prambanan-Sorogedug di bagian barat sampai Gondang-Sragen di ujung timur, serta di Wonogiri di ujung selatan sampai Boyolali dan lereng Merapi di ujung utara dapat dijumpai perkebunan semusim seperti tebu dan tembakau maupun tanaman tahunan seperti kopi dan teh. Perkebunan itu memerlukan sejumlah besar tenaga kerja yang bukan hanya berupa petani laki-laki dewasa tetapi juga tenaga wanita dan anak yang diperkerjakan pada berbagai pekerjaan baik di ladang maupun di emplasemen, serta perjaan yang rutin setiap saat harus dikerjakan sampai pada pekerjaan incidental. Dapat dikatakan bahwa pada masa jayanya perkebunan penduduk pedesaan lebih memilih bekerja di perkebunan daripada sebagai penggarap atau pemilik tanah atau kuli kenceng pada Reorganisasi Agraria 1916.

Fenomena semacam ini juga ditemukan di Pasuruan. Dalam penelitian yang dilakukan di Pasuruan Elson (1982) mengatakan bahwa perkebunan tebu telah mendorong munculnya kelas baru yaitu tukang grobag. Mereka merupakan kelompok masyarakat baru yang berhasil menangkap peluang ekonomi yang diciptakan oleh ekonomi perkebunan. Di Surakarta rupanya transformasi social mulai menunjukkan bentuknya antara lain dengan 8

munculnya kelompok baru dalam masyarakat pedesaan adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam sector sekunder yaitu pengolahan hasil pertanian serta manufaktur lain seperti pembuatan pakaian atau konfeksi, pembuatan mebeler atau alat rumah tangga atau sector tertier seperti penjualan jasa angkutan, pemasaran, dan hiburan.

Tentang upah yang diperoleh kuli, Suhartono (ibid) melaporkan bahwa buruh wanita dan anak-anak dipekerjakan di gudang, kebun kopi dan tembakau, sedangkan laki-laki diserap dalam kegiatan di pabrik atau los pengeringan dan kebun tebu dan tembakau. Upah yang diterima tergantung ringan-beratnya pekerjaan Upah harian yang diberikan pada 1832 sebesar 10 sen mengalami kenaikan pada 1864 menjadi 12,5 sen dengan memperoleh makan sekali. Pada 1865 upah dinaikkan menjadi antara 20-50 sen. Di pabrik gula upah kerja siang hari berkisar antara 20-35 sen, untuk malam hari antara 22- 40 sen, dan untuk kerja yang berat dibayar 50 sen.

Sistem upah juga dibedakan antara kuli tetap dengan kuli lepas. Pada 1875 kuli tetap menerima upah sebesar f.9-f.20 sebulan. Kuli harian menerima 24-40 sen, wanita dan anak-anak diupah 15 sen, sedangkan tukang menerma upah sebesar 25 sen sampai f.1. Dengan adanya pendapatan berupa uang kontan dari upah yang diterima oleh kuli penggarap, isteri dan anaknya itu berarti terdapat daya beli dalam masyarakat. Kenyataan ini diketahui oleh warga desa terutama wong numpang. Mereka dengan sigap memproduksi hasil pertanian dan pekarangan berupa umbi-umbian dan buah-buahan yang dijajakan pada saat hari gajian setiap Sabtu sore dua minggu sekali di depan pabrik. Saat seperti itu puluhan orang dengan membawa uang siap membeli apa saja di dijajakan oleh penjual. Barang yang dijajakan yang semula berupa hasil pertanian berkembang menjadi hasil kerajinan serta barang lain yang berasal dari luar desa. Demikian pula tempat trasaksi antara penjual dan pembeli sudah tidak hanya dilakukan di sepanjang jalan di depan pabrik tetapi perlu dibuatkan pasar secara khusus di suatu tempat yang tidak jauh dari bangunan pabrik seperti yang dapat diamati di perkebunan Wedi-Birit yang berlokasi di Kecamatan Wedi.9

Perkembangan industri pedesaan dan manufaktur mengalami kenaikan pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1890 misalnya kerajinan berkembang dan hasilnya dijual di pasar¬pasar yang ada di sekitar perkebunan maupun pasar di luar daerah Surakarta. Kerajinan batik tulis yang semula menjadi monopoli keluarga bangsawan sejak 1890 menjadi monopoli orang Cina. Pada waktu itu pemasaran kain batik sudah menjangkau pasar di seluruh daerah Kejawen dan Priangan (AVS, 1897). Kerajinan bamboo, rotan dan anyaman dipasarkan di pasar local. Kerajinan kuningan seperti bokor, talam, dan pendok keris berkembang di Solo. Alat pertanian dan rumah tangga dari bahan besi dan tembaga dijual di pasar di Daerah Kerajaan. Payung yang menjadi status simbul social merupakan kerajinan rumah tangga yang cukup lama berkembang seperti di desa Juwiring. Demikian pula kerajinan gerabah di Bayat, Klaten. Pembuatan perahu terhenti ketika jalan kereta api dibuka untuk jurusan Solo-Surabaya pada 1884. Selain barang dari kulit, di pasar dan desa banyak beredar minuman keras, ciu, dan rokok wangen, sebagai barang penikmat Orang Cina membuat soya dan taoco dan kecap dari kedelai yang dijual di warung¬warung.

Daerah Kejawen relative diuntungkan karena topografi yang landai. Prasarana transportasi dn komunikasi tidak menuntut dibangun dengan konstruksi yang canggih karena kedalaman sungai memungkinkan sungai-sungai diseberangi. Demikian pula sarana angkutan seperti gerobak, cikar dan angkutan manusia lazim digunakan pada oertengahan abad ke-19 (Lihat Carey, 1986). Lebih jauh Carey juga mendeskripsikan kecuali tentang produksi dan pengolahan hasil pertanian seperti kacang tanah, minyak klentik, dan kain tenun dan kain batik juga jaringan perdagangan yang menghubungkan antara daerah produsen di Kedu dengan berbagai pasar di pusat perdagangan yang ada di daerah lain di pedalaman Jawa Tengah maupun pantai utara Jawa. Jaringan transportasi antara pedalaman dengan pantai utara itu bukan saja memungkinkan terjadinya transaksi dagang antara produsen dengan pasar tetapi juga menjadi saluran masuknya barang dari luar ke pedalaman.

Jangkauan perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40 paal 10

sehari. Dilaporkan dalam Babad Tanah Jawi (BTJ) bahwa ibukota Kerajaan Mataram telah mempunyai jaringan angkutan darat ke Semarang lewat Ambarawa dengan melewati jembatan yang ada di Jambu (BTJ, t.th.). Unuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta. Prambanan, Delanggu, Penggung, Jatinom, Boyolali, Pungkruk, dan Banaran adalah tempat transit pedagang yang akan melanjutkan perjalanannya ke arah barat, utara dan timur dari Surakarta. Di pasar yang ada di Surakarta banyak dijual hasil kerajinan maupun hewan piaraan yang ditukarkan dengan kapas dari Ponorogo, kelapa dari Pacitan, pakaian dan alat rumah tangga buatan Surakarta, kain lurik dari Jogjakarta, Bagelen, Rembang, dan Pekalongan.

Tempat transit itu sebenarnya bukan hanya terdapat penginapan tetapi juga warung dan hiburan lain yang diperlukan oleh mereka yang memerlukan hiburan seperti penjualan candu, warung yang menjual ciu dan jenewer buatan local seperti yang dijumpai di Delanggu. Berkaitan dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang disediakan di koplakan itu. Dengan kata laik koplakan itu sebenarnya adalah embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.

Tempat transit itu biasanya terletak dekat dengan perkebunan dan pusat kegiatan ekonomi seperti pasar misalnya Gondang Jetis dekat setasiun Srowot. Untuk menndukung angkutan barang di beberapa tempat tertentu tersedia pelayanan perbaikan kereta dan gerobak antara lain di Karangwuni, Wonggo, dan Pokohan.

Bagi perusahaan perkebunan ketersediaan berbagai sarana dan prasaranan sangat penting. Prasaranan perhubungan seperti jalan dan jembatan, sarana angkutan berupa grobag dan cikar perlu disiapkan secara matang. Jalan dan jembatan perlu disiapkan guna menunjang angkutan sarana produksi dari gudang ke kebun atau membawa hasil panen ke gudang 11

atau los pengering, serta mengangkut produk dari gudang ke setasiun kereta api atau ke pelabuhan untuk diekspor. Sebelum jaringan kereta api yang menghubungkan antara Semarang dan Vorstenlanden dibangun pada 1884 prasarana angkutan yang digunakan di Surakarta adalah jalan darat dan jaringan sungai lewat Bengawan Solo. Pada waktu itu industri pembuatan kapal atau perahu cukup maju di Surakarta karena perahu digunakan bukan hanya untuk mengangkut produk pertanian dari daerah sekitar kota ke pasar kota tetapi juga digunakan untuk mengangkut produk yang dihasilkan daerah ini ke Surabaya untuk diekspor. Namun dengan dibukanya jaringan kereta api Semarang – Vorstenlanden itu berdampak bukan saja tidak berfungsi angkutan sungai dari Surakarta ke Surabaya tetapi juga matinya industri pembuatan kapal di Surakarta.

Jalan raya Jogjakarta – Surakarta menjadi ruas utama yang menghubungkan kedua ibukota kerajaan Kejawen itu dengan Jakarta di barat dan Surabaya di timur lewat jalur selatan. Di beberapa tempat sepanjang ruas Jogja-Surakarta-Ngawi itu terdapat simpul¬simpul yang lewat jalan darat berhubungan dengan perusahaan perkebunan di wilayah Surakarta yang berada di utara dan selatan jalan raya tersebut. Jalan kereta api yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta, kemudia dihubungankan dengan Jogjakarta ke barat dan Madiun di timur. Untuk mendukung perkembangan di daerah selatan jaringan jalan kereta api antara Solo – Kampak lewat Wonogiri sempat dipertimbangkan namun realisasinya tersendat-sendat (KV, 1886).

Jalan raya yang menghubungkan ibukota kasunanan Surakarta dengan kota dan pusat pertumbuhan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun dengan kota-kecil di wilayah Surakarta telah terjalin bersamaan dengan perkembangan ekonomi pribumi baik di sector pertanian maupun industri pedesaan. Sejak 1830 misalnya Surakarta telah muncul sebagai salah satu penghasil beras yang utama di Jawa dan sebagai pengekspor beras yang penting ke beberapa daerah di sekitarnya seperti Jogjakarta, Ponorogo, Madiun, Salatigo dan Semarang, dan keadaan ini berlangsung terus sampai akhir abad ke-19. Jaringan itu semakin luas dengan dibangunnya rel kereta api sehingga kota seperti Surabaya dan Kediri menjadi pasar bagi produk yang dihasilkan Surakarta.12

Jaringan transportasi dan komunikasi yang ada di Surakarta sejak dasawarsa pertama abad ke-19 telah berfungsi secara optimal dan menempatkan Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi di Daerah Kejawen. Posisi Surakarta sebagai penyedia bahan pangan dan berbagai kebutuhan bagi penduduk di kota-kota di Daerah Kejawen berubah menjadi semakin penting dengan masuknya perusahaan perkebunan swasta dan dibangunnya jaringan rel kereta api. Ekonomi perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi colonial memperoleh dukungan pemerintah colonial. Berkaitan dengan hal; itu maka di Surakarta didirikan perwakilan pemerintah colonial di Batavia dengan menempatkan Residen dan kemudian dinaikkan statusnya menjadi Gubernur.

Untuk mendukung kebijakan swastanisasi perkebunan ini maka di berbagai tempat dimana perkebunan diusahakan didirikan berbagai fasilitas yang diperlukan seperti gudang, pabrik dan los pengering serta sarana pendukung yang lain seperti jaringan jalan, sarana irigasi, armada angkutan yang terdiri dari lori dan armada angkutan grobag. Khusus untuk angkutan grobag hanya disiapkan di desa penghasil gula. Namun karena hamper di setiap wilayah kecamatan terdapat pabrik gula maka hampir di setiap desa dapat ditemukan petani yang menjadi tukang grobag. Di setiap perkebunan kecuali dibangun empalsemen atau pabrik untuk mengolah hasil perkebunan juga dibangun fasilitas perumahan bagi administrator dan staf, serta kantor. Di sekitar pabrik juga dibangun fasilitas untuk memenuhi keperluan orang Eropa seperti gereja dan rumah sakit. Sementara itu untuk keperluan masyarakat pasar musiman setiap hari gajian berkembang pesat sehingga perlu dibuatkan pasar khusus. Tempat yang memiliki berbagai fasilitas seperti itu berhasil menarik masyarakat di desa sekitar untuk datang dan dan berusaha di berbagai kegiatan seperti membuka usaha pengolahan hasil serta industri pedesaan lain maupun membuka warung dan pelayanan seperti bengkel grobag dan jasa lainnya.

Apabila keberadaan pabrik berhasil mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi desa serta menarik penduduk dari desa sekitar dating ke tempat tersebut maka di kota Surakarta keberadaan petinggi pemerintah colonial baik Residen apalagi Gubernur memberikan dampak yang luar biasa. Ditambah lagi bahwa kota Surakarta yang menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan perusahaan perkebunan setiap akhir pekan membuat 13

kota Surakarta harus berbenah. Untuk itumaka dibangunlah berbagai gedung perkantoran yang merupakan symbol dari supremasi kekuasaan colonial di Daerah Kejawen Maka dibangunlah Rumah Residen yang megah yang kemudian disebut dengan Loji Gandrung. Fasilitas lain seperti benteng dan loji di dalamnya, geraja serta kantor pos melengkapi simbolisasi pengaruh kekuasaan colonial di Surakarta. Saat Pasar Kliwon dibangun oleh Sunan maka pengusaha Belanda yang dimotori oleh Dezentje memanfaatkan lahan yang ada di tepi jalan raya yang terletak di sebelah utara alun-alun Kraton Surakarta antara Gladag sampai Purwosari untuk membangun gedung guna keperluan petinggi penguasa colonial dan petinggi di Surakarta. Demikian pula ketika Sunan membangun Taman Sriwedari Residen memerintahkan membuat Gedung Perpustakaan Radya Pustaka.

Untuk kepentingan pengamanan kompleks pabrik direkrut beberapa orang sebagai tenaga pengamanan sementara itu untuk penjagaan keamanan tanaman perkebunan tugas ronda malam dibebankan pada penduduk desa sekitar kebun. Tidak jarang penduduk desa juga harus membuat pagar pengaman bagi tanaman perkebunan berupa tanaman berduri di sekeliling kebun. Dalam memanfaatkan irigasi kepentingan perusahaan perkebunan diutamakan sementara itu kepentingan petani dinomorduakan. Sistem yang digunakan disebut dag-en-nacht, di siang hari air digunakan untuk tanaman perusahaan dan di malam hari untuk kepentingan petani.

Guna memasarkan produk yang dihasilkan di kota maupun daerah sekitarnya di Surakarta ada pasar besar yaitu Pasar Kliwon dan Pasar Legi. Di pasar inilah barang berupa hasil industri dan kerajinan yang diproduksi di kota seperti batik dan hasil manufaktur lain serta hasil pertanian dr pedesaan di pasarkan. Transaksi jual beli untuk keperluan perdagangan antarkota maupun kepentingan ekspor juga sudah dilakukan. Seperti komoditas batik sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa demikian juga hasil pertanian seperti beras. Perkembangan penting lainnya adalah bahwa terdapat hirarkhi dalam menjalankan fungsi perdagangan yang melibatkan perdagangan local maupun internasional. Daerah penghasil di luar kota akan mengirim barang ke pos pengumpul yang kemudian pos ini akan mengirim ke terminal angkutan ke pelabuhan pengirim ke daerah lain atau ke pasar internasional di luar negeri. Demikianlah gula yang dihasilkan 14

oleh berbagai pabrik gula yang ada di Karesidenan Surakarta seperti di perkebunan gula di Gondang, Karanganom, Manisrenggo, Ceper, dan Gondangwinangun akan mengirim dengan armada grobag dari gudang ke setasiun kereta api di Sragen, Delanggu, Klaten, Srowot, dan Prambanan. Dari setasiun kecil ini komoditas dikirim ke setasiun Purwosari dan dari tempat ini komoditas itudikirim ke pelabuhan Semarang dengan angkutan grobag dan kemudian dengan kereta api setelah 1884. Komoditas yang dihasilkan perusahaan perkebunan di Surakarta kecuali gula adalah tembakau, kopi, serat agave, dan beras. Mengingat komoditas tersebut tidak memiliki pola tanam dan panen yang seragam maka kegiatan produksi, prosesing dan pemasaran berlangsung sepanjang tahun. Dengan demikian betapa kegiatan di seluruh wilayah Kasunan dan Mangkunegaran mampu menggerakkan hampir seluruh elemen masyarakat di desa dan di kota yang ada.

Karena kegiatan ekonomi itu tidak selalu dilakukan pada siang hari maka pada malam hari juga lazim dijumpai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Terlebih lagi kerja bebas diterapkan secara serius oleh pemerintah colonial pada dasawarsa awal abad ke-20 maka setiap kegiatan ekonomi berarti terbukanya sumber penghasilan tambahan bagi penduduk pribumi. Keadaan ini membuat kehidupan malam di Surakarta sangat dinamis sehingga kota Surakarta sampai dengan dasawarsa 1870-an dikenal sebagai satu-satunya kota di Bumi Kejawen yang tidak pernah tidur.

Selain kegiatan ekonomi aktivitas pembangunan berbagai sarana dan prasarana seperti gedung, jalan dan jembatan di kota dan berbagai wilayah Kasunanan membuat penduduk memperoleh sumber penghasilan. Penduduk pedesaan di sekitar kota bergerak ke kota untuk memanfaatkan terbukanya peluang ekonomi tersebut di sector informal yang menjadi mulai penting pada awal abad ke-20. Sebagai akibatnya adalah di kota muncul pemukiman kumuh di sekitar proyek maupun di sekitar jalan kereta api. Tempat kumuh ini, yang disebut dengan slum, adalah sumber bagi kegiatan criminal yang berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota sebagai pusat kegiatan ekonomi yang semakin penting.15

4. Ekonomi Perkebunan dan Urbanisme
Perkembangan ekonomi dan budaya Surakarta didukung oleh kota di sekitarnya. Sebagai ibukota kerajaan Surakarta adalah pusat kegiatan politik, ekonomi dan budaya. Tentulah penguasa yang lebih rendah di tingkat kabupaten yaitu Klaten, Sragen, Karanganyar dan Boyolali akan meniru gaya hidup dengan membuat duplikat budaya feudal agraris di wilayahnya. Begitu seterusnya sampai ke jenjang yang lebih rendah di tingkat kawedanan, dan asisten wedana. Budaya Eropa tak pelak juga mewarnai kehidupan di istana Kasunanan. Tradisi dansa dan pesta pada setiap akhir pekan yang diselenggarakan di kediaman Residen atau di rumah bilyar yang disebut dengan kamar bola memperkuat berkembangnya corak kehidupan yang hedonistis di kalangan rakyat kebanyakan di Surakarta (Wawancara dengan Slamet, mantan boekhouder pabrik tembakau Bangak, Juli 1985). Tradisi minum ciu dan arak, konsumsi candu dan berfoya-foya yang didukung oleh bonanza ekonomi perkebunan mendorong berkembangnya industri ciu serta munculnya pusat hiburan di kota kawedanan seperti Delanggu dan Sragen.

Sejalan dengan pemenuhan kebutuhan perusahaan perkebunan maka reorganisasi agrarian di Daerah Kerajaan dilaksanakan dengan control ketat dari petinggi pemerintah colonial. Reorganisasi yang dilaksanakan pada 1912 di Surakarta dan 1916 di Jogjakarta memberikan hak anggadung kepada masing-masing petani penggarap atau kuli. Dengan status sebagai penggarap maka perkebunan mempunyai jaminan bukan hanya tanah tetapi juga tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman perdagangan. Sebaliknya bagi petani dengan memiliki hak individu atas lahan pertanian dan pekarangan itu menjamin mereka untuk menerima uang kontrak dari perusahaan perkebunan yang menyewa lahannya. Meskipun demikian pada dasawarsa 1920an kecuali petani terserap dalam kegiatan di kebun tetapi juga wanita dan anak-anak yang ada di desa perusahaan tembakau terserap ke dalam pekerjaan di perkebunan. Ini berarti bahwa di desa perkebunan tembakau seperti Gayamprit, Wedi-Birit, Kemudo, Gantiwarno, Jiwo, Demangan, Ketandan, dan Pandan Simping secara ekonomis mempunyai daya beli yang semakin kuat. Di samping itu industri pedesaan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan perkebunan tembakau seperti pembuatan bahan atap los pengering atau welit serta usaha angkutan grobag dan cikar juga berkembang pesat. Semakin banyak kegiatan yang melibatkan penduduk desa yang terserap oleh perusahaan perkebunan akan semakin besar uang yang beredar di masyarakat. Hal ini akan menimbulkan dampak langsung atau backward linkage ataupun damaktidak langsung atau forward linkages. Logika seperti inilah yang sebenarnya merupakan factor yang mendorong berkembangnya kota kecil yng berada di sekitar perusahaan perkebunan di Surakarta.

Kota Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan penduduk yang semakin banyak baik yang terdiri dari bangsa Eropa dan Timur Asing lain maupun orang yg datang dari pedesaan untuk mengadu untung di sector informal membuat kota semakin hidup. Kepemilikan angkutan berupa mobil mulai meramaikan jalan di kota Surakarta. Demikian pula angkutan umum berupa bis yang menghubungkan Surakarta dengan berbagai kota seperti Sragen dan Madiun, Boyolali, Salatiga dan Semarang, Kartosuro, Klaten, dan Jogjakarta, maupun Wonogiri. Jalan kereta api menghubungkan angkutan dari Suraarta ke Surabaya ke arah timur, serta ke Semarang atau ke Jogjakarta. Jaringan angkutan darat itu mempermudah dan mempercepat angkutan manusia dan barang yang mendorong berkembangnya aktivitas perekonomian di Surakarta dan kota kecil lainnya.

Berdirinya berbagai fasilitas pelayanan politik, ekonomi, social dan budaya bagi masyarakat Eropa maupun pribumi terutama untuk periode sampai 1930 menunjukkan perkembangan kota yang optimal dari di Surakarta maupun di kota kecil lain di seluruh daerah ini. Di Kota Surakarta dibangun berbagai fasilitas hiburan seperti Taman Sriwedari dan Taman hiburan Tirtonadi, serta kebun binatang Sriwedari. Pusat kegiatan perdagangan berupa pasar dan toko di buka di beberapapemukiman dan jalan besar. Pera orang Eropa dan Cina, serta pribumi cukup penting dalam kegiatan ini yang melibat produk local maupun import seperti kain cita dari India dan Cina yg sdh masuk Hindia Belanda sejak pertengah abad ke-19.

Pelayanan jasa yng semakin bervariasi di kota besar dan kota kecil di Karesidenan Surakarta menunjukkan bahwa perkembangan kota semakin pesat serta gaya hidup masyarakat yang semakin variatif. Fasilitas hidup dengan segala plus minusnya ternyata membuka peluang bagi pelayanan kesehatan seperti pemasangan gigi palsu sampai pengobatan sakit kelamin yang lazim dijumpai dlam reklame surat kabar waktu itu (Sukarto, 2000). Demikian pula tempat khusus untuk penjualan candu dan minuman keras serta pelayanan hiburan bagi lelaki dijumpai hamper di setiap kota kawedanan. Di kota kecil ini kecuali ada koplakan, pasar, warung remang-remang, juga terdapat pelayanan social yg lain seperti kantor pemerintah, sekolah, gereja atau masjid, rumah sakit, pegadaian serta kantor polisi dan pos militer.

Masa Depresi 1930an adalah masa sulit bagi semua orang terutama perusahaan swasta yang hamper semuanya gulung tikar kecuali beberapa perkebunan tembakau karena tidak mampu menjual produknya ke pasar internasional. Sementara itu di Surakarta dan kota kecil lainnya dibanjiri buruh perkebunan yang dipulangkan dari Sumatra Timur. Hilangnya sumber penghidupan di perkebunan di Surakarta dan kembalinya sanak kerabat mereka dari Sumatra Timur menjadikan beban yang ditanggung oleh daerah ini semakin berat. Sektor yang tertimpa beban langsung adalah sector pertanian. Anehnya di tengah dasawarsa 1930an yang sulit itu pedesaan di Surakarta justru menunjukkan kemampuan yg elastis untuk beradaptasi. Dalam mencari jalan keluar bagi semakin banyaknya penduduk yg harus diberi makan tanaman pangan yang diusahakan bergeser dari sumber karbohidrat berkualitas tinggi ke sumber karbohidrat berkualitas lebih rendah misalnya dari beras ke ketela pohon atau ubi jalar. Demikian pula pemanfaatan lahan dilakukan semakin intensif seperti diversifikasi tanaman serta multiple cropping yang memungkinkan dilakukan panen beberapa kali dalam satu musim tanam (Wawancara dengan Carik Kotesan, Kec. Prambanan, 2 Juni 1986).

Masa Pendudukan Jepang, periode perjuangan kemerdekaan, serta awal periode kemerdekaan Surakarta penuh dengan gejolak yang dimotori oleh satuan pemuda dan kelompok militer. Peran istana Mangunegaran dan Kasunanan maupun pedagang serta ulama membuat dinamika social politik semakin kompleks. Kota Surakarta dan kota kecil lain menunggu hadirnya kembali perkebunan sebagai akibat Konferensi Meja Bundar. Meskipun modal perkebunan sempat kembali beroperasi di Surakarta tetapi dampak di timbulkannya terhadapkota dan masyarakat Surakarta tidak sehebat yang diharapkan oleh mereka.

5.Penutup
Berdasarkan pada uraian terdahulu beberapa dapat dikemukakan sebagai berikut:

Kota di Surakarta yang berbasis pada ekonomi dan lingkungan agraris telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu memberi manfaat bagi penduduk di pedesaan sekitar kota-kota tersebut baik dalam sector formal maupun sector informal.

Ekonomi perkebunan telah mampu membuka peluang ekonomi bagi penduduk potensial di pedesaan untuk memanfaat daya beli yang meningkat maupun perubahan ekologi budaya petani yang mampu menangkap kesempatan yang ada.

Transformasi social di Surakarta ditandai dengan munculnya sector informal di kota serta pedesaan di daerah rurban (rural-urban).

Dampak langsung ekonomi perkebunan seperti yang dialami oleh petani penggarap berupa meningkatnya daya beli yang merangsang tumbuh dan berkembangnya industri pedesaan. Adapun dampak tidak langsung adalah munculnya penyakapan lahan nganggur milik penggarap oleh wong numpang yang pada perkembangannya diwarnai oleh proses involusi seperti yang dirumuskan oleh Geertz.

5. Perusahaan perkebunan dan penguasa colonial dengan segala fasilitas yang diperlukan di Surakarta menjadi motor bagi dinamika yang berlangsung di Surakarta dan dalam proses itu pula berbagai pihak dapat memperoleh manfaat dalam mencari sumber penghidupan dalam berbagai kegiatan ekonomi meskipun pada masa sulit seperti Depresi 1930an, masa penjajahan Jepang sampai dengan masa perjuangan kemerdekaan dan awal kemerdekaan.

Daftar Pustaka
Elson, R.E., 1984. Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Singapore: Oxford UP.

Fernando, R.M., 1982. “Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century”. Unpublished thesis, Monash University.

Geertz, C., 1963. Agricultural Involution The Proces of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press.

Mashuri, 1995. Menyisir pantai Utara. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama-KITLV.

O’Malley, W.J., 1977. “Indonesia in the Great Depression: A Studt of East Sumatra and Jogjakarta in 1930s” Unpublished Ph.D. thesis, Cornell University

Singgih Tri Sulistiyono, 2003. The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional shipping and trade in the process of national economic integration in Indonesia, 1870s-1970s. Proefschrift Universiteit Leiden.

Soegijanto Padmo, 1999. Tobacco Plantations and their impact on pesanat society and economy in Surakarta Residency: 1860-1960. Jogjakarta: Aditya Media.

Suhartono, 1991. Apanage dan Bekel Perubahan social di pedesaan Surakarta 1830- 1920. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Supomo, 1927. De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. ‘s- Gravenhage: L.Gerretsen.

Suyatno Kartodirdjo, 1982. “Revolution in Surakarta 1945-1950: A Case Study of City and Village in the Indonesian Revolution” Unpublished Ph.D. thesis, the Australian National University.

Soegijanto Padmo Dosen Sekolah Pasca Sarjana dan FIB UGM

Sumber
Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, 11-12 April 2007.

Sekilas Tentang Pathok Nagara

Oleh : Samrotul Ilmi Albiladiyah

Abstrak
Pada awal berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta, dikenal adanya lembaga¬lembaga peradilan, misalnya pengadilan perdata, pengadilan surambi serta Bale Mangu. Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Surambi, merupakan pengadilan yang berhubungan dengan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim.

Seorang penghulu hakim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang anggota yang disebut dengan pathok nagara. Di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Kraton Ngayogyakarta sebutan pathok nagara semacam abdi dalem yang membuat tugas penghulu hakim di Pengadilan Surambi.

Saat ini, kedudukan pathok nagara mengalami perubahan. Abdi dalem pathok nagara tidak ubahnya sebagai seorang yang dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar, di mana ia bertugas di masjid-masjid yang menjadi milik Kraton Yogyakarta

Keberadaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini tak lepas dari peristiwa penting di tahun 1755 adanya pembagian negara (palihan negari) Mataram Islam menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai penerus Mataram yang bersifat Islam, raja Yogyakarta mendapat gelar Sultan, maka Pangeran Mangkubumi raja pertama mempunyai sebutan Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I), Sebutan tersebut merupakan kependekan gelar yang panjang sesuai dengan amanah seorang pemimpin negara dan keagamaan, yang sarat dengan simbol dan makna yaitu Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Sebelum menjadi Sultan, HB I telah mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengelola suatu ‘negara’. Pengalamannya sebagai seorang pangeran Mataram (putra Sunan Amangkurat IV), mau tidak mau harus mempelajari ilmu pengetahuan apa saja yang berguna, termasuk belajar agama, mengaji, dan sebagainya. Ini dilakukannya baik ketika di Kartasura maupun kemudian pindah ke Surakarta. Pengetahuan keagamaan demikian paling tidak telah memberi bekal ketika harus menjadi Sultan di Yogyakarta.

Pada awal Kasultanan Yogyakarta, HB I masih melestarikan kebijakan dan aturan yang dipandang sesuai dengan pemerin¬tahannya, termasuk adanya lembaga peradilan. Pada masa itu berlaku adanya lembaga-lembaga peradilan dengan nama Jawa yaitu Pengadilan Pradata (menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Surambi (agama) dan Bale Mangu (pidana, administratif, agraria). Dalam kaitan dengan topik kali ini yang akan dikemukakan adalah Pengadilan Surambi atau dalam catatan¬catatan yang ada di kraton disebut juga Hukum Dalem Ing Surambi dan biasa disingkat Hukum Dalem. Disebut demikian karena lembaga ini menempati Serambi Masjid Agung, juga disebut al mahkamah al kabirah, yang menangani masalah-masalah perkawinan, kemelut rumah tangga, perceraian, gugatan cerai dari pihak istri terhadap suaminya, perolehan nafkah, warisan, wasiat, hibah, dan sebagainya, menurut tata cara Islam.1 Sebagai catatan di sini bahwa segala sesuatu yang dimiliki raja dan kerajaan disebut milik raja atau kagungan dalem. Demikian pula semua pegawai dan pembantu raja disebut abdi dalem.

Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.2 Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab¬kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah), Patakulmungin (Fat¬hulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.

Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu.
Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum (agama) yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta (1981), masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah¬daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul.

Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang (1942 – 1945), Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid ‘milik raja’ (masjid kagungan dalem) yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton.

Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 (empat) letaknya di dalam sebuah ruang, masing¬masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 (empat) berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya (abdi dalem) duduk membentuk lingkaran lingkaran konsentris.4 Menilik kebiasaaan orang Jawa yang ‘suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu.

Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam.

Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai ‘kekuasaan’ (walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah) dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan.

Selanjutnya pada tanggal 29 agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja (Zelfbestuursrecht-spraak) di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang (Republik Indonesia). Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang.

Daftar Pustaka
Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV. Rajawali.

Nitipradja, KRT. 1941. Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Jogjakarta: Dwara Warta (Krapid).

Rouffaer, G.P. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D.
Poerwodarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen-Batavia: J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV.

1 KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66

2 G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105

3 W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen- Batavia, 1939, hal. 479

4 Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (Terjemahan Deliar Noer), CV. Rajawali, 1972, hal. 11-12


Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Dari Betawi,Tentang Tanjidor


Tanjidor adalah Salah satu kekayaan Budaya indonesia yang dimiliki secara khusus orang suku Betawi.Kesenian Tanjidor lahir pada saat penjajahan Belanda,sebelum perbudakan dihapuskan sekitar akhir abad 18.Tanjidor awalnya dimainkan oleh Budak-budak Belanda. Ketika Belanda berkuasa, para pejabatnya memiliki rumah yang tersebar di sekitar Batavia.Maka para budak juga turut di tugaskan di sana. Dalam waktu senggang nya, para budak tersebut sering memainkan sebuah music di dalam sebuah kelompok.Konon,salah seorang Gubernur Jenderal Belanda Valckenier menggabungkan rombongan 15 orang pemain alat musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turkiuntuk memeriahkan pesta.Karena biasa dimainkan oleh budak-budak,orkes demikian itu dahulu disebut Slaven-orkes.

Kesenian tanjidor ini sudah dimulai sejak abad ke-19.Istilah Tanjidor ini sendiri berasal dari bahasa Portugis,yaitu “Tanger” yang berarti memainkan alat musik.Kesenian tanjidor dipercaya banyak mendapatken pengaruh dari kebudayaan China dan berbagai negara di Eropa seperti Belanda dan Perancis. Alat-alat musik yang digunakan terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang.Sering juga ditambah dengan alat musik gesek seperti tehyan,Kesenian tanjidor ini sering terlihat di acara pernikahan,untuk mengiringi pengantin (mengarak pengantin) atau dalam acara pawai daerah.Tapi pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas layaknya sebuah orkes. Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan sudah punah.Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, dekat Cibinong.

Lagu-lagu yang sering kali dibawakan dalam orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”, “Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangannya,kemudian orkes tanjido lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang “Jali-jali dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.

Daerah penyebaran Tanjidor,selain di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.

Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya “Ngamen”. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.

Tanjidor, Saat ini
Pada zamannya, musik Tanjidor merupakan musik wajib yang ada disetiap pergelaran acara-acara rakyat di betawi.Tapi itu dulu, kini masa keemasan seniman tanjidor mulai suram karena tak ada generasi yang meneruskan.Sebenarnya sekarang ini masih ada beberapa grup musik tanjidor yang mencoba bertahan.Tetapi para seniman tanjidor itu kini terpinggirkan di kawasan Bekasi, Tangerang, dan Depok.

Sebenarnya tidak beda jauh dengan masa kejayaan dahulu,seniman tanjidor tetap bergantung pada adanya acara pergelaran rakyat,mereka mengandalkan panggilan pentas di beberapa acara saja.Tetapi untuk zaman sekarang ini,pergelaran kebudayaan sudah jarang sekali di adakan.Dengan begitu,musisi tanjidor saat ini lebih jarang melakukan pentas dari pada zaman dulu.Peralatan musik yang dulu menjadi senjata dalam memeriahkan orkes tanjidor,sekarang lebih banyak menjadi hiasan di sanggar-sanggar dan museum budaya.Walaupun terkadang seniman tanjidor berkumpul untuk memainkan alat musik yang sudah menua, setua umur mereka.Saat ini para musisi tanjidor usia lanjut harus berjuang sendiri dalam merawat dan memainkannya.Walaupun masih ada juga anak muda yang melestarikanya,tapi jumlahnya sangat terbatas.

Sumber : http://karduskubus.com

Buka Palang Pintu: Care Kawinan Betawi

Bagi etnis Betawi ada tiga hal yang dianggap sakral, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ada beberapa adat-istiadat yang dilewati dalam acara tersebut, seperti acara perkawinan atau pernikahan. Ada belasan prosesi adat yang harus dijalankan. Di antaranya, acara 'buka palang pintu'. Kegiatan ini terjadi ketika iring-iringan 'tuan raja mude' (panggilan untuk pengantian pria) pada sore hari hendak masuk ke rumah 'tuan putri' (pengantin perempuan).

Ketika hendak memasuki rumah, rombongan dicegat wakil tuan rumah. "Eh, ente jangan nyelonong aje!" kata juru bicara dari pihak tuan rumah sambil mencegat rombongan pengantian pria di depan pintu rumah. Menghadapi hadangan ini, rombongan pengantin pria kagak mau kalah. Tetap bekutet agar dapat masuk. Dalam acara 'buka palang pintu', kedua belah pihak disertai tukang pantun dan jago silat. "Eit brenti dulu! Maaf ni rombongan dari mane mau ke mane. Tumben amat, ada perlu apa?" Teguran pihak tuan rumah ini dijawab pihak pria dalam bentuk pantun, "Naek delman ke pasar ikan. Beli bandeng campurin teri. Aye dateng beserta rombongan. Nganter tuan raje mude nemuin tuan putri."

Dijawab tuan rumah dengan, "Anak kude naek kerete. Tukang kue naek sepede. Kalo emang itu tujuannya. Tentu ada syaratnye." Ternyata salah satu syarat yang diminta keahlian pihak tamu dalam bermain silat. Maka, terjadilah 'duel' cukup seru antara jago tuan rumah dan jago tamunya. Tentu saja yang harus 'menang' jago dari pihak tamu. Hanya dalam satu dua jurus pihak tuan rumah menyatakan, "Cukup ... cukup ....! Abang punye jago memang jempolan." Tapi, pihak pengantian pria masih belum diperbolehkan masuk ke kediaman wanita. "Belon bisa, Bang. Tuan putri minta dibacain beberapa ayat Alquran. Kalo sanggup boleh masuk, kalo gak sanggup pulang aje, deh."

Syarat ini pun dilalui dengan mulus tanpa suatu halangan karena sejak kecil anak Betawi oleh orang tuanya disuruh mengaji. Ketika mempersilakan rombongan pengantin pria memasuki kediamannya, tuan rumah sekali lagi berpantun. "Pisang batu pisang lempenang. Gado-gado kacang tane. Orang atu banyak yang pinang. Kalo jodo masa ke mane?", Silahkan masuk. Ahlan wasahlan, ya marhaban. Maka kedua belah pihak yang tadinya sedikit tegang kini saling salaman dan berpelukan.

Malam hari para tamu dan undangan dihibur kesenian tradisional Betawi lenong. Kesenian ini mulai berkembang akhir abad ke-19. Sebelumnya masyarakat mengenal komedi stambul dan teater bangsawan. Komedi ini dimainkan oleh berbagai suku dengan menggunakan bahasa Melayu. Orang Betawi meniru pertunjukan ini yang kini disebut lenong. Perhatian masyarakat di tahun-tahun 1950'an terhadap lenong digambarkan Firman Muntaco dalam Gambang Jakarta yang dimuat sebuah surat kabar mingguan di Jakarta. "Hoooi lenong! Kapan mau maen? Mate gue pan ude lapar nih/. Perut gue ude ngantuk!" teriak penonton saking keselnya menunggu.

Orang berdempet-dempetan mengerubungi panggung lenong. Lelaki dan perempuan campur aduk, dan cecere-cecere penuhnya di sebelah depan. Barulah ketika persis pukul 09.17 mendadak gamelan lenong berbunyi santer. Mong, duk-duk mong, duk-duk mong, duk-mong, mong, duk mong sehingga bocah-bocah pada kegirangan menjerit-jerit. "Hureee... maen, lenong main!" Seorang kakek di sudut sembari melirik arlojinya berkata, "Mentang-mentang orang Indunisia, masak telat sampe tujuh belas menit ....!"

Sementara, Bang Pa'ul yang nanggap lenong repot menyambut tamu-tamu yang membanjir kondangan. "Eh, gile Bang Pa'ul," kata seorang tamu sambil salaman. ''Jempol bener eh, malemen bekerjenya kagak ujan barang seketel!" Bang Pa'ul menjawab sambil nyengir. "Keruan aje, penolaknya dong manjur ....! Kodok ane kurung di pendaringan!"

"Ane heran, Ul. Banyak betul yang datang. Berape sih ente ..?". "Pan due ribu lembar lebih ane lepas undangan," jawab Bang Pa'ul. "Ane sebarin di saban kampung. Kenal kek, enggak kek, sebodo amat. Pokoknya serean (kapala kampung) yang atur!". Sampai kini, terutama di daerah pinggiran, banyak undangan melalui RT dan RW. Yang turut mengundang namanya berjejer, mulai dari lurah, kepala kampung, RW, dan RT.

Lenong pun makin hebat mainnya. Malam itu membawakan lakon Jembatan Patah yang mengisahkan dua orang raja kakak beradik berebutan tanah hingga akhirnya mesti berkelahi di atas sebuah jembatan. Saking sengitnya sampai-sampai jembatan itu jadi patah dua. Penonton rame bersorak waktu di panggung nampak raja tengah memangku sang putri. "Jadi, Adindaku," kata sang raja. "Tak relakah kau bila Kakanda pergi berperang ke Irak untuk membantu rakyatnya melawan kezaliman AS?"

"Betul kakanda!", jawab tuan putri kolokan. "Biar bagaimana juga Adinda ogah berpisah dari Kakanda ... oh!". Sekonyong-konyong tuan putri masuk ke balik layar sambil menangis. Adegan itu pun selesai. Tapi, sang raja yang habis diduduki sang putri, tak mau bangkit-bangkit juga sehingga para penonton berteriak. "Hei, raja, mau duduk terus lu. Ayo bangun ...!"
(Alwi Shahab, Wartawan Republika)

Sumber : http://softoh-jamaah.blogspot.com