Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Terjadinya Negara Baduy

Terjadinya Negara Baduy
Dikutip dari : Buletin Kebudayaan Jawa Barat "Kawit"
Pen : Badoejsche Geesteskinderen Door C.M Pleyte

Menurut cerita nenek moyang, dahulu kala Negara Baduy adalah hutan belantara yang kosong tiada penghuni pula keadaannya sunyi sekali. Tidak pernah dimasuki atau dilalui manusia, sebab pada waktu itu masih belum banyak manusia. Walau pun demikian yang menjadi makanan utama telahditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dan mulailah dijelmakan manusiaolehnya. Sebagai manusia pertama adalah yang disebut Batara, dan inimenurunkan lagi Batara tujuh sampai kepada lima daleum dan terus turuntemurun sampai kini (lihat Arca Domas hal 512).

Bahkan pada waktu itu di Negara Banten pun masih kosong pula, hanya ada satu dua orang saja yang mempunyai kesaktian dan sedang bertapa,tidaklah seperti zaman sekarang banyak manusia dari berbagai golongan.Pada waktu pertama kali memasukan agama Islam di Pulau Jawa, yaitu diPajajaran, diceritakan bahwa Raja Pajajaran tidak mau memeluk agamaIslam, beliau bersama-sama dengan saudaranya yang bernama Pucuk Umumlalu menghilang dari Pajajaran.

Beliau merubah dirinya, bersalin rupa menjadi seekor burung beo, dan terus terbang tinggi mencari tempat yang sunyi. Siang malam terusterbang melayang dengan tiada hentinya mencari tempat yang sesuai dan aman.

Waktu sampai di Banten, yaitu yang disebut negara Cibaduy, merekamenemukan sebuah hutan yang sepi dengan batu-batunya yang berbagai macamukuran dan dengan pasirnya yang indah dan hutan belantara ini luas sekali. Tidak ada penghuni, kecuali binatang-binatang buas, seperti macan. Badak, babi hutan dan banyak lainnya lagi, pula terdapat banyakular yang besar mau pun yang kecil, hanya itulah yang terdapat penghuni
hutan itu.

Di daerah inilah raja bersama saudaranya yang bernama Pucuk Umum berhenti. Tak lama dari waktu itu, beliau menengok ke sebelah bawah,maka terlihatlah oleh mereka, ada sungai yang besar serta airnya yangbersih dan jernih sekali. Lalu mereka mandi di sana. Setelah selesaimandinya, maka raja ini bentuk badannya berubahlah kembali menjadiseorang manusia lagi.

Sungai ini lalu diberi nama Cibeo, dan masih berlaku sampai sekarang nama itu. Setelah beliau mandi, maka kembalilah beliau ke tempat tadiyang banyak batu serta pasirnya itu.

Tempat ini oleh Raja diberi nama Ci-Keusiak, dan raja bersama saudaranya terus bertempat tinggal di sana. Sejak saat itulah nama tempat ini disebut Ci-Keusik. {>>}

Menurut cerita, raja ini adalah keturunan dari swarga-loka dan merajaiPajajaran. Lama-kelamaan raja ini mempunyai keturunan yang banyak sekalidan mereka membuka hutan sebelah hilirnya, lalu diberi nama Cikertawanadan nama ini berlaku sampai sekarang.

Tempat ini diberi nama Cikertawana, karena di tempat inilah mula-mulaterjadinya keramaian, yang mempunyai arti : kerta = ramai, wana = hutan.Pendapat ini adalah tidak benar kerta = kerta artinya di sini adalahistirahat dan menikmati kebahagiaan, sedangkan rame berarti ramai,
gemuruh, hidup. Tydschr. V, Ind. T, L en Nk, jilid LIV. Aft 8 dan 9. wana = hutan.

Mulai waktu itu terus-menerus sampai sekarang mereka membuka hutan danmenempatinya, tetapi pada suatu tempat hanya diberi izin untuk dihunioleh 40 keluarga.

Sebagai pengisi waktu dan kebudayaan mereka, bila ada binatang-binatangbuas seperti harimau, celeng, banteng atau ular maka merekamembinasakannya tidak dengan senapan, akan tetapi cukup dengandikejar-kejar saja. Bila belum tertangkap mereka terus mengejarnya, dan jika tersusul maka terus saja berkelahi dengan menggunakan senjatapedang atau alat pemukul.

Bahwasanya sampai sekarang di sana tak terdapat binatang buas, karenahabis dibunuh oleh orang-orang Baduy. Seseorang dikeluarkan daridaerahnya apabila ia mencuri padi atau berani memegang susu atau pipiperempuan, maka ia dibuang dan tempat pembuangannya dinamakan desa desaNangka-bengkung.

Bila ada orang yang mempunyai anak perempuan cantik, lalu ada laki-lakiyang menginginkannya, maka si ayah tak dapat melarangnya, asal si calonmenantu membawa pakaian untuk anaknya dan hasil bumi seperti padi, ubi,pisang dll, hasil dari bercocok tanamnya sendiri, sedangkan yang berupauang hanyalah sebanyak duapuluh lima sen dan ini adalah untuk yangmenikahkan yaitu puun.

Yang ditunjuk sebagai rajanya di sana adalah geurang puun, dan yangdijaga oleh mereka tidak lain hanyalah larangan-larangan yang dijunjung tinggi. {>>}

Cerita ini tidak memerlukan banyak penjelasan, karena pada pokoknyamembahas hal-hal keanehan dari masyarakat Baduy yang sedikit banyaknyatelah dikenal orang. Hak yang baru, adalah tempat pembuangan untukorang-orang jahat yang dinamakan Nangka-bengkung, yang harus tinggal didesa tersebut selama 3 tahun. Setelah masa pembuangan selesai, maka iaboleh tinggal di bawah panamping.

Selanjutnya mengenai nama Pucuk Umum ternyata terdapadat dalam semuacerita-cerita Sunda (tahun peristiwanya tertulis pada Batutulis dekat Bogor)

Keistimewaan-keistimewaan mengenai dirinya juru bicara saya tidaklah mengetahuinya, tetapi sama Pucuk Umum terdapat pula terdapat pula pada masyarakat Baduy, maka sudah dapat ditentukan, bahwa ia adalah seorang tokoh dalam sejarah yang memegang peranan pula. Mengenai kurangnya cerita ini diungkapkan dalam kenangan-kenangan orang Baduy, akan dapat diungkapkan dalam cerita-cerita selanjutnya, bahwa ia sedikit banyaknya mempunyai nilai sejarah.

Dewa Kaladri
Syahdan diceritakan orang, sejak sanghiyang sampai kini kira-kira sudah ribuan tahun ke belakang , waktu itu ada seorang sanghiyang yang bernama Sanghiyang Sakti yang mempunya seorang anak laki-laki.

Ada pun rupa anak ini sangat jelek sekali, badannya hitam dan perutnyabuncit. Oleh ayahnya anak ini diturukan ke bumi, disuruh bertama dan mengelilingi dunia.

Setelah itu maka anak buncit itu turunlah ke bumi. Waktu sampai pusat kota Ci-paitan, yaitu desa Ci-handam yang telah lama ditinggalkan, ia terus bertapa di Gunung kujang. Waktu sedang bertapa, ia diketemukanoleh Daleum Sangkan sedang telentang bertapa di atas sebuah batu yang besar. Oleh Daleum Sangkan ia dibawa pulang diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).

Yang menjadi kesukaan anak buncit ini adalah memasang bubu setiap hari. Lama-kelamaan istri Daleum Sangkan membencinya terhadap anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam, perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak.

Hanya Nyi Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada suatu hari waktu itu Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan dalam, ia harus memasangnya ditempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak mendapat ikannya. Nyi Sangkan berkata : "Kalau tempat yang baik adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu". Lalu mereka masing-masing menempatkan bubunya. {>>}

Kalau si anak buncit memasangnya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di tempat-tempat yang jelak dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang.

Waktu keesokan harinya dilihat, bubunya Nyi Sangkan tidak berisi ikan sama sekali, walau pun di tempat yang baik. Sedangkan waktu bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikannya, bahkan ada seekor ikan yangbesar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang.

Dengan demikian Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anakitu, bahkan ia pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini tidaklah menghiraukannya.

Tak lama kemudian, Nyi Sangkan mengajak menanam talas di humanya. Tetapiseperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan menanam talasnya di tempat yangtanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh menanamnya ditempat yangjelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit : "Wah, kamu menanam talas juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, mana merah bercampur pasir lagi, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya sebesar kelentitku". "Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya, sebab tanahnya bagus." Anak buncit tidak menjawab apa-apa,hanya dalam hatinya ia berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak.Setelah lama, talas itu sudah masnya berumbi, lalu mereka tengok dan terus masing-masing mencabutnya. Waktu mereka masing-masing mencabut talasnya, ternyata tanaman Nyi Sangkan, talasnya tidak ada umbinya dan lagi keri jelek tumbuhnya. Waktu si anak buncit mencabut talasnyaumbinya besar sekali, tetapi hanya sebuah, besarnya sebesar tempayan tempat beras. Anak buncit berbicara kepada Nyi Sangkan sambil memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan : {>>}

"Ini lihatlah Ua, tanaman talasku ada umbinya sampai sebesar burut Ua."Setelah itu, dengan mendadak terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar talas tadi, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang kabut, hatinya makin marahsaja kepada si anak buncit itu, karena ia terkena sapaannya, yaitu menjadi burut alat kelaminnya, sampai ia susah berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah. Ia terus menangis. Mulai saat itu Nyi Sangkan makin lama makin membenci anak buncit itu. Oleh karena ia merasa malu,maka ia bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya ia merasa takut olehsuaminya Daleum Sangkan. Pada suatu waktu si buncit sedang bepergian, ikan lubang kesayangannya dicuri oleh Nyi Sangkan dari tong kawung. Terus dibawa ke rumah dan dibuat masakan, sedangkan kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, ia masukkan ke dalam mangkuk dan disimpan di rakpiring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si buncit datangsambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk diberi makan. Waktu dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, yaitu dicuri oleh Nyi Sangkan, si buncit terus menanyakan, dan katanya : "Ua, ikan saya dikemanakan, sebab tidak ada lagi dari tempatnya, sudah tentudicuri olehmu"

Waktu sedang berbicara demikian, maka ayam jantan berkokok demikianbunyinya :

Kiplip-kiplip (suara tiruan tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara koko ayam) Kepala lubang disembuyikan, Ditutup oleh periuk, Ditempatkan di dalam mangkuk, Disimpan di rak piring, Cepat-cepat, segera harus dicari, Jangan percaya kepada Nyi Sangkan, Sebab, dia buruk hatinya,Ia bermaksud membunuhmu. {>>}

Setelah mendengar kokok ayam yang demikian bunyinya, maka si buncit terus saja mencarinya ke rak piring. Waktu ditengoknya, ternyata kepala lubang itu ada, ditutup oleh periuk. Setelah itu si buncit tidak bicara lagi. Ia terus melarikan diri karena marahnya dan benci kepada NyiSangkan. Ia langsung pergi ke Negara Pakuan barat dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa dipegunungannya.

Diceritakan Raja Pakuan Barat mempunyai seorang putri yang sangat cantikbernama Putri Tasik Larang raja kembang. Waktu itu sedang baleg kembang (dewasa hasrat untuk lain jenis mulai tumbuh. Kemudian perasaan takut dalam menghadapi lain jenis kelamin, tapi belum ada keberanian untuk bercintaan. Ini yang disebut "baleg tampele", sedangkan "baleg sedeng",adalah tumbuhnya hasrat untuk bercinta dengan segala akibatnya.) umurnya kira-kira sudah limabelas tahun dan belum mempunyai suami. Menurut cerita, anak buncit itu terus mandi di lubuk Sipatahunan (suatu lubuk yang sepenuh tahun selalu banyak airnya.) Setelah selesai ia mandi, maka rupanya menjadi amat bersih dan tampan sekali, bercahaya bagaikanseorang raja, hanya buncitnya tidak menjadi hilang. Ia segera turun ke kota untuk meminang Putri Tasik Larang raja kembang. Pinangan si buncit diterima oleh raja, dan terus disuruh kawin. Putri pun menerima dengan senang hati bersuamikan si buncit ada pun namanya si buncit, kini diganti menjadi Prabu Anom Munding Kawangi. Maka pesta perkawinannya pundilangsungkan dan oleh mertuanya dijadikan Prabu Anom Pakuan Barat.

Cerita tentang yang menjadi raja kita tinggalkan dulu. Kita beralih kembali ke Parakan Kujang. Sewaktu raja muda sedang bertapa di Gunung Kujang, ia mempunyai seorang sahabat karib sedemikan rupa sehingga sudah seperti saudara sendiri ; sama-sama baik hati, percaya-mempercayai untuk saling melindungi , namanya adalah Ratu Bagus Banarudin.

Pada suatu waktu karena sudah kelamaan di Pakuan Barat Raja muda merasa rindu dan ingin bertemu dengan Ratu Bagus Banarudin di Parung Kujang. Maka ia mohonizin kepada mertuanya untuk pergi dengan istrinya ke Parung Kujang. Mertuanya mengizinkan, hanya berpesan : "Jangan terlalu lama di Parung Kujang".

Setelah itu maka segeralah suami istri itu pergi ke Parung Kujang. Sesampainya di Parung Kujang, langsung saja menemui Ratu Bagus Banarudin, mereka diterima dengan baik seperti pada saudara sendiri saja dan oleh karena sudah tidak merasa canggung lagi, makan - minum dan tidur pun di rumah Ratu Bagus Banarudin. {>>}

Akan tetapi dalam hatinya Ratu Bagus Banarudin mempunyai hasrat jelek, yaitu ia sebetulnya menginginkan prameswarinya Ratu Anom Pakuan Barat, hanya tidak diperlihatkan. Lama-kelamaan Ratu Anom Pakuan Barat minta diri kepada Ratu Bagus Banarudin, dan mengemukakan maksudnya akan menjalankan bertapa lagi di Gunung Caladi. Sedangkan istrinya ia titipkan kepada Ratu Bagus Banarudin, dan berkata : "Nanti sepulang bertapa, kakakmu akan dijemput lagi, sekarang titiplah dulu, sebab tidak akan terlalu lama. Setelah oleh Ratu Bagus Banarudin diterima, maka raja muda pergi menuju tempat pertapaan.

Sesampainya di Gunung Caladi, maka ia mengganti namanya menjadi Dewa Kaladri, sebab tempat bertapanya adalah Gunung Caladi. Selama ia sedang bertapa, Ratu Bagus Banarudin bermain cinta denga permasuri raja anom, dan diterimanya, maka terus saja dijadikan permaisurinya.

Waktu tapanya telah mencapai 7 bulan, Dewa Kaladri meninggalkan tempat pertapaannya dan terus menjemput permasurinya yang akan dibawa pulang lagi ke Pakuan Barat.

Waktu sampai di Parung Kujang dan setelah dilihatnya ternyata permaisurinya itu telah menjadi permaisuri Ratu Bagus Banarudin, jadi ia urungkan untuk pergi ke rumah Ratu Bagus Banarudin. ia lalu berdiam diri di saung huma, tidur tertelungkup, dengan perasaan heran yang bukan kepalang bahwa permaisurinya telah direbut oleh sahabat karibnya sendiri.

Tetapi ia tidak mau memarahinya, karena merasa kasihan kepada sahabat karibnya itu, bahkan ia membiarkan saja. Sedang demikian, ia dapat diketahui oleh pengikutnya Ratu Bagus Banarudin, lalu dilaporkannya kepada rajanya, dan oleh raja diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Dewa Kaladri terus meninggalkan tempat itu, melarikan diri menuju ke sebelah Tenggara. Waktu sampai di Tanjakan Ci-Batu ia bertemu dengan seorang tukang penyadap aren yang bernama Ki Kondoy. Ia sedang meninggur tangan-tangan aren sambil membuang ijuk dan kelopak-kelopaknya. Dewa Kaladri menanya kepada Ki Kondoy : "Eh, sedang apa kau di sana?" Ki Kondoy menjawab : "Saya sedang meninggur, tangan-tangan aren ini mau disadap sambil membuang ijuk dan kelopaknya". Dewa Kaladri berkata : Coba, hari ini aku harus segera kau tolong, karena aku sedang mendapat kesusahan, yaitu sedang dikejar-kejar oleh pengikutnya Ratu Bagus Banarudin dan mau dibunuh". "Tapi aku tidak mau melawannya, karena kasihan". "Sekarang juga aku harus segera kau sembunyikan, jangan sampai aku dibunuhnya". Setelah itu maka terus saja oleh Ki Kondoy diberi pertolongan. Ia disimpannya ke dalam Lombang Labuhan Bulan, dan ditutupi ijuk dengan kelopak aren tadi sampai rapi sekali, sehingga tak kelihatan. Tidak lama kemudian, pengikut-pengikutnya Ratu Bagus Banarudin berdatangan mencari Dewa Kaladri. Waktu mereka bertemu dengan orang yang sedang menyadap, dan langsung menanyakan : "Hey yang sedang menyadapa, apakah kau tidak melihat orang lewat ke sini?" Jawab penyadap : "Aku tidak melihatnya, sebab sejak dari pagi aku ada di sini sedang menyadap, tetapi tidak ada orang lewat ke sini". Setelah itu, mereka kembali lagi, tidak terus mencarinya. Setelah musuhnya kembali, maka Dewa Kaladri dikeluarkan lagi oleh Ki Kondoy dari Lombang Labuhan Bulan, dan selamatlah dari mara-bahaya.

Pada waktu itulah Dewa Kaldri mengeluarkan perkataan kepada Ki Kondoy, beginilah katanya : "Kondoy, aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu sampai aku selamat dari bahaya maut. Kini aku mendo'akanmu agar kau menjadi kaya raya dari hasil pekerjaan yang sehari-hari kau kerjakan, yaitu menyadap aren. Hanya aku titip, di kelak kemudian hari, anak cucumu janganlah coba-coba kawin dengan keturunan Ratu Bagus Banarudin di Parung Kujang dan dengan keturunan daleum Sangkan di Cihandam. Inilah yang harus dijadikan tabu olehmu karena Ratu Bagus Banarudin sudah memperlihatkan kerendahan budinya padaku. "Begitu pula istri Daleum Sangkan telah menyakitkan hatiku, dan anak cucu keturunannya, telah aku sapa, perempuannya menjadi burut kemaluannya." "Jika kamu berani melanggar larangan ini, kamu akan mendapat kecelakaan, tidak menemui kebahagiaan, akan tetapi jika kamu mentaatinya, niscaya kamu mendapat kebahagiaan, tidak akan mengalami kekurangan apa-apa". "Nah, begitulah nasihatku, camkan dan perhatikan baik-baik". "Kini aku tak akan lama di sini, aku bermaksud menuju Parakan Dangong". Ki Kondoy menerima nya segala nasihat dan pepatah dari Dewa Kaladri, dan selamanya dijalankan dengan baik, serta disampaikan pula pada anak-cucunya.

Atas kepatuhannya pada nasihat-nasihat tadi, maka keturunan Aki Kondoy tidak mengalami kekurangan sandang-pangan. Setelah Dewa Kaladri memberi nasihat, maka terus saja pergi dan menghilang tanpa ada yang mengetahui kemana arah tujuannya.

Syhdan, diceritakan oranglah, bahwa Dewa Kaladri muncul di Ci-Masuk. Di sini banyak terdapat rumah-rumah dan orang-orangnya hidup berkecukupan. {>>}

Pada suatu ketika ia melihat seorang perempuan yang sedang mengangkat nasi. Maka Dewa Kaladri pura-pura kelaparan ingin mencoba perempuan tadi, dan meminta nasinya, katanya "Saya minta makan". Perempuan tadi tidak memberinya karena takut tidak akan cukup untuk makan keluarganya, dan jawabnya : "Tidak ada makanan, yang ada hanya wedang". Menjawab demikian itu, tiada lain hanya untuk menghindar pertanyaan-pertanyaan lain. Dewa Kaladri berkata : "Biar saja bila tidak ada, aku pun tudak memaksa tetapi bila diberi wedang pun aku mau menerimanya". Bersamaan dengan Dewa Kaldri berkata demikian itu, maka nasi yang ditanak tadi menjadi wedang. Perempuan itu berdiam diri saja, tidak bicara, tidak apa, kaget melihat nasi sudah menjadi wedang.

Dewa Kaladri berkata : "Nah kalau orang suka berdusta maka beginilah kejadiannya". "Kini kau menyapamu, karena kau telah mendustai kau, maka keturunanmu di Ci-Masuk, tidak akan berkecukupan kehidupannya dari hasil Seri. (Seri = Padi, dikatakan demikian itu menurut Dewa dari mana asalnya padi itu. Perkataan ini bukanlah spesifik Bahasa Baduy petani-petani di pedalaman menyebutnya seri juga, bukan pare, beas dan lainnya) Tapi bisa juga mendapat kehidupan dari aren sebab yang aku terima hanya wedangnya saja".

Setelah berkata begitu, tak lama kemudian Dewa Kaladri menghilang, tidak tahu kemana perginya. Sampai saat ini, penduduk di Ci-Masuk tidak ada yang berkecukupan dari menanam padi, hanya dari hasil pohon aren saja, sebab telah disapa oleh Dewa Kaladri. Begitu pula, setiap yang telah disapa oleh Dewa Kaladri sampai saat ini masih menjadi tabu, seperti di desa Ci-Handam dan di Tanjakan Ci-Batu. Mereka tidak melakukan perkawinan silang sebab pada waktu telah kena sapaannya dan wanita-wanitanya telah menjadi burut alat kelaminnya.

Semua ketabuan telah diwariskan turun-temurun sampai kepada anak cucunya hingga kini. Diceritakan, bahwa Dewa Kaladri suda ada lagi di Parakan Dangong sedang bertapa.

Tempat ini disebutnya Parakan Dangong karena sebagai peninggalan para dewata membuat bendungan dan Dewa Kaladri di tempat itu bertapanya duduk di atas batu dengan kepala menengadah. Ada lagi, sekarang yang diceritakan Butut Lanting, kepala kampung di Ci-Keusik, mengadakan perundingan dengan teman-temannya yaitu kepala kampung Cibeo dan cikertawana, sebab oleh Geurang Puun telah diperintahkan untuk mencari dewa yang menjelma sebagai anak buncit, yang dulu diturunkan oleh ayahnya ke dunia dari kahyangan disuruh bertapa. Kini Geurang Puun telah menerima berita, bahwa raja dewa itu telah muncul di Parakan dangong. {>>}

Maka Buyut Lanting bermusyawarah dengan para temannya. Setelah itu, maka mereka pergi menuju Parakan Dangong, dan masing-masing membwa teman lagi 5 orang, jadi 3 orang kepala kampung, membawa 15 orang, maka semuanya berjumlag 18 orang.

Sesampainya di parakan Dangong, ternyata Dewa Kaladri sudah ada sedang bertapa di atas batu dengan kepala menengadah. Lalu dihampirinya, dan mereka telah bertemu dengannya di sini.

Waktu Dewa Kaladri melihatnya, dia merasa kaget disangkanya pengikut-pengikut Ratu Bagus Banarudin. Terus Dewa pergi sambil mengambil sebuah batu besar, sebesar kepala manusia, akan dilemparkan kepada 18 orang tadi. Sambil ia berkata : "Hey, apakah kalian betul pengikut Ratu Bagus Banarudin, ataukah bukan", "Kalau benar, mari berperang dengan aku, coba, kalian mendekat ke sini bila ingin tahu".

Kepala kampung Buyut lanting dan teman-temannya duduk bersimpuh, kaget bercampur takut dan mereka yakin bahwa ini adalah benar raja dewa yang dicari. Maka mereka lalu berbicara, dan katanya : "Duh, Gusti, kami ini bukannya pengikut Ratu Bagus Banarudin, kami adalah dari Ci-Keusik, Ci-Beo dan Ci-Kertawana. Kami datang ke mari, justru diutus oleh seorang Geurang Puun mencari raja dewa, yang dulu sudah diturunkan oleh ayahnya ke dunia dan mungkin kini Gusti harus kembali ke kahyangan".

Setelah mendengar tutur kata mereka yang demikian, maka amarah Dewa Kaldri menjadi reda. Selanjutnya ia berkata : "Oh, baiklah bila demikian adanya, kalian aku terima, bila kalian betula sebagai kepala kampung Ci-Keusik, Ci-Beo dan Ci-Kertawana, hanya aku sekarang tak dapat menjadi raja kalian di dunia ini, karena akan segera pulang ke kahyangan, hanya sampai hari ini, saya dapat bertemu muka". "Hendaknya kamu sekalian selalu hati-hati dan waspada dan dengarlah baik-baik jagalah segala yang tabu janganlah dilanggar, dan jagalah semua rakyat kecil, agar kebahagiaan terus turun-temurun sampai ke anak-cucu, hendaknya semua ini
ditaati".

"Janganlah berani coba-coba melanggar semua larangan yanh tabu, seperti mencuri, beralih kepercayaan, melanggar kesusilaan dan kesopanan, semua ini mengakibatkan suatu malapetaka.
"Barangsiap berani melanggar larangan-larangan ini, tidak mentaati nasihatku, pasti akan mengalami kecelakaan". "Nah begitulah, kini aku akan pulang ke kahyangan, kamu sekalian pulanglah segera, dan katakan kepada Geurang Puun, bahwa kamu sekalian telah bertemu denganku".

Setelah berkata demikian, maka menghilanglah Dewa Kaladri, hilang tiada bekas.

Sumber : http://www.opensubscriber.com

Tantangan Pelestarian Budaya Spiritual Pada Keris Karmadikan

Abstrak
Budaya keris tak lepas dari dua aspek pemahaman yaitu bendawi dan non-bendawi; Eksoteri dan esoteri.
Awalnya, fungsi keris adalah sebagai senjata tikam, dalam perjalanannya bergeser sebagai status sosial bermuatan spiritual, sebagai ”ageman” atau pusaka turun-temurun. Prosesi pembuatan keris, merupakan narasi ritual yang dilatari perlakuan esoteristik Kejawen. Karena itu keris adalah ekspresi kultural sang empu dalam ibadahnya.

Gerbang
Kejawen dari kata Jawa (Java): Javanism, adalah kegiatan orang Jawa dalam pencarian pengetahuan tentang hidup yang benar, menjadi ketauladanan kerohanian masyarakatnya turun-temurun, serta dipraktekkan dalam tatacara kehidupan lahiriahnya. Salah satu prinsipnya adalah mencari urip sejati (urip = hidup; sejati = true) mencapai hubungan yang harmonis antara hamba dan Tuhan, Jumbuhing Kawulo Gusti (jumbuh = a good relation, menyatunya, kawulo = hamba, gusti = Tuhan, Allah).

Kejawen merupakan ajaran spiritual asli leluhur tanah Jawa, yang dahulunya belum terkena pengaruh budaya luar. Artinya sebelum budaya Hindu dan Budha masuk ke tanah Jawa, para leluhur tanah Jawa sudah mempunyai budaya spiritual sendiri. Seperti terbukti adanya beberapa cara pandang spiritual Kejawen yang tidak ada pada budaya Hindu maupun Budha. Namun demikian, sekarang kita mewarisi Kejawen yang telah melalui proses sinkretisme budaya lain bahkan sinkretik dengan agama-agama.(2)

Kejawen memiliki arti yang luas meliputi sopan santun, keyakinan, filosofi, kesenian, tradisi, kekaryaan, kesatryaan, kepemimpinan, dlsb. Dalam catatan kuno dikenal adanya istilah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (Sastra = tulisan; Jendra = Harjendra, Dewa Indra, Tuhan sebagai manifestasi alam semesta dan kehidupan; Hayu = tenteram dan baik; Ing Rat = di dunia dan di dalam diri pribadi; Pangruwat = merubah; Diyu = Raksasa, angkara, watak buruk, kebiadaban). Tulisan atau buku Ketuhanan untuk menuju ketentraman dengan merubah watak biadab menuju peradaban (to civiliziation).

Sastra Jendra dalam sisi pandang universal bisa dipahami sebagai ”Sastra Ketuhanan” (3) yang tumbuh dari keimanan manusia melalui penghayatan maguru alam dan kehidupan (jagad gede), merupakan software yang terprogram dalam diri manusia (jagad cilik) serta menyelia di segala aspek kehidupan manusia.

Sastra Jendra dalam buku Betaljemur Adam Makna disebut : Mustikaning kawruh ingkang kuwasa amartani ing karahayon, karaharjan, katentreman lan sak panunggilipun, memayu hayuning bawana. Artinya “mustikanya ilmu Ketuhanan sebagai pedoman hidup menuju keselamatan, kesejahteraan dan ketenteraman dalam kehidupan diri sendiri maupun untuk kebaikan dunia”.

Pemahaman Sastra Jendra Hayuningrat melahirkan konsepsi Memayu Hayuning Bawono - menjaga keseimbangan dunia dalam arti yang luas; melestarikan alam semesta untuk kesejahteraan kehidupannya; dimulai dari antara manusia dengan manusia; dan antara manusia dengan alam semesta didasari oleh hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan.

Kemudian dari kepercayaan Sastra Jendra itu, muncul suatu perenungan tentang hal keutamaan manusia yang dimaknai oleh ”budi-pekerti”.


Prosesi Pembuatan Keris Pusaka
Pada catatan anonim yang didapat dari salah satu buku tanpa judul di perpustakaan Radhya Pustaka - Surakarta yang bertulis Jawa carik (huruf Jawa), disulih secara bebas dalam bahasa latin(4), antara lain disebutkan secara runtut :

1. Kyahi empu nyamektakaken ubarampening wilah tuwin tosan waja, sinambi nindakaken samadi supados pikantuk wisik ngingingi wujud punapa ingkang gegayutan kaliyan dhuwung ingkang badhe kadamel, kalarasaken kaliyan pakaryaning tiyang ingkang nyuwun kadamelaken dhuwung punika, kadosta: supados kathah rejekinipun utawi kangge kapangkatan. Inggih ing wekdal punika mujudaken wekdal panyrantos ingkang panjang, amargi kyahi empu boten miwiti pakaryanipun saderengipun angsal tumuruning pitedah.

(1. Kyahi empu menyiapkan dan memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan samadi untuk mendapatkan inspirasi tentang hal bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi pemesannya; seperti agar banyak rejekinya atau berfaedah untuk suatu kepangkatan. Pada tahap inilah merupakan penantian panjang karena kyahi empu tidak akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan YME).

Pembahasan ad. 1 : Kalimat agar banyak rejeki atau berfaedah untuk suatu kepangkatan; memberi pengertian bahwa keris memang diciptakan agar mempunyai daya (tuah) untuk sesuatu tujuan dan kemanfaatan bagi seseorang melalui petunjuk Tuhan YME.

2. Manawi tataran ngajeng kala wau sampun dipun lampahi, mila kyahi empu miwiti benjing punapa anggenipun badhe miwiti pandameling dhuwung punika, kyahi empu ugi ngetang dhawahing dinten ingkang anggenipun kedah kendel nyambut damel, amargi mujudaken dinten awon. Kyahi empu kedah lebda dhateng ngelmi Candrasengkala saha ngelmi petangan dinten.
(2. Setelah tahap pertama selesai, kemudian kyahi empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk melewati hari jelek. Kyahi empu dalam hal ini memang menguasai ilmu Candrasengkala dan perhitungan hari).

Pembahasan ad. 2 : Dalam perilaku sehari-hari, bangsa kita (Nusantara) memiliki kepercayaan untuk terhindar dari malapetaka, yaitu kepercayaan pada hitungan hari baik.

3. Sasampunipun katamtokaken dinten wiwitanipun, mila kyahi empu nyamektakaken sajen kangge nindakaken tatacara ingkang ancasipun nyuwun idin tuwin berkah miwah nyenyapa dhateng kekiyatan-kekiyatan ngalam ingkang mujudaken titahing Hyang Tunggal. Sajen punika wonten kalih warni: Sajen baku inggih punika sajen ingkang dipun tindakaken turun-tumurun antawisipun: tumpeng, sekar setaman, sekar telon, pisang raja, jenang abrit, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekaka ayam, sambel goreng ati, kinangan sata, sedhah, apu, teh pait saha kopi pait, sentir, wewangen mliginipun kutukan menyan saha dupa. Wonten sajen wewahan sinebat sajen barikan inggih punika manawi kyahi empu angsal wisik mligi kadosta mewahi tigan ceplok, sok ugi kawewahan rah ayam pethak mulus lan sapanunggilanipun. Kyahi empu pancen lebda dhateng ngelmi sarana, utawi ngelmi sajen. Amargi sajen ingkang kagelar punika anggadhahi pralambang ingkang boten sok tiyanga mangretos.
(3. Sesudah menentukan hari baik untuk memulai, maka kyahi empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon ijin kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan sang Hyang Tunggal. Sesajinya ada 2 (dua) macam yaitu sesaji baku yang dilakukan turun temurun sesuai pakem, seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja, jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam, sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji yang kedua disebut sesaji barikan, merupakan sesaji tambahan karena kyahi empu mendapat petunjuk atau inspirasi misalnya harus menambahkan telur mata sapi, ayam putih mulus atau yang lainnya, kemudian disantap bersama-sama. Kyahi empu memang menguasai ilmu Sarono atau ilmu sesaji, satu persatu dari sesaji itu memiliki perlambangan yang tidak semua orang tahu).

Pembahasan ad. 3 : Sesuai kepercayaan maguru alam sebagai interaksi manusia dengan alam, muncul kesadaran keikhlasan untuk melakukan ‘persembahan’ kepada Tuhan perwujudan alam yang menghidupinya (alam semestawi). ‘Persembahan’ manusia kepada alam dengan pernyataan symbol atau perlambangannya sering menjadi pengharapan dan atau kebalikannya seolah alam ‘meminta’ untuk dilakukannya. Kata ‘meminta’ dalam konteks sebagai inspirasi manusia mendapat gambaran mengetahui situasi ketimpangan alam yang membutuhkan keharmonisannya. ‘Persembahan’ itu disebut sesaji (menyajikan .….), maka dalam prosesi penciptaan keris dilakukan sesaji pokok (sesuai aturan turun-temurun) serta ada sesaji barikan.

Sesaji Barikan adalah sebagai pelengkap tambahan yang dapat mengharmoniskan tujuan penciptaan keris tersebut. Merupakan inspirasi yang terbersit oleh sang empu, dimana tidaklah setiap keris harus memakai sesaji barikan. Sebagai contoh : karena situasi wabah penyakit pada masa itu, sang Raja menitahkan membuat keris penangkal, maka dalam hal ini dipastikan ada sesaji barikannya. Pada waktu Suran (1 Suro tahun 1997?) di Kraton Surakarta Hadiningrat pernah mengumumkan sajen barikan “madu mongso” (ketan hitam yang diberi gula), agar setiap keluarga-keluarga juga mengadakan sesaji tersebut atau dimakan bersama-sama. Sebagai upaya untuk menolak suatu bencana yang diperkirakan (diramalkan) terjadi, sesaji barikan diharapkan agar alam dapat harmonis kembali.

4. Pangucaping japamantra, nalika jaman rumiyin padatanipun taksih angginakaken basa Jawi Kina, nanging ing pungkasaning jaman Majapait ewah sacara Islam. Tuladhanipun: jaman rumiyin kawiwitan kanthi ngucap Hong wilaheng, utawi niyat ingsun, nalika jaman para wali kawiwitan kanthi ngucap Bismillaah hirrahma nirrahiim.... lan salajengipun.
(4. Pengucapan mantra, pada jaman dahulunya mantra masih berbahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi, tetapi setelah Majapahit runtuh mulai berubah secara do’a Islam. Antara lain jaman dahulu dimulai dengan mengucap Hong Wilaheng, atau niat ingsun, maka jaman para wali dimulai dengan Bismillah hirrahmanirahim .... dan seterusnya).

Pembahasan ad. 4 : Mantra dapat didefinisikan sebagai suara, bunyi, kata, atau kelompok kata yang dianggap mampu menciptakan transformasi. Mantra bervariasi sesuai dengan filosofi yang berhubungan dengan tujuan mantra. Dilakukan antara lain, termasuk dalam upacara-upacara permohonan hujan, keberkahan, menghindari bahaya, atau menghapuskan musuh. Setiap kelompok manusia atau suku bangsa memiliki mantra tersendiri, termasuk orang Jawa sejak jaman dahulu kala. Istilah ’mantra’ pertama ditulis tercatat pada adanya tradisi berasal dari Vedic (tradisi India, di masyarakat Jawa kuno sudah ada tetapi tidak ditemukan catatannya), kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi dan praktek adat. Begitu pula, kemudian mendasari spiritual Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra kini meluas diberbagai gerakan spiritual yang sebelumnya ada pada tradisi-tradisi di Timur. Suatu “mantra” diucapkan dan digetarkan melalui sanubari manusia secara berulang-ulang, bahkan dari abad ke abad telah dilakukan, sehingga seolah terjadi sebuah konvensi (perjanjian) dengan alam semesta dan menghasilkan kekuatannya. Mantra lahir dari olah “rasa” yang tinggi dalam proses spiritualisasi manusia menyembah kepada Tuhan sebagai manifestasi alam dan kehidupan. Sehingga “mantra” menjadi wujud kekuatan itu sendiri.

5. Sasampunipun bakalan saton dados dipun tindakaken tuguran kaliyan bakalanipun dipun selehaken wonten ing pelataran supados manunggal kaliyan rembulan tuwin lintang ingkang wonten ing akasa. Ndungkap enjing asring wonten kadadosan gaib ingkang salajengipun dening kyahi empu dipun dadosaken gelaripun utawi namanipun sasampunipun kaaturaken dhumateng raja utawi ingkang andhawuhi damel. Tatacara punika kanamakaken 'sirepan', kyahi empu sareng kaliyan panjak utawi tangga-tepalih malah sok ugi kanca sesamining empu nindakaken tuguran ngantos subuh, sinambi linadosan nyamikan miwah unjukan. Nyamikan ingkang mligi padatanipun wajik.
(5. Setelah kodokan jadi, lalu dilakukan tuguran/begadang, sambil kodokan itu diletakkan di alam terbuka agar ada penyatuan kekuatan dengan rembulan atau bintang di angkasa. Menjelang pagi sering terjadi peristiwa gaib yang nantinya disimpulkan oleh kyahi empu, untuk nama gelar keris yang dihaturkan kepada Raja atau pemesannya. Tata cara tahap ini disebut ‘sirepan’, kyahi empu bersama panjak dan tetangga bahkan teman sesama empu ikut begadang hingga subuh, sambil ditemani makanan kecil dan minuman. Makanan khas yang disajikan adalah wajik atau ketan yang dimasak dengan santan).

Pembahasan ad. 5 : Perilaku prihatin atau ”nglakoni” merupakan tradisi dalam Kejawen. Maka dalam proses penciptaan keris juga ada tahap-tahap dilakukan ritual sederhana. Bakalan keris (kodokan) dipersembahkan dan dipersatukan kembali dengan alam, agar saling doyo-dinoyo (saling mendayai), didasari sebuah pemaknaan bahwa ”aku bukanlah siapa-siapa”; artinya sang empu melakukan observasi diluar obyeknya, seolah dia hanya tangan-tangan yang ’dipakai’ untuk menciptakannya. Tahap ’sirepan’ merupakan ekspresi kultural memaknai kerukunan, kegotong-royongan, toleransi, kerjasama, saling mengapresiasi, kumpul-kumpul tetangga...... dan hal ini adalah bagian kecil dari peradaban bangsa Nusantara yang mestinya harus tetap dipelihara.

6. Sasampunipun punika keris ingkang sampun dipun garap mawujud, lajeng ngancik tataran nyepuh, kyahi empu nyamektakaken bumbung ingkang dipun isi lisah klapa dipun jangkepi mawi lampah srengat tuwin sajen, padatanipun namung sekar telon, tumpeng alit, recehan kangge lelembut tumbas jajan peken saha wangen-wangen kukusing menyan. Dhuwung dipun mantrani kanthi kalarasaken kaliyan ingkang andhawuhing damel. Dhuwung dipun besmi ngantos marong lajeng dipun celupaken wonten ing salebeting bumbung ingkang dipun iseni lisah klapa. Wonten ingkang pucukipun dipun obong malih lajeng katindakaken sepuh dilat punika latu ingkang marong mawi dipun dilat dening kyahi empu ingkang sekti, padatanipun wewahan donganipun inggih punika waosan sastro pinodati, sastro gigir lan rajah kalacakra.
(6. Setelah keris yang digarap sudah berwujud/selesai, masuklah tahap nyepuh/mengeraskan besi. Kyahi empu menyiapkan tabung dari bambu yang diisi minyak kelapa, dengan dilakukan ritual dan sesaji, biasanya hanya tumpeng kecil, bunga tiga rupa dan uang recehan untuk jajan pasar para lelembut, sambil dibakari kemenyan. Keris dimantrai berulang-ulang sesuai dengan tuah yang diinginkan. Keris kemudian dibakar membara dicelupkan ke dalam bumbung yang berisi minyak itu. Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat(5) yaitu ujung yang membara dijilat oleh kyahi empu sakti, sebelumnya dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra).

Pembahasan ad. 6 : Secara umum keris diagungkan oleh kawula perkerisan; antara lain pada keunikan teknologinya. Namun kurangnya informasi dalam hal pengerasan baja atau ‘proses sepuh’ keris pada waktu itu tidak diketahui tujuan yang sebenar-benarnya. Dalam tinjauan spiritual, prosesi penciptaan keris pada tahap sepuh ternyata aksentuasinya justru pada diadakannya ritual dan sesaji sebagai penyembahan kepada Hyang Gusti serta untuk ‘kulo nuwun’ kepada baureksa disekitarnya. Bahkan ‘Uang receh’ yang disebutkan adalah untuk jajan pasar para lelembut (makhluk halus); merupakan suatu kompensasi jika ada kelalaian atau kekurangan dalam sesajinya. Uang recehan itu bisa dibelanjakannya sendiri (makhluk halus) ke pasar. Kemudian pada kalimat : “Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat yaitu ujung yang dibakar membara dijilat oleh kyahi empu sakti ….....dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra”.

Sepuh dilat adalah ritual berupa sebuah prosesi dengan menjilat sebilah besi membara biasanya pisau membara yang kemudian pisau itu dihentakkan (dicelup) pada air bunga, sebagai perlambangan bersatunya dua kekuatan. Ketika api dan air bersatu, disertai mantra sang empu terucap, maka tertanamlah kekuatan pada sebilah keris yang disepuh dilat. Sepuh dilat dapat diartikan sebagai “ngenjingaken doyo” (memantek Yoni). Dalam ajaran Sastro Jendro Hayuningrat (khusus pada paguyuban Sastro Jendro pimpinan KPH. Darudriyo Sumodiningrat yang pusatnya di Jakarta), sepuh dilat adalah bagian dari ritual manembah; yang dapat dijelaskan sebagai pembersihan diri. Tentunya bagi para pengikutnya yang telah melalui inisiasi (wejangan) terlebih dahulu. Pembersihan diri yang disebut ‘asesuci’ ada empat macam yaitu asesuci dengan media bumi, angin, tirta dan api. Asesuci bumi dan angin tidak dilakukan (secara komunal) karena ritual ini sangat pribadi dan merupakan tahapan yang tinggi. Maka asesuci biasanya dilakukan dengan media ‘air/tirta’ dan ‘api’. Dalam ritual asesuci ’api’ dilakukan 7 (tujuh) kali jilatan; sesuai diagram chandra manusia yang menyatakan bahwa manusia memiliki 7 konstruksi jasmani dimana di dalam kejawen Sastra Jendra disebut ’sapta arga’ (bulu, kulit, daging, urat, darah, tulang, sungsum). Maka 7 (tujuh) konstruksi itu dibersihkan (disucikan) satu per satu. Sedangkan ’asesuci air’ adalah mandi keramas dengan bunga-bungaan, hal ini sangat lazim dilakukan.

Sepuh dilat sering pula dianggap sebagai demonstrasi kanuragan, karena masyarakat awam terhadap hal ini (bahkan begitu pula panitia yang mengadakan), tidak mengetahui maksud dari prosesi ritual 'sepuh dilat' itu. Sepuh dilat biasanya dilakukan pada Upacara Sinidhikara Pusaka; dan selain itu merupakan ritual manembah rutin malam Jumat Kliwon-an. Dalam komunitas penghayat Sastro Jendro Hayuningrat; ‘sepuh dilat’ disebut dengan istilah “jamasan”.

7. Dhuwung dipun kum ing salebeting toya klapa wayu supados rereged obongan gogrog, padatanipun dipun rendhem ngantos setunggil dalu supados guwayanipun saged boten burem, saengga pamor dhuwung anggadhahi prabawa ingkang endah. Sasampunipun makaten, dhuwung dipun pulihaken mawi jeram pecel ngantos resik, saha lajeng dipun kum warangan. Dhuwung ingkang sampun dipun kum warangan dipun oser-oseri lisah tumunten dipun ‘sanggaraken’ kaseleh ing papan padupan dangunipun ngantos sawatawis dalu, kedah nglangkungi malem Jumuwah Kliwon utawi Selasa Kliwon. Bab punika katindakaken supados mantra manjing sayektos saha dhuwung ampuh saestu. Sasampunipun rampung saestu, dhuwung kadamelaken warangka jumbuh kaliyan wujuding dhuwung tuwin pun saged netepaken, awit mranggi ingkang sae adamel warangka saged kinunci.
(7. Kemudian keris direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran terlepas, biasanya direndam semalam sehingga keris cemerlang guwayanya, serta muncul pamornya yang indah. Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk nipis hingga putih, lalu diwarangi. Keris yang selesai diwarangi diolesi minyak kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari sampai melewati Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan agar mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh. Setelah selesai semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh mranggi/tukang warangka yang mahir dan biasanya warangka bisa terkunci).

Pembahasan ad. 7 : Kalimat yang menarik pada point 7 ini adalah dalam ada kata disanggarkan. Kata ”sanggar” artinya ruang atau rumah pemujaan. Disanggarkan artinya keris diletakkan dalam ruang pemujaan itu. Maksudnya adalah agar semua yang telah dilakukan secara bendawi dan non-bendawi dapat mengendap. Sesuai kepercayaan Kejawen ditentukan meliwati hari tertentu, seperti Jumat Kliwon yang dianggap sebagai hari besar atau Selasa Kliwon yang dipercaya sebagai penyatuan kasih Angkasa dan Bumi yang juga disebut Anggoro Kasih (Anggoro = Selasa; Kasih = Kliwon).

Pemahaman Eksoterik
Esoteris keris adalah hal-hal non-bendawi pada keris meliputi segala aspeknya; seperti telah diuraikan prosesi pembuatan keris dengan ritual yang menyimpulkan adanya perlakuan esoteristik spiritual dari awal penciptaannya. Keris, secara wujud fisik atau eksoteris memuat pula ’senirupa simbolik’, sesuai karakter dan tuah yang diinginkan, tertuang dalam bentuk keris (disebut dhapur) dan motif pamornya.

Dhapur atau bentuk keris secara senirupa merupakan simbolisasi dari tujuan diciptakannya. Antara lain adanya bentuk keris lurus (dhapur bener) menyimpulkan ke’takwa’an kepada Hyang Maha Kuasa. Dhapur Jangkung (luk 3) melambangkan terjangkaunya cita-cita. Dhapur Pandawa (luk 5) agar pemiliknya dapat berdiplomasi dan memiliki watak agung seperti Pandawa lima. Begitu seterusnya hingga dapur yang lekuknya banyak seperti dhapur Ngamper Bantolo (luk 15) yang melambangkan si pemilik bisa menguasai tanah dan wilayah yang luas.

Selain dhapur, ternyata ’keris’ juga diciptakan dengan grand design sempurna dan agung; divisualkan pada motif pamor berkaitan dengan tujuan esoteriknya (tuah). Simbol-simbol senirupa ”pamor” itu tergolong dalam 5 kelompok; yang diekspresikan dalam media sebidang bilah keris, sesuai ’chandra manusia' dengan pemahaman unsur (anasir) tubuh manusia dan semesta (pandangan Kejawen); antara lain :

1. Jika pemantraan keris ditujukan untuk kerejekian, pergaulan, dikasihi, kejayaan, kemakmuran, keduniawian atau kehidupan lahiriah lainnya maka motif pamornya ditata berbentuk meliuk-liuk dan berpusar-pusar dilambangkan sesuai karakter ”tirta” (unsur air).
Contohnya : beras wutah, udanmas, segoro muncar dlsb.

2. Konfigurasi pamor bergaris-garis seperti lidi berjajar dianggap sebagai simbolisasi penyapu bencana, penolak bala, penolak segala kelicikan, santet dan perlakuan jahat baik secara fisik maupun maya. Serta merupakan simbol kebijaksanaan. Konfigurasi garis-garis tergolong dalam sebutan pamor singkir dan pamor hadeg. Karakter yang tegar ini dilambangkan kekuatan 'bayu' (unsur angin) yang sanggup menyapu segalanya, menerbangkan debu, dedaunan, bahkan atap dengan tidak tampak namun tetap dapat dirasakan keberadaannya.

3. Pamor rekayasa (dirancang atau pamor rekan) berbentuk motif daun palem, daun genduru, sekar-sekaran, lebih spesifik untuk tuah kejayaan, martabat, kekuasaan, kederajatan pemiliknya. Konfigurasi ini coraknya berjuntai keatas seperti karakter dari kobaran 'agni' (unsur api). Tetap dalam lingkup sebagai representasi alam, contohnya pamor Ron Genduru, Blarak Sinered, Sekar Lampes, Sekar Pala, Sekar Kopi, Mayang Mekar, Pari Sa’uli, dlsb.

4. Kesentosaan juga disimbolkan dengan adanya keris polos tanpa pamor (disebut : keleng) mengibaratkan dalam diri manusia memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Keris keleng biasanya dibuat oleh sang empu untuk kebutuhan ketentraman, orang-orang spiritual, pembela kejujuran dan sifat-sifat kesentosaan lainnya. Karakter unsur 'bantolo' atau 'bumi' disimbolisasikan dengan keris keleng tanpa pamor itu.

5. Bahwa kemanunggalan ’aku’ atau pancer-nya ditengah saudara empat atau sedulur papat yang dalam proses spiritual adalah tahap transcendental, tercapainya kemanunggalan dalam ruang bapa angkasa dan ibu bumi ditengah kiblat timur-selatan-barat-utara dalam ’aku jagad’(6), sanggup melahirkan kekuatan dahsyat dalam perwujudan goresan ’rajah’. Pamor rajah diciptakan oleh empu yang sakti dengan tujuan tertentu. Hingga saat ini, hanya beberapa bentuk pamor rajah pada keris yang bisa dimengerti seperti rajah ‘batu lapak’ memiliki tuah si pemilik dapat menghilang, lolos dari tembakan, kebal peluru, tidak tampak walaupun di depan mata musuh, dlsb; serta rajah 'pilulut' untuk kasengseman, pelet, kebahagiaan seksual, dlsb, ada pula rajah Alif, kalacakra dlsb, masih banyak bentuk rajah yang lain seperti ekspresi abstrak dari sang empu yang sulit diselami maknanya.

Cakrawala
Melalui kajian tentang ’keberadaan’ keris pusaka dalam kaitannya dengan budaya spiritual Kejawen; pada pembahasan ’prosesi pembuatan keris’ di jaman dahulu; menyimpulkan adanya fakta bahwa keris dari awal penciptaannya dimuati kepercayaan Kejawen; kita tidak perlu tabu membahasakannya. Tidak mendalihkan pula ke hal-hal teknis (modern) dengan membuang fakta-fakta spiritual yang ada pada keris. Atau kita tersedak oleh kegundahan karena terjebak penilaian ’syirik’ dalam koridor agama.

Pembuatan keris dimasa sekarang, mengalami kemajuan pesat seperti di Solo, Jogya, Muntilan, Malang, Gresik, Madura dan Bali. Dalam hal meningkatnya ketrampilan para seniman keris memberikan angin segar karena ‘keris baru’ (keris Kamardikan) secara eksoteristik (fisik) semakin bagus dan menyamai kualitas keris tua, tentu sangat perlu diapresiasi sebagai sebuah kebangkitan kebudayaan di bumi Nusantara dalam rangka menebalkan ‘jati diri bangsa’ melalui budaya keris.

Pertanyaan fundamental dan tantangan bagi kita bersama adalah; ”Bagaimanakah seniman keris kita (empu-empu muda), sanggup berkarya dengan bobot spiritual dan mumpuni seperti empu jaman dahulu?”. Sehingga keris Kamardikan dapat memberi kemanfaatannya pula untuk sesama manusia dalam kerangka konsepsi 'memayu hayuning bawana'. Semoga! (TJ)

Catatan kaki :
(1). Penulis adalah alumni STSRI ‘ASRI’ Jogyakarta, pegiat pelestarian Keris sebagai SekJen Panji Nusantara dan Pimpinan Redaksi majalah semi jurnal tosanaji PAMOR. Mantan pengurus DPP. Paguyuban Sastro Jendro – berdomisili di Jakarta.
(2). Wikiepedia; Kejawen.

(3). Tentang ”Sastra Ketuhanan" dibaca dari tulisan Prof. Dr. Budya Pradipta - SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU; Jurnal Kertagama edisi I No. 1; hal 1 – Februari-April 2009; kutipan :

Adalah buku tulisan Jawa berjudul serat Arjuna-sasrabau (1870), karya pujangga Sindu Sastra, yang memuat ungkapan terkenal: Sastro Jendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah Sastra Ketuhanan Penyelamat Dunia Pelepas Sifat Raksasa. Sastro Jendro Hayuningrat adalah ilmu (ajaran) dan lakunya bangsa Jawa yang menggayuh kesempurnaan hidup. Dengan kata lain Sastro Jendro berisi teori dan praktek hidup sempurna. Istilah Sastro Jendro atau Sastra Ketuhanan mengandung makna yang sangat luas, berisi Ilmu Ketuhanan tentang ilmu dan laku Ketuhanan yang membahas bagaimana mengolah hidup mulai dari lahir sampai tiba waktunya dipanggil Tuhan. Luas sekali. Pendek kata berisi tentang pengetahuan mikro-kosmos berikut hukum-hukumnya. Menurut penelusuran sistem nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya tiap-tiap bangsa di anugerahi Sastra Ketuhanan, yang nama dan strukturnya tergantung pada sistem dan konvensi budaya masing-masing yang khas. Kepada bangsa Jawa, Tuhan menganugerahkan Sastra Ketuhanan di dunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada jenis manusia sesuai dengan alam dan lingkungan masing-masing. Sepanjang sejarah hidup manusia, Tuhan menurunkan Sastro Jendro yang oleh manusia dipersepsikan sebagai ajaran Ketuhanan yang beraneka ragam. Kalau Adam dipercaya sebagai manusia pertama, maka seharusnya Adam pun dahulu telah menerima Sastro Jendro. Sayangnya tidak ada petunjuk tentang nama dan struktur Sastra Ketuhanan yang diterima oleh Adam itu. Mungkinkah kitab Adam makna? Di dunia dikenal ada dua wilayah yang melahirkan Sastra Ketuhanan, yaitu : pertama, Sastra Ketuhanan yang berasal dari India. Ini yang paling tua, seperti Kitab Wedha (diperkirakan ditulis 5100 tahun yang lalu oleh Resi Wiyasa) bagi umat Hindu dan kitab Tripitaka (diperkirakan ditulis 2600 tahun yang lalu oleh Budha) bagi umat Budha. Kedua, Sastra Ketuhanan yang dari Timur-Tengah ini lebih muda dari pada yang berasal dari India, seperti: Sastra Ketuhanan yang tertuang di dalam Kitab Zaratustra untuk umat Zind-Avesta, Kitab Taurat untuk Nabi Musa, Kitab Zabur untuk umat Nabi Daud, Kitab Injil untuk umat Nabi Isa, dan Kitab Al-Qur’an untuk umat Nabi Muhammad. Ini belum kitab-kitab suci lain yang diterima oleh bangsa-bangsa di luar bangsa-bangsa India dan Timur-Tengah.

Tanpa ‘keutamaan manusia’ itu, akan mengakibatkan perilaku manusia bergeser melenceng dari ’keharmonisan memayu hayuning bawana’. Antara lain terjadinya: kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar agama, penindasan hak-azasi manusia, hilangnya moral dan etika, dan terutama hilangnya esensi berketuhanan itu sendiri.

”Budi-pekerti” dalam lingkup ’keharmonisan memayu hayuning bawana’, terbaca pada realitas adanya tradisi-tradisi ritual yang alam semestawi. Berinteraksi pada kehidupan sehari-hari manusia, dan merupakan kompleksitas ‘keimanan’ yang horizontal - vertikal. Seperti ritual "bersih desa", ruwatan, upacara selametan termasuk “prosesi pembuatan keris pusaka” dalam upacara sidikaranya (sinidhikara = pemantraan; Bhs. Kw.).
(4). Diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Jawa oleh Adie Deswijaya, Sarjana Sastra Jawa yang bermukim di Sukohardjo-Solo.
dan hari jelek. Proses pembuatan keris pun begitu agungnya tak lepas dari kepercayaan terhadap perhitungan hari tersebut.
(5). Kata ’sepuh dilat’ pernah ditulis dalam ritual yang diadakan oleh Sinuhun Paku Buwana X dihadapan tamu raja Siam yaitu Rama ke IV (Chulalonkorn) di Alon-alon Utara; artikel S. Lumintu (kliping Buana Minggu) dan buku stensil ”Sri Susuhunan Pakoe Boewono X - Kenanganku Sepanjang Masa” oleh KPH. Djojohadinegoro S.H. (Juli 1990). Dalam buku ”Keris Jawa; antar Mistik dan Nalar” ditulis oleh Haryono Guritno, empu terakhir yang tercatat mampu melakukan ’sepuh dilat’ adalah Wirasukadgo di jaman Paku Buwana X.
6. Kondisi terjadinya ”aku jagad” harus dipahami dahulu bahwa manusia memiliki abstraksi empat saudara yang analog dengan pasaran; mata angin; unsur tubuh; aura; dan Caraka, sbb, adalah :
1. Puser : Legi – Timur – Unsur Angin – Aura Putih – HO NO CO RO KO
2. Getih/darah : Paing – Selatan – Unsur Api – Aura Merah – DO TO SO WO LO
3. Kakang Kawah/ketuban : Pon – Barat – Unsur Air – Aura Kuning – PO DHO JO YO NYO
4. Adi Ari-ari : Wage – Utara – Unsur Bumi – Hitam – MO GO BO THO NGO
Aku jagad adalah bersatunya jagad kecil dan jagad gede, dimana AKU jadi ratu ing jagad yang duduk ditengah-tengahnya kiblat dinaungi bapa angkasa dan ibu bumi. Kondisi kemanunggalan inilah melahirkan kekuatan yang dapat divisualisasikan dalam sebuah goresan rajah.

Kontributor Foto 1 : RT. Cahyo Dipuro - Surakarta; Foto 2 : dok. majalah Pamor.

Kepustakaan :
1. Anonim. tahun - . Kagungan dalem Serat Saranduning Dhuwung. Koleksi Radhya Pustaka.
2. Haryono Haryoguritno. 2005. Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar. Jakarta. Indonesia Kebanggaanku.
3. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka.
4. KPH. Djojohadinegoro S.H. Juli 1990.”Sri Susuhunan Pakoe Boewono X - Kenanganku Sepanjang Masa”. Stensil.
5. Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta. Gramedia.
6. Situs Wikiepedia. Kejawen.
7. S. Prawiro Atmojo. 1980. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta. Gunung Agung.
8. S. Harjanto. 1978. Sastra Jendra. Jakarta. Jambatan.
9. T. Sianipar, Alwisol, Munawir Yusuf. 1989. Dukun, mantra, dan kepercayaan masyarakat. Pustakakarya Grafistama.
10. Tan Khoen Swie. 1929. Serat Sastrahardjendra – Anjarijosaken pupuntoning kawruh kasampurnan, sarta tjunduk kalijan pikajenganipun ngelmi ma’rifat. Kediri. Penerbit Tan Khoen Swie.
11. Tan Moh Goan. 1912. Riwajat Modjopahit. Petak Baroe – Batavia Stad. Penerbit Eng Hoat.

Sumber : http://budayaleluhur.blogspot.com