ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah budaya Betawi.
Hal ini terungkap dari tulisan W. Scot, seorang pedagang Inggris yang pada awal abad ke tujuh belas berada di Banten, yang dikutip oleh W. Fruin Mees dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis Van Java, jilid II yanh intinya kurang lebih sebagai berikut :
"Pada tahun 1605, iring-iringan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk ikut merayakan pada khitanan pangeran Abdul Mafakhir yang tiga tahun sebelumnya dalam usia 7 tahun telah dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad, yang wafatnya di Palembang, antara lain membawa boneka berbentuk raksasa ("een reus raksasa itu adlah apa yang dewasa ini kita kenal sebagai ondel-ondel , yang pada zaman dahuli lazim dianggap perwujudan Danyang Desa, penolak mata petaka.
Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon diswbut Gendruwo, di Banyumas disebut Barongan Buncis dan si Bali disebut Barong landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakterisrik yang khas. Sebagai catatan, diharapkan dalam membuat disainnya agar dapat menunjukkan ekspresi garang tetapi menyenangkan untuk dilihat, tidak mengesankan makhluk besar berwajah bodoh. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai membawakan lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan "bekakak" dalam upacara "potong bekakak" digunung gamping disebelah selatan Kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan Sapar setiap tahun.
Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5 m, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk, "duk" kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.
Ondel-ondel yang menggambarkan lski-lski muksnys bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-parayaan umum seperti ulang tahun hari jadi Kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah.
Musik pengiring Ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan "Beringin Sakti: pimpinan Duloh (Almarhum), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Ada pula yang diiringi Bende, "Kemes", Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres.
Disamping untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, "Ngamen". Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru MAsehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen. Pendukung utama kesenian ondel-ondel adalah petani termasuk "abangan", khususnya yang terdapat didaerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.
Di beberapa tempat seperti di Cireundue, Ciputat, serinh pula digunakan dalam pesta-pesta "baritan", semacam upacara "bersih desa", yang biasa diselenggarakan setelah panen raya, dahulu antara juli - agustus. Pembuatan Ondel-ondel dilakukan secara tertib. Baik waktu membentuk kedoknya, demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu.
Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disedikan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti dibakari kemenyan. Demikian pula Ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah satu seorang yang dituakan. Menutut istilah setempat upacara demikian itu disebut "ukup" atau "ngukup".
Sumber : http://www.jakarta.go.id
Foto : http://abangedo.com
Hal ini terungkap dari tulisan W. Scot, seorang pedagang Inggris yang pada awal abad ke tujuh belas berada di Banten, yang dikutip oleh W. Fruin Mees dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis Van Java, jilid II yanh intinya kurang lebih sebagai berikut :
"Pada tahun 1605, iring-iringan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk ikut merayakan pada khitanan pangeran Abdul Mafakhir yang tiga tahun sebelumnya dalam usia 7 tahun telah dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahandanya, Sultan Muhammad, yang wafatnya di Palembang, antara lain membawa boneka berbentuk raksasa ("een reus raksasa itu adlah apa yang dewasa ini kita kenal sebagai ondel-ondel , yang pada zaman dahuli lazim dianggap perwujudan Danyang Desa, penolak mata petaka.
Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon diswbut Gendruwo, di Banyumas disebut Barongan Buncis dan si Bali disebut Barong landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakterisrik yang khas. Sebagai catatan, diharapkan dalam membuat disainnya agar dapat menunjukkan ekspresi garang tetapi menyenangkan untuk dilihat, tidak mengesankan makhluk besar berwajah bodoh. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai membawakan lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan "bekakak" dalam upacara "potong bekakak" digunung gamping disebelah selatan Kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan Sapar setiap tahun.
Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5 m, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk, "duk" kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.
Ondel-ondel yang menggambarkan lski-lski muksnys bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-parayaan umum seperti ulang tahun hari jadi Kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah.
Musik pengiring Ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan "Beringin Sakti: pimpinan Duloh (Almarhum), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Ada pula yang diiringi Bende, "Kemes", Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan Ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres.
Disamping untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, "Ngamen". Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru MAsehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen. Pendukung utama kesenian ondel-ondel adalah petani termasuk "abangan", khususnya yang terdapat didaerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.
Di beberapa tempat seperti di Cireundue, Ciputat, serinh pula digunakan dalam pesta-pesta "baritan", semacam upacara "bersih desa", yang biasa diselenggarakan setelah panen raya, dahulu antara juli - agustus. Pembuatan Ondel-ondel dilakukan secara tertib. Baik waktu membentuk kedoknya, demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu.
Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disedikan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti dibakari kemenyan. Demikian pula Ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah satu seorang yang dituakan. Menutut istilah setempat upacara demikian itu disebut "ukup" atau "ngukup".
Sumber : http://www.jakarta.go.id
Foto : http://abangedo.com