Oleh : Samrotul Ilmi Albiladiyah
Abstrak
Pada awal berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta, dikenal adanya lembaga¬lembaga peradilan, misalnya pengadilan perdata, pengadilan surambi serta Bale Mangu. Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Surambi, merupakan pengadilan yang berhubungan dengan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim.
Seorang penghulu hakim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang anggota yang disebut dengan pathok nagara. Di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Kraton Ngayogyakarta sebutan pathok nagara semacam abdi dalem yang membuat tugas penghulu hakim di Pengadilan Surambi.
Saat ini, kedudukan pathok nagara mengalami perubahan. Abdi dalem pathok nagara tidak ubahnya sebagai seorang yang dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar, di mana ia bertugas di masjid-masjid yang menjadi milik Kraton Yogyakarta
Keberadaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini tak lepas dari peristiwa penting di tahun 1755 adanya pembagian negara (palihan negari) Mataram Islam menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai penerus Mataram yang bersifat Islam, raja Yogyakarta mendapat gelar Sultan, maka Pangeran Mangkubumi raja pertama mempunyai sebutan Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I), Sebutan tersebut merupakan kependekan gelar yang panjang sesuai dengan amanah seorang pemimpin negara dan keagamaan, yang sarat dengan simbol dan makna yaitu Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Sebelum menjadi Sultan, HB I telah mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengelola suatu ‘negara’. Pengalamannya sebagai seorang pangeran Mataram (putra Sunan Amangkurat IV), mau tidak mau harus mempelajari ilmu pengetahuan apa saja yang berguna, termasuk belajar agama, mengaji, dan sebagainya. Ini dilakukannya baik ketika di Kartasura maupun kemudian pindah ke Surakarta. Pengetahuan keagamaan demikian paling tidak telah memberi bekal ketika harus menjadi Sultan di Yogyakarta.
Pada awal Kasultanan Yogyakarta, HB I masih melestarikan kebijakan dan aturan yang dipandang sesuai dengan pemerin¬tahannya, termasuk adanya lembaga peradilan. Pada masa itu berlaku adanya lembaga-lembaga peradilan dengan nama Jawa yaitu Pengadilan Pradata (menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Surambi (agama) dan Bale Mangu (pidana, administratif, agraria). Dalam kaitan dengan topik kali ini yang akan dikemukakan adalah Pengadilan Surambi atau dalam catatan¬catatan yang ada di kraton disebut juga Hukum Dalem Ing Surambi dan biasa disingkat Hukum Dalem. Disebut demikian karena lembaga ini menempati Serambi Masjid Agung, juga disebut al mahkamah al kabirah, yang menangani masalah-masalah perkawinan, kemelut rumah tangga, perceraian, gugatan cerai dari pihak istri terhadap suaminya, perolehan nafkah, warisan, wasiat, hibah, dan sebagainya, menurut tata cara Islam.1 Sebagai catatan di sini bahwa segala sesuatu yang dimiliki raja dan kerajaan disebut milik raja atau kagungan dalem. Demikian pula semua pegawai dan pembantu raja disebut abdi dalem.
Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.2 Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab¬kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah), Patakulmungin (Fat¬hulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.
Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu.
Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum (agama) yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta (1981), masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah¬daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul.
Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang (1942 – 1945), Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid ‘milik raja’ (masjid kagungan dalem) yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton.
Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 (empat) letaknya di dalam sebuah ruang, masing¬masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 (empat) berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya (abdi dalem) duduk membentuk lingkaran lingkaran konsentris.4 Menilik kebiasaaan orang Jawa yang ‘suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu.
Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam.
Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai ‘kekuasaan’ (walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah) dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan.
Selanjutnya pada tanggal 29 agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja (Zelfbestuursrecht-spraak) di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang (Republik Indonesia). Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV. Rajawali.
Nitipradja, KRT. 1941. Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Jogjakarta: Dwara Warta (Krapid).
Rouffaer, G.P. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D.
Poerwodarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen-Batavia: J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV.
1 KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66
2 G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105
3 W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen- Batavia, 1939, hal. 479
4 Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (Terjemahan Deliar Noer), CV. Rajawali, 1972, hal. 11-12
Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Abstrak
Pada awal berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta, dikenal adanya lembaga¬lembaga peradilan, misalnya pengadilan perdata, pengadilan surambi serta Bale Mangu. Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Surambi, merupakan pengadilan yang berhubungan dengan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim.
Seorang penghulu hakim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat orang anggota yang disebut dengan pathok nagara. Di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Kraton Ngayogyakarta sebutan pathok nagara semacam abdi dalem yang membuat tugas penghulu hakim di Pengadilan Surambi.
Saat ini, kedudukan pathok nagara mengalami perubahan. Abdi dalem pathok nagara tidak ubahnya sebagai seorang yang dijadikan panutan oleh masyarakat sekitar, di mana ia bertugas di masjid-masjid yang menjadi milik Kraton Yogyakarta
Keberadaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini tak lepas dari peristiwa penting di tahun 1755 adanya pembagian negara (palihan negari) Mataram Islam menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta. Sebagai penerus Mataram yang bersifat Islam, raja Yogyakarta mendapat gelar Sultan, maka Pangeran Mangkubumi raja pertama mempunyai sebutan Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I), Sebutan tersebut merupakan kependekan gelar yang panjang sesuai dengan amanah seorang pemimpin negara dan keagamaan, yang sarat dengan simbol dan makna yaitu Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Sebelum menjadi Sultan, HB I telah mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengelola suatu ‘negara’. Pengalamannya sebagai seorang pangeran Mataram (putra Sunan Amangkurat IV), mau tidak mau harus mempelajari ilmu pengetahuan apa saja yang berguna, termasuk belajar agama, mengaji, dan sebagainya. Ini dilakukannya baik ketika di Kartasura maupun kemudian pindah ke Surakarta. Pengetahuan keagamaan demikian paling tidak telah memberi bekal ketika harus menjadi Sultan di Yogyakarta.
Pada awal Kasultanan Yogyakarta, HB I masih melestarikan kebijakan dan aturan yang dipandang sesuai dengan pemerin¬tahannya, termasuk adanya lembaga peradilan. Pada masa itu berlaku adanya lembaga-lembaga peradilan dengan nama Jawa yaitu Pengadilan Pradata (menyelesaikan perkara perdata dan pidana), Surambi (agama) dan Bale Mangu (pidana, administratif, agraria). Dalam kaitan dengan topik kali ini yang akan dikemukakan adalah Pengadilan Surambi atau dalam catatan¬catatan yang ada di kraton disebut juga Hukum Dalem Ing Surambi dan biasa disingkat Hukum Dalem. Disebut demikian karena lembaga ini menempati Serambi Masjid Agung, juga disebut al mahkamah al kabirah, yang menangani masalah-masalah perkawinan, kemelut rumah tangga, perceraian, gugatan cerai dari pihak istri terhadap suaminya, perolehan nafkah, warisan, wasiat, hibah, dan sebagainya, menurut tata cara Islam.1 Sebagai catatan di sini bahwa segala sesuatu yang dimiliki raja dan kerajaan disebut milik raja atau kagungan dalem. Demikian pula semua pegawai dan pembantu raja disebut abdi dalem.
Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan: Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh Abodin.2 Dalam melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab¬kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah (baca: Tuhfah), Patakulmungin (Fat¬hulmu’in) dan Patakulwahab (Fat-hulwahab). Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan.
Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama) merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu.
Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum (agama) yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta (1981), masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah¬daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul.
Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur). Pada masa pendudukan Balatentara Jepang (1942 – 1945), Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid ‘milik raja’ (masjid kagungan dalem) yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton.
Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 (empat) letaknya di dalam sebuah ruang, masing¬masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 (empat) berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya (abdi dalem) duduk membentuk lingkaran lingkaran konsentris.4 Menilik kebiasaaan orang Jawa yang ‘suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu.
Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam.
Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai ‘kekuasaan’ (walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah) dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan.
Selanjutnya pada tanggal 29 agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja (Zelfbestuursrecht-spraak) di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang (Republik Indonesia). Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Heine Gelderen, Robert. 1972. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (terjemahan Deliar Noer). CV. Rajawali.
Nitipradja, KRT. 1941. Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Jogjakarta: Dwara Warta (Krapid).
Rouffaer, G.P. 1931. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D.
Poerwodarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen-Batavia: J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV.
1 KRT. Nitipradja, Pengabdian Ing Pradja Ngayogjakarta’, dalam majalah Hoedyana Wara, Th.1, No.2, bln. Agustus, 1941. Dwara Warta (Krapid), Jogjakarta. hal. 66
2 G.P. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931 hlm 105
3 W.J.S. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen- Batavia, 1939, hal. 479
4 Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (Terjemahan Deliar Noer), CV. Rajawali, 1972, hal. 11-12
Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata