Komodo Diusulkan Menjadi Ikon Asean
Batik Indonesia Dipamerkan di Athena
Ayo, Tonton Festival "Urban Art" di GKJ!
- 12 Juni: Ikatan Pengajar dan Pelatih Ballet "LIV’IN"
- 15 Juni: Sak Sak Dance Production "Lampan Lahat dan Perempuan Rusuk Dua
- 18 Juni: Konser Jazz Shadow Puppets Quartet "Strings Attached Concert Series"
- 19 Juni: Tari dan World Music Concert Swargaloka Art & Culture Foundation "Jejak Asa Sang Dewi"
- 22 Juni: Bellydance Jakarta "Bahebbik Jakarta-I Love You Jakarta"
- 24-25 Juni: Teater Mandiri "T R I K"
- 1-2 Juli: Drama Tari "Gandrung Eng Tay" Dedy Lutan Dance Company
Meniru Etos Kerja Keras Orang Korea
Asal Usul Burung Moopoo
Semangka Emas
Gunungan
Pemko Pekanbaru Usulkan 906 Formasi CPNS
Royal Guard Of Honour To Mark His Majesty`s 61st Birthday
Objek Wisata Kota Medan
Istana ini merupakan salah satu objek wisata utama di kota Medan. Istana ini dibangun pada tahun 1888 oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah memerintah dari tahun 1873-1924. Arsiteknya TH Van Erp bekerja sebagai tentara KNIL. Rancangannya melambangkan Bangunan Tradisional Melayu dan India Muslim, sedangkan gaya arsiteknya perpaduan antara Indonesia, Persia dan Eropa, Dihalaman istana ini terdapat Meriam Puntung yang merupakan bagian dari Legenda Istana Maimon
TUGU GURU PATIMPUS
Guru Patimpus adalah orang terkenal di Medan. Dia mempunyai sejarah besar sebagai penemu Kota Medan. Berabad-abad yang lalu tepatnya pada tanggal 1 Juli 1560. Guru Patimpus seorang keturunan Raja Singa Maharaja Negeri Bakerah didataran tinggi Karo membangun sebuah perkampungan yang disebut “Medan Putri" lokasi ini berada diantara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang dahulu merupakan transportasi utama. Kampung ini berkembang dengan pesat dan dipercaya sebagai cikal bakal Kesultanan Deli.
TJONG A FIE
Rumah Tjong a Fie merupakan gedung bergaya Tiongkok kuno yang sangat fantastis dan dibangun pada tahun 1900, lokasinya terletak dijalan Ahmad Yani (Kesawan). Dia adalah jutawan pertama di Sumatera yang namanya sangat terkenal sampai sekarang walaupun ia sudah wafat pada tahun 1921. Kesukseannya berkat usaha dan hubungan baiknya dengan Sultan Deli dan para pembesar perkebunan tembakau Belanda. Hingga saat ini rumah tersebut masih ditempati keluarga Tjong A Fie.
KANTOR POS
Gedung ini wujud sejarah yang sangat menankjubkan selesai dibangun pada tahun 1911oleh arsitek SNUYF, Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia pada masa itu. Gedung ini merupakan karya besar utama SNUYF. Kantor Pos ini lokasinya persis didepan Hotel Dharma Deli. Saat ini menjadi Kantor pos Pusat di Sumatera Utara.
MESJID RAYA
Mesjid ini sebagai Lambang Kota Medan. Mesjid terindah memiliki nilai budaya, sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Mesjid ini dapat menampung 1500 jemaah untuk melaksanakan Sholat setiap hari. Mesjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid di desain oleh DENGIMANS dari Belanda dengan gaya Moorish dan berdiri pada tahun 1906. Banyak turis dari berbagai Negara didunia selalu mengunjungi Mesjid ini.
GEREJA LAMA
Gereja Immanuel merupakan Gereja tertua di Medan. Lokasinya di jln. Diponegoro yang dibangun pada tahun 1921. Gereja ini masih digunkan oleh umat kristiani untuk kebaktian pada hari minggu dan hari lainnya seperti upacara pernikahan , Misa Natal dan sebagainya. Gereja ini dapat menampung sekitar 500 umat Kristiani untuk mendengarkan kotbah Pendeta. Kita dapat menemukan Gereja tua lainnya dikota Medan tepatnya di Jln. Pemuda yaitu Gereja Roma Katolik dibangun pada tahun 1929. Gereja ini masih digunakan umat katolik pada hari Minggu dan hari lainnya seperti acara pernikahan dan sebagainya.
VIHARA GUNUNG TIMUR
Vihara Gunung Timur di kenal sebagai Vihara tertua di Kota Medan. Didirikan oleh Umat Budha pada tahun 1962. Umumnya umat Budha bersembahyang ke vihara ini setiap hari. Vihara ini juga untuk acara ritual lainnya dalam Agama Budha seperti memperinati hari Ualng Tahun SIDHARTA GAUTAMA. Biasanya tanggal 4 s/d 15 setiap tahunnya. Perayaan Imlek dan sebagainya
KLENTENG HINDU SHRI MARIMMAN
Kuil Shri Mariamman merupakan Kuil Hindu tertua di Kota Medan. Dibangun pada tahun 1884 oleh umat Hindu. Kuil ini berada di Jln. Zainul Arifin, umumnya umat Hindu datang untuk bersembahyang di kuil ini setiap pagi. Kuil ini juga digunakan untuk ritual lainnya dalam Agama Hindu seperti Perayaan Depavali, Perayaan Panen Padi dan sebagainnya.
MENARA AIR TITANADI
Satu lagi cirri Khas kota Medan adalah Bangunan Menara Air yang kini menjadi milik Perusahaan Air Minum Daerah Tirtanadi. Ketika anda akan memasuki kota ini dari arah selatan melalui jalan Sisingamangaraja, anda akan disambut dengan pemandangan puncak menara Tirtanadi sebagai tangki penyimpanan air bersih kebutuhan warga kota sejak jaman Kolonial Belanda sampai sekarang.
LONSUM
PT. LONDON SUMATERA INDONESIA, Gedung ini dulunya disebut JULIANA BUILDING pada tahun 1920-an, dan sekarang dihuni oleh PT. London Sumatera Indonesia (Lonsum). Saatdidirikan gedung ini milik Harrison dan Crossfield, sebuah perusahan perkebunan milik Inggris.
MUSEUM BUKIT BARISAN
Museum ini dibuka pada tahun 1971. Museum ini adalah merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi dan menyimpan benda-benda sejarah perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera Utara seperti senjata, obat-obatan dan pakaian seragam yang digunakan pada Perang Kemerdekaan Indonesia melawan pemberontakan pada tahun 1958. Mengunjungi Museum ini dapat membayangkan kehebatan Perjuangan Pahlawan dimasa lalu. Museum initerletak di Jln. Zainul Arifin
MUSEUM SUMATERA UTARA
Museum ini terletak di Jln. H.M. Jhoni No. 51 Medan. Merupakan Museum terbesar di Sumatera Utara yang berbagai peninggalan Sejarah Budaya Bangsa, Hasil Seni dan Kerajinan dari berbagai Suku di Sumatera Utara. Museum ini dibangun pada tahun 1954 dan diresmikan pada tahun 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef. Museum ini merupakan salah satu museum terbaik di Indonesia.
TAMAN BUAYA MEDAN
Lo Than Mok pemilik 2600 ekor buaya yang memulai pemeliharaan sejak 1959. Taman Buaya ini terletak di kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang, luas ara lebih kurang 2 H, jaraknya sekitar 0 Km dari Pusat kota. Didalam taman ini kita dapat melihat buaya yang baru lahir hingga yang berusia 25 tahun dan sebagain buaya tersebut terlatih dan bias membuat atraksi yang menakjubkan termasuk berbgai atraksi yang anda inginkan.
TUGU JENDRAL AHMAD YANI
Di inti Kota Medan terdapat sejumlah taman kecil dan besar di jalan Jend. Sudirman dan terdapat Monumen Jend. Ahmad Yani tidak berapa jauh dari taman ini juga ada taman beringin yang terletak ditepi Sungai Babura. dan Taman ini sekarang menjadi Taman Digital setelah diresmikan oleh Bapak Pj.Walikota Medan Drs. Afifuddin Lubis, M.Si
KEBUN BINATANG MEDAN
Kebun Binatang ini dikelola Pemerintah kota Medan yang berisi berbagai jenis hewan tropis, hewan-hewan mamalia seperti Beruang, Harimau, Singa Gajah, Reptil dan lain-lain. Luas areal sekitar 30 H dan berjarak sekitar 10 Km dari pusat kota. Terletak di jalan Pintu Air IV Kelurahan Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan, Buka setiap hari pukul 09.00 s/d 17.00 wib.
RAHMAT WILDLIFE MUSEUM & GALLERY
Rahmat International Wildlife Galleryn adalah satu-satunya di Asia yang meliki lebih kurang 850 lebih koleksi satwa dari berbagai negara. Telah termasuk Record Book dan menerima penghargaan International dalam bidang konservasi dalam upaya mencegah kepunahan satwa-satwa liar didunia. Di Gallery ini ditampilkan berbagai koleksi satwa liar terkecil hingga terbesar sesuai dengan habitatnya
PEKAN RAYA SUMATERA UTARA
Pekan Raya Sumatera Utara terletak di Jln. Gatot Subroto sekitar 7 Km dari pusat kota, tepatnya di Gedung Tapian Daya sebagai ajang promosi budaya, Industri dan bisnis. Buka setiap tahun. Berbagai jenis Tarian Tradisional dan Pameran Budaya di Sumatera Utara biasanya ditampilkan pada acara pembukaan pameran.
DANAU SIOMBAK
Danau Siombak Indaengas Pulau kecamatan Medan Marelan. Danau ini merupakan danau buatan yang indah, dengan luas area 40 H, jaraknya 15 Km dari pusat kota. Danau ini sangat indah dan dianjurkan untuk dikunjungi. Biasanya danau ini digunakan untuk Festival Kano dan Perahu Tradisional disamping sebagai tempat rekreasi
MERDEKA WALK
Sebuah pusat jajanan malam yang fantastic dihiasi lampu-lampu hias yang semarak penuh dengan nuansa kuning Melayu, terletak di Lapangan Merdeka dikenal dengan “Merdseka Walk�. Memiliki area cukup luas dibawah pohon-pohon rindang. Kita dapat menikmati bangunan bersejarah dengan keindahan arsitekturnya, ketika kita menikmati makan malam di tempat ini.
RAMADHAN FAIR
Ramdhan Fair dilaksanakan setiap tahun pada bulan puasa. Tempat yang bernuansa klasik Islami ini bernama Ramadhan Fair. Terdapat banyak Stand makanan dan minuman, pertunjukkan music dan Budaya Islam. Banyak masyarakat dari kota Medan dan Kabupaten lain di Sumatera Utara juga Wisatawan Internasional selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Ramadhan Fair ini.
LEBARAN FAIR
Lebaran Fair ini dilaksanakan setiap tahun pada saat memasuki Lebaran, Lebaran fair ini selalu dilaksanakan di Gedung Tapian Daya Medan Jln. Gatot Subroto Medan
TAMAN SRI DELI
Taman Sri Deli ini merupakan Taman Putri-putri Sultan Deli dan Keluarga.
Taman Sri Deli, itulah nama yang digunakan masyarakat setempat untuk menyebutkan taman yang berada persis di depan Jalan Mesjid Raya Medan yang sekaligus merangkap kolam di dalamnya.
Ada yang menarik dari keberadaan Taman Sri Deli ini, yaitu jajaran pedagang kaki lima yang didominasi oleh pedagang rujak. Rujak yang dikenal dapat menggoyang lidah penikmatnya ini sudah tersohor sampai keluar Sumatera Utara.
MESJID RAYA LAMA (AL - OSMANI)
Jalan-jalan ke Pelabuhan Belawan singgah sebentar di Pekan Labuhan, Kalau Anda ingin pengetahuan mari kita tinjau Mesjid Osmani di Labuhan, berjarak sekitar 19 Km dari pusat Kota Medan atau 5 Km dari Kota Pelabuhan Belawan disanalah terdapat mesjid tertua dizaman kerajaan Sultan Deli masa Kepemerintahan Sultan Al Osmani.
Melihat bentuk dan keunikkan dari banguna tua yang bertuah itu, mesjid Al Osmani bukanlah sembarang mesjid peninggalan sejarah justru hingga kini mesjid berwarna kuning kehijauan tersebut dikharomahkan sebagai pusat kegiatan Islam seperti tepung tawar keberangkatan haji maupun banyak dimanfaatkan sebagai lokasi acara para calon-calon Legislatif maupun Pilkada yang akan terpilih.
TAMAN REKREASI MORA INDAH
Taman Rekreasi Mora Indah,Berada di jalan Sisingamangaraja kilometer 11 kota Medan,Taman Rekreasi Mora Indah ini menyuguhkan keindahan alam kota medan, yang cocok untuk rekreasi bersama keluarga. Pemandangan yang indah dan suasana yang damai, membuat tempat ini selalu ramai di datangi para pengunjung, selain dengan indahnya pemandangan alam, pengunjung dimanjakan dengan berbagai satwa seperti burung, monyet, beruang dan lainnya ataupun permainan anak-anak yang tidak dipungut bayaran untuk digunakan. Bila anda ingin menyewa pondok, anda di kenakan biaya Rp20.000 per pondok, namun kebanyakan para pengunjung cukup membawa alas berupa tikar dari rumahnya. Seperti tempat-tempat rekreasi lainya,tempat ini paling padat pengunjungnya di akhir minggu atau ketika libur anak sekolah tiba.untuk berakhir pekan melepas penat setelah seminggu beraktifitas
MESJID GANG BENGKOK
Bentuk mesjid ini memang bentuknya seperti kelenteng, ada etnis Chinanya, terutama bagian atas. Terus ini juga bentuk stupa, ini seperti candi-candi. Sekilas, ini disebut orang sebagai kelenteng. Sehingga masjid ini memberikan kesan bahwa masjid ini bukan cuma orang islam, tapi juga etnis China atau Tionghoa. Tapi yang jelas ini adalah masjid, bukan kelenteng
Kenapa di namakan bengkok, karena dulu di depan masjid ini adalah sebuah gang, belum jalan. Nah, gang ini memang bengkok bentuknya, makanya dinamakanlah masjid Gang Bengkok. Tapi karena kendaraan semakin ramai, maka di buat jalan, nah inilah bengkoknya. Tapi masjid ini juga disebut sebagai masjid lama. Karena ini memang berdiri sejak dulu, ketika Sultan Deli, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid naik tahta.
Mesjid ini juga menyimpan jejak Melayu pada arsitektur bangunannya. Di plafon mesjid, terdapat umbai- umbai hiasan yang disebut ‘lebah bergantung’. Hiasan ukiran ini dibuat dari kayu papan, berbentuk semacam tirai, dengan warna kuning, khas Melayu.
GRAHA BUNDA MARIA ANNAI VELANGKANNI (tempat ziarah)
Pada awalnya tempat itu diperuntukkan bagi umat Katolik Tamil yang ada di Medan akan tetapi dalam perkembangannya semua umat Katolik dapat datang dan berziarah disitu tanpa batas asal-usul ataupun ras karena sesungguhnya tempat itu dipersembahkan bagi seluruh umat Katolik dan jg sebagai objek wisata bagi negara-negara tetangga.
Dari alamat yang tertera jelas tempat itu masih didalam kota Medan, yaitu didaerah Medan barat daya di kecamatan Tuntungan, kelurahan Tanjung Selamat, dijalan Sakura 3, dekat perumahan Taman Sakura Indah. Ada cukup kendaraan umum yang melewati jalur itu tetapi jika anda bukan warga Medan sebaiknya naik taksi karena jalannya lumayan jauh dari pusat kota. Itu barangkali termasuk daerah pinggiran karena didaerah itu jalannya relatif sepi, meskipun jalur jalan 2 arah terpisah yang membelah jalan TB Simatupang cukup lebar. Dari jalan ini cari papan billboard besar dipinggir jalan yang menunjukkan lokasi Graha Annai Velangkanni. Dari jalan raya cuma sekitar 150m masuk kedalam gang yang tidak begitu besar. Begitu sampai di pintu gerbangnya yang bagian atasnya dihiasi ornamen rumah tradisional Batak, maka anda akan terpesona oleh arsitektur bangunannya yang bergaya Indo-Mogul, mirip dengan kuil Hindu. Jika baru pertama kali kesitu dan tidak tahu apapun tentang Annai Velangkanni tentu anda akan terheran-heran, bangunan apa itu, seperti yang diungkapkan sopir taksi yang mengantar penulis. Bentuk bangunan yang tidak lazim dan menjulang itu kontras dengan keadaan bangunan sekitarnya sehingga keberadaannya sangat menarik perhatian. Setelah mendekat barulah tampak keistimewaan lainnya, yaitu seluruh bangunannya dipenuhi dengan ornamen dan lukisan baik disebelah dalam maupun diluar. Ini bukan sembarang ornamen karena setiap ornamen punya makna tersendiri sehingga secara keseluruhan bangunannya dipenuhi oleh simbol-simbol yang penuh makna, dan ini dimaksudkan sebagai bagian dari proses sebuah perziarahan. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Pastur James Bharata Putra.
Sumber :
http://www.pemkomedan.go.id
http://mediaswaraindonesia.blogspot.com
http://berita.univpancasila.ac.id
http://www.scribd.com
Objek Wisata Kabupaten Simalungun
Kramat Kubah adalah salah satu tempat keramat untuk bernazar yang dijadikan objek wisata.
Disini banyak terdapat macam-macam jenis kera yang hidup secara bebas sebagai penghuni Kramat Kubah.
Banyak orang percaya apabila dapat bertemu dengan Raja Kera Penghuni Kramat Kubah maka semua yang diminta atau dinazarkan akan terkabul. Ditempat ini juga terdapat sebuah bangunan Kelenteng kecil tempat orang – orang China menyampaikan niat maupun nazarnya.
Kramat Kubah terletak 48 Km dari Pematangsiantar atau 2 Km dari Kota Perdagangan. Fungsi lain dari Kramat Kubah adalah sebagai tempat pelestarian Kera / Monyet sama halnya dengan hutan Sibatu Lintong Sibaganding yang terletak di jalan Lintas Parapat yang memiliki berbagai jenis kera, Siamang, Lutung, dan lain-lain.
Haranggaol
Haranggaol yang terletak 40 Km dari Parapat berada di tepi Danau Toba. Alamnya yang asri dan masih perawan sangat menarik hati.
Saat ini Haranggaol lebih terkenal dengan hasil ikan air tawarnya dibanding dengan daya tarik wisatanya.
Tigaras
Tigaras adalah salah satu objek wisata yang menjadi salah satu pilihan di Kabupaten Simalungun. Tigaras terletak di Kecamatan Dolok Pardamean Kabupaten Simalungun, dengan jarak 48 Km dari Kota Pematangsiantar. Dari Tigaras dapat kita nikmati pemandangan Danau Toba dari sudut yang berbeda.
Selain Danau Toba, Keindahan yang dapat kita nikmati dari Tigaras juga dapat kita lihat Pulau Samosir dari pinggir danau. Tigaras Juga Memiliki beberapa Hotel yang nyaman dan berada dipinggir danau. Nilai tambah dari Tigaras adalah tempatnya yang masih asri dimana belum begitu banyak pengunjung yang datang sehingga nilai eksotikanya masih terjaga. Penduduknya yang ramah juga menjadi ciri khas dari tempat wisata ini.
Museum Simalungun
Museum Simalungun adalah bangunan spesipik Simalungun yang menyimpan berbagai benda-benda dan barang-barang purbakala peninggalan Kerajaan-kerajaan di Simalungun. Berbagai koleksi yang ada di Museum Simalungun yang terletak di Pusat kota Pematangsiantar antara lain adalah :
1. Peralatan Rumah Tangga seperti :
- Parborasan (Tempat menyimpan beras)
- Pinggan Pasu (Piring nasi untuk Raja)
- Tatabu (Tempat menyimpan air)
- Abal-abal (Tempat menyimpan garam)
- dsb.
2. Peralatan Pertanian seperti :
- Wewean (alat memintai tali)
- Hudali (Cangkul)
- Tajak (Alat membajak tanah)
- Agadi (Alat menyadap nira)
- dsb.
3. Peralatan Perikanan seperti :
- Bubu (Penangkap Ikan dari Bambu)
- Taduhan (Tempat menyimpan ikan)
- Hirang-lurang (Jaring penampung ikan)
- Hail (Kail)
- dsb.
4. Alat-alat Kesenian seperti :
- Ogung - Sarunai
- Mong-mong - Sordam
- Hesek - Arbab
- Gondrang - Husapi, dsb.
5. Alat-alat perhiasaan, seperti :
- Suhul gading (keris)
- Raut (pisau)
- Gotong (Kopiah laki-laki)
- Bajut (Tas Wanita)
- Bulang (Tudung Wanita)
- Suri-suri (Selendang Wanita)
- Gondit (Ikat pinggang pria)
- Dorami (Perhiasan Kepala pria)
Sipolha
Sipolha berada di tepi Danau Toba memiliki keindahan alam dan panorama yang menarik ditambah dengan pantainya yang landai dan indah, berbagai kegiatan dapat dilakukan wisatawan disini antara lain olah raga air, rekreasi dan memancing
Tanjung Unta
Tanjung Unta yang terletak di tepi Danau Toba dengan bentuk seekor Unta yang sedang beristirahat memiliki teluk yang indah dengan panorama alam yang mengagumkan . Tanjung Unta sebagai beyond Parapat terletak 61 Km dari Pematangsiantar.
Parapat Danau Toba
Parapat Danau Toba, terletak di tepi Danau Toba dengan jarak 76 Km dari Medan. Beriklim tropis dengan udaranya yang sejuk merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Sumatera Utara dan Kota Parapat sebagai pusat kegiatan setiap diadakan acara penting Pariwisata seperti Pesta Danau Toba.
Danau Toba yang terjadi dari letusan gunung Toba, terletak 905m di atas permukaan laut, dengan keliling 295 km, dan luas permukaan air danau ±1.100 km dengan kedalaman maksimum 529m, merupakan danau terbesar di Indonesia.
Parapat
“Kota turis” Parapat terletak di tepi Danau Toba dengan jarak 45 km dari Pematangsiantar. Beriklim tropis dengan udaranya yang sejuk merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Sumatera Utara. Danau Toba yang terjadi dari letusan Gunung Toba, terletak 905m di atas permukaan laut dengan keliling 294km dan luas permukaan danau 1.100 km² dengan kedalaman maksimum 529 m, merupakan danau terbesar di Indonesia.
Perjalanan akan semakin nyaman dengan tersedianya sarana akomodasi hotel. Namun karena jarak tempuh yang jauh memungkinkan banyak wisatawan yang datang dari luar daerah maupun mancanegara enggan berkunjung.
Rumah Bolon
Rumah Bolon Pematang Purba terletak 54 km dari Pematangsintar, merupakan istana peninggalan Kerajaan Purba yang dibangun pada tahun 1864 oleh Raja Purba ke XII Tuan Rahalim. Terbuat dari kayu keras dengan dinding papan yang unik serta ditopang oleh 20 tiang penyangga. Rumah ini dibangun dengan arsitektur tradisional tanpa mempergunakan paku.
Beberapa bangunan di sekitar Rumah Bolon terdiri dari 8 tipe yang memiliki fungsi tersendiri di antaranya adalah: Rumah Bolon yang berfungsi sebagai bangunan induk tempat raja dan keluarganya tinggal; Balei Bolon, tempat mengadakan rapat, Jambur sebagai para tamu menginap; Patanggan Sada, bangunan tempat permaisuri bertenun; Losung adalah tempat wanita menumbuk padi; Uttei Jungga, tempat tinggal panglima dan keluarganya, dan Balei Buttu, tempat para penjaga istana.
Raja Purba adalah seorang raja yang sangat terkenal pada zamannya, memiliki 24 istri dan salah satu di antaranya diangkat menjadi istri.
Tinggi Raja
Tinggi Raja merupakan objek wisata cagar alam yang masih asli seluas 176 hektar, memilki sumber air panas berasal dari bukit bukit kecil di daerah itu. Air panas ini mengalir ke sungai Bah Balakbak yang bebatuan dan airnya yang jernih dan sejuk. Di sini dapat dinikmati rekreasi mandi di pertemuan air panas dan air dingin yang sangat nikmat sebagai hasil proses alam. Wisata lain yang dapat dinikmati adalah berburu suara burung, memancing di Bah Kare yang memiliki kekeyaan ikan jagung serta lintas alam. Terletak 80 km dari Pematangsiantar.
Karang Anyer
Karang Anyer merupakan tempat pemandian yang sangat mengasikkan dengan batu-batu besarnya, di mana airnya bersumber dari umbul besar yang bersih dan jernih terletak 5 km dari Pematangsiantar dan terkenal dengan buah-buahan segar yang dihasilkan di sekitar lokasi pemandian seperti rambutan, salak, durian, mangga dan manggis.
Demikian halnya dengan Bapahal yang terletak 30 km dari Pematangsiantar merupakan tempat rekreasi renang yang nyaman dengan airnya yang jernih dan sejuk dikelilingi pohon-pohon yang rindang serta kebun kelapa sawit.
Sumber :
http://www.simalungunkab.go.id
http://www.silaban.net
Wisata Religi Gunung Kawi
Gunung Kawi bisa di katakan sebagai “Kota Kecil Di Atas Gunung” atau juga bisa di sebut “Kota Sunyi Di Atas Gunung”. Lalu lalang pengunjung tiada henti nya di setiap hari dari pagi hingga malam,hingga datang pagi lagi. Ramai nya pengunjung di sini adalah salah satu bukti,bahwa daya tarik Wisata Religi Gunung Kawi sangat lah besar. Keberadaan 2 makam yang ada banyak di arti kan dengan kepercayaan kepercayaan mistis oleh sebagian orang. “Ngeri dan Angker” itulah kesan pertama orang orang yang yang mendengar kata Gunung Kawi. Tapi bagi mereka yang sudah sering datang ke Gunung Kawi tidak demikian.
Kebanyakan dari orang muslim yang datang ke sini,meyakini bahwa kedua makam tersebut adalah makam “Wali”. Hal ini bisa di bukti kan dengan banyak nya ornamen ornamen islam di sekitar makam dan ada nya mushola di sebelah kiri makam yang di yakini sebagai tempat ibadah Eyang Djugo ( Kyai Zakaria ) dan Eyang RM Iman Soedjono pada masa hidup nya beserta para pengikut nya. 100 neter sebelah selatan makam terdapat masjid besar yaitu Masjid Agung Iman Soedjono. Di masjid ini sering di adakan acara acara besar keagamaan seperti pengajian akbar atau yang lain nya. Pada hari minggu legi malam senin pahing dan kamis kliwon malam jum’at legi selalu di adakan tahlil,dzikir dan pembacaan ayat ayat suci al-quran mulai sebelum matahari terbit hingga tengah hari. Bagi orang muslim yang datang dengan rombongan,masjid ini di jadikan sebagai tempat istirahat setelah perjalanan jauh. Banyak pula dari beberapa Ponpes yang datang melakukan ritual keagamaan nya di sini. Jamaah jamaah pengajian pun setiap minggu banyak yang datang dari berbagai daerah. Tentu nya tujuan mereka adalah untuk berziarah ke makam Eyang Djugo Dan Eyang RM Iman Soedjono dengan sebenar benar nya mendoakan kedua almarhum tersebut yang mereka jadikan teladan.
Bagi orang orang yang menganut Aliran Kepercayaan seperti Kejawen atau yang lain nya,kedua tokoh yang di makam kan tersebut di anggap tokoh yang mempunyai ‘linuwih’ sempurna,tokoh yang sudah “Nyawiji”,sudah mencapai tingkatan tertinggi dalam menjalin hubungan dengan Gusti. Atau dalam istilah lain,sudah memahami hakikat ” Manunggaling Kawula Gusti” dan “Sangkan Paraning Dumadi”. Orang orang penganut kepercayaan banyak yang datang melakukan ritual di Gunung Kawi dengan berbagai sarana dan tujuan. Ada yang menginginkan kemakmuran,ketenangan batin atau pun tujuan meneladani kedua tokoh tersebut. Tidak sedikit pula orang yang ingin mendapatkan “Wahyu” agar bisa menjadi orang yang “Linuwih” seperti Eyang Djugo atau Eyang RM man Soedjono. Kebanyakan dari mereka yang melakukan olah spritual di Gunung Kawi merasakan aura atau daya magis yang besar yang sangat menunjang untuk mereka melakukan olah ritual. Suasana hening,damai yang mereka cari,mereka dapat kan di sini.
Pengunjung dari etnis tionghoa yang menganut salah satu agama tertentu,mempunyai pendapat lain tentang makam Eyang Djugo dan makam RM Iman soedjono. Mereka menganggap 2 makam tersebut adalah makam tokoh kharismatik yang hidup dengan penuh cinta kasih,welas asih dan mampu memberikan kedamaian. Hingga mereka sangat menghormati dan menjunjung tinggi kedua tokoh tersebut dengan memberi sebutan Thai Lo shu pada Eyang Djugo yang arti nya Guru Besar Tertua Dan Dji Lo Shu pada Eyang RM Iman Soedjono yang berarti Guru Besar Muda/Guru Besar Kedua. Thai Lo Shu dan Dji Lo Shu di anggap tokoh yang mempunyai peranan penting di masyarakat etnis tiong hoa. Beliau berdua mempunyai keistimewaan dalam kehidupan nya dulu yaitu kemampuan untuk melepas kan secara total hawa nafsu dunia atau keterikatan pada duniawi,sanggup melakukan tapa brata memuja Tuhan dengan sempurna di setiap hembusan nafas nya tanpa mengharap apa pun hanya berdoa supaya semua mahkluk di dunia berbahagia. Pencapaian spiritual tertinggi telah beliau berdua dapat kan. Itulah sebab nya banyak warga etnis tionghoa yang datang berziarah ke Gunung Kawi. Untuk beribadah pun di areal makam Eyang Djugo dan Eyang RM Iman Soedjono di sediakan tempat peribadatan bagi pemeluk agama Budha dan Khong hu cu.
Tentang mitos pesugihan atau hal hal klenik lain nya,sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang hal tersebut. Mereka yang menganggap Gunung Kawi adalah tempat untuk mencari pesugihan adalah anggapan yang salah yang tidak bisa di buktikan kebenaran nya. Pesugihan indentik dengan ada nya tumbal atau yang lain nya. Nah di Gunung Kawi sampai saat ini tidak pernah ada penyerahan atau permintaan tumbal tumbal. Pesugihan adalah hal musrik yang sangat di benci agama. Dan jika Gunung Kawi adalah tempat mencari pesugihan maka di sini tidak akan mungkin di bangun dan di sediakan tempat tempat peribadatan keagamaan. Dengan kata lain ” Masak tempat pesugihan banyak tempat ibadah?”. Jadi Gunung Kawi sebenar nya adalah tempat untuk mengheningkan pikiran,beribadah dan berdoa,bukan tempat untuk meminta. Bagi mereka yang merasa tujuan nya tercapai setelah berdoa di Gunung Kawi tidak lain karena mereka juga giat berusaha. Mustahil ada nya orang berdoa tanpa berusaha bisa kaya.
Sumber : http://wisata.kompasiana.com
Wisata Religi Seribu Kuil
UJUNG pagoda terlihat indah menyala di balik kokohnya dinding kompleks Grand Palace, Bangkok, Thailand, Kamis 28 April 2011. Matahari terik, panasnya terasa membakar kulit dan keringat spontan mengalir deras membasahi tubuh.
Barisan pasukan kerajaan berseragam putih hitam dan senjata laras panjang berjalan keluar istana. Satu pesona lain dari Grand Palace yang menarik perhatian wisatawan.
Mendekati pintu masuk kompleks Grand Palace, biksu-biksu cilik jalan berbaris menuju Wat Phra Kaew (Kuil Emerald Buddha). Kuil suci dan dihormati warga yang dibangun sejak abad ke-14.
Grand Palace didirikan tahun 1782 dilatarbelakangi keinginan Raja Rama I untuk melestarikan seni dan budaya peninggalan Kerajaan Ayutthaya, sebagai pusat pemerintahan yang dihancurkan Burma tahun 1767.
Dinding kokoh sepanjang 1.900 meter mengelilingi kompleks Grand Palace di atas lahan seluas 218.000 meter persegi di Pulau Rattanakosin yang dikelilingi kanal-kanal dibangun dengan mengikuti tata letak tradisional kompleks istana di Ayutthaya, salah satunya terlihat pada arah hadap Grand Palace ke utara dengan sungai Chao Phraya mengalir di sisi kirinya. Selama sekitar 150 tahun, Grand Palace merupakan tempat tinggal Raja Thailand.
Arsitektur dan detail kuil luar biasa indah. Hal itu membuat para pengunjung terkagum-kagum. Tidak kurang 500.000 wisatawan berkunjung ke lokasi ini setiap hari pada puncak musim liburan. Jika beruntung, wisatawan bisa menyaksikan upacara penggantian jubah yang dikenakan patung Emerald Buddha yang dilakukan tiga kali setiap tahun, yaitu saat musim panas, musim hujan, dan musim dingin.
Wisata religi bisa menjadi daya tarik tersendiri, terutama wisata religi agama Buddha di negara ”Seribu Kuil” tersebut. (Lucky Pransiska)
Sumber : http://travel.kompas.com
Sejarah Champa dan Asia Tenggara: Warisan dan Arah Riset yang baru
Pendahuluan
Sebuah kerajaan bernama Champa pernah ada di Asia Tenggara. Kerajaan ini menguasai daerah yang sekarang merupakan Vietnam bagian selatan. Salah satu penyebutan pertama tentang Champa dan bangsa Cham dapat ditemukan dalam catatan China seperti catatan dinasti Sung yang menyebutkan bahwa beberapa orang Cham tiba di Hainan dari kota Cham atau “Zhancheng” pada 986 M.[1] Namun, menurut Dr Adam Fong, dalam disertasinya tentang sejarah China Selatan berdasarkan dokumen-dokumen China dari dinasti Sui, bangsa Cham sudah terlibat dalam aktivitas politik dan militer dengan China pada 446 M. Walaupun sesekali terlibat dalam konflik dengan tetangga-tetangganya seperti Khmer dan Annam untuk memperebutkan kontrol atas teritori dan perdagangan yang menguntungkan dengan China, bangsa Cham merupakan pembangun yang terampil dan telah membangun kuil-kuil dan patung-patung yang sangat indah dengan sofistikasi artistik dan arsitektural.
Bangsa Cham secara terus menerus terlibat perang dengan Annam. Pada tahun 1365 M, bangsa Cham mengirim sebuah armada besar untuk menyerang Annam tetapi invasi ini dipukul mundur ketika raja Cham yang besar, Che Bong Nga, gugur dalam serangan tersebut.[2] Keruntuhan Champa sebagai sebuah kekuatan politik dan militer dimulai pada tahun 1471 ketika seorang raja yang kuat dari Annam, Raja Le Thanh Tong, membangun sebuah pasukan yang kuat dan menyerbu Cha Ban (Vijaya), pusat politik Champa. Serangan tersebut berhasil dan raja Cham yang bernama Tra Toan tertangkap. Setelah tahun 1471 M, Champa secara perlahan-lahan tidak lagi menjadi kekuatan politik, ekonomi dan militer Asia Tenggara karena Annam mengontrol teritori Champa dan bangsa Cham.
Namun, jejak-jejak peradaban Cham seperti kuil-kuil, budaya dan bahasa Cham masih dapat ditemukan di banyak daerah di Vietnam Selatan. Harus dikatakan bahwa komunitas Cham masih ada di Vietnam Selatan dan daerah-daerah lain di seluruh Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Namun, mayoritas bangsa Cham di dalam komunitas-komunitas ini hidup miskin dan telah kehilangan kedaulatan politiknya. Bangsa Cham pada masa kini ada di Asia Tenggara sebagai sebuah kelompok etnis diaspora.
Sumber-sumber Linguistis dan Asia Tenggara tentang Bangsa Cham
Buku Thurgood “From Ancient Cham and Modern Dialects” berpendapat bahwa ada sebuah hubungan yang erat antara bahasa Aceh dan bahasa Cham sembari mengutip karya-karya yang membandingkan kemiripan antara puisi epik Aceh dengan sajak-sajak berbahasa Cham.[3] Thurgood juga menyebutkan tentang Hikayat Potjuct Muhamat, sebuah puisi epik yang ditulis pada abad ke-17, dan berpendapat bahwa penyusunan beberapa rima tertentu dalam teks tersebut dilakukan pada tahap awal sejarah Aceh paling tidak 800 tahun lalu.[4] Thurgood, dalam sebuah makalah yang disajikan dalam International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies yang pertama yang dilaksanakan pada tahun 2007, berpendapat bahwa dua migrasi penutur bahasa Cham, yang terjadi pada tahun 982 M dengan jatuhnya Indrapura, ibukota utara Champa, dan pada tahun 1471 M dengan jatuhnya ibukota selatan Champa, menurut Thurgood sambil mengutip Reid, “sangat sesuai dengan tarikh tertua yang tercatat tentang dinasti Aceh, sebuah tanggal yang ditemukan pada sebuah lonceng China” dan bahwa tarikh China tersebut “setara dengan akhir 1469 atau Januari 1470”.[5]
Karya Thurgood adalah karya yang penting karena risetnya menunjukkan bahwa dengan melacak perkembangan linguistik dalam bahasa Aceh dan China maka dimungkinkan untuk merekonstruksi kaitan historis di antara kedua kerajaan tersebut dan yang lebih penting lagi memberikan kepercayaan pada gagasan bahwa Aceh pada mulanya dibangun (dan mungkin juga didirikan) oleh migrasi bangsa Cham ke daerah-daerah Sumatra. Namun, walaupun hubungan linguistik antara Champa dan Aceh telah terbukti, tetapi hanya ada sangat sedikit dokumentasi historis yang dapat memberikan penjelasan tambahan tentang hubungan antara Cham dan Aceh. Satu-satunya penyebutan langsung tentang hubungan antara Cham dan Aceh tercatat dalam Sejarah Melayu atau Malay Annals terutama pada bab 21 yang mengandung deskripsi berikut ini tentang dua pangeran Cham yang melarikan diri dari serbuan Raja Kuchi. [6] (Giao Chi, nama lama untuk Vietnam Utara sekarang): “maka ada dua orang anak raja Cempa, Shah Indera Berma seorang namanya, Shah Pau Ling seorang namanya; keduanya berlepas berperahu dengan orang banyak dan anak isterinya; maka Shah Pau Ling lalu ke Atjeh ialah raja asal Atjeh… Shah Indera Berma lalu ke Melaka…[7]” Pendiri Aceh, menurut Sejarah Melayu, adalah Shah Pau Ling dan kemungkinan besar dia juga membangun keluarga kerajaan pertama Aceh karena sang raja membawa istri-istri dan rombongannya.
Sumber-sumber Vietnam seperti Dai Viet Su Ky Toan Thu mengandung sebuah deskripsi tentang serangan Champa pada tahun 1471 M dan menyebutkan larinya salah seorang saudara Tra Toan, raja Cham yang tertangkap dan dieksekusi oleh pasukan Le Thanh Tong: “Bấy giờ, vua đến Mễ Cần, tung binh tiến đánh, chém được hơn 300 thủ cấp, bắt sống hơn 60 tên. Trà Toàn nghe tin em mình thua chạy…” (Terjemahan: Kini, sang raja [Le Thanh Tong] tiba di Me Can [daerah yang sekarang menjadi Quang Ngai] dan terlibat dalam peperangan. Setelah membunuh lebih dari 300 dan menangkap 60 nama, Tra Toan (raja Cham) mendengar dan percaya bahwa adik laki-lakinya telah kalah dalam perang dan melarikan diri)”.[8]
Berdasarkan spekulasi, apakah adik laki-laki Tra Toan ini adalah Pau Shah Ling atau Shah Indera Berma yang disebutkan oleh Sejarah Melayu? Tidak ada penyebutan lain tentang adik laki-laki Tra Toan ini dan jelas tidak ada detail lain dalam sumber tersebut yang terkait dengan bangsa Cham yang melarikan diri dari invasi, tetapi yang diberikan oleh Dai Viet Su Ky Toan Thu adalah deskripsi tentang penangkapan dan eksekusi ribuan orang Cham dan pembagian tanah Cham oleh raja Le Thanh Tong.
Manuskrip-manuskrip Cham
Sumber-sumber sejarah sangat terbatas dalam mengungkapkan tentang hubungan historis antara Aceh dan Champa. Namun, harus dikatakan bahwa memang ada sumber-sumber yang dapat diperiksa untuk mengungkapkan informasi historis tentang Champa. Salah satu sumber untuk riset semacam ini adalah manuskrip-manuskrip Cham. Tugas mengungkapkan data historis dari manuskrip-manuskrip Cham untuk memahami area abu-abu dalam sejarah Asia Tenggara telah dilakukan oleh beberapa sejarawan dan mereka telah menggunakan manuskrip-manuskrip Cham untuk menulis sejarah Champa secara lebih luas. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya Wong Tze Ken, Danny[9], seorang sejarawan dari Malaysia, dan Po Dharma[10], seorang sejarawan beretnis Cham yang tinggal di Malaysia, yang menggunakan informasi dari beberapa manuskrip Cham tertentu seperti Ariya Tuen Phaow, Po Chi Bri dan Ariya Po Ceng. Manuskrip-manuskrip ini mendeskripsikan tentang upaya Vietnam selama akhir abad ke-19 untuk mengasimilasikan bangsa Cham ke dalam budaya Vietnam dan penerapan kebijakan-kebijakan seperti hukum-hukum pajak yang perlahan-lahan menjadikan bangsa Cham tertindas secara ekonomis. Menurut Abdul Karim, seorang Cham Muslim yang melestarikan dan menerjemahkan manuskrip-manuskrip Cham, manuskrip-manuskrip Cham selalu dicurigai oleh otoritas Vietnam karena mengandung beberapa informasi yang mencerminkan tindakan-tindakan keras oleh bangsa Vietnam terhadap bangasa Cham selama abad ke-18 dan ke-19.
Hal ini dapat dilihat dalam manuskrip yang menyinggung tentang kebijakan-kebijakan Kaisar Minh Menh pada abad ke-19.[11] Banyak orang Cham yang ditangkap dan manuskrip-manuskrip Cham dibakar dan dihancurkan untuk menghapus kesadaran sejarah dan intelektual bangsa Cham. Tindakan penghancuran yang sama diulangi lagi menyusul kemenangan kaum komunis pada tahun 1975. Menurut Abdul Karim, kaum komunis Vietnam bahkan menggunakan koleksi manuskrip Phanrang Cham Cultural Centre sebagai kayu bakar.[12] Lebih banyak lagi manuskrip yang pada akhirnya dihancurkan.
Manuskrip-manuskrip tersebut memberikan perspektif yang menarik dari sudut pandang bangsa Cham tentang penindasan oleh bangsa Vietnam, dan bagaimana bangsa Cham memandang ekspansi dan kontrol yang tak bisa ditawar-tawar oleh orang Vietnam dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial. Namun, banyak manuskrip yang telah dihancurkan dan saat ini sedang dilakukan upaya untuk melestarikan manuskrip-manuskrip yang masih ada.
Masalah yang ada pada mansukrip-manuskrip semacam itu adalah bahwa sebagian besar dari manuskrip-manuskrip tersebut tidak memiliki tarikh atau bahkan tidak membubuhkan nama pengarang sehingga diabaikan oleh para sejarawan. Menurut Abdul Karim, seorang Cham Muslim peneliti manuskrip-manuskrip Cham, masalahnya menjadi semakin serius karena orang Cham sendiri hanya memiliki sedikit pengetahuan dan sayangnya juga telah lupa tentang sistem penanggalan dan terminologi Cham. Apalagi, menurut Abdul Karim, para penulis Cham lebih suka tetap anonim karena adanya kebijakan-kebijakan represif negara Vietnam. Banyak orang Cham yang takut akan ditangkap jika mereka ketahuan menulis. Manuskrip-manuskrip Cham juga ditulis dengan menggunakan banyak metafor dan analogi. Hal ini menyulitkan pembacaan atas manuskrip-manuskrip Cham sebagai dokumen sejarah yang valid dan akurat oleh para sejarawan. Akhirnya, masalah terbesar pada manuskrip-manuskrip Cham adalah bahwa masyarakat Cham telah berubah. Manuskrip-manuskrip Cham melukiskan tentang sebuah dunia yang pernah ada pada masa lalu; maka informasi yang tersedia dalam manuskrip-manuskrip Cham hanya dapat dibaca tetapi tidak dapat benar-benar dipahami karena konteks budaya dan sosialnya tidak dapat dirujuk. Hal ini membatasi para sejarawan dalam mengungkapkan informasi historis tentang bangsa Cham dan relasi historisnya dengan sejarah Asia Tenggara.
Maka, dapat dilihat bahwa mayoritas manuskrip Cham tidak dapat digunakan jika orang menerapkan pendekatan sejarah konvensional, yaitu sejarah saintifik di mana sejarawan mencari fakta-fakta historis dalam dokumen dan memperoleh tarikh dan melakukan verifikasi atas penulis sumber tersebut. Dengan kata lain, para sejarawan ini percaya bahwa “semakin akurat para sejarawan dalam penemuan fakta, maka semakin dekat kita untuk memenuhi diktum Ranke pada abad ke-19, wie es eigentlich gewesen, atau mengetahui sejarah sebagaimana yang memang terjadi. Menghasilkan kebenaran berarti sama dengan menghasilkan fakta.”[13] Mereka membaca manuskrip-manuskrip Cham untuk mengumpulkan fakta-fakta tentang sejarah Cham. Namun, ini hanya akan berarti bahwa orang bisa membaca sebuah fraksi saja dari apa yang tersedia. Mayoritas manuskrip Cham merepresentasikan mitos-mitos, dongeng-dongeng dan analogi-analogi. Maka, tugas untuk menemukan bukti sejarah bagi hubungan antara Aceh dan Cham menjadi sulit karena fakta-fakta historis semakin sulit untuk dihasilkan dari sumber-sumber semacam itu.
Kebermanfaatan Sumber-sumber Lokal Asia Tenggara
Namun, tidak berarti bahwa sumber-sumber seperti mitos, dongeng dan analogi adalah sumber yang tidak berguna. Sumber-sumber ini tidak menawarkan lirikan-lirikan yang menarik tentang kemungkinan hubungan antara Aceh dan Champa. Variasi-variasi Hikayat Aceh boleh jadi mengandung petunjuk dan bahkan detail tentang hubungan antara Aceh dan Champa. Sebuah teks yang disebut Hikayat Raja Jeumpa, sebuah teks Aceh, mengandung istilah-istilah menarik yang harus diperiksa untuk memperoleh informasi tentang Cham dan Aceh.[14] Cerita tersebut menyebutkan tentang “Negeri Jeumpa” yang diperintah oleh Raja Abdulah dan ratunya, Ratna Keumala. Sang ratu melahirkan Siti Geulima dan Raja Jeumpa dan meninggal ketika Raja Jeumpa masih berusia tiga tahun. Raja Jeumpa segera ditabalkan sebagai pewaris tahta. Cerita berlanjut dengan menyebut tentang seorang raja bernama Raja Buang, yang memerintah Kerajaan Darul Aman. Atas anjuran para abdinya untuk menikah, Raja Bujang meminang Siti Geulima dan menikahinya. Raja Bujang menjadi raja Jeumpa dan kerajaannya, Darul Aman, diperintah oleh seorang menteri. Bagian yang paling menarik dari cerita Hikayat Raja Jeumpa adalah penyebutan tentang perang antara Raja Cina dan Negeri Jeumpa. Negeri Jeumpa diserang. Namun, dengan bantuan Po Ni atau Ni Musip Tapa (dalam cerita dilukiskan sebagai seorang wanita suci) dan Raja Kera, Raja Jeumpa berhasil mengalahkan Raja Cina dan merebut kembali wilayahnya.
Ada sejumlah aspek yang menarik dalam cerita tersebut. Nama “Jeumpa”, wanita bernama Po Ni, dan perang melawan Raja Cina. Nama Jeumpa dan Champa adalah variasi yang maknanya sama, yaitu kerajaan. Wanita tua yang bernama Po menarik karena “Po” adalah sebuah gelar tua yang digunakan oleh bangsa Cham untuk para penguasa Cham bahkan hingga hari ini. Di antara raja-raja Cham yang terkenal di phanteon Cham, terdapat kuil-kuil Po Klong Garai dan Po Nagar yang didirikan atas nama mereka (kuil-kuil yang dipersembahkan untuk Po Klong Garai dan Po Nagar dapat ditemukan di Vietnam Tengah, masing-masing terletak di Phanrang dan Nhatrang). Tetapi, yang paling menarik adalah penyebutan tentang peperangan dengan Raja Cina di dalam Hikayat tersebut. Kita bertanya-tanya, apakah hal itu menyinggung peperangan melawan Dai Viet? Apalagi, Sejarah Melayu, dalam bab yang mengandung cerita tentang Cham menyebutkan bahwa para pengausa Cham berperang melawan Raja Kuchi karena dia tidak diberi izin untuk menikahi putri Cham, sedangkan dalam Hikayat Raja Jeumpa, perang melawan Raja Cina dimulai ketika dia juga tidak diizinkan untuk menikahi putri Raja Jeumpa. Di dalam cerita-cerita orang Aceh yang lain, seperti dalam cerita Puteri Gombak Emas, penyerbuan negara Gulita Sagob terjadi ketika raja Cina memohon izin untuk menikahi seorang putri yang bernama “Puteri Jambil Emas” ditolak.[15] Walaupun cerita-cerita ini mengandung informasi menarik yang boleh jadi menjadi rujukan tentang pengalaman historis Champa, masih banyak riset yang harus dilakukan tentang Hikayat-hikayat semacam ini dan cerita-cerita lain yang bisa jadi mengandung informasi lebih banyak yang dapat memberikan lebih banyak petunjuk tentang sejarah hubungan antara Cham dan Aceh.
Karena sumber-sumber terbatas dan para sejarawan dipaksa untuk memijak daerah perkiraan yang berbahaya, bagaimana mereka mengatasi keterbatasan semacam ini? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan perbandingan antara kebudayaan tradisional Cham dan Aceh dan praktek-praktek mereka, terutama praktek-praktek istana dan ritual, organisasi sosial dan gaya hidup. Namun, sebelum hal ini dapat dilakukan, kita harus memahami secara spesifik apa saja kebudayaan Cham dan manifestasi-manifestasinya. Hal ini dapat dilakukan karena beberapa aspek kebudayaan Cham yang asli masih ada di Vietnam Tengah terutama di dalam komunitas-komunitas Cham Hindu yang masih mempraktekkan agama tradisional dan budaya Champa. Perbandingan artistik dan arsitektural Cham-Aceh juga dapat dilakukan. Namun, tugas perbandingan ini menjadi semakin sulit dengan adanya fakta bahwa kebudayaan Aceh telah berkembang selama ratusan tahun dengan menyerap pengaruh-pengaruh budaya dari daerah yang “menguburkan” bukti apapun tentang pengaruh-pengaruh Cham. Namun, riset tetap harus dilakukan untuk menilai kemanjuran pendekatan ini. Arkeologi juga dapat diterapkan untuk menemukan kaitan historis antara Aceh dan Champa dan juga pencarian berbagai artefak, seperti lonceng China yang disebutkan oleh Thurgood, untuk memberikan bukti lebih banyak tentang relasi historis Cham-Aceh.
Cham dan Islam
Bangsa Cham Vietnam dan Kamboja adalah komunitas paling menarik yang ada di Asia Tenggara pada masa kini terutama dalam usaha untuk memahami lebih jauh tentang proses Islamisasi di Asia Tenggara. Harus dikatakan bahwa melacak proses Islamisasi dalam sejarah Asia Tenggara adalah proses yang sulit. Manuskrip-manuskrip Cham adalah sumber-sumber yang penting dan sekaligus menjadi sasaran makalah ini untuk menjelaskan manuskrip-manuskrip Cham sebagai sumber-sumber yang penting bagi studi tentang Islamisasi Cham.
Karya-karya yang Penting.
Karya penting Manguin yang berjudul “The Introduction of Islam to Champa” menjelaskan tentang pentingnya memahami proses Islamisasi bangsa Cham dan riset tentang komunitas-komunitas Muslim Cham yang ada pada masa kini.[16] Lebih dari sekadar mengeksplorasi berbagai sumber sejarah pra-kolonial yang menyebutkan tentang Cham, Manguin memeriksa ulang isu-isu semacam itu dalam kaitannya dengan perkembangan baru dalam studi Islam di Asia Tenggara. Artikel tersebut ditulis pada tahun 1979 dan mencoba untuk memahami sejarah Islamisasi Cham dan proses-prosesnya. Untungnya, karya ini telah dilengkapi dengan karya-karya seperti karya Po Dharma yang berjudul “Le Panduranga (Campa)-1802 – 1835, yang sangat penting karena mengemukakan sebuah sumber Cham yang menyebutkan tentang peran seorang pemimpin Cham yang datang ke Binh Thuan dari Kelantan pada tahun 1833, bernama “Katip Sumat”, dan mengumpuulkan lagi bangsa Cham dan para pendukungnya dan memberontak melawan Vietnam.[17] Karya Po Dharma, yang ditulis pada tahun 1987, menunjukkan pentingnya memahami sejarah Islamisasi Cham sebagai aktivator tindakan politik dan militer. Yang melengkapi karya Po Dharma adalah artikel yang ditulis oleh Danny Wong Tze Ken berjudul “Vietnam-Champa Relation and the Malay-Islam Regional Network in the 17th – 19th Centuries” yang menekankan jejaring regional Melayu-Islam di Asia Tenggara, yang terutama berpusat di Semenanjung Malaya yang berperan dalam perlawanan Cham atas Vietnam.[18]
Selain karya-karya para sejarawan, kontribusi penting juga telah diberikan oleh para antropolog. Rei Nakamura, seorang antropolog yang mempelajari tentang bangsa Cham di Vietnam Selatan, dalam artikelnya yang berjudul “The Cham Muslims in NinhThuan Province, Vietnam” (2008), mencoba memahami prinsip struktur ganda dalam kosmologi Cham yang disebut Awar dan Ahier. Menurut Nakamura, Ahier dan Awar adalah kunci untuk memahami pandangan dunia bangsa Cham (Urang Cham).
Bangsa Cham telah menyerap Islam dan hal ini menjadi landasan identitas kelompok yang disebut sebagai “Chami Bani”. Selain Cham Bani, sebenarnya ada dua kelompok lain, misalnya Cham Balamon. Cham Balamon mempraktekkan sebuah bentuk Hinduisme yang sinkretik. Upacara-upacara religius dilakukan dalam kuil-kuil kuno (yang disebut Bimong Po Klong Garai dan Bimong Po Sah Nu). Mereka memiliki tabu untuk tidak memakan daging sapi dan mengkremasi jenazah. Mereka dipimpin oleh pendeta yang disebut “Halau Tamunay Ahier”. Namun, Cham Bani mempraktekkan sebuah bentuk Islam sinkretik dan memuja Po Alwah (Allah) dalam masjid yang mereka sebut sebagai “Thang Muki”. Mereka tidak memakan daging babi dan menguburkan jenazah. Mereka dipimpin oleh seorang pemimpin religius yang bernama “Halau Tamunay Awar”. Cham Bani menyebut Ramadhan sebagai “Ramuwan” yang berlangsung pada saat yang hampir sama dengan Ramadan. Tiga hari sebelum Ramadan, Cham Bani akan melaksanakan beberapa upacara dan mengunjungi makam para leluhur.
Karya penting yang lain adalah karya Phillip Taylor yang berjudul “Cham Muslims of the Mekong Delta: Place and Mobility in the Cosmopolitan Periphery”.[19] Dalam karya ini, dia mencoba membahas tentang koherensi kultural, geografis, dan historis dari Cham Muslims di Delta Sungai Mekong melalui pemeriksaan etnografis untuk memahami peran Islam dalam identitas, budaya dan pengalaman material Muslim Cham.[20]
Apakah hakikat Islamsiasi Cham sebelum masa itu? Para sarjana Perancis mencoba membahas isu ini karena semakin tertarik dengan komunitas-komunitas Muslim Cham, yang merupakan kawula kolonial mereka. Artikel yang ditulis oleh Marcel Ner “Les Musulmans de l‘Indochine francaise” memberikan deskripsi yang menarik tentang komunitas-komunitas Cham Muslim yang ada di Vietnam dan Kamboja. Datanya dikumpulkan dari komunitas-komunitas Cham Muslim pada bulan April dan Mei 1937 dan memberikan informasi bagi para pejabat Perancis tentang populasi orang Cham Muslim. Studi Durrand tentang Bani Cham Vietnam, yang diterbitkan pada tahun 1901, menawarkan wawasan yang menarik tentang bagaimana konsep-konsep dan ide-ide Islam dilokalisasikan oleh bangsa Cham terutama dalam upacara-upacara keagamaan dan pernikahan komunitas Bani Cham di Phanrang, Vietnam Tengah. Namun, yang paling menarik adalah keterangan Durrand tentang sebuah “manuskrip yang menarik” yang ditemukan di sebuah desa Cham bernama Palei Tanrang, (Vietnam Tengah, Phanrang), di mana dia menerjemahkan ke dalam bahasa Perancis tentang cara bansga Cham melokalisasikan istilah-istilah Islam sepertu Po Uwlwah (Allah), Po Adam (Adam), Patri Maryam (Putri Maria) dan Nobi Mohammat (Nabi Muhammad). Durrand menyimpulkan bahwa bahan-bahan semacam ini menerangkan tentang proses-proses integrasi Islam ke dalam kosmologi lokal Cham.
Cerita tentang Islamisasi Cham
Ariya Cam Bani
Proses integrasi dengan kosmologi lokal Cham, menurut manuskrip-manuskrip Cham, adalah tidak begitu halus. Salah satu manuskrip Cham yang menarik adalah Ariya Cham Bani.[21] Manuskrip ini tidak membubuhkan nama pengarang, tidak bertarikh, dan hal ini umum terjadi pada banyak manuskrip Cham. Ceritanya adalah sebagai berikut:
Dulu kala di sebuah desa hiduplah seorang gadis Cham Ahier (Hindu sinkretik, Brahmana), seorang putri kesayangan sebuah keluarga yang sangat konservatif. Pada suatu hari, dia bertemu dengan seorang pemuda Cham Bani (Muslim non-ortodoks) dan jatuh cinta kepada si pemuda. Walaupun ada larangan untuk berhubungan antara Cham Ahier dan Cham Bani, mereka tetap melanjutkan hubungan mereka. Ketika orangtua si gadis mendengar tentang hal itu, mereka mencoba meyakinkan si gadis bahwa seorang gadis Cham Ahier tidak pernah akan dapat menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari kelompok Cham yang berbeda. Hal ini disebabkan karena perikahan antara seorang gadis Cham Ahier dengan seorang pemuda Cham Bani akan mencederai kehormatan silsilah ibu. Si gadis patuh tetapi dia masih mencintai pemuda tersebut dan akhirnya jatuh sakit. Pada suatu hari si gadis memutuskan untuk meninggalkan rumahnya secara diam-diam untuk menemui kekasihnya dan dia melakukan ini berulang-ulang. Akhirnya, orangtua si gadis mendengar bahwa putri mereka masih tetap menjalin hubungan dengan pemuda tersebut dan menjadi begitu marah sehingga mereka memperlakukannya dengan sangat kasar dan mengusirnya dari rumah. Si gadis pergi dan tinggal bersama pemuda itu jauh dari desa. Namun, setelah dia diusir oleh keluarganya, si gadis menjadi murung dan jatuh sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Walaupun putri mereka telah meninggal, orangtuanya tetap tidak mau melakukan apapun terhadapnya. Si pemuda Cham Bani mengatur upacara kremasi menurut adat Cham Ahier. Ketika api pembakaran berkobar, si pemuda melempakan dirinya ke dalam api.
Cerita tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa si penulis menekankan kesatuan dan cinta antara kelompok-kelompok Cham Hindu dan Muslim dengan tiba-tiba? Apakah ini merupakan sebuah komitmen tentang kecenderungan bansga Cham untuk bercerai berai sebagai bangsa sepanjang sejarah? Apakah ini sebuah indikasi tentang apa yang dipikirkan oleh penulis tentang bagaimana seharusnya kehidupan masyakat Cham? Apakah ini sebuah petunjuk tentang bagaimana bangsa Cham melihat dan memahami peran Islam dan kelompok Muslim dalam masyarakat Cham? Cham Bani yang melemparkan diri ke dalam api dapat dianggap sebagai sebuah simbol perlawanan pada penyimpangan dari norma-norma budaya dan tradisi yang ada yang telah menentukan hubungan antara Cham Ahier dan Cham Awal. Selanjutnya, dari teks tersebut kita dapat menyimpulkan tentang situasi hubungan antara Hindu dan Muslim di Champa, yaitu bahwa mungkin terdapat suatu aspek kekejaman tertentu. Ide tentang co-dependency (saling ketergantungan), cinta dan toleransi juga selalu muncul. Yang lebih penting lagi, dengan cara tertentu, bangsa Cham dapat melawan fragmentasi sosial pada saat-saat tertentu dalam sejarah Cham dan penulis teks ini membuat beberapa pernyataan yang menentang hal tersebut.
Mungkin kita tidak akan pernah tahu pada periode sejarah yang mana teks ini ditulis, tetapi dari teks itu kita dapat menyimpulkan bahwa pada suatu saat dalam sejarah, Islam menjadi sebuah aspek dalam identitas etnis bangsa Cham walaupun terdapat juga kelompok-kelompok non-Muslim lain di Vietnam. Tetapi proses itu masih belum diketahui.
Dalam sejarah, jelas bahwa perkiraan saja tidak dapat dibenarkan. Teks tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai hal yang faktual, tetapi kebenaran tidak hanya terkait dengan bukti faktual. Kebenaran juga terkait dengan kebenaran moral, yang merupakan lapis kebenaran yang lain. Teks ini memiliki banyak lapisan dan yang harus diselidiki adalah apakah yang benar-benar diungkapkan oleh teks ini. Apa sajakah makna-makna, maksud-maksud dan agenda-agenda yang dilapisinya?
Akayet Um Marup
Manuskrip lain yang juga menarik adalah Akayet Marup.[22] Pengarang dan tarikh tidak diketahui.
Um Marup adalah putra raja Harum Mak. Pada suatu hari, dia meninggalkan istana untuk berburu dan bertemu dengan Po Nabi (Tuan Nabi) dan kalifah Po Ali serta Abukhar Uman Suman. Po Ali mengajarkannya tentang pentingnya Islam dan kesenangan yang akan diperolehnya setelah meninggal. Um Marup kemudian memutuskan untuk meninggalkan tahta dan beralih ke dalam agama Islam agar dapat menikmati kesenangan-kesenangan di surga. Ayah Um Marup yang murka mencoba untuk meyakinkan Um Marup bahwa keinginannya akan menghinakan tradisi para leluhur kerajaan. Namun, Um Marup dibantu oleh Po Nabi dan berhasil mengatasi setiap rintangan yang diberikan oleh ayahnya. Dalam pertempuran terakhir antara Um Marup dan pasukan ayahnya, Um Marup (yang hampir menang) diserang (dengan cara yang licik) dan dibunuh oleh raksasa Kai Glong. Po Nabi dan para malaikat langit kemudian membawa jenazah Um Marup ke tahta Po Aluah. Untuk membalas dendam si pangeran, Po Nabi melancarkan serangan besar terhadap raja Harum Mak. Sang raja kalah dan bersedia beralih agama menjadi Islam, sebagaimana putranya.
Ini adalah aspek lain dalam proses Islamsiasi Cham, yaitu bahwa konlik dan kontestasi dengan sistem kekuasaan tradisional agaknya menjadi penanda konversi elit Cham pada titik tertentu dalam sejarah.
Adalah menarik untuk menekankan bahwa proses-proses yang sama agaknya juga terjadi pada komunitas Cham Muslim. Selain terintegrasi ke dalam kosmologi dan politik Cham di Vietnam, Islam juga menjadi sebuah sumber aktivasi politik bagi Muslim Cham di Kamboja pada abad ke-17. Menurut Kersten, Muslim Cham dan komunitas pedagang Melayu di Kamboja berpartisipasi dalam sebuah kudeta yang berhasil atas seorang Pangeran Khmer, yang pada tahun 1643 M beralih memeluk Islam dan melakukan sunat. Dia memakai gelar Sultan Ibrahim atau Rama Cul Sas (Raja Rama yang memeluk agama Islam). Karya Kersten selanjutnya menggambarkan aktivitas historis komunitas Muslim Cham di Kamboja. Dia juga menggambarkan tentang peran utama yang dimainkan oleh komunitas Muslim Melayu dan Cham dalam menyebabkan perubahan politik pada abad ke-17 di Kamboja.
Bagaimana bangsa Cham mempersepsi Islamisasi dan cerita macam apa yang dimiliki oleh manuskrip-manuskrip Cham yang dapat menerangkan tentang proses Islamisasi? Jelaslah bahwa bangsa Cham memiliki cerita-cerita Islamisasi dan masih diperlukan banyak riset untuk mengungkapkan dan memahaminya. Namun, masalah kepengarangan, pertarikhan, dan ketelitian (kejujuran) manuskrip-manuskrip tetap menjadi rintangan besar untuk menjawab isu-isu penting ini.
Arah Riset pada Masa yang akan Datang: Kemungkinan Metode
Walaupun tugas ini sulit, saya terdorong oleh upaya yang dilakukan oleh para sejarawan lain untuk menggunakan sumber-sumber tertulis primer lokal dari Asia Tenggara. Karya Drakard, “A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra” terutama menganalisis surat-surat dan segel-segel kerajaan Minangkabau pada abad ke-17 dan ke-18.[23] Yang menarik dari pemeriksaannya adalah Surat Cap. Dia mengungkapkan bahwa genre Surat Cap diambil dari struktur dan warisan historis kuno yang diwariskan oleh Sriwijaya, kerajaan Melayu dan masa kekuasaan Adityawarman, untuk menempa sebuah bahasa kekuasaan yang digunakan oleh para penguasa Minangkabau pada abad ke-17 dan ke-18 di Minangkabau Sumatra.[24] Tekniknya dapat digunakan dalam pembacaan saya tentang manuskrip-manuskrip Cham terutama dalam pemeriksaan atas kata-kata tertentu dan rangkaian kosakata dan makna serta tujuan di baliknya untuk memahami keserupaan konsepsi-konsepsi Cham lokal tentang polis “nagar”, keberlimpahan (abundance) “kaya, lo” dan keagungan “praong” (kekuatan, kebesaran) dan “Rija” (raja).
Karya Weiner yang berjudul “Visible and Invinsible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali” mengungkapkan analisisnya tentang konsepsi ideologis Bali tentang kekuasaan kerajaan berdasarkan sebuah teks kunci Klungkung, Babad Dalem, yang menggugat misinterpretasi kolonial Belanda tentang orang Bali dan memberikan wawasan-wawasan baru tentang hakikat ke-raja-an di Asia Tenggara.[25] Weiner berpendapat bahwa Babad Dalem memberikan wawasan yang berharga tentang konsepsi diri para penguasa Klungkung dan juga tentang bagaimana mereka menciptakan sejarah yang membentuk cara pandang para penguasa Klungkung atas diri mereka sendiri (Weiner:99).[26] Ada beragam bentuk Babad Dalem dan sebagaimana sebagian besar teks prosa Bali, manuskrip-manuskrip ini anonim dan tak bertarikh. Namun, Wiener melakukan pembacaan mendalam atas teks-teks semacam ini dan dengan konsultasi dengan para pendeta dan informan Bali, dia berhasil memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan bernuansa secara kultural tentang bagaimana para penguasa Klungkung memahami kekuasaan. Dengan cara yang sama, teknik analisis Weiner dapat digunakan untuk memahami konsepsi bangsa Cham tentang kekuasaan kerajaan. Dengan konsultasi langsung dengan para tetua Cham di Phanrang, saya akan mencoba memahami kronik-kronik kerajaan Panduranga dan juga teks-teks kunci Cham seperti Ariya Klau Ray (Cerita tentang bertahtanya tiga raja) dan Dalukan Po Klong (Cerita tentang Po Klong) dan juga teks-teks lain yang mengandung cerita-cerita tentang para raja Cham yang penting.
“Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar” karya Cummings menganalisis teks-teks sejarah Makassar seperti kronik-kronik kerajaan, genealogi, dan kompilasi adat dan hukum.[27] Dia berpendapat bahwa teks-teks ini merupakan agen-agen perubahan dalam penciptaan suatu pemahaman yang baru tentang masa lalu untuk melegitimasi kekuasaan para penguasa Makassar. Cara Cummings membaca manuskrip-manuskrip Makassar penting, di mana membaca di istana Gowa memberinya pemahaman yang lebih baik tentang bahan dan dipandu oleh putra dari penasehat terakhir penguasa Gowa. Dengan cara yang sama, saya akan membaca manuskrip-manuskrip Cham di sejumlah tempat kunci seperti masjid Brahamana/Muslim sinkretik Cham yang bernama “Thang Muki” dan berbagai kuil Cham penting lain di Phanrang seperti Bimong Po Klong Garai, Bimong Po Rome dan Bimong Po Nagar (di Nha Trang) untuk memperoleh pembacaan yang bernuansa secara kultural atas manuskrip-manuskrip Cham.
Para sejarawan dari bidang-bidang sejarah yang lain juga telah memperlihatkan keberhasilan dalam mengatasi keterbatasan sumber-sumber tertulis primer. Yang terkemuka adalah karya Inga Clendinnen “Ambivalent Conquests: Maya and Spaniard in Yucatan, 1517 – 1570”, yang berpendapat bahwa pemahaman bangsa Maya tentang sejarah memberikan mereka sebuah ketahanan kultural yang luar biasa dan memungkinkan mereka untuk mempertahankan elemen-elemen tertentu dari tatanan tradisional mereka.[28] Dia mendukung argumennya dengan menerapkan pengamatan etnografis dan secara cermat menangani bukti pemeriksaan untuk membahas Buku Chilam Balam, sebuah teks Maya yang penting. Menurut Clendimen, “Buku Chilam Balam adalah benda hidup bagi orang-orang Maya perdesaan. Isi dan bentuknya memperlihatkan pemahaman orang Maya tentang ‘pengetahuan‘ dan bagaimana cara untuk mencapainya”. Selanjutnya, menurutnya, “akan tampak bahwa seolah-olah model esensialnya diturunkan dari dedikasi yang kokoh atas pengamatan yang cermat dan pencatatan pergerakan di langit yang membentuk landasan bagi sistem makna dan mode ekspresi bansga Maya”.[29] Yang dilakukan oleh Clendimen adalah bahwa untuk memahami teks Maya juga harus memahami kosmologi Maya. Dalam analisis saya tentang manuskrip-mansukrip Cham, saya akan mengintegrasikan pemahaman kosmologis Maya terutama prinsip struktur ganda bangsa Cham di Phanrang yang bernama Ahier Awal, yang menurut Rie Nakamura, seorang antropolog terkemuka dalam bidang Cham, menyampaikan petunjuk-petunjuk penting tentang cara orang Cham memandang etnisitas mereka dan tempat mereka di dunia.
Memahami lebih lanjut tentang landasan historis dari dunia kosmologis Cham adalah juga merupakan pendekatan untuk memahami mansukrip-manuskrip ini karena akan memungkinkan pembacaan mendalam atas manuskrip-manuskrip Cham untuk menyingkapkan tentang bagaimana bangsa Cham memahami konsep-konsep dan istilah-istilah yang penting untuk memberikan struktur (structuring) kosmologi Cham. Selain manuskrip-manuskrip Cham, sebuah studi tentang ritual dan perayaan Cham juga penting untuk memahami bagaimana bangsa Cham memanfaatkan pengetahuan kosmologis dalam mereafirmasi (menegaskan ulang) pengertian mereka tentang keterkaitan historis dengan tanah dan kekuasaan yang dikandungnya dan juga keberlanjutan praktek-praktek tersebut hingga hari ini.
Yang juga penting adalah studi tentang “lanskap-lanskap mental” di mana konsep-konsep ini diingat, dipahami dan memperoleh potensi dan makna yang lebih besar bagi bangsa Cham. Dam (binuk), kuil (bimong), dan kubur-kubur serta situs-situs kuno di mana bangsa Cham bertempur dan mati dalam peperangan mereka melawan bangsa Vietnam (Urang Yuen). Tempat-tempat ini selanjutnya menegaskan perasaan keterhubungan bangsa Cham dengan “Nagar Cham” (negara Cham) dan sebagai “Urang Cham” (bangsa Cham) dan upacara-upacara serta festival-festival ini mengintensifkan dan menghasilkan ulang pengertian bangsa Cham tentang diri mereka sendiri sepanjang sejarah.
Sumber-sumber Perancis, Melayu, dan Vietnam harus dikonsultasi karena memberikan kontekstualisasi sejarah atas manuskrip-manuskrip Cham dan diharapkan bahwa melalui pemahaman atas landasan historis bagi dunia kosmologis Cham, pertanyaan-pertanyaan penting seperti proses Islamisasi bangsa Cham, hubungan antara Cham dengan dunia Melayu dalam sejarah dan bagaimana bangsa Cham memahami dan mempersepsi bangsa Vietnam dalam sejarah akan dapat dipahami dengan nuansa yang lebih luas.
Sebagai kesimpulan, sang sejarawan harus teguh berdiri di hadapan tantangan untuk memperoleh bahan kesejarahan yang lebih banyak agar dapat menjelaskan dengan lebih baik tentang relasi antara Cham dengan Asia Tenggara. Alasan bagi kecilnya kemajuan yang diperoleh oleh sejarawan dalam mengungkapkan bukti adalah semata-mata karena kurangnya sumber-sumber historis dan riset tentang sumber-sumber tersebut. Para linguis telah menunjukkan adanya hubungan antara Champa dan Aceh. Sekarang saatnya bagai sejarawan untuk melakukan hal yang sama.
Bibliografi:
• Abd. Rahman al, Ahmadi. Alam Melayu : Sejarah Dan Kebudayaan Campa. Cet. 1. ed, Siri Kebudayaan Kebangsaan. Kuala Lumpur
• [Paris]: Kementerian Kebudayaan dan Pelancongan ;
• Ecole Française d‘Extrême-Orient, 1988.
• ———. Syair Siti Zubaidah Perang China : Perspektif Sejarah. Cet. 1. ed. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1994.
• ———. Tamadun Rumpun Budaya Melayu. Cet. 2. ed, Siri Pemikiran Tokoh. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia, 2004.
• Boisselier, Jean. La Statuaire Du Champa : Recherches Sur Les Cultes Et L‘iconographie, Publications De L‘école Française D‘extrême-Orient. Paris: Ecole française d‘Extrême-Orient, 1963.
• Cooke, Nola, and Tana Li. Water Frontier : Commerce and the Chinese in the Lower Mekong Region, 1750-1880, World Social Change. Singapore
• Lanham, MD: Singapore University Press ; Rowman & Littlefield, 2004.
• Cummings, William. Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. University of Hawaii Press, 2002.
• Clendinnen, Inga . Ambivalent Conquests: Maya and Spaniard in Yucatan, 1517 – 1570 Cambridge University Press, 1989
• Corfield, Justin J. The History of Vietnam, The Greenwood Histories of the Modern Nations,. Westport, Conn.: Greenwood Press, 2008.
• Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Oxford University Press, USA, 1999
• Dutton, George Edson. The Tây Son Uprising : Society and Rebellion in Eighteenth-Century Vietnam, Southeast Asia--Politics, Meaning, and Memory. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006.
• Guillon, Emmanuel, and Tom White. Hindu-Buddhist Art of Vietnam : Treasures from Champa. Trumbull, Conn.: Weatherhill, 2001.
• Hardy, Andrew, Mauro Cucarzi, Patrizia Zolese, and École française d‘Extrême-Orient. Champa and the Archaeology of M*Y S*N (Vietnam). Singapore: NUS Press, 2009.
• International Office of Campa., and University of California Berkeley. Center for Southeast Asia Studies. Le Camp*a Et Le Monde Malais : Actes De La Conférence Internationale Sur Le Camp*a Et Le Monde Malais, Publications Du Centre D‘histoire Et Civilisations De La Péninsule Indochinoise. Paris: Centre d‘histoire et civilisations de la Péninsule indochinoise, 1991.
• Københavns universitet. Socio-kulturelle institut Campa Danmark. Actes Du Séminaire Sur Le Campa, Travaux Du Centre D‘histoire Et Civilisations De La Péninsule Indochinoise. Paris: Centre d‘histoire et civilisations de la péninsule indochinoise, 1988.
• Lafont, Pierre-Bernard. Le Campa : Géographie, Population, Histoire. Paris: Indes savantes, 2007.
• Li, Tana. ""The Inner Region" : A Social and Economic History of Nguyen Vietnam in the Seventeenth and Eighteenth Centuries." Thesis (Ph D ), Australian National University, Sept., 1992., 1992.
• Li, Tana, and Cornell University. Southeast Asia Program. Nguy*Äen Cochinchina : Southern Vietnam in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, Studies on Southeast Asia. Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, 1998.
• Li, Tana, Anthony Reid, Australian National University. Economic History of Southeast Asia Project., and Institute of Southeast Asian Studies. ASEAN Economic Research Unit. Southern Vietnam under the Nguyen : Documents on the Economic History of Cochinchina (Dang Trong), 1602-1777, Data Paper Series. Sources for the Economic History of Southeast Asia. Canberra
• Singapore: Economic History of Southeast Asia Project, Research School of Pacific Studies
• ASEAN Economic Research Unit, Institute of Southeast Asian Studies, 1993.
• Majumdar, R. C. Ancient Indian Colonies in the Far East, Punjab Oriental (Sanskrit) Series. Lahore,: The Punjab Sanskrit book depot, 1927.
• ———. Champa : History & Culture of an Indian Colonial Kingdom in the Far East, 2nd-16th Century A.D. Delhi: Gian Pub. House, 1985.
• ———. Champa : History & Culture of an Indian Colonial Kingdom in the Far East, 2nd-16th Century A.D. Delhi: : Gian Publishing House, 1985.
• Maspero, Georges, and Walter E. J. Tips. The Champa Kingdom : The History of an Extinct Vietnamese Culture. Bangkok, Thailand: White Lotus Press, 2002.
• Mus, Paul. India Seen from the East : Indian and Indigenous Cults in Champa, Monash Papers on Southeast Asia. Cheltenham, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1975.
• Ngô, V. an Doanh. Van Hóa Champa. Hà Nòi: Van hóa - thông tin, 1994.
• Ngô, Van Doanh, and Vien Nghiên cuu Dông Nam Á (Vietnam). Champa Ancient Towers : Reality & Legend. Hanoi: The gioi, 2002.
• O‘Reilly, Dougald J. W. Early Civilizations of Southeast Asia, Archaeology of Southeast Asia. Lanham: AltaMira Press, 2007.
• Po, Dharma. Le Panduranga (Campa), 1802-1835 : Ses Rapports Avec Le Vietnam. 2 vols, Publications De L‘école Française D‘extrême-Orient. Paris: École française d‘Extrême-Orient, 1987.
• Po, Dharma, Gérard Moussay, and Karim Abdul. Akayet Dowa Mano = Hikayat Dowa Mano, Koleksi Manuskrip Melayu Campa = Collection Des Manuscrits Cam. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia dengan kerjasama Ecole française d‘Extrême-Orient, 1998.
• Po, Dharma, Gérard Moussay, Karim Abdul, Perpustakaan Negara Malaysia., and École française d‘Extrême-Orient. Akayet Inra Patra = Hikayat Inra Patra, Koleksi Manuskrip Melayu Campa = Collection Des Manuscrits Cam. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia dengan kerjasama l‘Ecole fran*caise d‘Extrême-Orient, 1997.
• Reid, Anthony. Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
• Sharma, J. C. Hindu Temples in Vietnam. New Delhi: The Offsetters (Publication Division), 1997.
• Stern, Philippe. L‘art Du Champa (Ancien Annam) Et Son Évolution, Ministère De L‘éducation Nationale. Publication Du Musée Guimet. Etudes Et Documents D‘art Et D‘archéologie. Paris: Imprimé par Douladoure a Toulouse en vente a la Librairie d‘Amérique et d‘Orient Adrien-Maisonneuve, 1942.
• Thurgood, Graham. From Ancient Cham to Modern Dialects : Two Thousand Years of Language Contact and Change, Oceanic Linguistics Special Publication. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1999.
• Tran, Ky Phuong. Unique Vestiges of Cham Civilization. Hanoi: Thee Gioi Publishers, 2000.
• ———. Vestiges of Champa Civilization. 3rd ed, Guidebook. Hà Nòi: The Gioi Publishers, 2004.
• Tran, Nhung Tuyet, and Anthony Reid. Viet Nam : Borderless Histories, New Perspectives in Southeast Asian Studies. Madison: University of Wisconsin Press, 2006.
• Trsan, Ky Phuong, and National University of Singapore. Asia Research Institute. "Cultural Resource and Heritage Issues of Historic Champa States Champa Origins, Reconfirmed Nomenclatures and Preservation of Sites." Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore, 2007.
• Thurgood, Graham, “First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies Organized by Asia Research Institute”, National University of Singapore &Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia 24 – 27 February 2007 The Historical Place of Acehnese:The Known and the Unknown
• Vickery, Michael, and National University of Singapore. Asia Research Institute. "Champa Revised." Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore, 2005.
• Weiner, Margaret. Visible and Invinsible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali University Of Chicago Press, 1995
• Wade, Geoff, and National University of Singapore. Asia Research Institute. "Champa in the Song Hui-Yao a Draft Translation." Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore, 2005.
• Wang, Gungwu, and Chin-Keong Ng. Maritime China in Transition 1750-1850, South China and Maritime Asia,. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 2004.
• Ysa, Osman, and Documentation Center of Cambodia. The Cham Rebellion : Survivors‘ Stories from the Villages, Documentation Series (Documentation Center of Cambodia). Phnom Penh, Cambodia: Documentation Center of Cambodia, 2006.
• ———. Oukoubah : Justice for the Cham Muslims under the Democratic Kampuchea Regime, [Documentation Series / Documentation Center of Cambodia. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002.
• Zéphir, Thierry, Pierre Baptiste, and Musée Guimet (Paris France). Trésors D‘art Du Vietnam : La Sculpture Du Champa, Ve-Xve Siècles. Paris: Réunion des musées nationaux : Musée des arts asiatiques Guimet, 2005.
__________
Mohamed Effendy bin Abdul Hamid, Kandidat Doktor Sejarah pada Jurusan Sejarah University of Hawaii at Manoa.
[1] Graham Thurgood, From Ancient Cham to Modern Dialects: Two Thousand Years of Language Contact and Change, Oceanic Linguistics Special Publication, No. 28 (Honolulu: University of Hawaii Press, 1999), p.2.
[2] Georges Maspero and Walter E. J. Tips, The Champa Kingdom: The History of an Extinct Vietnamese Culture (Bangkok, Thailand: White Lotus Press, 2002).
[3] Thurgood, From Ancient Cham to Modern Dialects: Two Thousand Years of Language Contact and Change. Pp.54-55
[4] Ibid.
[5] Graham Thurgood, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies Organized by Asia Research Institute, National University of Singapore &Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia 24 – 27 February 2007 The Historical Place of Acehnese: The Known and the Unknown. p.4
[6] Munshi Abd Allah ibn ‘Abd al-Kadir, Sedjarah Melaju (Djakarta: Penerbit Djambatan, 1952).
[7] Ibid.p.177.
[8] Ngo Si Lien, Dai Viet Su Ky Toan Thu, line 62(a) Đại Việt Sử Ký Toàn Thư - Bản Kỷ - Quyển XII, p. 469.
[9] http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp/issue/issue4/article_353.html.
[10] Dharma Po, Le Panduranga (Campa), 1802-1835 : Ses Rapports Avec Le Vietnam, 2 vols., Publications De L‘Ecole Francaise D‘extreme-Orient ; V. 149 (Paris: Ecole Francaise d‘Extreme-Orient, 1987).
[11] Wook Choi Byung, Southern Vietnam under the Reign of Minh Mang (1820-1841): Central Policies and Local Response, Southeast Asia Program Series; No. 20 (Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University, 2004).p.1-33.
[12] Information based on interviews with Mr Abdul Karim, researcher on the Cham Manuscripts.
[13] Alun Munslow, The Routledge Companion to Historical Studies (London; New York: Routledge, 2000).p. 98.
[14] Ramli Harun and Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah., Hikayat Raja Jeumpa (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1988).
[15] L. K. Ara, Taufiq Ismail, and Ks Hasyim, Seulawah, Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995). p.82-94.
[16] Pierre-Yves Manguin, "Etudes Cam. L‘introduction De L‘islam Au Campa," Bulletin de l‘Ecole francaise d‘Extreme-Orient , no. 1 (1979).
[17] Dharma Po, Le Panduranga (Campa), 1802-1835 : Ses Rapports Avec Le Vietnam, 2 vols., Publications De L‘école Française D‘extrême-Orient (Paris: École française d‘Extrême-Orient, 1987). Vol. I. p. 141-147.
[18] http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp/issue/issue4/article_353.html.
[19] Philip Taylor and Asian Studies Association of Australia., Cham Muslims of the Mekong Delta : Place and Mobility in the Cosmopolitan Periphery, Southeast Asia Publications Series ([Nathan, Qld.] Honolulu: Asian Studies Association of Australia; In association with University of Hawai°i Press, 2007).
[20] Ibid.p.3.
[21] Ariya Cam Bani. Author and date unknown.
[22] Akayet Um Marup. Author and date unknown.
[23] Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Oxford University Press, USA, 1999.
[24] Ibid. 247.
[25] Weiner, Margaret. Visible and Invinsible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali University Of Chicago Press, 1995
[26] Ibid. 99.
[27] Cummings, William. Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. University of Hawaii Press, 2002.
[28] Clendinnen, Inga . Ambivalent Conquests: Maya and Spaniard in Yucatan, 1517 – 1570 Cambridge University Press, 1989.
[29] Ibid.135.