Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang sekarang disebut benda cagar budaya, diantaranya berupa masjid-masjid kuno. Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia meskipun sederhana, tetapi memiliki ciri khas lokal yang terlihat pada komponen-¬komponen bangunannya. Tetapi sebelum membahasnya, sebaiknya kita melihat perkembangan arsitektur masjid secara umum pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah pelanjutnya agar mendapatkan gambaran arsitektur masjid pada awal perkembangan agama Islam agama Islam.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (610-632 M)
Pada awal da'wah agama Islam di Mekkah, hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menata kembali dan membina kebudayaan dalam wujud akal pikiran (sistem nilai dan gagasan), serta dalam wujud tingkah laku, yaitu memberikan ajaran : keimanan, Akhlak, dan ibadah. Keberadaan Masjidil Haram yang sangat penting artinya bagi umat Islam karena terdapat Ka'bah di tengah-tengahnya, belum dapat digunakan sepenuhnya oleh Nabi dan pengikutnya, sebab digunakan juga sebagai tempat ritual kepercayaan masyarakat setempat. Jadi ajaran yang menyangkut bidang duniawi wujud kebudayaan fisik, seperti tempat ibadah, belum mendapat perhatian khusus.
Perjuangan Nabi mendapat tantangan yang keras dari kaum kafir Quraisy di Mekkah, maka akhirnya Nabi dan para pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriyah). Sesampainya di Quba, Nabi beristirahat selama empat hari (Senin s.d. Kamis), dan pada hari pertama kedatangannya itu pula ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Quba.
Masjid Quba awalnya merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi, pada sisi utaranya yang memanjang timur barat didirikan bangunan untuk ibadah shalat (biasa disebut al-maghata). Pada saat itu bangunannya masih sangat sederhana tiang-tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah daun kurma yang dicampur/pleester dengan tanah liat. Mimbamya terbuat dari potongan batang-batang pohon kurma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih menindih. Tanda kiblat yang menjacli tujuan arah pada waktu shalat dibuat oleh Nabi dengan memakai bahan batu yang dimintanya dari penduduk Quba.
Meskipun sangat sederhana, masjid ini bisa dianggap sebagai contoh awal bentuk dari masjid-masjid yang didirikan oleh ummat Islam selanjutnya. Memiliki ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya, serta di sebelah utaranya terdapat serambi untuk tempat shalat. Di tengah-tengah lapangan terbuka dalam masjid itu (biasa disebut shaan), terdapat sebuah sumur tempat berwudhu. Masjid ini telah mengalami beberapa kali perbaikan. Sekarang, temboknya terbuat dari batu, berkubah , dan memiliki menara. Dihiasi dengan dekorasi-dekorasi yang indah, ditambah, ditambah tiang batu dan kayu yang megah. Meskipun secara ornamental dan bahan yang digunakan mengalami banyak perubahan, tetapi denah awalnya tidak berubah.
Di Madinah ia membangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama seperti Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi, sebagian berupa halaman dalam (shaan) dan sebagian lagi berbentuk bangunan (liwan). Pola awal ini memang cenderung fungsional sesuai kebutuhan yang diajarkan oleh Nabi, untuk menampung kegiatan ibadah maupun muamalah.
Di sebelah selatan masjid ini terdapat suatu ruangan asrama untuk para musafir dan fakir miskin, serta ruangan tempat Nabi mengajar umatnya. Sedangkan di sebelah timur dibangun rumah sederhana buat isteri-isteri Nabi. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini diperluas dan dibangun kembali oleh Khalifah Khalid al-Walid tahun 706 M.
2. Masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka pimpinan umat Islam dijabat oleh khalifah-khalifah yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi, yakni empat orang khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin; mereka adalah: Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan All bin Abu Thalib.
Produk budaya materi berupa sarana ibadah, masjid, pada masa Khulafaur Rasyidin tidaklah banyak. Perjuangan utama mereka dalam hal mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diajarkan Nabi. Masjid-masjid didirikan dalam bentuk yang fungsional, baru pada khalifah ketiga dan keempat mulai diperkaya dan dipercantik. Pola yang dianut masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang, berdinding tembok tinggi yang di dalamnya terdapat shaan dan liwan.
Pada masa khalifah Umar telah ada usaha membangun kembali bangunan Masjidil Haram di Mekkah, meskipun masih dalam bentuk yang sederhana dan mengarah ke sifat fungsional. Selain itu, khalifah Umar juga membangun Masjid Kuffah (637 M) yang unik. Masjid ini tidak dibatasi dengan (finding tembok batu/tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan kolam air. Liwan-nya (tempat shalat) bertiang marmer yang konon berasal dari Kerajaan Parsi. Masjid ini kemudian diperbaiki oleh khalifah-khlaifah Bani Muawiyah/Ummaiyah (661-680 M), diantaranya: bangunan tambahan berupa riwaqs (serambi/selasar) di sekeliling shaan, serta dinding pembatas yang berupa kolam diganti dengan tembok keliling (670 M) (Wiryoprawiro 1986).
3. Masa Khalifah Bani Ummaiyah/Muawiyah Damaskus (661-750 M)
Pada pemerintahan Bani Ummaiyah pada tahun 661-750 M sistem pemerintahan yang demokratis telah banyak ditinggalkan dan berubah menjadi suatu kerajaan Islam meskipun para pemimpirmya masih menggunakan gelar khalifah. Pusat pemerintahan tidak lagi di Kuffah atau Madinah, tetapi dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria.
Saat pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Khalid al-Walid telah dibangun Masjid Jamik Damsyik yang mempunyai Shaan dan Riwaqs/Liwan. Pengamh Khalifah ini sangat luas, ke barat sampai di Spanyol dan Perancis Selatan; ke timur sampai ke India dan Samarkand.
Melihat kemegahan gedung-gedung Kristen dan Romawi maka tergugahlah semangatnya untuk membangun masjid yang megah maka dibangunnya Masjid Bani Ummaiyah. Sayangnya pada tahun 1483 masjid ini terbakar sebagian, dan kemudian oleh Sultan Malmuk dari Mesir dibangun kembali dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola clan organisasi ruang dari masjid ini amat berpengaruh pada pembangunan masjid bertiang banyak pada zaman kemudian, seperti Masjid Qiruan dekat Tunisia yang terkenal dengan menaranya yang tua.
Saat Khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa, dibangun Qubbah al-Sahra (Dome of the Rock) di Yerusalem, tempat Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra Mi'raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Bassilika di Constantinopel, Yerusalem/Palestina.
Secara umum bentuk bangunan masjid masa Khalifah Bani Ummaiyah masih memakai pola Masjid Kufah yang berciri: shaan, riwaqs, liwan yang bertembok keliling dan mempunyai satu kubah di dekat Mihrab. Sistem struktumya juga tetap memakai bentuk relung yang terbuat dari susunan batu cadas (arch/vault construction) yang diplester yang semakin diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometris dan atau motif tetumbuhan. Selain itu pada masa ini juga terdapat maksurah yaitu bilik yang berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang. Bilik ini diperuntukan Ichusus untuk para pembesar pada waktu shalat. Di dalam satu masjid bisa terdapat satu atau lebih maksurah. Fungsinya untuk menjaga keamanan khalifah dan gubemur-gubemur dari serangan tiba-tiba pihak musuh.
Pola tembok keliling dengan shaan (court) di tengahnya memang amat sesuai dengan arsitektur dan alam lingkungan setempat yang berildim subtropis. Kaidah keindahan (estetika) seperti: irama (rythm), keseimbangan (balance), tekanan (emphazise), proporsi (proportion), skala (scale), dan sebagainya sudah mendapatkan pengolahan yang cukup baik, meskipun sistem struktur pada saat itu didominasi oleh banyaknya kolom/pilar. Kesemuanya itu terlihat jelas pada bangunan Masjid Jamik Damsyik (Damaskus) dan Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Wiryoprawiro, 1986).
Spanyol (757-1236 M)
Cordova ibukota Khalifah Ummaiyah di Spanyol merupakan pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh Benua Eropa. Banyak orang Eropa yang menuntut ilmu di negeri Mi. Pada zaman ini dibangunlah perguruan-perguruan tinggi, perpustakaan-perpustakaan, rumah-rumah sakit dan bangunan lain yang megah. Di kota ini didirikan Masjid Jamik Cordoba yang indah. Relung¬relungnya dihias dengan motif geometris disertai pilar-pilar penyangga yang berjumlah ratusan. Memiliki empat kubah dan sebuah menara yang dibangun di halaman masjid (shaan).
Wujud budaya materi sudah maju, hal ini terlihat dari bentuk arsitektur masjidnya. Denah bangunan masjid masih tetap menggunakan pola masjd Jamik Kufah yang menggunakan struktur relung dan pilar (arch construction) dengan atap datar lengkap dengan shaan, riwaqs dan liwan serta kubah dan menara. Ragam hias berkembang dengan sangat kaya, rumit, dan artistik. Motif geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan dengan cermat. Sedang¬kan motif figuratif dan fauna tidak dikembangkan sebab kurang sesuai dengan ajaran Islam.
4. Masa Khalifah Bani Abbasiyah (750 -1258 M)
Pada masa ini pusat pemerintahan sudah jauh keluar dari jazirah Arab, yakni di kota Bagdad, Irak. Peradaban Islam sudah sangat maju, tidak hanya dari segi rohaniah tetapi juga dari segi lahiriahnya. Saat pemerintahan dipimpin oleh Abu Ja'far al-Mansyur (khalifah kedua), ilmu pengetahuan mendapat perhatian khusus. Kitab-kitab produk kerajaan Romawi dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. ilmu falak dan filsafat mulai digali dan dikembangkan. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma'mun. Bahkan pada masa Al-Ma'mun sampai clidirikan Majelis Ilmu Pengetahuan "Bait al-Hikmah", sehingga Bagdad tidak hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan. Dengan demikian telah timbul Renaissance Timur di dalam wilayah kaum muslim yang berpusat di Bagdad sekitar tahun 600 M, sebelum timbul Renaissance di Eropa Barat.
Bidang arsitektur pun maju pesat, selain dari segi ilmunya maupun dari segi wujud bangunannya. Karena saat itu banyak didatangkan ahli-ahli bangunan untuk memperbaiki dan membuat berbagai bangunan. Mereka datang dari: Mesir, Syria, Romawi Timur, Parsi dan bahkan ada yang berasal dari India, sehingga semakin memperkaya khasanah arsitektur di Bagdad, termasuk dalam hal arsitektur bangunan sarana ibadah seperti masjid.
Pola bangunan masjid dapat dikatakan sama dengan masa sebelumnya, hanya bentuk: menara, relung, dan ornamentasinya semakin kaya dan rumit. Saat itu tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang dikembangkan namun juga tata kota dan tata daerah-nya. Kota ditata dengan pola bundar (konsentris) dan yang menjadi titik tengahnya adalah masjid serta istana khalifah dengan alun-alunnya yang luas. Di luarnya terbentang melingkar daerah pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat (radial) yang berakhir di tembok/benteng kota dengan empat pintu gerbangnya.
5. Masa Dinasti Seljuk Asia Kecil
Penyebaran Islam di daerah ini telah dimulai sejak tahun 704 M setelah tentara Islam dan Bagdad yang dipimpin oleh Quthaibah al-Bahili berhasil menguasi Bukhara. Samarkand, dan Khawarizin. Kerajaan Bani Seljuk di Asia Kecil ini beribukota di Iconium atau yang kini dikenal dengan nama Konia. Sultan Alauddin merupakan Raja Bani Seljuk yang cukup besar jasanya dalam membangun kota ini. Bahkan kemudian terkenal di dunia barat lewat cerita 'Arabian Nights' atau Cerita 1001 Malam, serta cerita 'Aladin dengan Lampu Wasiatnya' (Israr 1958: 27).
Bentuk arsitektur masjid yang dibangun di kota ini awalnya menggunakan pola masjid Dunia Arab, namun kemudian mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu antara lain: semakin menghilangnya halaman dalam yang dikenal sebagai shaan, dan kemudian muncul semacam ventilasi udara di atapnya. Bentuk relung dengan tiang penyangga masih tetap ada, namun kemudian muncul ragam hias unik muyarnash yang selain dekoratifjuga berfungsi struktural. Ragam hias ini biasanya terdapat di kepala tiang, relung, maupun kubah yang bentuknya menyerupai sarang lebah bergantung atau bentuk stalaktit.
Persia
Perkembangan arsitektur masjid di Persia saat berada di bawah kekuasaan Bani Seljuk memang tidak begitu berbeda dengan masa sebelumnya, hanya terjadi pemakaian shaan dan penambahan ruangan-ruangan yang tentunya disesuaikan dengan iklim setempat (sub tropis) dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Di sekelilingnya terdapat riwaqs yang berkembang dengan kamar-kamar tempat kegiatan pendidikan keagamaan (madrasah). Di keempat sisi shaan-nya dibuat `kubah separuh' yang dihiasi dengan motif miiqarnas. Bangunan masjidnya ditutup dengan kubah-kubah yang besar berbentuk bawang terpancung. Menaranya dibuat berpasangan dengan bentuk silinder yang mencuat ke angkasa. Sedangkan bentuk relungnya mirip dengan lunas kapal yang terbalik, yang kemudian dikenal dengan nama Lengkung Persia (Persian arch ).
Masjid Syah merupakan salah satu masjid yang dapat dijadikan contoh untuk mewakili bentuk masjid di Persia. Masjid ini dibangun pada tahun 1610 M di Isfahan dan terletak di ujung kompleks Istana Syah. Bangunannya dilengkapi dengan ruang-ruang madrasah. Selain bangunan masjid, istana, dan madrasah , dibangun juga turbah (makam) yang indah-indah, seperti Turbah Sheik Sayifus di Ardabil. Kompleks bangunan seperti ini di kemudian hari rnernpengaruhi bangsa¬loangsa lam, seperti yang dilakukan oleh Syah Jehan yang membangun Turbah Taj Mahal di India.
6. Masa Dinasti Utsmaniah di Turki
Setelah dinasti Seljuk di Asia Kecil melemah dan akhimya dikalahkan oleh keturunan Ertoghrul pada tahun 1290 M, maka selanjutnya berkuasalah Sultan Utsman (1290-1326 M) di negeri ini. Kekuasaan Bani Utsmaniah ini berlangsung sampai berabad-abad, sehingga kemudian terkenal sebagai dinasti Utsmaniah di Turki (orang Barat menyebutnya Ottaman). Dinasti ini banyak membangun masjid, madrasah, dan perguruan tinggi. Bentuk arsitelcturnya masih melanjutkan arsitektur yang dibangun Bani Seljuk yang berkuasa sebelumnya. Atap berkubah mulai dominan sehingga atap yang dulunya berbentuk datar itu cenderung bertutupkan kubah.
Pada tahun 1453 M kota Konstantinopel (ibukota imperium Romawi Timur) yang dulunya be mama Byzantium dapat direbut dan dikuasai, kemudian diganti namanya menjadi Istambul. Arsitektur Byzantium yang megah banyak mempengaruhi perkembangn arsitektur Bani Utsmaniah. Seperti Gereja Aya Sofia merupakan bangunan di tengah kota Istambul yang banyak dikagumi oleh umat Islam. Bangunan ini memiliki kubah lebar (diametemya 30 m) dan tinggi (54 m), dan menjadi inspirasi bagi Bani Utsmaniah dalam membangun masjid-masjid. Selanjutnya fungsi Aya Sofia yang sebelumnya gereja diubah menjadi masjid. Ornamen-ornamen atau lukisan yang tidak sesuai dihilangkan dan diganti dengan yang bemafaskan Islam. Di keempat penjurunya kemudian dibangun empat buah menara yang langsing menjulang tinggi.
Pada kurun Istambul ini banyak didirikan masjid yang megah. Ruang liwan yang dilindungi oleh kubah-kubah besar menjadi Ionggar apalagi kemudian kubah itu disangga oleh pilar yang caul) langsing (bukan sistem tembok pemikul lagi) menjadikan ruang ini terasa menyatukan jamaahnya dan juga jelas orientasi kiblatnya. Masjid-masjid tersebut diantaranya adalah Masjid Sultan Sulaiman (1555 M) dan Masjid Sultan Ahmad di Istambul.
Dari uraian sebelumnya secara umum dapatlah disimpulkan bahwa bangunan-bangunan masjid sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan Dinasti Utsmaniah memiliki pola dasar yang dapat dikatakan sama, yaitu: bertembok keliling, memiliki halaman dalam (shaan), memiliki ruang masjid (liwan), memiliki serambi keliling (riwaqs), memiliki atap datar yang disangga oleh relung dan pilar, memiliki kubah, memiliki ceruk di tembok (mihrab), dan memiliki satu atau lebih menara. Disamping itu, terdapat komponen lainnya yang bentuknya mengikuti perkembangan jaman, jadi mengalami perbaikan-perbaikan, baik dari segi: omamentasi, bahan, maupun keletakannya. Sebagian diantaranya adalah mimbar dan ruangan-ruangan tambahan (madrasah, ruang buat petugas masjid, mck, perpustakaan, dan lain-lain).
B. Arsitektur Masjid Kuno di Indonesia
Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana. Sehingga keberadaannya kurang mendapat perhatian dalam literatur-literatur umumnya yang memaparkan arsitektural Islam di seluruh dunia. Padahal kemegahan arsitekural masa sebelumnya (sebelum Islam masuk ke Indonesia) sangatlah menonjol, hal ini dapat kita saksikan pada karya-karya bangunan suci seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Fenomena ini tentunya sangatlah menarik untuk dikaji, sebab ada suatu asumsi bahwa arsitektur masjid suatu tempat/wilayah seringkali dipengaruhi oleh kondisi setempat, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk.
Menurut Wiyoso Vudoseputro (1986: 13) hal tersebut dikarenakan gairah mencipta karya seni tidak begitu raja muncul, artinya perlu ada rangsangan. Rupa-rupanya kondisi kebudayaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan dan peperangan yang terus¬menerus antar-kekuasaan dan melawan kekuasaan asing dapat mengurangi gairah mencipta. Keadaan tersebut menjadikan arsitektur kuno Islam di Indonesia seakan-akan kembali kepada tradisi bangunan kayu.
Pendapat di atas sebelumnya pernah disampaikan oleh Sutjipto Wirjosuparto (1961-1962: 65-67). la mengatakan bahwa tradisi bangunan kayu merupakan tradisi yang berasal dari masa prasejarah, masa sebelum masyarakat Indonesia menerima pengaruh Hindu-Budha yang kemudian mengenalkan konstruksi batu dalam bidang seni bangunan.
Berdasarkan bentuknya, W.F. Stutterheim berpendapat bahwa ruang-ruang yang kecil atau sempit pada candi tidak mungkin dapat dijadikan model sebuah masjid yang memerlukan ruang besar guna keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, is berpendapat bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) sebagai model masjid. Bangunan ini ialah bangunan khas dari masa pm-Islam yang kini masih ditemukan di Bali. Denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi¬sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada sisi barat diberi bagian mihrab, maka jadilah is memenuhi syarat sebagai bangunan masjid (Stutterheim 1953: 153-140).
H.J. de Graaf menyanggah pendapat di atas, menurutnya tidaklah mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan tempat menyambung ayam sebagai model masjid. Selain itu wantilan atapnya tidak bertingkat seperti atap masjid kuno, hanya ditemukan di Jawa dan Bali, serta tidak memiliki serambi. la mengajukan pendapat bahwa model masjid-masjid kuno di Indonesia berasal dari wilayah Gujarat, Kashmir, dar Vishir (116). Bukti yang memperkuat pendapatnya adalah hasil telaahrrya atas urataa data Nog clitsmat dell Jan Huygens van Linschoten (seorang Belanda yang mengunjungi lira pada abed X1) tentang masjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat sena beratap an** Sahh satu dari tingkat tersebut digunakan untuk belajar asama. Hal demikian ditemukan jugs olleh Graaf pada Masjid Taluk, Sumatera Barat (Graaf 1947/1848: 298). Berdasarkan data banding inilah is kemudian menggeneralisasilcamlya untuk seluruh masjid tradisional di Indonesia hingga menghasilkan teori seperti di atas.
Teori Graaf disanggah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang rnengatalcan bahwa hasil perbandingannya tidak tepat. Menurutnya kendati sama-sama memiliki atap bertingkat, namun terdapat perbedaan prinsipil antara masjid di Malabar dan Masjid Taluk tersebut. Masjid di Malabar mempunyai denah empat persegi panjang, sedangkan masjid di Taluk berdenah bujur sangkar. Sementara itu masjid di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang berbentuk pant, sebaliknya hal itu ditemukan di Taluk.
Selanjutnya Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya sebagai model masjid-masjid tua di Indonesia.
Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih Bari atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar (Wirjosuparto 1961/1962; 1986).
Menyinggung tentang persamaan-persamaan yang ada pada masjid di. Malabar dan di Taluk, Sutjipto menjelaskan bahwa memang telah terjadi `pertumbuhan yang sejajar' diantara keduanya (India dan Indonesia) pada waktu itu. Ini disebabkan di kedua tempat itu bangunan mandapa telah sama-sama dimodifikasi menjadi bagian Bari suatu rumah untuk kemudian dijadikan dasar bangunan masjid. Jadi sekali lagi persamaan-persamaan itu tidaklah berarti masjid di Taluk mencontoh masjid di Malabar.
Sedangkan menurut C.F. Pijper (1992: 24), Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe Jawa ialah:
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi;
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;
3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab;
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;
6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat;
8. Dibangun di sebelah barat alun-alun;
9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;
10.Dibangun dari bahan yang mudah rusak;
11. Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;
12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja).
Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa masjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Fondasi yang berbentuk persegi itu dikenal juga dalam bangunan Hindu-Jawa, yaitu: candi yang masih terdapat di Pulau Jawa. Kemudian, candi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fondasi, candi itu sendiri, dan atap. Tidak sulit untuk melihat bahwa dasar fondasi masjid yang padat itu merupakan sisa bentuk fondasi candi. Fondasi ini selalu ada pada setiap masjid.
Bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola bangunan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan di puncaknya terdapat hiasan. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Kita hams mengembalikannya kepada meru di Bali, menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).
Mungkin atap yang tinggi itu dahulu terdapat di Jawa, tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti yang terdapat di Bali, maka atap itu mudah musnah dan dilupakan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694, mengatakan: voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat) (Pijper 1992: 25).
Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar', tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang kemudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi
Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat ma§jid. Contohnya makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya. Makam yang sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti: pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah makam Sunan Gin di Gresik. Demikian pula makam Sunan Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara. Makam¬makam yang lebih kecil kerapkali terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatianom, Surakarta.
Serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambahan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab, semuanya tanpa serambi. Juga tidak ada serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.
Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.
Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.
Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.
Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang-kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.
Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.
Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.
Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.
Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.
Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.
Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil sambung-menyambung dari bawah sampai ke atas. Begitu juga Masjid Asasi Nagari Gunung, Padangpanjang yang beratapkan ijuk yang meruncing, bersusun tiga tingkat dengan teratur.
Masjid Pontianak. Masjid ini merupakan salah satu masjid kuno di Kalimantan Barat yang menggunakan konstruksi kayu, berdiri di atas tiang, dan terletak di pinggir sungai. Secara umum, di Kalimantan Barat dan Selatan banyak didapati masjid-masjid yang dibangun di pinggir sungai, karena sungai merupakan salah satu sarana transportasi yang pertting. Model atapnya bertingkat¬tingkat dengan lapisan atasnya dibentuk menyerupai kubah yang unik, sehingga mirip bangunan sebuah lonceng. Kubah ini dikelilingi oleh empat buah kubah kecil yang lain pada tiap-tiap sudut masjid. Kubah-kubah kecil itu sepintas lalu menyerupai menara tempat azan.
Karena air. sungai sering pasang-surut, maka jalan dari tepi sungai ke masjid cukup sukar. Maka dibuat jembatan yang panjang dari pinggir sungai sampai ke pintu masjid itu, dan di ujung jembatannya disediakan sebuah pangkalan yang diberi atap, tempat orang turun naik ke dalam perahu.
Di Sulawesi, Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid kuno yang banyak dikunjungi masyarakat. Atapnya tumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Di antara tiap-tiap tingkatan atap terdapat jendela kaca.
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Masjid Kuno Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto : http://www.budpar.go.id
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang sekarang disebut benda cagar budaya, diantaranya berupa masjid-masjid kuno. Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia meskipun sederhana, tetapi memiliki ciri khas lokal yang terlihat pada komponen-¬komponen bangunannya. Tetapi sebelum membahasnya, sebaiknya kita melihat perkembangan arsitektur masjid secara umum pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah pelanjutnya agar mendapatkan gambaran arsitektur masjid pada awal perkembangan agama Islam agama Islam.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (610-632 M)
Pada awal da'wah agama Islam di Mekkah, hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menata kembali dan membina kebudayaan dalam wujud akal pikiran (sistem nilai dan gagasan), serta dalam wujud tingkah laku, yaitu memberikan ajaran : keimanan, Akhlak, dan ibadah. Keberadaan Masjidil Haram yang sangat penting artinya bagi umat Islam karena terdapat Ka'bah di tengah-tengahnya, belum dapat digunakan sepenuhnya oleh Nabi dan pengikutnya, sebab digunakan juga sebagai tempat ritual kepercayaan masyarakat setempat. Jadi ajaran yang menyangkut bidang duniawi wujud kebudayaan fisik, seperti tempat ibadah, belum mendapat perhatian khusus.
Perjuangan Nabi mendapat tantangan yang keras dari kaum kafir Quraisy di Mekkah, maka akhirnya Nabi dan para pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriyah). Sesampainya di Quba, Nabi beristirahat selama empat hari (Senin s.d. Kamis), dan pada hari pertama kedatangannya itu pula ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Quba.
Masjid Quba awalnya merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi, pada sisi utaranya yang memanjang timur barat didirikan bangunan untuk ibadah shalat (biasa disebut al-maghata). Pada saat itu bangunannya masih sangat sederhana tiang-tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah daun kurma yang dicampur/pleester dengan tanah liat. Mimbamya terbuat dari potongan batang-batang pohon kurma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih menindih. Tanda kiblat yang menjacli tujuan arah pada waktu shalat dibuat oleh Nabi dengan memakai bahan batu yang dimintanya dari penduduk Quba.
Meskipun sangat sederhana, masjid ini bisa dianggap sebagai contoh awal bentuk dari masjid-masjid yang didirikan oleh ummat Islam selanjutnya. Memiliki ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya, serta di sebelah utaranya terdapat serambi untuk tempat shalat. Di tengah-tengah lapangan terbuka dalam masjid itu (biasa disebut shaan), terdapat sebuah sumur tempat berwudhu. Masjid ini telah mengalami beberapa kali perbaikan. Sekarang, temboknya terbuat dari batu, berkubah , dan memiliki menara. Dihiasi dengan dekorasi-dekorasi yang indah, ditambah, ditambah tiang batu dan kayu yang megah. Meskipun secara ornamental dan bahan yang digunakan mengalami banyak perubahan, tetapi denah awalnya tidak berubah.
Di Madinah ia membangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama seperti Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi, sebagian berupa halaman dalam (shaan) dan sebagian lagi berbentuk bangunan (liwan). Pola awal ini memang cenderung fungsional sesuai kebutuhan yang diajarkan oleh Nabi, untuk menampung kegiatan ibadah maupun muamalah.
Di sebelah selatan masjid ini terdapat suatu ruangan asrama untuk para musafir dan fakir miskin, serta ruangan tempat Nabi mengajar umatnya. Sedangkan di sebelah timur dibangun rumah sederhana buat isteri-isteri Nabi. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini diperluas dan dibangun kembali oleh Khalifah Khalid al-Walid tahun 706 M.
2. Masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka pimpinan umat Islam dijabat oleh khalifah-khalifah yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi, yakni empat orang khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin; mereka adalah: Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan All bin Abu Thalib.
Produk budaya materi berupa sarana ibadah, masjid, pada masa Khulafaur Rasyidin tidaklah banyak. Perjuangan utama mereka dalam hal mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diajarkan Nabi. Masjid-masjid didirikan dalam bentuk yang fungsional, baru pada khalifah ketiga dan keempat mulai diperkaya dan dipercantik. Pola yang dianut masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang, berdinding tembok tinggi yang di dalamnya terdapat shaan dan liwan.
Pada masa khalifah Umar telah ada usaha membangun kembali bangunan Masjidil Haram di Mekkah, meskipun masih dalam bentuk yang sederhana dan mengarah ke sifat fungsional. Selain itu, khalifah Umar juga membangun Masjid Kuffah (637 M) yang unik. Masjid ini tidak dibatasi dengan (finding tembok batu/tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan kolam air. Liwan-nya (tempat shalat) bertiang marmer yang konon berasal dari Kerajaan Parsi. Masjid ini kemudian diperbaiki oleh khalifah-khlaifah Bani Muawiyah/Ummaiyah (661-680 M), diantaranya: bangunan tambahan berupa riwaqs (serambi/selasar) di sekeliling shaan, serta dinding pembatas yang berupa kolam diganti dengan tembok keliling (670 M) (Wiryoprawiro 1986).
3. Masa Khalifah Bani Ummaiyah/Muawiyah Damaskus (661-750 M)
Pada pemerintahan Bani Ummaiyah pada tahun 661-750 M sistem pemerintahan yang demokratis telah banyak ditinggalkan dan berubah menjadi suatu kerajaan Islam meskipun para pemimpirmya masih menggunakan gelar khalifah. Pusat pemerintahan tidak lagi di Kuffah atau Madinah, tetapi dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria.
Saat pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Khalid al-Walid telah dibangun Masjid Jamik Damsyik yang mempunyai Shaan dan Riwaqs/Liwan. Pengamh Khalifah ini sangat luas, ke barat sampai di Spanyol dan Perancis Selatan; ke timur sampai ke India dan Samarkand.
Melihat kemegahan gedung-gedung Kristen dan Romawi maka tergugahlah semangatnya untuk membangun masjid yang megah maka dibangunnya Masjid Bani Ummaiyah. Sayangnya pada tahun 1483 masjid ini terbakar sebagian, dan kemudian oleh Sultan Malmuk dari Mesir dibangun kembali dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola clan organisasi ruang dari masjid ini amat berpengaruh pada pembangunan masjid bertiang banyak pada zaman kemudian, seperti Masjid Qiruan dekat Tunisia yang terkenal dengan menaranya yang tua.
Saat Khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa, dibangun Qubbah al-Sahra (Dome of the Rock) di Yerusalem, tempat Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra Mi'raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Bassilika di Constantinopel, Yerusalem/Palestina.
Secara umum bentuk bangunan masjid masa Khalifah Bani Ummaiyah masih memakai pola Masjid Kufah yang berciri: shaan, riwaqs, liwan yang bertembok keliling dan mempunyai satu kubah di dekat Mihrab. Sistem struktumya juga tetap memakai bentuk relung yang terbuat dari susunan batu cadas (arch/vault construction) yang diplester yang semakin diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometris dan atau motif tetumbuhan. Selain itu pada masa ini juga terdapat maksurah yaitu bilik yang berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang. Bilik ini diperuntukan Ichusus untuk para pembesar pada waktu shalat. Di dalam satu masjid bisa terdapat satu atau lebih maksurah. Fungsinya untuk menjaga keamanan khalifah dan gubemur-gubemur dari serangan tiba-tiba pihak musuh.
Pola tembok keliling dengan shaan (court) di tengahnya memang amat sesuai dengan arsitektur dan alam lingkungan setempat yang berildim subtropis. Kaidah keindahan (estetika) seperti: irama (rythm), keseimbangan (balance), tekanan (emphazise), proporsi (proportion), skala (scale), dan sebagainya sudah mendapatkan pengolahan yang cukup baik, meskipun sistem struktur pada saat itu didominasi oleh banyaknya kolom/pilar. Kesemuanya itu terlihat jelas pada bangunan Masjid Jamik Damsyik (Damaskus) dan Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Wiryoprawiro, 1986).
Spanyol (757-1236 M)
Cordova ibukota Khalifah Ummaiyah di Spanyol merupakan pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh Benua Eropa. Banyak orang Eropa yang menuntut ilmu di negeri Mi. Pada zaman ini dibangunlah perguruan-perguruan tinggi, perpustakaan-perpustakaan, rumah-rumah sakit dan bangunan lain yang megah. Di kota ini didirikan Masjid Jamik Cordoba yang indah. Relung¬relungnya dihias dengan motif geometris disertai pilar-pilar penyangga yang berjumlah ratusan. Memiliki empat kubah dan sebuah menara yang dibangun di halaman masjid (shaan).
Wujud budaya materi sudah maju, hal ini terlihat dari bentuk arsitektur masjidnya. Denah bangunan masjid masih tetap menggunakan pola masjd Jamik Kufah yang menggunakan struktur relung dan pilar (arch construction) dengan atap datar lengkap dengan shaan, riwaqs dan liwan serta kubah dan menara. Ragam hias berkembang dengan sangat kaya, rumit, dan artistik. Motif geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan dengan cermat. Sedang¬kan motif figuratif dan fauna tidak dikembangkan sebab kurang sesuai dengan ajaran Islam.
4. Masa Khalifah Bani Abbasiyah (750 -1258 M)
Pada masa ini pusat pemerintahan sudah jauh keluar dari jazirah Arab, yakni di kota Bagdad, Irak. Peradaban Islam sudah sangat maju, tidak hanya dari segi rohaniah tetapi juga dari segi lahiriahnya. Saat pemerintahan dipimpin oleh Abu Ja'far al-Mansyur (khalifah kedua), ilmu pengetahuan mendapat perhatian khusus. Kitab-kitab produk kerajaan Romawi dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. ilmu falak dan filsafat mulai digali dan dikembangkan. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma'mun. Bahkan pada masa Al-Ma'mun sampai clidirikan Majelis Ilmu Pengetahuan "Bait al-Hikmah", sehingga Bagdad tidak hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan. Dengan demikian telah timbul Renaissance Timur di dalam wilayah kaum muslim yang berpusat di Bagdad sekitar tahun 600 M, sebelum timbul Renaissance di Eropa Barat.
Bidang arsitektur pun maju pesat, selain dari segi ilmunya maupun dari segi wujud bangunannya. Karena saat itu banyak didatangkan ahli-ahli bangunan untuk memperbaiki dan membuat berbagai bangunan. Mereka datang dari: Mesir, Syria, Romawi Timur, Parsi dan bahkan ada yang berasal dari India, sehingga semakin memperkaya khasanah arsitektur di Bagdad, termasuk dalam hal arsitektur bangunan sarana ibadah seperti masjid.
Pola bangunan masjid dapat dikatakan sama dengan masa sebelumnya, hanya bentuk: menara, relung, dan ornamentasinya semakin kaya dan rumit. Saat itu tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang dikembangkan namun juga tata kota dan tata daerah-nya. Kota ditata dengan pola bundar (konsentris) dan yang menjadi titik tengahnya adalah masjid serta istana khalifah dengan alun-alunnya yang luas. Di luarnya terbentang melingkar daerah pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat (radial) yang berakhir di tembok/benteng kota dengan empat pintu gerbangnya.
5. Masa Dinasti Seljuk Asia Kecil
Penyebaran Islam di daerah ini telah dimulai sejak tahun 704 M setelah tentara Islam dan Bagdad yang dipimpin oleh Quthaibah al-Bahili berhasil menguasi Bukhara. Samarkand, dan Khawarizin. Kerajaan Bani Seljuk di Asia Kecil ini beribukota di Iconium atau yang kini dikenal dengan nama Konia. Sultan Alauddin merupakan Raja Bani Seljuk yang cukup besar jasanya dalam membangun kota ini. Bahkan kemudian terkenal di dunia barat lewat cerita 'Arabian Nights' atau Cerita 1001 Malam, serta cerita 'Aladin dengan Lampu Wasiatnya' (Israr 1958: 27).
Bentuk arsitektur masjid yang dibangun di kota ini awalnya menggunakan pola masjid Dunia Arab, namun kemudian mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu antara lain: semakin menghilangnya halaman dalam yang dikenal sebagai shaan, dan kemudian muncul semacam ventilasi udara di atapnya. Bentuk relung dengan tiang penyangga masih tetap ada, namun kemudian muncul ragam hias unik muyarnash yang selain dekoratifjuga berfungsi struktural. Ragam hias ini biasanya terdapat di kepala tiang, relung, maupun kubah yang bentuknya menyerupai sarang lebah bergantung atau bentuk stalaktit.
Persia
Perkembangan arsitektur masjid di Persia saat berada di bawah kekuasaan Bani Seljuk memang tidak begitu berbeda dengan masa sebelumnya, hanya terjadi pemakaian shaan dan penambahan ruangan-ruangan yang tentunya disesuaikan dengan iklim setempat (sub tropis) dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Di sekelilingnya terdapat riwaqs yang berkembang dengan kamar-kamar tempat kegiatan pendidikan keagamaan (madrasah). Di keempat sisi shaan-nya dibuat `kubah separuh' yang dihiasi dengan motif miiqarnas. Bangunan masjidnya ditutup dengan kubah-kubah yang besar berbentuk bawang terpancung. Menaranya dibuat berpasangan dengan bentuk silinder yang mencuat ke angkasa. Sedangkan bentuk relungnya mirip dengan lunas kapal yang terbalik, yang kemudian dikenal dengan nama Lengkung Persia (Persian arch ).
Masjid Syah merupakan salah satu masjid yang dapat dijadikan contoh untuk mewakili bentuk masjid di Persia. Masjid ini dibangun pada tahun 1610 M di Isfahan dan terletak di ujung kompleks Istana Syah. Bangunannya dilengkapi dengan ruang-ruang madrasah. Selain bangunan masjid, istana, dan madrasah , dibangun juga turbah (makam) yang indah-indah, seperti Turbah Sheik Sayifus di Ardabil. Kompleks bangunan seperti ini di kemudian hari rnernpengaruhi bangsa¬loangsa lam, seperti yang dilakukan oleh Syah Jehan yang membangun Turbah Taj Mahal di India.
6. Masa Dinasti Utsmaniah di Turki
Setelah dinasti Seljuk di Asia Kecil melemah dan akhimya dikalahkan oleh keturunan Ertoghrul pada tahun 1290 M, maka selanjutnya berkuasalah Sultan Utsman (1290-1326 M) di negeri ini. Kekuasaan Bani Utsmaniah ini berlangsung sampai berabad-abad, sehingga kemudian terkenal sebagai dinasti Utsmaniah di Turki (orang Barat menyebutnya Ottaman). Dinasti ini banyak membangun masjid, madrasah, dan perguruan tinggi. Bentuk arsitelcturnya masih melanjutkan arsitektur yang dibangun Bani Seljuk yang berkuasa sebelumnya. Atap berkubah mulai dominan sehingga atap yang dulunya berbentuk datar itu cenderung bertutupkan kubah.
Pada tahun 1453 M kota Konstantinopel (ibukota imperium Romawi Timur) yang dulunya be mama Byzantium dapat direbut dan dikuasai, kemudian diganti namanya menjadi Istambul. Arsitektur Byzantium yang megah banyak mempengaruhi perkembangn arsitektur Bani Utsmaniah. Seperti Gereja Aya Sofia merupakan bangunan di tengah kota Istambul yang banyak dikagumi oleh umat Islam. Bangunan ini memiliki kubah lebar (diametemya 30 m) dan tinggi (54 m), dan menjadi inspirasi bagi Bani Utsmaniah dalam membangun masjid-masjid. Selanjutnya fungsi Aya Sofia yang sebelumnya gereja diubah menjadi masjid. Ornamen-ornamen atau lukisan yang tidak sesuai dihilangkan dan diganti dengan yang bemafaskan Islam. Di keempat penjurunya kemudian dibangun empat buah menara yang langsing menjulang tinggi.
Pada kurun Istambul ini banyak didirikan masjid yang megah. Ruang liwan yang dilindungi oleh kubah-kubah besar menjadi Ionggar apalagi kemudian kubah itu disangga oleh pilar yang caul) langsing (bukan sistem tembok pemikul lagi) menjadikan ruang ini terasa menyatukan jamaahnya dan juga jelas orientasi kiblatnya. Masjid-masjid tersebut diantaranya adalah Masjid Sultan Sulaiman (1555 M) dan Masjid Sultan Ahmad di Istambul.
Dari uraian sebelumnya secara umum dapatlah disimpulkan bahwa bangunan-bangunan masjid sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan Dinasti Utsmaniah memiliki pola dasar yang dapat dikatakan sama, yaitu: bertembok keliling, memiliki halaman dalam (shaan), memiliki ruang masjid (liwan), memiliki serambi keliling (riwaqs), memiliki atap datar yang disangga oleh relung dan pilar, memiliki kubah, memiliki ceruk di tembok (mihrab), dan memiliki satu atau lebih menara. Disamping itu, terdapat komponen lainnya yang bentuknya mengikuti perkembangan jaman, jadi mengalami perbaikan-perbaikan, baik dari segi: omamentasi, bahan, maupun keletakannya. Sebagian diantaranya adalah mimbar dan ruangan-ruangan tambahan (madrasah, ruang buat petugas masjid, mck, perpustakaan, dan lain-lain).
B. Arsitektur Masjid Kuno di Indonesia
Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana. Sehingga keberadaannya kurang mendapat perhatian dalam literatur-literatur umumnya yang memaparkan arsitektural Islam di seluruh dunia. Padahal kemegahan arsitekural masa sebelumnya (sebelum Islam masuk ke Indonesia) sangatlah menonjol, hal ini dapat kita saksikan pada karya-karya bangunan suci seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Fenomena ini tentunya sangatlah menarik untuk dikaji, sebab ada suatu asumsi bahwa arsitektur masjid suatu tempat/wilayah seringkali dipengaruhi oleh kondisi setempat, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk.
Menurut Wiyoso Vudoseputro (1986: 13) hal tersebut dikarenakan gairah mencipta karya seni tidak begitu raja muncul, artinya perlu ada rangsangan. Rupa-rupanya kondisi kebudayaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan dan peperangan yang terus¬menerus antar-kekuasaan dan melawan kekuasaan asing dapat mengurangi gairah mencipta. Keadaan tersebut menjadikan arsitektur kuno Islam di Indonesia seakan-akan kembali kepada tradisi bangunan kayu.
Pendapat di atas sebelumnya pernah disampaikan oleh Sutjipto Wirjosuparto (1961-1962: 65-67). la mengatakan bahwa tradisi bangunan kayu merupakan tradisi yang berasal dari masa prasejarah, masa sebelum masyarakat Indonesia menerima pengaruh Hindu-Budha yang kemudian mengenalkan konstruksi batu dalam bidang seni bangunan.
Berdasarkan bentuknya, W.F. Stutterheim berpendapat bahwa ruang-ruang yang kecil atau sempit pada candi tidak mungkin dapat dijadikan model sebuah masjid yang memerlukan ruang besar guna keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, is berpendapat bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) sebagai model masjid. Bangunan ini ialah bangunan khas dari masa pm-Islam yang kini masih ditemukan di Bali. Denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi¬sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada sisi barat diberi bagian mihrab, maka jadilah is memenuhi syarat sebagai bangunan masjid (Stutterheim 1953: 153-140).
H.J. de Graaf menyanggah pendapat di atas, menurutnya tidaklah mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan tempat menyambung ayam sebagai model masjid. Selain itu wantilan atapnya tidak bertingkat seperti atap masjid kuno, hanya ditemukan di Jawa dan Bali, serta tidak memiliki serambi. la mengajukan pendapat bahwa model masjid-masjid kuno di Indonesia berasal dari wilayah Gujarat, Kashmir, dar Vishir (116). Bukti yang memperkuat pendapatnya adalah hasil telaahrrya atas urataa data Nog clitsmat dell Jan Huygens van Linschoten (seorang Belanda yang mengunjungi lira pada abed X1) tentang masjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat sena beratap an** Sahh satu dari tingkat tersebut digunakan untuk belajar asama. Hal demikian ditemukan jugs olleh Graaf pada Masjid Taluk, Sumatera Barat (Graaf 1947/1848: 298). Berdasarkan data banding inilah is kemudian menggeneralisasilcamlya untuk seluruh masjid tradisional di Indonesia hingga menghasilkan teori seperti di atas.
Teori Graaf disanggah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang rnengatalcan bahwa hasil perbandingannya tidak tepat. Menurutnya kendati sama-sama memiliki atap bertingkat, namun terdapat perbedaan prinsipil antara masjid di Malabar dan Masjid Taluk tersebut. Masjid di Malabar mempunyai denah empat persegi panjang, sedangkan masjid di Taluk berdenah bujur sangkar. Sementara itu masjid di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang berbentuk pant, sebaliknya hal itu ditemukan di Taluk.
Selanjutnya Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya sebagai model masjid-masjid tua di Indonesia.
Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih Bari atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar (Wirjosuparto 1961/1962; 1986).
Menyinggung tentang persamaan-persamaan yang ada pada masjid di. Malabar dan di Taluk, Sutjipto menjelaskan bahwa memang telah terjadi `pertumbuhan yang sejajar' diantara keduanya (India dan Indonesia) pada waktu itu. Ini disebabkan di kedua tempat itu bangunan mandapa telah sama-sama dimodifikasi menjadi bagian Bari suatu rumah untuk kemudian dijadikan dasar bangunan masjid. Jadi sekali lagi persamaan-persamaan itu tidaklah berarti masjid di Taluk mencontoh masjid di Malabar.
Sedangkan menurut C.F. Pijper (1992: 24), Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe Jawa ialah:
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi;
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;
3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab;
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;
6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat;
8. Dibangun di sebelah barat alun-alun;
9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;
10.Dibangun dari bahan yang mudah rusak;
11. Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;
12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja).
Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa masjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Fondasi yang berbentuk persegi itu dikenal juga dalam bangunan Hindu-Jawa, yaitu: candi yang masih terdapat di Pulau Jawa. Kemudian, candi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fondasi, candi itu sendiri, dan atap. Tidak sulit untuk melihat bahwa dasar fondasi masjid yang padat itu merupakan sisa bentuk fondasi candi. Fondasi ini selalu ada pada setiap masjid.
Bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola bangunan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan di puncaknya terdapat hiasan. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Kita hams mengembalikannya kepada meru di Bali, menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).
Mungkin atap yang tinggi itu dahulu terdapat di Jawa, tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti yang terdapat di Bali, maka atap itu mudah musnah dan dilupakan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694, mengatakan: voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat) (Pijper 1992: 25).
Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar', tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang kemudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi
Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat ma§jid. Contohnya makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya. Makam yang sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti: pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah makam Sunan Gin di Gresik. Demikian pula makam Sunan Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara. Makam¬makam yang lebih kecil kerapkali terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatianom, Surakarta.
Serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambahan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab, semuanya tanpa serambi. Juga tidak ada serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.
Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.
Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.
Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.
Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang-kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.
Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.
Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.
Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.
Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.
Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.
Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil sambung-menyambung dari bawah sampai ke atas. Begitu juga Masjid Asasi Nagari Gunung, Padangpanjang yang beratapkan ijuk yang meruncing, bersusun tiga tingkat dengan teratur.
Masjid Pontianak. Masjid ini merupakan salah satu masjid kuno di Kalimantan Barat yang menggunakan konstruksi kayu, berdiri di atas tiang, dan terletak di pinggir sungai. Secara umum, di Kalimantan Barat dan Selatan banyak didapati masjid-masjid yang dibangun di pinggir sungai, karena sungai merupakan salah satu sarana transportasi yang pertting. Model atapnya bertingkat¬tingkat dengan lapisan atasnya dibentuk menyerupai kubah yang unik, sehingga mirip bangunan sebuah lonceng. Kubah ini dikelilingi oleh empat buah kubah kecil yang lain pada tiap-tiap sudut masjid. Kubah-kubah kecil itu sepintas lalu menyerupai menara tempat azan.
Karena air. sungai sering pasang-surut, maka jalan dari tepi sungai ke masjid cukup sukar. Maka dibuat jembatan yang panjang dari pinggir sungai sampai ke pintu masjid itu, dan di ujung jembatannya disediakan sebuah pangkalan yang diberi atap, tempat orang turun naik ke dalam perahu.
Di Sulawesi, Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid kuno yang banyak dikunjungi masyarakat. Atapnya tumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Di antara tiap-tiap tingkatan atap terdapat jendela kaca.
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Masjid Kuno Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto : http://www.budpar.go.id