Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Masjid Tua Palopo, Kolaborasi Unsur Budaya Luar dan Lokal


Oleh: Asdhar

Secara umum, terdapat dua tradisi yang menghiasi cara keagamaan masyarakat Sulawesi Selatan, yakni kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, dan kepercayaan yang bersumber dari Islam.

Keduanya membentuk cara pandang dan pola pikir masyarakat Sulawesi Selatan yang diekspresikan melalui simbol-simbol dan tanda-tanda kebudayaan yang mereka ciptakan. Salah satu simbol hasil kolaborasi antara warisan lokal dengan Islam adalah arsitektur, seperti arsitektur Masjid Tua Palopo.

Masjid Tua Palopo dibangun sekitar tahun 1604 M oleh seorang ulama dari Sumatra Barat Datuk Sulaiman yang bergelar Datuk Pattimang. Dinamakan Masjid Tua Palopo karena usianya cukup tua, sekarang telah mencapai 5 abad, dan letaknya di Kota Palopo. Secara historis, masjid ini berdiri di saat Kerajaan Luwu, yang telah memeluk Islam, mencapai kejayaannya di bawah kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi, Sultan Abdullah Matinroe.

Oleh masyarakat setempat, Masjid Tua Palopo dinilai sebagai pemersatu antar anggota masyarakat berdasarkan kesamaan agama. Ajaran Islam senapas dengan konsep hidup masyarakat lokal, yaitu siri' dan pesse . Siri' berarti harga diri atau martabat sebagai seorang manusia. Sementara pesse bermakna sikap sepenanggungan, seperasaan, kesetiakawanan terhadap sesama manusia.

Oleh karena itu, ketika Islam hadir di Sulawesi Selatan, masyarakat setempat menerimanya secara damai. Diciptakanlah simbol pemersatu berdasarkan konsep lokal dan Islam berupa masjid, tempat ibadah di mana persatuan, persamaan, dan tenggang rasa dapat tercipta. Tampak jelas, agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini mengakar kuat dalam sanubari Masyarakat Sulawesi Selatan dan menjadi alat integrasi sosial yang ampuh.

Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m, dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.

Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.

Atap Masjid Tua Palopo berbentuk piramida beratap tiga dan di puncaknya terdapat tempayan keramik yang merepresentasikan keesaan Tuhan. Konsep atap yang demikian itu memiliki kemiripan dengan atap joglo pada bangunan di Jawa, yang juga dikenal dengan nama tajug.

Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini. Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun demikian, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.

Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90 cm. Keempat tiang tersebut dalam konsep Jawa disebut sokoguru. Sementara itu, atap paling atas ditopang dengan satu tiang terbuat dari kayu yang sama. Dalam kearifan lokal Sulawesi Selatan, satu tiang penyangga atap paling atas yang didukung oleh empat tiang lainnya merefleksikan yang sentral ( wara ) dikelilingi oleh unsur-unsur lain di luar yang sentral ( palili ).

Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m2.

Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebuda-yaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.

Sumber : http://artikelpopuler.com
Foto : http://4.bp.blogspot.com