Oleh : Darmanto Jatman
- Nut jaman kelakone!
Elinga kandane Bilung: Ora ana dadi ana
Sing ana iku dudu.
Masih ingat kan tembang dari Sunan Kalijaga: “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh ayu luputa ing baya / Luputa bilahi kabeh...”.
Sebagai ekspresi pengalaman yang indah, bebas dan jujur, kesenian telah berkata “ya!” pada kehidupan; bahkan kesenian merayakan kehidupan, termasuk tentu saja seni pertunjukan yang memelihara harkat dan martabat manusia, sembari dengan temen, tulus dan ikhlas menjaga manusia menjalani siklus hidupnya: Metu, Manten, Mati : Sangkan¬Parannya! Melaksanakan darmanya memadukan Manusia, Jagad dan Tuhannya. Para sesepuh kita selalu mengingatkan bahwa pertunjukkan wayang purwa itu bukan sekedar tontonan, tapi juga tuntunan. Kekhusyukan orang nonton wayang kulit tidaklah berkurang karena “guyon parikena” yang tergelar disana – sekalipun seringkali imbuhan pesan-pesan pembangunan etcetera – telah menjadikan seni pertunjukkan itu jadi demikian “padat pesan” penuh tendensi !
Kesenian memang menjanjikan kualitas hidup yang lebih baik; termasuk bila ia melancarkan kritik terhadap karakter-karakter yang secara normatif disukai atau sebaliknya diselaki oleh khalayak. (Yang dimaksud khalayak disini bukan hanya dalang, waranggana, penabuh, penonton, tapi juga yang punya hajat (penanggap) ). Tidak berlebihan bila para penonton disebut “ndelok” (kendel alok) dan berhak pulang sembari tetembangan “Petis Manis” (Kecap), ati-ati yen ngucap, supaya ora diurak khalayak. Jazuli (Prof. Dr) dengan tlesih meneliti perubahan pewayangan diantara berbagai macam dalang, yang menunjukkan pluralisme dan relativisme sebagai roh yang diperlukan dalam setiap pertunjukkan. (“Siapa bilang dalang pakem tidak menanggapi konteks jamannya?!”).
Karena itu, bila akhir-akhir ini muncul dalang pop yang membatasi masa pertunjukkannya hanya dua jam saja (seperti bioskop yang secara teoritis dan empiris memperhitungkan psikologi penonton) baik dalam acara pertunjukkan di televisi maupun dihadapan turis mancanegara yang punya semangat lihat sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya – dalang itu bolehlah kita bela sebagai shaman yang “empan papan, among mongsa” jauh dari tudingan “melik nggendong lali”. (Berbeda dengan pertunjukkan “Mahakarya Borobudur” yang dianggap memarjinalkan penari-penari lokal seputar Borobudur).
Makna Kala
Cara bodon, yang dimaksud “kala” adalah waktu. Waktu magis, mistis, mitis. Bathara Kala seperti yang terungkap dalam Murwakala, bukan saja anak nafsu Bathara Guru pada permaisurinya Uma ketika mereka berboncengan bercengkerma naik lembu Andini melanglang buana di angkasa raya. Mani Bathara Guru itu jatuh ke laut dan menjadi denawa maha srakah yang dinamai Bathara Kala. Itulah sifat Bathara Kala ketika dilahirkan. (Gawan Bayi). Ia makan apa saja seperti dorongan hasrat nafsu aluamahnya. Sebagai ayahnya, Bathara Guru melindungi anaknya dengan menerakan rajah dijidatnya “Ya maraja Jaramaya / Ya Marani Niramaya / Ya Silapa Pasiya / Ya Sihama Mahasiya...”. Praktis tidak ada makhluk yang bisa membinasakan Bathara Kala. Nah, dalam Murwakala itulah Bathara Wisnu yang berkewajiban untuk menjaga isi dunia menjadi dalang Kandabuwana yang bertugas untuk membebaskan orang yang sukerta dari mangsa Bathara Kala. Itulah sebabnya “kala” difahamkan sebagai kekuatan srakah yang menghabisi dunia (!).
Nenek moyang kita membagi-bagi kontinum waktu dalam beberapa tahap, seperti Kala Suba, Kala Bendu, Kala Yuga – yang biasa kita fahami sebagai “jaman” seperti yang amat terkenal ya “jaman edan” dalam seratan R. M. Ng. Ronggowarsita. Sementara beberapa sarjana dunia memilah-milah jaman dalam beberapa jaman: Pertama adalah jaman “rural agraris” ketika manusia sepenuhnya menyatu dengan alam dan tergantung alam. Sikap kulturalnya atau tunduk, takut, atau memuja, mengagumi: Ajrih-Asih. Sebagian besar karya seni Jawa diproduksi pada jaman ini, termasuk wayang purwa. Bukan hanya wayang, ketoprak, bahkan kratonpun diciptakan dalam jaman ini – sehingga tidak sedikit ahli kejawen menganggap Jawa, eh, Indonesia sebagai lokus berkembangnya budaya teater. Ethok-ethok. Termasuk Budaya Seremonial. Bila anak-anak hanya membutuhkan panggung “sagodong kelor”, ketika mereka mulai memainkan dolanan “Soyang-soyang” (Batik plangi duk Semarang / Ya ya boo ya ya nong), panggung itu meluas bagai destar Aji Saka, memenuhi desa, sampai kota sampai kemana-mana. Bila mestinya panggung itu cuma selebar pendapa, ia menembus batas-batas ketika “Ciet Ciet Trunojoyo dibebencet”. Seluas jagad raya bisa jadi ringkes selebar layar wayang purwa, ketika Arjuna kasmaran sama Dewi Supraba.
Di panggung yang “mulur-mungkret” itulah para dalang memainkan lakon “Begawan Ciptaning” atau “Dewa Ruci”.
Maka datanglah jaman “urban-industrial”, ketika kemudian muncul wayang orang populer Ngesti Pandhowo Sastrosabdo, Nartosabdo di Semarang, atau Kethoprak Mataram Tjokrojiyo di Yogya. Tradisi (Jawa) itu kuasa betul, sehingga mampu “mancala putra¬mancala putri” ketika jaman rural agraris berubah menjadi urban industrial. Gamelan yang setara orkes besar Barat lengkap, mengalami “transformasi” jadi cokekan, bahkan kemudian berpadu dengan kroncong melahirkan “Campursari” dan melahirkan “local genius” seperti Didi Kempot. Pada masa “urban industrial” ini mulailah dikenal film, tape recorder, televisi dan melahirkan perpaduan-perpaduan baru yang “menggoncangkan dunia”. Film-film “Indie” bukan sekedar film produksi Hollywood yang dipas-paskan dengan situasi dan kondisi (capaian teknologi) Jawa. “Opera Jawa” karya sutradara Garin Nugroho jelas merupakan “genre” baru film dunia (!); bukan sekedar film dengan resep Hollywood (Sexy, Sensual, Spektakular, Sensasional) yang di Indonesiakan. Jawa memperlihatkan keunggulan bolehnya “memadu-madukan yang tak terpadukan” (akulturasi, inkulturasi, sinkresi).
Tentu, dalam berbagai hal, terbukti bahwa karya-karya seni itu hanyalah sekedar “imitasi” (seperti dulu terkenal “payung fantasi” yang kemudian dikenal pula “atom” – termasuk “sabuk atom”). Para sutradara kita cuma tiru-tiru teater Barat waktu memainkan repertoar seperti Hamlet, misalnya – sampai kemudian pelan-pelan lahirlah naskah-naskah “orisinal” seperti yang ditulis Arifin C. Noor atau N. Riantiarno!
Lalu kitapun memasuki jaman “komunikasi global”. Melalui hitec komunikasi budaya media (media culture) dengan cepat merebak keseluruh dunia. Kecantikan eksotik blasteran tidak hanya melahirkan Sophia Latjuba atau Tamara Blezinsky di Indonesia, tetapi juga Madonna, Agvillera. Kecantikan eksotik yang tidak diketemukan pada para “lokalis”. Sebuah radio swasta niaga di Jawa Tengahpun mempergunakan semboyan “think globally, act locally” seperti yang biasa diserukan oleh para “pejalan budaya” (maksudnya kaum intelektual yang belajar keluar). Muncullah gejala-gejala “post industrial” yang segera dilecut dengan “sekolah Frankfurt” serta kemudian “postmodernism” yang terkenal itu. Seorang posmodernis Indonesia mencirikan posmo sebagai penolakan terhadap hegemoni “grand theories”: Semua gejala muncul serba serentak. “Tidakkah pluralisme sudah menjadi fitrah budaya Jawa?!” (dan dengan demikian Jawa sudah posmo?!).
Nah. Akhir-akhir ini dalam psikologi mulai kita dengar SQ (Spiritual Quotient) yang belum begitu lama diluncurkan oleh Dannah Zohar. Sebelum itu Daniel Goleman meluncurkan “EQ” (Emotional Quotient); sementara jauh sebelum itu, pada masa Perang Dunia pertama, telah muncul IQ (Intelectual Quotient) yang mengukuhkan kecerdasan (rasional) sebagai fitrah manusia yang berbeda-beda (dan berkelas-kelas). Tidaklah mengherankan apabila banyak antropolog mewacanakan datangnya jaman baru, yakni jaman “Spiritual Humanistik” untuk membedakannya dengan jaman tempo dulu – yang boleh dibilang “spiritual naturalistik”, ketika Jawa masih diliputi mitos, magi, mistik (kosmis¬religius).
Banyak orang Jawa (fundamentalis?!) percaya bahwa jamannya kejawen baru telah tiba.
Bener?!
Keberuntungan Seni Pertunjukkan
Memasuki milenium ketiga Kate Ludeman CS menulis buku “Spiritual Management”. Dengan berani dia bilang bahwa lebih mudah ketemu sufi dipuncak manajemen perusahaan besar di Amerika Serikat ketimbang di vihara, masjid atau gereja. Kate Ludeman menyatakan bahwa kualitas spiritualitas (telah) menjadi ciri utama manajemen mutakhir. Artinya, keadilan, kejujuran, ketemenan dan berbagai kualitas kerokhanian telah menjadi ciri manajemen yang berhasil.
Spiritualitas telah menjadi “trendy”, apalagi ketika Indonesia mengalami berbagai bencana yang terus-menerus, serta masa depan menjadi semakin suram. Pada pengkolan waktu, kemampuan spiritual, transpersonal manusia telah menjadi andalan utama – dalam bahasa Lik Towi keberuntungan – (bahasa Gombloh “tuk wahyuning Allah”) – inilah yang diidamkan para aktivis seni pertunjukkan, yakni membawa pepadang, dijalan rahayu. (Dalam bahasa Savitri: Eling, Pracaya, Mituhu).
Kreativitas multimedia agaknya akan menjadi pilihan para pejoang seni pertunjukkan untuk mencapai “keberuntungan kerokhanian” yang tidak tersergap dimensi-dimensi yang “mutually exclusive” kayata: Film yang mematikan acting vice versa.
Sumber :
Makalah disampaikan pada kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.
- Nut jaman kelakone!
Elinga kandane Bilung: Ora ana dadi ana
Sing ana iku dudu.
Masih ingat kan tembang dari Sunan Kalijaga: “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh ayu luputa ing baya / Luputa bilahi kabeh...”.
Sebagai ekspresi pengalaman yang indah, bebas dan jujur, kesenian telah berkata “ya!” pada kehidupan; bahkan kesenian merayakan kehidupan, termasuk tentu saja seni pertunjukan yang memelihara harkat dan martabat manusia, sembari dengan temen, tulus dan ikhlas menjaga manusia menjalani siklus hidupnya: Metu, Manten, Mati : Sangkan¬Parannya! Melaksanakan darmanya memadukan Manusia, Jagad dan Tuhannya. Para sesepuh kita selalu mengingatkan bahwa pertunjukkan wayang purwa itu bukan sekedar tontonan, tapi juga tuntunan. Kekhusyukan orang nonton wayang kulit tidaklah berkurang karena “guyon parikena” yang tergelar disana – sekalipun seringkali imbuhan pesan-pesan pembangunan etcetera – telah menjadikan seni pertunjukkan itu jadi demikian “padat pesan” penuh tendensi !
Kesenian memang menjanjikan kualitas hidup yang lebih baik; termasuk bila ia melancarkan kritik terhadap karakter-karakter yang secara normatif disukai atau sebaliknya diselaki oleh khalayak. (Yang dimaksud khalayak disini bukan hanya dalang, waranggana, penabuh, penonton, tapi juga yang punya hajat (penanggap) ). Tidak berlebihan bila para penonton disebut “ndelok” (kendel alok) dan berhak pulang sembari tetembangan “Petis Manis” (Kecap), ati-ati yen ngucap, supaya ora diurak khalayak. Jazuli (Prof. Dr) dengan tlesih meneliti perubahan pewayangan diantara berbagai macam dalang, yang menunjukkan pluralisme dan relativisme sebagai roh yang diperlukan dalam setiap pertunjukkan. (“Siapa bilang dalang pakem tidak menanggapi konteks jamannya?!”).
Karena itu, bila akhir-akhir ini muncul dalang pop yang membatasi masa pertunjukkannya hanya dua jam saja (seperti bioskop yang secara teoritis dan empiris memperhitungkan psikologi penonton) baik dalam acara pertunjukkan di televisi maupun dihadapan turis mancanegara yang punya semangat lihat sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya – dalang itu bolehlah kita bela sebagai shaman yang “empan papan, among mongsa” jauh dari tudingan “melik nggendong lali”. (Berbeda dengan pertunjukkan “Mahakarya Borobudur” yang dianggap memarjinalkan penari-penari lokal seputar Borobudur).
Makna Kala
Cara bodon, yang dimaksud “kala” adalah waktu. Waktu magis, mistis, mitis. Bathara Kala seperti yang terungkap dalam Murwakala, bukan saja anak nafsu Bathara Guru pada permaisurinya Uma ketika mereka berboncengan bercengkerma naik lembu Andini melanglang buana di angkasa raya. Mani Bathara Guru itu jatuh ke laut dan menjadi denawa maha srakah yang dinamai Bathara Kala. Itulah sifat Bathara Kala ketika dilahirkan. (Gawan Bayi). Ia makan apa saja seperti dorongan hasrat nafsu aluamahnya. Sebagai ayahnya, Bathara Guru melindungi anaknya dengan menerakan rajah dijidatnya “Ya maraja Jaramaya / Ya Marani Niramaya / Ya Silapa Pasiya / Ya Sihama Mahasiya...”. Praktis tidak ada makhluk yang bisa membinasakan Bathara Kala. Nah, dalam Murwakala itulah Bathara Wisnu yang berkewajiban untuk menjaga isi dunia menjadi dalang Kandabuwana yang bertugas untuk membebaskan orang yang sukerta dari mangsa Bathara Kala. Itulah sebabnya “kala” difahamkan sebagai kekuatan srakah yang menghabisi dunia (!).
Nenek moyang kita membagi-bagi kontinum waktu dalam beberapa tahap, seperti Kala Suba, Kala Bendu, Kala Yuga – yang biasa kita fahami sebagai “jaman” seperti yang amat terkenal ya “jaman edan” dalam seratan R. M. Ng. Ronggowarsita. Sementara beberapa sarjana dunia memilah-milah jaman dalam beberapa jaman: Pertama adalah jaman “rural agraris” ketika manusia sepenuhnya menyatu dengan alam dan tergantung alam. Sikap kulturalnya atau tunduk, takut, atau memuja, mengagumi: Ajrih-Asih. Sebagian besar karya seni Jawa diproduksi pada jaman ini, termasuk wayang purwa. Bukan hanya wayang, ketoprak, bahkan kratonpun diciptakan dalam jaman ini – sehingga tidak sedikit ahli kejawen menganggap Jawa, eh, Indonesia sebagai lokus berkembangnya budaya teater. Ethok-ethok. Termasuk Budaya Seremonial. Bila anak-anak hanya membutuhkan panggung “sagodong kelor”, ketika mereka mulai memainkan dolanan “Soyang-soyang” (Batik plangi duk Semarang / Ya ya boo ya ya nong), panggung itu meluas bagai destar Aji Saka, memenuhi desa, sampai kota sampai kemana-mana. Bila mestinya panggung itu cuma selebar pendapa, ia menembus batas-batas ketika “Ciet Ciet Trunojoyo dibebencet”. Seluas jagad raya bisa jadi ringkes selebar layar wayang purwa, ketika Arjuna kasmaran sama Dewi Supraba.
Di panggung yang “mulur-mungkret” itulah para dalang memainkan lakon “Begawan Ciptaning” atau “Dewa Ruci”.
Maka datanglah jaman “urban-industrial”, ketika kemudian muncul wayang orang populer Ngesti Pandhowo Sastrosabdo, Nartosabdo di Semarang, atau Kethoprak Mataram Tjokrojiyo di Yogya. Tradisi (Jawa) itu kuasa betul, sehingga mampu “mancala putra¬mancala putri” ketika jaman rural agraris berubah menjadi urban industrial. Gamelan yang setara orkes besar Barat lengkap, mengalami “transformasi” jadi cokekan, bahkan kemudian berpadu dengan kroncong melahirkan “Campursari” dan melahirkan “local genius” seperti Didi Kempot. Pada masa “urban industrial” ini mulailah dikenal film, tape recorder, televisi dan melahirkan perpaduan-perpaduan baru yang “menggoncangkan dunia”. Film-film “Indie” bukan sekedar film produksi Hollywood yang dipas-paskan dengan situasi dan kondisi (capaian teknologi) Jawa. “Opera Jawa” karya sutradara Garin Nugroho jelas merupakan “genre” baru film dunia (!); bukan sekedar film dengan resep Hollywood (Sexy, Sensual, Spektakular, Sensasional) yang di Indonesiakan. Jawa memperlihatkan keunggulan bolehnya “memadu-madukan yang tak terpadukan” (akulturasi, inkulturasi, sinkresi).
Tentu, dalam berbagai hal, terbukti bahwa karya-karya seni itu hanyalah sekedar “imitasi” (seperti dulu terkenal “payung fantasi” yang kemudian dikenal pula “atom” – termasuk “sabuk atom”). Para sutradara kita cuma tiru-tiru teater Barat waktu memainkan repertoar seperti Hamlet, misalnya – sampai kemudian pelan-pelan lahirlah naskah-naskah “orisinal” seperti yang ditulis Arifin C. Noor atau N. Riantiarno!
Lalu kitapun memasuki jaman “komunikasi global”. Melalui hitec komunikasi budaya media (media culture) dengan cepat merebak keseluruh dunia. Kecantikan eksotik blasteran tidak hanya melahirkan Sophia Latjuba atau Tamara Blezinsky di Indonesia, tetapi juga Madonna, Agvillera. Kecantikan eksotik yang tidak diketemukan pada para “lokalis”. Sebuah radio swasta niaga di Jawa Tengahpun mempergunakan semboyan “think globally, act locally” seperti yang biasa diserukan oleh para “pejalan budaya” (maksudnya kaum intelektual yang belajar keluar). Muncullah gejala-gejala “post industrial” yang segera dilecut dengan “sekolah Frankfurt” serta kemudian “postmodernism” yang terkenal itu. Seorang posmodernis Indonesia mencirikan posmo sebagai penolakan terhadap hegemoni “grand theories”: Semua gejala muncul serba serentak. “Tidakkah pluralisme sudah menjadi fitrah budaya Jawa?!” (dan dengan demikian Jawa sudah posmo?!).
Nah. Akhir-akhir ini dalam psikologi mulai kita dengar SQ (Spiritual Quotient) yang belum begitu lama diluncurkan oleh Dannah Zohar. Sebelum itu Daniel Goleman meluncurkan “EQ” (Emotional Quotient); sementara jauh sebelum itu, pada masa Perang Dunia pertama, telah muncul IQ (Intelectual Quotient) yang mengukuhkan kecerdasan (rasional) sebagai fitrah manusia yang berbeda-beda (dan berkelas-kelas). Tidaklah mengherankan apabila banyak antropolog mewacanakan datangnya jaman baru, yakni jaman “Spiritual Humanistik” untuk membedakannya dengan jaman tempo dulu – yang boleh dibilang “spiritual naturalistik”, ketika Jawa masih diliputi mitos, magi, mistik (kosmis¬religius).
Banyak orang Jawa (fundamentalis?!) percaya bahwa jamannya kejawen baru telah tiba.
Bener?!
Keberuntungan Seni Pertunjukkan
Memasuki milenium ketiga Kate Ludeman CS menulis buku “Spiritual Management”. Dengan berani dia bilang bahwa lebih mudah ketemu sufi dipuncak manajemen perusahaan besar di Amerika Serikat ketimbang di vihara, masjid atau gereja. Kate Ludeman menyatakan bahwa kualitas spiritualitas (telah) menjadi ciri utama manajemen mutakhir. Artinya, keadilan, kejujuran, ketemenan dan berbagai kualitas kerokhanian telah menjadi ciri manajemen yang berhasil.
Spiritualitas telah menjadi “trendy”, apalagi ketika Indonesia mengalami berbagai bencana yang terus-menerus, serta masa depan menjadi semakin suram. Pada pengkolan waktu, kemampuan spiritual, transpersonal manusia telah menjadi andalan utama – dalam bahasa Lik Towi keberuntungan – (bahasa Gombloh “tuk wahyuning Allah”) – inilah yang diidamkan para aktivis seni pertunjukkan, yakni membawa pepadang, dijalan rahayu. (Dalam bahasa Savitri: Eling, Pracaya, Mituhu).
Kreativitas multimedia agaknya akan menjadi pilihan para pejoang seni pertunjukkan untuk mencapai “keberuntungan kerokhanian” yang tidak tersergap dimensi-dimensi yang “mutually exclusive” kayata: Film yang mematikan acting vice versa.
Sumber :
Makalah disampaikan pada kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.