Oleh : Santhyami, Dr.Endah Sulistyawati
School of Life Science & Technology, Bandung Institute of Technology, Indonesia
Jl. Ganesa No. 10 Bandung, Indonesia 40132 Phone: +62 22 251 1575, 250 0258
Fax: +62 22 253 4107
Email: santhyami @yahoo.com or endah@sith.itb.ac.id
Abstract
This study aims to document the medicinal plants and their use for traditional healing by the people of Kampung Dukuh, Garut, West Java, Indonesia. The method used was acombination between the qualitative and quantitative approach. Qualitative approach was conducted at the beginning to observe the knowledge of the indigenous peoples about traditional healing in general. Quantitative approach was done to collect data particularly on the medicinal plant species, location where the plants were obtained and the usage. Data were collected by using semi-structured interview. Specimens were collected from the growing sites with the help of key informants. Analysis was done by two main approaches:
medicinal anthropology and medicinal ethnobotany. They classified diseases into three types: common disease, illness by magic and disease caused by food. 137 species from 52 families of plants were reported to be used by them as medicines. Most of species used for medicines was for birth curing. They obtained plants from five locations; kebon (garden), leuweung (forest), buruan (home yard), side of road, and huma (dry farm). This research indicates that they have a specific system of using medicinal plants. They can integrate the culture of using plant medicine with the conservation effort of local biodiversity.
Keywords: Medicinal plants; Ethnobotany; Kampung Dukuh
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan jenis-jenis tumbuhan obat yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat kampung Dukuh dan cara pemanfaatannya. Metoda yang dilakukan pada penelitian ini adalah kombinasi antara metoda penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada saat observasi awal untuk menggali pengetahuan umum penduduk kampung Dukuh tentang pengobatan tradisional. Setelah observasi awal, dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tentang tumbuhan obat kepada penduduk dengan cara wawancara semi terstruktur. Setelah pengumpulan data, dilakukan pengumpulan spesimen tumbuhan yang diambil langsung dari lokasi tumbuhnya tumbuhan didampingi oleh informan kunci. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bandungense SITH-ITB. Analisis dilakukan dengan dua pendekatan utama yaitu pendekatan antropologi obat dan etnobotani obat. Penduduk kampung Dukuh mengklasifikasikan penyakit menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena makanan. Tercatat 137 jenis tumbuhan dari 52 suku yang digunakan oleh penduduk kampung Dukuh sebagai obat. Tumbuhan obat paling banyak digunakan untuk perawatan ibu melahirkan. Penduduk mendapatkan 137 jenis tumbuhan obat tersebut dari lima lokasi yaitu kebon, leuweung (hutan), buruan (pekarangan rumah), pinggir jalan, dan huma.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk kampung Dukuh memiliki kekhasan dalam sistem pemanfaatan tumbuhan obat dimana mereka mampu mengintegrasikan budaya pemanfaatan tumbuhan sebagai obat dengan upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati setempat.
1. Peuanndahul
Di negara Indonesia, sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang, jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001, 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, 31,7% diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional, dan 9,8% memilih cara pengobatan tradisional lainnya.
Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Namun adanya modernisasi budaya dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (Bodeker, 2000). Kecenderungan ini juga terjadi pada komunitas tradisional di Indonesia.
Salah satu komunitas yang telah menunjukkan gejala degradasi pengetahuan tradisional antar generasi ini adalah masyarakat kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat. Menurut penelitian Dwiartama (2005), pengetahuan tradisional masyarakat kampung Kuta tentang tumbuhan obat dalam kondisi terancam punah.
Di Indonesia khususnya propinsi Jawa Barat, salah satu daerah yang masih menjaga tradisi leluhur atau karuhun adalah penduduk kampung Dukuh, Kabupaten Garut. Selain menjaga tradisi, penduduk kampung Dukuh juga sangat menghargai sekaligus berguru pada alam sehingga mereka memiliki potensi pengetahuan yang besar tentang tumbuhan obat.
Penelitian tentang pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga sangat berpotensi untuk menemukan jenis tumbuhan obat baru yang diharapkan dapat diteliti lebih lanjut oleh ahli farmasi dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat luas.
2. Metode Penelitian
2.1 Studi Area
Penelitian dilakukan di kampung Dukuh, yang secara administratif termasuk dalam kawasan Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Jarak kampung Dukuh dari pusat pemerintahan Kabupaten Garut sekitar 100 km. Ketinggian kampung Dukuh adalah sekitar 390 m di atas permukaan laut. Kampung Dukuh berada di tanah miring, di lereng Gunung Dukuh. Secara georafis kampung Dukuh terletak pada 7° - 8° LS dan 70 - 108° BT (Lubis, 2006).
Luas keseluruhan Kampung Dukuh adalah 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian dari kampung Dukuh Landeuh, 1 hektar bagian dari kampung Dukuh Tonggoh dan sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi. Di dalam kampung Dukuh juga terdapat area yang disebut dengan wilayah Karomah yang merupakan area pemakaman. Penduduk kampung Dukuh terdiri dari 108 kepala keluarga dengan 520 jumlah jiwa. Mata pencaharian penduduk kampung Dukuh adalah bertani, beternak ayam dan memelihara ikan.
2.2 Survey Etnobotani
Secara garis besar metoda yang dilakukan pada penelitian ini merupakan gabungan metoda penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan cara observasi. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif moderat dimana peneliti terlibat dalam beberapa kegiatan sehari-hari informan seperti berkebun dan ikut serta dalam rapat adat, namun tidak mengikuti seluruh kegiatan penduduk seharian (Sugiyono, 2007). Pada tahap ini juga dilakukan wawancara terbuka. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam observasi awal ini adalah metoda purposive sampling yaitu teknik pemilihan informan dengan pertimbangan tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling tahu tentang tumbuhan obat (Sugiyono, 2007). Tokoh yang dipilih melalui metoda ini untuk diwawancarai adalah kuncen (kepala adat kampung Dukuh) dan paraji (dukun beranak). Dari observasi awal ini diketahui data-data calon informan untuk tahap selanjutnya yang layak diwawancarai berdasarkan rekomendasi kuncen dan paraji.
Setelah observasi awal, dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tentang tumbuhan obat kepada penduduk dengan cara wawancara semi terstruktur (Martin, 1995). Pemilihan informan pada tahap wawancara ini dilakukan dengan metoda snowball sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan rekomendasi informan kunci dalam hal ini kuncen dan paraji. Informasi tentang calon informan berikutnya didapat dari informan sebelumnya (Sugiyono, 2007). Sesudah pengumpulan data, dilakukan pengumpulan spesimen tumbuhan yang diambil langsung di lokasi tumbuhnya dengan dibantu oleh seorang informan kunci. Spesimen dikoleksi, difoto dan diidentifikasi. Analisis dilakukan dalam dua bentuk pendekatan yaitu pendekatan antropologi medikal dan pendekatan etnobotani medikal.
3. Hasil
3.1 Pendekatan Antropologi Medikal
Penduduk kampung Dukuh mengklasifikasikan penyakit menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena makanan. Penyakit biasa adalah penyakit yang umum diderita oleh penduduk seperti demam, batuk, sakit badan dan sakit kepala yang timbul akibat perubahan cuaca atau kuman penyakit. Penyakit karena magis diyakini oleh penduduk timbul akibat pelanggaran tata cara hidup di alam seperti halnya penyakit gila, ayan atau lumpuh. Penyakit selanjutnya menurut penduduk kampung Dukuh disebabkan karena makanan yang tidak sehat.
Terdapat tiga bentuk pengobatan yang digunakan oleh penduduk untuk mengobati penyakit yaitu tatangkalan atau pengobatan dengan tumbuhan, obat warung, dan jampe. Untuk mengobati penyakit biasa, sebagian penduduk masih menggunakan tumbuhan obat walaupun sebagian sudah beralih pada penggunaan obat warung. Namun demikian penduduk masih mengetahui berbagai macam tumbuhan untuk pengobatan.
Tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan yang paling baik tentang tumbuhan obat di kampung Dukuh adalah paraji. Peran paraji di kampung Dukuh bukan hanya menolong kelahiran bayi tetapi juga melayani pengobatan penyakit-penyakit yang biasa diderita oleh penduduk. Dalam pengobatannnya, paraji memberikan resep berupa komposisi ramuan tumbuhan untuk mengobati penyakit. Paraji juga sengaja menanami pekarangan rumahnya dengan tumbuhan obat untuk dimanfaatkan oleh penduduk. Penyakit karena pengaruh magis diobati penduduk dengan bantuan kuncen. Dalam melakukan penyembuhan, kuncen berdoa dan membacakan jampi-jampi. Khusus untuk kampung Dukuh, kuncen tidak menggunakan tumbuhan obat yang spesifik dalam penyembuhan penyakit. Kuncen hanya mengunakan media cai (air) dan biji beras yang telah didoakan.
3.2 Pendekatan Etnobotani Medikal
3.2.1 Tumbuhan dan Kegunaannya sebagai Obat
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penduduk kampung Dukuh mengenal 137 jenis tumbuhan obat dari 52 suku. Jenis tumbuhan terbanyak adalah dari suku Zingiberaceae (14 jenis) dan selanjutnya dari suku Poaceae (11 jenis), suku Asteraceae (6 jenis), suku Suku Euphorbiaceae (6 jenis) dan suku Solanaceae (6 jenis). Dari 137 jenis tumbuhan total yang digunakan untuk pengobatan, proporsi jumlah jenis tumbuhan terbesar dimanfaatkan untuk perawatan kesehatan ibu melahirkan yaitu sebanyak 41 jenis tumbuhan.
3.2.2 Bagian Tumbuhan yang Digunakan dan Cara Pengolahannya
Bagian-bagian tumbuhan digunakan oleh penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah akar, batang, biji, buah, bunga, daun, rimpang dan umbi. Bagian yang paling banyak digunakan penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah bagian daun.
Bagian tumbuhan yang digunakan
Akar
Batang
Biji
Buah
Bunga
Daun
Rimpang
Semua bagian
Umbi
Sebagian besar pengobatan tradisional dengan tumbuhan di kampung Dukuh hanya menggunakan satu bagian dari suatu tumbuhan, misalnya bagian daunnya saja atau bagian umbinya saja, sedangkan bagian-bagian lain dari tumbuhan tersebut tidak digunakan. Contoh tumbuhan yang hanya dimanfaatkan satu bagian tersebut antara lain seperti Ageratum conyzoides L. (daun), Physalis angulata L. (daun), Kaempferia galanga L. (rimpang), Oryza sativa L. (var.) formaglutinosa (buah) dan Alstonia scholaris (L.)R.Br. (batang). Walaupun demikian terdapat beberapa jenis tumbuhan yang hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Tumbuhan-tumbuhan tersebut antara lain seperti Imperata cylindrica (Ness)C.E.Hubb. yang akar dan batangnya digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit seperti kencing manis, maag, nyeri pinggang, sakit badan dan tonikum. Selain itu juga dikenal Carica papaya L. yang hampir semua bagian tumbuhan ini dapat digunakan mulai dari akar, daun, getah daun, batang, buah, bahkan biji untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti hipotensi, malaria, perawatan setelah melahirkan, melancarkan ASI, sakit badan, sakit gigi, sakit kepala dan berkhasiat sebagai tonikum.
Secara umum bentuk pengobatan di kampung Dukuh dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu jenis pengobatan luar dan jenis pengobatan dalam. Jenis-jenis penyakit dengan menggunakan pengobatan luar adalah seperti sakit kulit, sakit gigi, permasalahan telinga dan sakit mata. Pengobatan dalam adalah jenis pengobatan dengan memakan atau meminum olahan dari tumbuh-tumbuhan obat. Penyakit dengan pengobatan dalam ini antara lain seperti penyakit demam dan masalah pencernaan.
Cara pengobatan luar bervariasi berdasarkan jenis penyakitnya. Umumnya jenis pengobatan luar ini menggunakan komposisi tumbuhan tunggal. Untuk luka dan sakit kulit, bagian tumbuhan yang banyak digunakan adalah daun dan dari satu jenis tumbuhan.
Sebagian besar cara pengolahan tumbuhannya hanya ditumbuk dan kemudian dilulurkan pada bagian yang sakit. Contohnya untuk penyembuhan luka karena penyakit diabetes akut. Penduduk menyembuhkan luka tersebut dengan tumbuhan Dysoxylum decandrum Merr. Beberapa orang penduduk kampung Dukuh sudah membudidayakannya di kebon dan leuweng karena mereka percaya bahwa tumbuhan ini sangat ampuh untuk mengobati penyakit luka karena diabetes.
Untuk pengobatan dalam, penduduk kampung Dukuh mengolah tumbuhan tersebut dengan dua cara, yaitu direbus atau diparut untuk kemudian diambil sari tumbuhannya. Pada umumnya, komposisi tumbuhan dalam pengobatan dalam ini lebih dari satu jenis tumbuhan. Misalnya untuk minuman tonikum, penduduk merebus berbagai jenis tumbuhan seperti rimpang empat jenis koneng yaitu Curcuma xanthorriza Roxb., Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe, Curcuma aeruginosa Roxb. dan Curcuma domestica Vahl, daun Physalis angulata L., Blumea balsamifera (L.)D.C., Orthosiphon aristatus (BI.) Miq., Eupatorium odoratum, akar Carica papaya L., Imperata cylindrica, Areca catechu L., kulit batang Allamanda cathartica L. dan batang Tinospora tubreculata Beumee.
3.2.3 Tata Cara Perawatan Kesehatan Melahirkan
Di kampung Dukuh, seorang ibu hamil akan mendatangi paraji pada masa kehamilan empat bulan. Pada masa ini, paraji menyarankan ibu hamil untuk meminum ramuan penambah stamina seperti air parutan rimpang Curcuma domestica Vahl. yang dicampur dengan madu atau telur ayam kampung. Pada masa kehamilan tujuh bulan, ibu hamil mendatangi paraji secara berkala, karena pada masa ini paraji mulai melakukan pemijatan untuk memperbaiki posisi bayi dalam rahim. Sebelum melahirkan, pasien dianjurkan untuk meminum air rebusan Ceiba petandra (L.) Gaertn.yang berkhasiat melancarkan kelahiran.
Paraji kemudian membalurkan minyak klentik serta Alium cepa L. dan Zingiber purpureum Roxb. yang telah ditumbuk ke perut pasien. Efeknya, pasien akan merasakan mulas sehingga proses kelahiran akan berlangsung lebih cepat. Satu hari setelah melahirkan, pasien diberi ramuan olahan paraji yang dikenal dengan sebutan ramuan opat puluh rupi yang terdiri dari 40 jenis tumbuhan yang telah dikeringkan dan ditumbuk halus. Ramuan ini diseduh dengan air hangat dan diminum oleh pasien sebanyak satu sendok tiga kali sehari. Tumbuhan penyusun ramuan opat puluh rupi terdiri dari berbagai jenis rimpang: Kaempferia galanga L, Zingiber officinale Roxb., Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe, Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht., dan Zingiber zerumbet (L.)J.E.Smith; berbagai jenis akar: Cocos nucifera L, Areca catechu L, Physalis angulata L., Stachytarpheta indica (L.) Vahl., Imperata cylindrica (Ness)C.E.Hubb. dan Arenga pinnata (Wurmb.) Merr; kulit batang: Alstonia scholaris (L.)R.Br.dan Allamanda cathartica L.; serta sejumlah jenis daun: Blumea balsamifera (L.)D.C., Dolichandrone spathecea (L.f.)K. Schum., Musaenda frondosa L., Erythrina subumbrans (Hassk.)Merr. dan Cymbopogon citratus (DC.)Stapf.. Pendarahan setelah melahirkan diatasi dengan meminum air rebusan Piper
betle dan Euphorbia hirta L. atau air bekas cucian ketan hideung Oryza sativa L. var formaglutinosa.
Ibu-ibu setelah melahirkan melakukan perawatan tubuh untuk menghindari infeksi dan merapatkan vagina dengan memanfaatkan abu bekas perapian tungku yang dibungkus daun Ricinus communis kemudian diduduki selagi hangat. Perawatan ini rutin dilakukan sampai 40 hari setelah melahirkan. Agar kulit perut kembali seperti semula, ibu melahirkan menggunakan ramuan rimpang Zingiber zerumbet (L.)J.E.Smith dan daun Eleusine indica Gaertn. yang ditumbuk dengan kapur sirih. Ramuan ini kemudian dioleskan ke kulit perut secara teratur setiap hari. Para ibu di kampung Dukuh mengenal bakal buah (jantung) tumbuhan Musa paradisiaca L, bunga Rosa hibrida dan bunga Impatiens balsamina L. sebagai tumbuhan yang bermanfaat untuk kontrasepsi.
3.2.4 Distribusi Lokasi Tumbuhan Obat
Berdasarkan lokasi diperolehnya tumbuhan obat, penduduk kampung Dukuh memperolehnya dari lima lokasi yaitu buruan (37 jenis), huma (enam jenis), kebon (72 jenis), leuweng (42 jenis), dan pinggiran jalan (25 jenis). Distribusi persebaran lokasi tumbuhan ini.
Buruan Huma Kebon Leuweung Pinggir jalan
Buruan adalah lahan halaman di sekitar tempat tinggal. Leuweng adalah daerah hutan di sekitar kampung Dukuh yang dikeramatkan, karena di lokasi tersebut dimakamkan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang sangat dihormati. Tumbuhan obat yang diambil dari hutan umumnya juga berupa tumbuhan kayu (pohon dan perdu) seperti Alstonia scholaris (L.)R.Br., Allamanda cathartica L., Melochia umbellata O.Stapf., dan Cardiospermum halicacabum L. Huma adalah lahan pertanian penduduk yang khusus ditanami dengan tanaman konsumsi utama seperti Oryza sativa L. Berbeda dengan kebon yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman, lahan huma hanya ditanami satu jenis tanaman. Selain itu, huma tidak ditanami dengan tanaman berkayu seperti pada kebon. Kebon sendiri merupakan lahan pertanian penduduk yang ditanami berbagai jenis tumbuhan pertanian. Di kampung Dukuh, kebon berlokasi di atas perbukitan jauh dari pemukiman. Tumbuhan yang ditanam di kebon adalah berupa tanaman konsumsi dan tanaman kayu. Selain tanaman budidaya, di kebon juga terdapat banyak jenis tumbuhan liar yang bermanfaat sebagai tumbuhan obat antara lain Ageratum conyzoides L., Mikania scandens Willd. dan Euphorbia hirta L.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 59% tumbuhan obat di kampung Dukuh merupakan tumbuhan liar dan 41% sisanya merupakan tanaman budidaya. Sebagian tumbuhan sengaja ditanam oleh penduduk. Tumbuhan obat umumnya ditanam penduduk di buruan dan kebon. Tumbuhan obat liar banyak ditemukan di kebon, pinggir jalan dan leuweung.
4. Diskusi dan Kesimpulan
Setiap daerah memiliki sistem pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan di masing-masing daerah. Pendekatan penduduk lokal terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam merupakan model jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup manusia (Redford dan Padoch, 1992 dalam Swanson, 1995). Selain itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu mempertegas hubungan antara sistem konservasi dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati (Alcorn, 1994 dalam Swanson, 1995).
Penduduk kampung Dukuh memiliki kekhasan dalam sistem pemanfaatan tumbuhan obat. Kekhasan tersebut dilihat dari 3 aspek yaitu: (1) sumber lokasi didapatnya tumbuhan obat, (2) status budidaya tumbuhan dan (3) bagian yang digunakan sebagai obat. Di kampung Dukuh, tumbuhan obat paling banyak didapatkan dari kebon. Kebon merupakan lahan terpisah dari pemukiman penduduk yang sengaja ditanami berbagai jenis macam tanaman. Tumbuhan liar yang dianggap memiliki fungsi sebagai obat dibiarkan tumbuh di kebon sehingga sebagian besar tumbuhan obat dapat diperoleh dari lokasi ini. Konsep kebon menurut penduduk kampung Dukuh ini berbeda dengan konsep kebun masyarakat daerah lainnya. Suku Menyah di Pegunungan Arfak mengenal kebun dengan sebutan Mekeni. Mekeni merupakan kebun monokultur yang umumnya ditanami dengan pohon coklat. Suku Menyah memanfaatkan sebagian besar tumbuhan obat dari hutan primer atau Merenda (Moeljono, 1998). Penduduk kampung Dukuh juga memanfaatkan tumbuhan obat dari hutan, namun tidak dalam proporsi terbesar.
Penduduk diperbolehkan untuk mengambil hasil alam dari leuweung namun dengan kontrol dan pengawasan dari kuncen. Manajemen pengontrolan pemanfaatan alam oleh kuncen ini mampu menjaga stabilitas keanekaragaman hayati yang ada di leuweung. Salah satu penelitian yang dilakukan di daerah Dheeraa, Ethiopia, menunjukkan bahwa 92% tumbuhan obat di sana didapatkan dari daerah vegetasi alami yang mengindikasikan bahwa penduduk lokal di sana kurang mempraktekkan penanaman tumbuhan obat di area kultivasi seperti pekarangan rumah dan kebun (Wondimu et al., 2007).
Menurut penelitian Falconer et al. (1992 dalam Swanson, 1998), mayoritas ahli pengobatan tradisional di seluruh dunia tidak mempercayai bahwa ketersediaan tumbuhan obat di alam sudah menurun. Namun di kampung Dukuh, prinsip pemaanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan penduduk sangat khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Lebih dari 40% tumbuhan obat sudah mulai dibudidayakan sendiri oleh penduduk. Penduduk tidak hanya menggantungkan keperluan tumbuhan sepenuhnya dari apa yang ada di alam. Upaya pembudidayaan obat untuk keperluan sehari-hari ini menunjukkan bahwa penduduk kampung Dukuh masih sangat peduli dengan upaya konservasi alam.
Upaya konservasi terhadap tumbuhan obat erat kaitannya dengan penggunaan bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat. Bagian yang paling banyak digunakan penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah bagian daun. Menurut Cunningham (1991 dalam Swanson, 1998), bagian tumbuhan yang perlu dibatasi penggunaannya dalam pengobatan adalah bagian akar, batang, kulit kayu dan umbi, karena penggunaan bagianbagian tumbuhan ini dapat langsung mematikan tumbuhan. Penggunaan daun sebagai obat tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tumbuhan.
Berdasarkan semua paparan tentang pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh, terlihat bahwa sistem pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh bersifat khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Melihat ketiga aspek yang telah dipaparkan dapat diindikasikan bahwa penduduk kampung Dukuh mampu mengintegrasikan budaya pemanfaatan tumbuhan sebagai obat dengan upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati setempat.
References
Bodeker, G., 2000. Indigenous Medical Knowledge: The Law and Politics of Protection:
Oxford Intellectual Property Research Centre Seminar in St. Peter’s College, 25th January 2000, Oxford
Dwiartama, A., 2005. Analisis Pengetahuan Tradisional Masyarakat Adat Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis, mengenai Pemanfaatan Tumbuhan untuk Pengobatan. Skripsi Sarjana Biologi Departemen Biologi ITB, Bandung
Lubis, N.H. 2006., Uga Kampung Dukuh. Pikiran Rakyat 24 Maret 2006
Martin, G.J., 1995., Ethnobotany : A ‘People and Plant’ Conservation Manual. Chapman and Hall, London
Moeljono, S.,1998. Suatu Telaah tentang Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan oleh Masyarakat Suku Menyah Di Daerah Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari:
Prosiding Seminar Nasional Etnobotani III 5-6 Mei 1998. LIPI, Denpasar-Bali
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung
Swanson, T. M. 1995. Intellectual Property Rights and Biodiversity Conservation ‘An
Interdisciplinary Analysis of the Values of Medicinal Plants. Cambridge University
Press, Cambridge
Wondimu, T., Asfaw, Z., Kelbessa, E., Ethnobotanical Study of Medicinal Plants around
Dheeraa Town, Arsi Zone, Ethiopia. Journal of Ethnopharmacology
Sumber : http://www.sith.itb.ac.id
School of Life Science & Technology, Bandung Institute of Technology, Indonesia
Jl. Ganesa No. 10 Bandung, Indonesia 40132 Phone: +62 22 251 1575, 250 0258
Fax: +62 22 253 4107
Email: santhyami @yahoo.com or endah@sith.itb.ac.id
Abstract
This study aims to document the medicinal plants and their use for traditional healing by the people of Kampung Dukuh, Garut, West Java, Indonesia. The method used was acombination between the qualitative and quantitative approach. Qualitative approach was conducted at the beginning to observe the knowledge of the indigenous peoples about traditional healing in general. Quantitative approach was done to collect data particularly on the medicinal plant species, location where the plants were obtained and the usage. Data were collected by using semi-structured interview. Specimens were collected from the growing sites with the help of key informants. Analysis was done by two main approaches:
medicinal anthropology and medicinal ethnobotany. They classified diseases into three types: common disease, illness by magic and disease caused by food. 137 species from 52 families of plants were reported to be used by them as medicines. Most of species used for medicines was for birth curing. They obtained plants from five locations; kebon (garden), leuweung (forest), buruan (home yard), side of road, and huma (dry farm). This research indicates that they have a specific system of using medicinal plants. They can integrate the culture of using plant medicine with the conservation effort of local biodiversity.
Keywords: Medicinal plants; Ethnobotany; Kampung Dukuh
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan jenis-jenis tumbuhan obat yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat kampung Dukuh dan cara pemanfaatannya. Metoda yang dilakukan pada penelitian ini adalah kombinasi antara metoda penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada saat observasi awal untuk menggali pengetahuan umum penduduk kampung Dukuh tentang pengobatan tradisional. Setelah observasi awal, dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tentang tumbuhan obat kepada penduduk dengan cara wawancara semi terstruktur. Setelah pengumpulan data, dilakukan pengumpulan spesimen tumbuhan yang diambil langsung dari lokasi tumbuhnya tumbuhan didampingi oleh informan kunci. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bandungense SITH-ITB. Analisis dilakukan dengan dua pendekatan utama yaitu pendekatan antropologi obat dan etnobotani obat. Penduduk kampung Dukuh mengklasifikasikan penyakit menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena makanan. Tercatat 137 jenis tumbuhan dari 52 suku yang digunakan oleh penduduk kampung Dukuh sebagai obat. Tumbuhan obat paling banyak digunakan untuk perawatan ibu melahirkan. Penduduk mendapatkan 137 jenis tumbuhan obat tersebut dari lima lokasi yaitu kebon, leuweung (hutan), buruan (pekarangan rumah), pinggir jalan, dan huma.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk kampung Dukuh memiliki kekhasan dalam sistem pemanfaatan tumbuhan obat dimana mereka mampu mengintegrasikan budaya pemanfaatan tumbuhan sebagai obat dengan upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati setempat.
1. Peuanndahul
Di negara Indonesia, sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang, jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001, 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, 31,7% diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional, dan 9,8% memilih cara pengobatan tradisional lainnya.
Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Namun adanya modernisasi budaya dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (Bodeker, 2000). Kecenderungan ini juga terjadi pada komunitas tradisional di Indonesia.
Salah satu komunitas yang telah menunjukkan gejala degradasi pengetahuan tradisional antar generasi ini adalah masyarakat kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat. Menurut penelitian Dwiartama (2005), pengetahuan tradisional masyarakat kampung Kuta tentang tumbuhan obat dalam kondisi terancam punah.
Di Indonesia khususnya propinsi Jawa Barat, salah satu daerah yang masih menjaga tradisi leluhur atau karuhun adalah penduduk kampung Dukuh, Kabupaten Garut. Selain menjaga tradisi, penduduk kampung Dukuh juga sangat menghargai sekaligus berguru pada alam sehingga mereka memiliki potensi pengetahuan yang besar tentang tumbuhan obat.
Penelitian tentang pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga sangat berpotensi untuk menemukan jenis tumbuhan obat baru yang diharapkan dapat diteliti lebih lanjut oleh ahli farmasi dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat luas.
2. Metode Penelitian
2.1 Studi Area
Penelitian dilakukan di kampung Dukuh, yang secara administratif termasuk dalam kawasan Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Jarak kampung Dukuh dari pusat pemerintahan Kabupaten Garut sekitar 100 km. Ketinggian kampung Dukuh adalah sekitar 390 m di atas permukaan laut. Kampung Dukuh berada di tanah miring, di lereng Gunung Dukuh. Secara georafis kampung Dukuh terletak pada 7° - 8° LS dan 70 - 108° BT (Lubis, 2006).
Luas keseluruhan Kampung Dukuh adalah 10 hektar yang tediri dari 7 hektar bagian dari kampung Dukuh Landeuh, 1 hektar bagian dari kampung Dukuh Tonggoh dan sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi. Di dalam kampung Dukuh juga terdapat area yang disebut dengan wilayah Karomah yang merupakan area pemakaman. Penduduk kampung Dukuh terdiri dari 108 kepala keluarga dengan 520 jumlah jiwa. Mata pencaharian penduduk kampung Dukuh adalah bertani, beternak ayam dan memelihara ikan.
2.2 Survey Etnobotani
Secara garis besar metoda yang dilakukan pada penelitian ini merupakan gabungan metoda penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan cara observasi. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif moderat dimana peneliti terlibat dalam beberapa kegiatan sehari-hari informan seperti berkebun dan ikut serta dalam rapat adat, namun tidak mengikuti seluruh kegiatan penduduk seharian (Sugiyono, 2007). Pada tahap ini juga dilakukan wawancara terbuka. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam observasi awal ini adalah metoda purposive sampling yaitu teknik pemilihan informan dengan pertimbangan tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling tahu tentang tumbuhan obat (Sugiyono, 2007). Tokoh yang dipilih melalui metoda ini untuk diwawancarai adalah kuncen (kepala adat kampung Dukuh) dan paraji (dukun beranak). Dari observasi awal ini diketahui data-data calon informan untuk tahap selanjutnya yang layak diwawancarai berdasarkan rekomendasi kuncen dan paraji.
Setelah observasi awal, dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tentang tumbuhan obat kepada penduduk dengan cara wawancara semi terstruktur (Martin, 1995). Pemilihan informan pada tahap wawancara ini dilakukan dengan metoda snowball sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan rekomendasi informan kunci dalam hal ini kuncen dan paraji. Informasi tentang calon informan berikutnya didapat dari informan sebelumnya (Sugiyono, 2007). Sesudah pengumpulan data, dilakukan pengumpulan spesimen tumbuhan yang diambil langsung di lokasi tumbuhnya dengan dibantu oleh seorang informan kunci. Spesimen dikoleksi, difoto dan diidentifikasi. Analisis dilakukan dalam dua bentuk pendekatan yaitu pendekatan antropologi medikal dan pendekatan etnobotani medikal.
3. Hasil
3.1 Pendekatan Antropologi Medikal
Penduduk kampung Dukuh mengklasifikasikan penyakit menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena makanan. Penyakit biasa adalah penyakit yang umum diderita oleh penduduk seperti demam, batuk, sakit badan dan sakit kepala yang timbul akibat perubahan cuaca atau kuman penyakit. Penyakit karena magis diyakini oleh penduduk timbul akibat pelanggaran tata cara hidup di alam seperti halnya penyakit gila, ayan atau lumpuh. Penyakit selanjutnya menurut penduduk kampung Dukuh disebabkan karena makanan yang tidak sehat.
Terdapat tiga bentuk pengobatan yang digunakan oleh penduduk untuk mengobati penyakit yaitu tatangkalan atau pengobatan dengan tumbuhan, obat warung, dan jampe. Untuk mengobati penyakit biasa, sebagian penduduk masih menggunakan tumbuhan obat walaupun sebagian sudah beralih pada penggunaan obat warung. Namun demikian penduduk masih mengetahui berbagai macam tumbuhan untuk pengobatan.
Tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan yang paling baik tentang tumbuhan obat di kampung Dukuh adalah paraji. Peran paraji di kampung Dukuh bukan hanya menolong kelahiran bayi tetapi juga melayani pengobatan penyakit-penyakit yang biasa diderita oleh penduduk. Dalam pengobatannnya, paraji memberikan resep berupa komposisi ramuan tumbuhan untuk mengobati penyakit. Paraji juga sengaja menanami pekarangan rumahnya dengan tumbuhan obat untuk dimanfaatkan oleh penduduk. Penyakit karena pengaruh magis diobati penduduk dengan bantuan kuncen. Dalam melakukan penyembuhan, kuncen berdoa dan membacakan jampi-jampi. Khusus untuk kampung Dukuh, kuncen tidak menggunakan tumbuhan obat yang spesifik dalam penyembuhan penyakit. Kuncen hanya mengunakan media cai (air) dan biji beras yang telah didoakan.
3.2 Pendekatan Etnobotani Medikal
3.2.1 Tumbuhan dan Kegunaannya sebagai Obat
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penduduk kampung Dukuh mengenal 137 jenis tumbuhan obat dari 52 suku. Jenis tumbuhan terbanyak adalah dari suku Zingiberaceae (14 jenis) dan selanjutnya dari suku Poaceae (11 jenis), suku Asteraceae (6 jenis), suku Suku Euphorbiaceae (6 jenis) dan suku Solanaceae (6 jenis). Dari 137 jenis tumbuhan total yang digunakan untuk pengobatan, proporsi jumlah jenis tumbuhan terbesar dimanfaatkan untuk perawatan kesehatan ibu melahirkan yaitu sebanyak 41 jenis tumbuhan.
3.2.2 Bagian Tumbuhan yang Digunakan dan Cara Pengolahannya
Bagian-bagian tumbuhan digunakan oleh penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah akar, batang, biji, buah, bunga, daun, rimpang dan umbi. Bagian yang paling banyak digunakan penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah bagian daun.
Bagian tumbuhan yang digunakan
Akar
Batang
Biji
Buah
Bunga
Daun
Rimpang
Semua bagian
Umbi
Sebagian besar pengobatan tradisional dengan tumbuhan di kampung Dukuh hanya menggunakan satu bagian dari suatu tumbuhan, misalnya bagian daunnya saja atau bagian umbinya saja, sedangkan bagian-bagian lain dari tumbuhan tersebut tidak digunakan. Contoh tumbuhan yang hanya dimanfaatkan satu bagian tersebut antara lain seperti Ageratum conyzoides L. (daun), Physalis angulata L. (daun), Kaempferia galanga L. (rimpang), Oryza sativa L. (var.) formaglutinosa (buah) dan Alstonia scholaris (L.)R.Br. (batang). Walaupun demikian terdapat beberapa jenis tumbuhan yang hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Tumbuhan-tumbuhan tersebut antara lain seperti Imperata cylindrica (Ness)C.E.Hubb. yang akar dan batangnya digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit seperti kencing manis, maag, nyeri pinggang, sakit badan dan tonikum. Selain itu juga dikenal Carica papaya L. yang hampir semua bagian tumbuhan ini dapat digunakan mulai dari akar, daun, getah daun, batang, buah, bahkan biji untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti hipotensi, malaria, perawatan setelah melahirkan, melancarkan ASI, sakit badan, sakit gigi, sakit kepala dan berkhasiat sebagai tonikum.
Secara umum bentuk pengobatan di kampung Dukuh dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu jenis pengobatan luar dan jenis pengobatan dalam. Jenis-jenis penyakit dengan menggunakan pengobatan luar adalah seperti sakit kulit, sakit gigi, permasalahan telinga dan sakit mata. Pengobatan dalam adalah jenis pengobatan dengan memakan atau meminum olahan dari tumbuh-tumbuhan obat. Penyakit dengan pengobatan dalam ini antara lain seperti penyakit demam dan masalah pencernaan.
Cara pengobatan luar bervariasi berdasarkan jenis penyakitnya. Umumnya jenis pengobatan luar ini menggunakan komposisi tumbuhan tunggal. Untuk luka dan sakit kulit, bagian tumbuhan yang banyak digunakan adalah daun dan dari satu jenis tumbuhan.
Sebagian besar cara pengolahan tumbuhannya hanya ditumbuk dan kemudian dilulurkan pada bagian yang sakit. Contohnya untuk penyembuhan luka karena penyakit diabetes akut. Penduduk menyembuhkan luka tersebut dengan tumbuhan Dysoxylum decandrum Merr. Beberapa orang penduduk kampung Dukuh sudah membudidayakannya di kebon dan leuweng karena mereka percaya bahwa tumbuhan ini sangat ampuh untuk mengobati penyakit luka karena diabetes.
Untuk pengobatan dalam, penduduk kampung Dukuh mengolah tumbuhan tersebut dengan dua cara, yaitu direbus atau diparut untuk kemudian diambil sari tumbuhannya. Pada umumnya, komposisi tumbuhan dalam pengobatan dalam ini lebih dari satu jenis tumbuhan. Misalnya untuk minuman tonikum, penduduk merebus berbagai jenis tumbuhan seperti rimpang empat jenis koneng yaitu Curcuma xanthorriza Roxb., Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe, Curcuma aeruginosa Roxb. dan Curcuma domestica Vahl, daun Physalis angulata L., Blumea balsamifera (L.)D.C., Orthosiphon aristatus (BI.) Miq., Eupatorium odoratum, akar Carica papaya L., Imperata cylindrica, Areca catechu L., kulit batang Allamanda cathartica L. dan batang Tinospora tubreculata Beumee.
3.2.3 Tata Cara Perawatan Kesehatan Melahirkan
Di kampung Dukuh, seorang ibu hamil akan mendatangi paraji pada masa kehamilan empat bulan. Pada masa ini, paraji menyarankan ibu hamil untuk meminum ramuan penambah stamina seperti air parutan rimpang Curcuma domestica Vahl. yang dicampur dengan madu atau telur ayam kampung. Pada masa kehamilan tujuh bulan, ibu hamil mendatangi paraji secara berkala, karena pada masa ini paraji mulai melakukan pemijatan untuk memperbaiki posisi bayi dalam rahim. Sebelum melahirkan, pasien dianjurkan untuk meminum air rebusan Ceiba petandra (L.) Gaertn.yang berkhasiat melancarkan kelahiran.
Paraji kemudian membalurkan minyak klentik serta Alium cepa L. dan Zingiber purpureum Roxb. yang telah ditumbuk ke perut pasien. Efeknya, pasien akan merasakan mulas sehingga proses kelahiran akan berlangsung lebih cepat. Satu hari setelah melahirkan, pasien diberi ramuan olahan paraji yang dikenal dengan sebutan ramuan opat puluh rupi yang terdiri dari 40 jenis tumbuhan yang telah dikeringkan dan ditumbuk halus. Ramuan ini diseduh dengan air hangat dan diminum oleh pasien sebanyak satu sendok tiga kali sehari. Tumbuhan penyusun ramuan opat puluh rupi terdiri dari berbagai jenis rimpang: Kaempferia galanga L, Zingiber officinale Roxb., Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe, Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht., dan Zingiber zerumbet (L.)J.E.Smith; berbagai jenis akar: Cocos nucifera L, Areca catechu L, Physalis angulata L., Stachytarpheta indica (L.) Vahl., Imperata cylindrica (Ness)C.E.Hubb. dan Arenga pinnata (Wurmb.) Merr; kulit batang: Alstonia scholaris (L.)R.Br.dan Allamanda cathartica L.; serta sejumlah jenis daun: Blumea balsamifera (L.)D.C., Dolichandrone spathecea (L.f.)K. Schum., Musaenda frondosa L., Erythrina subumbrans (Hassk.)Merr. dan Cymbopogon citratus (DC.)Stapf.. Pendarahan setelah melahirkan diatasi dengan meminum air rebusan Piper
betle dan Euphorbia hirta L. atau air bekas cucian ketan hideung Oryza sativa L. var formaglutinosa.
Ibu-ibu setelah melahirkan melakukan perawatan tubuh untuk menghindari infeksi dan merapatkan vagina dengan memanfaatkan abu bekas perapian tungku yang dibungkus daun Ricinus communis kemudian diduduki selagi hangat. Perawatan ini rutin dilakukan sampai 40 hari setelah melahirkan. Agar kulit perut kembali seperti semula, ibu melahirkan menggunakan ramuan rimpang Zingiber zerumbet (L.)J.E.Smith dan daun Eleusine indica Gaertn. yang ditumbuk dengan kapur sirih. Ramuan ini kemudian dioleskan ke kulit perut secara teratur setiap hari. Para ibu di kampung Dukuh mengenal bakal buah (jantung) tumbuhan Musa paradisiaca L, bunga Rosa hibrida dan bunga Impatiens balsamina L. sebagai tumbuhan yang bermanfaat untuk kontrasepsi.
3.2.4 Distribusi Lokasi Tumbuhan Obat
Berdasarkan lokasi diperolehnya tumbuhan obat, penduduk kampung Dukuh memperolehnya dari lima lokasi yaitu buruan (37 jenis), huma (enam jenis), kebon (72 jenis), leuweng (42 jenis), dan pinggiran jalan (25 jenis). Distribusi persebaran lokasi tumbuhan ini.
Buruan Huma Kebon Leuweung Pinggir jalan
Buruan adalah lahan halaman di sekitar tempat tinggal. Leuweng adalah daerah hutan di sekitar kampung Dukuh yang dikeramatkan, karena di lokasi tersebut dimakamkan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang sangat dihormati. Tumbuhan obat yang diambil dari hutan umumnya juga berupa tumbuhan kayu (pohon dan perdu) seperti Alstonia scholaris (L.)R.Br., Allamanda cathartica L., Melochia umbellata O.Stapf., dan Cardiospermum halicacabum L. Huma adalah lahan pertanian penduduk yang khusus ditanami dengan tanaman konsumsi utama seperti Oryza sativa L. Berbeda dengan kebon yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman, lahan huma hanya ditanami satu jenis tanaman. Selain itu, huma tidak ditanami dengan tanaman berkayu seperti pada kebon. Kebon sendiri merupakan lahan pertanian penduduk yang ditanami berbagai jenis tumbuhan pertanian. Di kampung Dukuh, kebon berlokasi di atas perbukitan jauh dari pemukiman. Tumbuhan yang ditanam di kebon adalah berupa tanaman konsumsi dan tanaman kayu. Selain tanaman budidaya, di kebon juga terdapat banyak jenis tumbuhan liar yang bermanfaat sebagai tumbuhan obat antara lain Ageratum conyzoides L., Mikania scandens Willd. dan Euphorbia hirta L.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 59% tumbuhan obat di kampung Dukuh merupakan tumbuhan liar dan 41% sisanya merupakan tanaman budidaya. Sebagian tumbuhan sengaja ditanam oleh penduduk. Tumbuhan obat umumnya ditanam penduduk di buruan dan kebon. Tumbuhan obat liar banyak ditemukan di kebon, pinggir jalan dan leuweung.
4. Diskusi dan Kesimpulan
Setiap daerah memiliki sistem pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan di masing-masing daerah. Pendekatan penduduk lokal terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam merupakan model jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup manusia (Redford dan Padoch, 1992 dalam Swanson, 1995). Selain itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu mempertegas hubungan antara sistem konservasi dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati (Alcorn, 1994 dalam Swanson, 1995).
Penduduk kampung Dukuh memiliki kekhasan dalam sistem pemanfaatan tumbuhan obat. Kekhasan tersebut dilihat dari 3 aspek yaitu: (1) sumber lokasi didapatnya tumbuhan obat, (2) status budidaya tumbuhan dan (3) bagian yang digunakan sebagai obat. Di kampung Dukuh, tumbuhan obat paling banyak didapatkan dari kebon. Kebon merupakan lahan terpisah dari pemukiman penduduk yang sengaja ditanami berbagai jenis macam tanaman. Tumbuhan liar yang dianggap memiliki fungsi sebagai obat dibiarkan tumbuh di kebon sehingga sebagian besar tumbuhan obat dapat diperoleh dari lokasi ini. Konsep kebon menurut penduduk kampung Dukuh ini berbeda dengan konsep kebun masyarakat daerah lainnya. Suku Menyah di Pegunungan Arfak mengenal kebun dengan sebutan Mekeni. Mekeni merupakan kebun monokultur yang umumnya ditanami dengan pohon coklat. Suku Menyah memanfaatkan sebagian besar tumbuhan obat dari hutan primer atau Merenda (Moeljono, 1998). Penduduk kampung Dukuh juga memanfaatkan tumbuhan obat dari hutan, namun tidak dalam proporsi terbesar.
Penduduk diperbolehkan untuk mengambil hasil alam dari leuweung namun dengan kontrol dan pengawasan dari kuncen. Manajemen pengontrolan pemanfaatan alam oleh kuncen ini mampu menjaga stabilitas keanekaragaman hayati yang ada di leuweung. Salah satu penelitian yang dilakukan di daerah Dheeraa, Ethiopia, menunjukkan bahwa 92% tumbuhan obat di sana didapatkan dari daerah vegetasi alami yang mengindikasikan bahwa penduduk lokal di sana kurang mempraktekkan penanaman tumbuhan obat di area kultivasi seperti pekarangan rumah dan kebun (Wondimu et al., 2007).
Menurut penelitian Falconer et al. (1992 dalam Swanson, 1998), mayoritas ahli pengobatan tradisional di seluruh dunia tidak mempercayai bahwa ketersediaan tumbuhan obat di alam sudah menurun. Namun di kampung Dukuh, prinsip pemaanfaatan tumbuhan obat yang dilakukan penduduk sangat khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Lebih dari 40% tumbuhan obat sudah mulai dibudidayakan sendiri oleh penduduk. Penduduk tidak hanya menggantungkan keperluan tumbuhan sepenuhnya dari apa yang ada di alam. Upaya pembudidayaan obat untuk keperluan sehari-hari ini menunjukkan bahwa penduduk kampung Dukuh masih sangat peduli dengan upaya konservasi alam.
Upaya konservasi terhadap tumbuhan obat erat kaitannya dengan penggunaan bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat. Bagian yang paling banyak digunakan penduduk kampung Dukuh sebagai obat adalah bagian daun. Menurut Cunningham (1991 dalam Swanson, 1998), bagian tumbuhan yang perlu dibatasi penggunaannya dalam pengobatan adalah bagian akar, batang, kulit kayu dan umbi, karena penggunaan bagianbagian tumbuhan ini dapat langsung mematikan tumbuhan. Penggunaan daun sebagai obat tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tumbuhan.
Berdasarkan semua paparan tentang pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh, terlihat bahwa sistem pemanfaatan tumbuhan obat di kampung Dukuh bersifat khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Melihat ketiga aspek yang telah dipaparkan dapat diindikasikan bahwa penduduk kampung Dukuh mampu mengintegrasikan budaya pemanfaatan tumbuhan sebagai obat dengan upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati setempat.
References
Bodeker, G., 2000. Indigenous Medical Knowledge: The Law and Politics of Protection:
Oxford Intellectual Property Research Centre Seminar in St. Peter’s College, 25th January 2000, Oxford
Dwiartama, A., 2005. Analisis Pengetahuan Tradisional Masyarakat Adat Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis, mengenai Pemanfaatan Tumbuhan untuk Pengobatan. Skripsi Sarjana Biologi Departemen Biologi ITB, Bandung
Lubis, N.H. 2006., Uga Kampung Dukuh. Pikiran Rakyat 24 Maret 2006
Martin, G.J., 1995., Ethnobotany : A ‘People and Plant’ Conservation Manual. Chapman and Hall, London
Moeljono, S.,1998. Suatu Telaah tentang Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan oleh Masyarakat Suku Menyah Di Daerah Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari:
Prosiding Seminar Nasional Etnobotani III 5-6 Mei 1998. LIPI, Denpasar-Bali
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung
Swanson, T. M. 1995. Intellectual Property Rights and Biodiversity Conservation ‘An
Interdisciplinary Analysis of the Values of Medicinal Plants. Cambridge University
Press, Cambridge
Wondimu, T., Asfaw, Z., Kelbessa, E., Ethnobotanical Study of Medicinal Plants around
Dheeraa Town, Arsi Zone, Ethiopia. Journal of Ethnopharmacology
Sumber : http://www.sith.itb.ac.id