Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Fungsi Budaya Megalitik di Orahili-Gomo Kabupaten Nias

Oleh : Supsiloani, S.Sos dan Sulian Ekomila, S.Sos

Ikan- ikan hias dan pantai berpasir putih. Adapun peninggalan Budaya zaman Megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo adalah hal yang paling menarik untuk dibahas sekaligus dilestarikan.

1. Latar Belakang Munculnya Budaya Megalitik di Orahili-Gomo, Kabupaten Nias Selatan
Sesungguhnya Kebudayaan Megalitik meninggalkan bekas-bekas di seluruh Indonesia. Akan tetapi, sebagai peninggalan prasejarah yang telah diselidiki dan diteliti dengan benar diketahui bahwa peninggalan ini terutama sekali terdapat di daratan Sumatera dan Jawa. Di Sumatera, yang paling terkenal terdapat di Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kepulauan Nias, pada suatu daerah yang bernama Orahili-Gomo.

Orahili adalah nama kampung/desa yang berada di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan (Teluk Dalam). Posisinya berada di daerah perbukitan atapun pegunungan dekat dengan lembah sungai Gomo yang cukup datar dan lebar. Pada catatan perjalanan sejarah, kondisi geografis seperti inilah yang menjadi alasan daerah ini di pilih oleh nenek moyang suku bangsa Nias sebagai lokasi yang cocok untuk mendirikan suatu perkampungan.

Wilayah yang berada di dataran yang tinggi serta dikelilingi oleh jajaran bukit-bukit yang tinggi sehingga tersembunyi dari dunia luar, sesuai dengan makna nama Orahili yang berarti tempat yang dikelilingi oleh pegunungan.

Membahas tentang Megalitik, Haryono dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990:219) menyatakan bahwa : “Megalitik adalah suatu istilah yang menunjuk pada peninggalan-peninggalan Budaya Prasejarah yang menggunakan batu-batu besar; (bahasa Yunani; Mega artinya besar dan Lithos artinya batu).”

Ada suatu periode dalam sejarah peradaban manusia di Bumi saat tradisi batu-batu besar (megalit) begitu mewarnai kehidupan mereka. Ini gejala di seluruh permukaan Bumi. Sebagai contoh, sebut saja Piramid di Mesir, Piramid di Babilonia dan Asiria (zigurat), Piramid di Pulau Bimini dekat Azores di tengah Atlantik, Piramid di Maya-Aztec-Inca Purba di Meksiko dan Peru, Stonehenge di Inggris, Megalit di Eropa Baratlaut dari Norwegia sampai Spanyol, Megalit di Pulau Paska di ujung timur gugusan kepulauan Polinesia (seperti yang pernah diulas Ariadi), Megalit di tengah-tengah Cina, atau Megalit yang banyak ditemukan di negeri kita sendiri seperti di Banten, Pasemah, Nias dan Sumba.

Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan berdasarkan perjalanan sejarah, di prediksi berasal dari Zaman Batu Muda (Neolithicum) sekitar 1000 – 1500 M. Hal tersebut diyakini demikian karena sejalan dengan terjadinya perpindahan penduduk dari daratan Asia menuju keberbagai pelosok melalui Semenanjung Malaka, maupun melalui Asia Kecil ke jazirah Arab kemudian menuju India bagian Selatan dan seterusnya di Pulau Nias. Selain itu, sampai pada saat ini di Indonesia tidak atau belum ditemukan persamaan jenis peninggalan setua itu.

Kebudayaan Megalitik pada awalnya disebarkan oleh masyarakat pendukungnya ke daerah Timur, sehubungan dengan kegiatan mereka mengadakan perjalanan mencari kerang, mutiara dan emas. Kebudayaan Megalitik sangat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat di Indonesia. Pada daerah yang memiliki peninggalan Kebudayaan Megalitik, kegiatan religi masyarakatnya selalu berkaitan dengan aset budaya peninggalan tersebut.

Letak peninggalan di lokasi perbukitan ataupun pegunungan juga diyakini sebagai alasan logis bagi masyarakatnya dalam hal mengupayakan sisi praktis dalam menjaga keamanan dari serangan musuh. Nenek moyang suku bangsa Nias mendirikan tempat pemukiman di gunung karena adanya anggapan bahwa gunung merupakan tempat yang suci dan keramat.

Masyarakat Nias pada umumnya dan khususnya masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, sangat mengagungkan peninggalan kebudayaan Megalitik di Orahili-Gomo. Peninggalan di Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai dan fungsi yang sangat besar bagi masyarakat setempat sampai pada masa sekarang.

Peninggalan Megalitik di daerah ini terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain : Batu Tegak, Batu Datar, Meja Batu, Batu Tegak Segi Empat Pipih, Batu Tegak Segi Empat Balok, Batu Bulat Berlumpang Dua dan Patung Manusia. Salah satu bentuk peninggalan yang terpenting adalah sekumpulan besar Menhir, Dolmen, Sakrofagus dan hasil-hasil kebudayaan Megalitik lainnya. Benda-benda Megalitik dalam upacara religi bertujuan menghormati arwah nenek moyang yang dipercaya dapat melindungi masyrakat dari berbagai macam bahaya dan malapetaka.

Variasi bentuk Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili Gomo memiliki ciri khas tersendiri yang tidak atau belum ditemukan persamaannya di daerah atau tempat lain di Indonesia. Bentuknya ada yang menyerupai manusia dan juga binatang. Keunikan bentuk peninggalan tersebut memiliki fungsi yang mengandung makna simbol, seperti : Batu Tegak dipergunakan sebagai simbol dari laki-laki, sedangkan Batu Datar merupakan symbol perempuan. Selain itu peninggalan ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan pada dewa, penghormatan pada nenek moyang, orangtua dan kepala adat, juga sebagai tempat penguburan.

2. Fungsi Kebudayan Megalitik Bagi Masyarakat Orahili-Gomo.a. Fungsi Nilai Religi
Peninggalan Kebudayaan Megalitik di Nias Selatan memiliki peranan yang sangat besar dalam setiap segi kehidupan masyarakatnya. Peranan tersebut tidak hanya dalam kaitannya dengan kegiatan religi masyarakatnya, akan tetapi juga berperan dalam aspek hukum dan seni. Peninggalan Kebudayaan Megalitik ini tidak hanya mempengaruhi masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sacral seperti upacara-upacara keagamaan, namun juga mempengaruhi dasardasar nilai dalam kegiatan hidup masyarakat sehari-hari.

Penyelidikan dan penelitian tentang kebudayaan Megalitik di Kabupaten Nias Selatan dilakukan oleh M. G. Thomsen dan Von Heine Gildern. Berdasarkan sejarah, nenek moyang yang pertama tiba di Kepulauan Nias adalah Hia Walangi Adu yang kemudian mendirikan perkampungan Orahili-Gomo. Hia Walangi diberi gelar Hia Walangi Adu, karena telah berhasil menyelesaikan ukiran patung Adu Zatua. Patung atau berhala inilah yang kemudian disembah oleh Hia Walangi berikut kaum dan pengikutnya. Inilah yang menjadi awal agama nenek moyang suku bangsa Nias yang disebut dengan Agama Folohe Adu.

Tidak gampang bagi masyarakat Nias, khususnya di Orahili-Gomo,Kabupaten Nias Selatan dewasa ini untuk memahami agama kuno asli nenek moyang mereka. Hal ini disebabkan oleh perubahan dan pergeseran yang menyentuh kehidupan sosial-budaya mereka telah lama mewarnai nilai-nilai dan unsur-unsur kehidupan. Meskipun sangat dimaklumi bahwa perubahan dan pergeseran tersebut tidak hanya akan menimbulkan perkembangan yang saling menguntungkan bahkan memperkaya, tetapi sebaliknya juga memungkinkan terjadinya suatu pemusnahan.

Menurut cerita para sesepuh masyarakat Nias, pada dasarnya dahulu keaslian agama kuno asli nenek moyang di bahagian Selatan berbeda dengan di bahagian Utara. Pergeseran mulai terjadi setelah pada tahap perkembangannya masyarakat Nias banyak melakukan kontak dengan bangsa-bangsa lain. Para pedagang dari Tionghoa, Inggris, Belanda dan Jerman, bahkan juga dari daerah lain di Indonesia tidak hanya menyebabkan pergeseran budaya tetapi juga pergeseran kepercayaan/keyakinan atau agama. Keaslian agama kuno asli nenek moyang masyarakat Nias Selatan kemudian bercampur baur bahkan bertentangan/berbeda dengan masyarakat di bahagian Utara.

Pada kegiatan pemujaan mereka mempersembahkan berbagai be’elo (persembahan) kepada Dewa Lowalangi yang direfleksikan melalui sebuah patung dengan harapan agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera serta mendapat perlindungan dari malapetaka dan bencana. Kegiatan pemujaan pada arwah nenek moyang merupakan suatu kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh masyarakat Nias Selatan. Ke giatan tersebut dilaksanakan sebagai tanda pengejawantahan sekaligus penghormatan terhadap orangtua mereka yang telah meninggal dunia, serta juga kegiatan pemujaan kepada dewa agar mereka mendapat perlindungan serta terhindar dari segala malapetaka, bencana, wabah penyakit, kutukan bahkan kematian. Kegiatan pemujaan dapat juga mengandung makna sebagai alat control sosial bagi masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan.

Pada masa penyebaran agama Kristen, para missionaris memilih istilah Lowalangi sebagai cara memperkenalkan Tuhan yang tertinggi pada masyarakat Nias Selatan. Konsep tersebut disamakan dengan Allah dalam agama Kristen. Pembauran istilah seperti ini mempengaruhi pandangan masyarakat Nias Selatan tentang konsep Tuhan sebagai Pencipta dunia. Dewasa ini Lowalangi tetap menjadi istilah bagi Tuhan sang pencipta bagi masyarakat Nias Selatan, meskipun mereka menganut agama Kristen dan meskipun pada agama kuno asli mereka

Lowalangi hanyalah sebagai dewa yang berkuasa yang dikaitakan dengan seorang pemimpin bagi pengikut atau masyarakatnya.

3. Fungsi Nilai Kontrol Sosial
Peninggalan yang menyerupai bangunan monumental hasil kebudayaan Megalitik tersebut memiliki arti simbol tersendiri yang erat kaitannya dengan usaha para pemimpin dan ketua adat setempat dalam menjada harkat dan martabat kaumnnya. Menurut kepercayaan mereka, bahwa arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia masih tetap hidup meskipun di dunia yang berbeda yakni di dunia arwah. Arwah nenek moyang dipercaya masih mengawasi bahkan memberi petunjuk ataupun teguran pada keturunannya. Oleh karena itu pula mereka juga meyakini bahwa unsur-unsur kehidupan mereka sehari-hari masih tetap dipengaruhi oleh arwah nenek moyang mereka tersebut. Mereka juga bahkan menganggap bahwa kesehatan, keamananan, kesejahteraan, kesuburan dan lain-lain sangat ditentukan oleh bagaimana mereka memperlakukan ataupun menghormati arwah nenek moyang mereka. Apabila mereka memperlakukan arwah nenek moyang dengan baik, seperti dengan mengadakan rutinitas pemujaan, maka mereka akan memperoleh perlindungan seperti yang mereka harapkan. Perlakuan baik terhadap arwah nenek moyang tidak semata-mata melalui kegiatan pemujaan ataupun persembahan. Menjalankan unsurunsur kehidupan dalam garis nilai-nilai yang telah dilaksanakan sejak masa arwah nenek moyang tersebut hidup, juga merupakan wujud penghormatan.

Masyarakat Orahili-Gomo, memahami sifat-sifat dewa dan roh nenek moyang mereka melalui kuasa-kuasa para dewa ataupun roh itu sendiri. Kekuasaan dengan kata lain ”ke-supranatural-an” merupakan kekuasaan yang berlimpah-limpah. Mereka mempercayai bahwa kekuasaan ini ditunjukkan pada mereka melalui cara-cara khusus seperti melalui krisis-krisis yang muncul dan terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adanya kelahiran dan kematian, kesejahteraan dan kesengsaraan, bencana dan anugrah, malapetaka, wabah dan lain sebagainya yang terjadi di dunia merupakan wujud adanya upaya
menjalin komunikasi antara dewa ataupun roh nenek moyang pada para
pengikutnya atau masyarakatnya.

Oleh karena itu, kegiatan pemujaan dan persembahan dianggap merupakan salah satu cara menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi tersebut membutuhkan suatu sarana sebagai perantara dan batu-batuan Megalit menjadi pilihan bagi tersedianya sarana tersebut. Kebudayaan Megalitik ini dapat dikatakan juga sebagai hasil dari suatu pesta jasa yang dilakukan oleh nenek moyang suku bangsa Nias yang disebut dengan “Owasa”. Owasa adalah suatu kegiatan upacara khusus yang pada awalnya yang dilaksanakan nenek moyang suku bangsa Nias yang meliputi kegiatan penguburan tulang belulang para leluhur, persembahan karena perbaikan derajat kehidupan ataupun penobatan, juga kegiatan distribusi ekonomi seperti panen dan sebagainya.

Berdasarkan fungsi dan bentuk, peninggalan Kebudayaan Megalitik di Orahili –Gomo, menandakan bahwa masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan sangat menjunjung tinggi serta menghormati nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh nenek moyang suku bangsa Nias. Dahulu pada saat masyarakat mengadakan pemilihan pemimpin adat, maka sebagai tanda akan baktinya, maka setiap kepala suku beserta pengikutnya berhak mendirikan sebuah Menhir. Pada masa hidupnya, bagi seorang kepala suku, Menhir ini berfungsi sebagai lambang akan
jasa-jasanya dan pada saat dia telah meninggal dunia, maka Menhir ini akan menjadi lambang dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap diri dan jasanya semasa hidup beralih menjadi suatu kegiatan pemujaan terhadap dirinya oleh kaum dan pengikutnya yang dianggap dapat memberikan perlindungan. Pelaksanaan kegiatan upacara-upacara tertentu, mengandung makna bahwa roh dari kepela suku tersebut akan menyatu dengan Menhir sehingga dapat berhubungan langsung dengan para pemujanya.

Kegiatan-kegiatan ini juga mengandung makna, bahwa pada prinsipnya para dewa dan arwah nenek moyang menginginkan masyarakat Nias Selatan selalu hidup dalam keselamatan dan kesejahteraan dengan selalu mengingat dan menghormati dewa dan arwah nenek moyang. Pelaksanaan kegiatan pemujaan dan persembahan ini juga memupuk rasa persaudaraan yang kuat dalam masyarakat karena mereka akan bergotongroyong mengadakannya, dengan demikian akan tercipta kerukunan.

4. Fungsi Nilai Hukum
Seperti yang dilantunkan dalam syair orang Nias, manusia pertama yang turunkan di Gomo dan sekitarnya di Nalawö sia’a Mbanua yang merupakan suatu pemukiman dan kemudian berkembang ke Sifalagö Gomo. Mulai dari sinilah disekitar Turumbaho yang kemudian dengan nama Börönadu / Orahili-Gomo, penyelenggaraan Hukum yang pertama.

Situs pemukiman ini masih dapat dilihat sampai saat ini dan pernah ditinjau langsung oleh Bapak H. Adam Malik, pada masa beliau menjabat sebagai wakil presiden RI, pada tanggal 2 Juni 1980.

Kunjungan tersebut juga disertai oleh beberapa pejabat tinggi Negara termasuk Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada masa tersebut, dan para Antropolog baik dalam maupun luar negeri.

Pada lokasi inilah ditemukan bukti berupa batu-batuan yang telah dipahat dan dibentuk sedemikian rupa (Megalit) yang berasal dari zaman 1000-1500 M. Batuan Megalit tersebut ditemukan dalam berbagai bentuk dan rupa yang diyakini sesuai dengan kepentingan manusia pada masa tersebut. Untuk kepentingan hukum, ditemukan budaya Megalitik Fondrakö Mazingö Raya di Lawindra.

Adapun yang menjadi dasar-dasar hukum (Fondrakö) menurut masyarakat Orahili-Gomo, Kabupaten Nias Selatan, yang berlaku pada masa lampau adalah sebagai beriku :

a. Fo’adu
Menurut bahasa, Fo’adu berarti membuat, menghargai, ataupun menyembah patung dan berhala sesuai dengan kebiasaan pada kepercayaan agama kuno masyarakat Nias Selatan. Patung mengandung nilai sakral sehingga layak menduduki posisi untuk dihormati, dipuja dan disembah dalam kehidupan religi masyarakat.

Fo’adu juga berarti berbuat dengan baik, sempurna dan tanpa tercela. Mo’adu berarti pantas sehingga dapat dipedomani oleh orang banyak, yang secara keseluruhan mengandung arti / makna yakni berbuat hal-hal yang baik, suci yang datangnya haruslah dari keikhlasan hati yang paling dalam.

b. Fangaso
Fangaso mengandung arti pengadaan. Pengadaan dalam hal ini merujuk pada upaya peningkatan kesejahteraan, yang pada zaman dahulu diwujudkan dalam kegiatan masyarakat dalam mengelola bidang mata pencaharian. Pada zaman dahulu kegiatan ini meliputi bidang pertanian, peternakan yang kemudian pada masa perkembangannya masyarakat akhirnya mengenal bidang perkonomian yakni perdagangan bahkan sistem perbankan, berupa kegiatan membungakan uang.

c. Fa’ehao-hao
Fa’ehao-hao mengandung arti budi daya. Budi daya dalam hal ini mengandung nilai moral. Artinya manusia selalu dituntut untuk bermoral, berbudi luhur, tangkas, trengginas dan trampil. Kesemuanya ini dituntut untuk selalu tercermin dalam tata karma hidup sehari-hari.

d. Fobarahao
Fobarahao berarti unsur kelembagaan. Kelembagaan dalam perwujudan pembentukan kampong / pemukiman mengandung makna persatuan dan kesatuan. Masyarakat dalam perkampungan terkenal dengan adanya unsure musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan hidup bersama. Musayawarah mufakat (Aro Gosali) dilaksanakan pada tempat persidangan yang disebut dengan Ni’okölimanu.

e. Fa’oböwö / Foböwö
Fa’oböwö / Foböwö mengandung arti keadilan. Böwö juga dapat diartikan sebagai sikap saling pengertian, saling Bantu membantu dalam azas gotongroyong. Böwö juga mengadung makna jujuran dalam pelaksanaa perkawinan yang berarti kasih sayang yang tidak berkesudahan atau kasih sayang abadi.

5. Fungsi Nilai Seni
Peninggalan Budaya Megalitik di Orahili-Gomo, kabupaten Nias Selatan, juga merupakan wujud peninggalan kebudayaan seni rupa nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman dahulu. Patung-patung banyak diciptakan dengan menggunakan berbagai media, antara lain :

Kayu, logam maupun batu-batuan. Batuan yang dipahat dan diukir sedemikian rupa (batu Megalit) merupakan hasil karya seni yang unik yang dapat dinikmati sampai pada masa sekarang. Media batu-batuan merupakan bahan yang tahan menghadapi tantangan waktu.

Patung di Orahili-Gomo selain unik memiliki karakteristik tersendiri. Perwujudan patung nenek moyang banyak ditampilkan apa adanya dengan memperlihatkan alat kelamin dan atribut di kepala yang sangat tinggi. Bentuk hidung yang mancung, lurus dan besar hamper menyatu dengan dahi menjadi ciri khas bentuk yang menggambarkan postur dan bentuk wajah khas suku bangsa nias.

Demikianlah fungsi budaya Megalitik yang sangat mempengaruhi hampir disetiap segi kehidupan masyarakat di Kabupaten Nias Selatan. Meskipun pada masa sekarang masih dapat kita nikmati keberadaannya, namun dapat saja tanpa kita sengaja akan termusnahkan karena tidak dikelola dengan baik.

Sumber : http://www.geocities.ws