Kata “ Caruk” berasal. Dari bahasa Using, yang berarti “bertemu.”Pertemuan dua kelompok pemain angklung dan mereka saling mengadu ketangkasan memainkan angklung, disebut dengan angklung caruk. Dua grup tersebut memainkan angklungnya bersama dan saling bersaing ketangkasan. Penonton biasanya terbagi dalam 3 kelompok : dua diantaranya merupakan rival yang masing-masing mendukung angklung kesayagannya, sedang yang satu berpihak pada dua pemain angklung dan mereka ingin mengetahui secara keseluruhan permainan. Permainan angklung ini menjadi sangat meriah, karena dukungan masing-masing penonton.
Angklung caruk di Banyuwangi
Kota Banyuwangi pantas disebut kota seni, karena mempunyai banyak mahakarya seni pertunjukan yang diwariskan oleh leluhur kita, salah satunya kesenian angklung caruk. Bagi sebagian masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Osing kesenian Angklung Caruk sudah tidak asing lagi. masih sering diselenggarakan oleh masyarakat seperti acara perkawinan, khitanan maupun acara lain seperti perayaan hari kemerdekaan RI.
Sebenarnya kesenian ini sangat unik karena mengadung unsur sportifitas antara grup satu atau “panjak”(sebutan penabuh dalam bahasa Osing) dengan grup lainnya.
Asal Mula Kenian Angklung Caruk
Angklung Caruk merupakan salah satu dari beragam kesenian yang berkembang di Banyuwangi. Pada mulanya angklung digunakan oleh petani di sawah untuk melepas lelah disaat istirahat. Angklung diletakkan di atas sebuah pondok yang tinggi atau masyarakat menyebutnya “paglak”, sehingga disebut “angklung paglak”. Selain itu para petani juga gemar mengguunakan angklung di saat memanen sawah mereka sebagai iringan musik. Uniknya zaman dahulu seorang petani yang memanen sawah memiliki tradisi “ngersoyo” ( gotong royong), pemilik sawah yang memanen sawahnya dibantu para kerabat dan tetangga sehingga si pemilik sawah memberikan sebuah hiburan kepada orang-orang yang telah membantunya di sawahnya dengan angklung yang diletakkan di “paglak”. Biasanya penabuhnya hanya terdiri dari 2 sampai 3 orang saja. Instrumennya terdiri dari 1 angklung (yang mirip dengan angklung di Bali) dan gendang berukuran kecil. Sembari menabuh angklung penabuhnya juga menyanyikan gending-gending khas Banyuwangi. Dari sinilah angklung caruk terbentuk.
Mengapa disebut agklung caruk? “Caruk” merupakan bahasa Osing yang berarti “temu” atau “bertemu”, sehingga angklung caruk mempunyai pengertian dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan
Cara Memainkan Angklung Caruk
Dalam satu panggung. Dua kelompok kesenian ini saling beradu ketangkasan dalam memainkan angklung. Pada sesi pertama pertunjukan angklung caruk diawali dengan “larasan” yaitu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang laki-laki dari masing-masing kelompok yang disebut “badut”. Mereka bargantian menari sesuai dengan kesepakatan. Kemudian di sesi selanjutnya “adol gending” yaitu misalnya kelompok A memberikan aba-aba berupa ketukan sebuah lagu Banyuwangian yang ditujukan kepada kelompok B, dan jika kelompok B tahu ketukan tersebut maka dilanjutkan ketukan tersebut hingga membetuk sebuah iringan musik dan apabila kelompok B tidak bisa atau salah ditengah perjalanan maka kelompok A mengoloknya begitu sebaliknya. Walaupun terjadi “padu-paduan” (olokan dan ejekan). Uniknya kedua kelompok dan pendukungnya saling menjaga sportifitas dan kerukunan.
kesenian angklung caruk Banyuwangi sebagai salah satu obyek wisata budaya
Seiring dengan bertambah majunya jaman dan teknologi, masyarakat seakan terlupa akan kesenian khas yang dimilikinya. Salah satunya yaitu kesenian Angklung Caruk yang merupakan kesenian tradisional warisan nenek moyang kita yang seharusnya kita jaga dan mempertahankannya sebagai ciri khas Banyuwangi. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Banyuwangi untuk berupaya sedemikian rupa untuk mencegah semakin tenggelamnya kesenian tradisional tersebut. Didalam upayanya mengangkat kembali kesenian tradisional tersebut banyak ditemui berbagai macam kendala yang harus dipecahkan demi kelangsungan diri kesenian Angklung Caruk tersebut. Setelah kendala dapat dipecahkan kita dapat melakukan upaya-upaya lainnya yang ikut menunjang keberadaan Angklung Caruk di dalam tujuannya untuk diangkat menjadi salah satu obyek wisata budaya Jawa Timur. Upaya-upaya tersebut meliputi pembenahan-pembenahan baik ke dalam yaitu kesenian Angklung Caruk itu sendiri maupun ke luar yaitu pihak-pihak dan hal-hal yang bersangkutan dengan kemajuan kesenian itu sendiri. Adapun pembenahan ke dalam yang dilakukan antara lain pembenahan sarana dan prasarana, pembinaan mental para pemain, pembinaan masyarakat, dan lainnya sedangkan pembenahan ke luar dapat berupa promosi. Sehingga melalui usaha-usaha tersebut diharapkan kesenian tersebut dapat berkembang dan diangkat kembali untuk dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan berpotensial sehingga selain dapat menarik minat para wisatawan yang berkunjung juga dapat menunjang kepariwisataan Jawa Timur khususnya Banyuwangi baik dimasa kini maupun di masa yang akan datang.
Sumber :
http://album.banyuwangikab.go.id
http://larosriau.blogspot.com
http://dewey.petra.ac.id
Foto :
http://hasansentot2008.blogdetik.com
http://album.banyuwangikab.go.id
http://www.eastjava.com
Angklung caruk di Banyuwangi
Kota Banyuwangi pantas disebut kota seni, karena mempunyai banyak mahakarya seni pertunjukan yang diwariskan oleh leluhur kita, salah satunya kesenian angklung caruk. Bagi sebagian masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Osing kesenian Angklung Caruk sudah tidak asing lagi. masih sering diselenggarakan oleh masyarakat seperti acara perkawinan, khitanan maupun acara lain seperti perayaan hari kemerdekaan RI.
Sebenarnya kesenian ini sangat unik karena mengadung unsur sportifitas antara grup satu atau “panjak”(sebutan penabuh dalam bahasa Osing) dengan grup lainnya.
Asal Mula Kenian Angklung Caruk
Angklung Caruk merupakan salah satu dari beragam kesenian yang berkembang di Banyuwangi. Pada mulanya angklung digunakan oleh petani di sawah untuk melepas lelah disaat istirahat. Angklung diletakkan di atas sebuah pondok yang tinggi atau masyarakat menyebutnya “paglak”, sehingga disebut “angklung paglak”. Selain itu para petani juga gemar mengguunakan angklung di saat memanen sawah mereka sebagai iringan musik. Uniknya zaman dahulu seorang petani yang memanen sawah memiliki tradisi “ngersoyo” ( gotong royong), pemilik sawah yang memanen sawahnya dibantu para kerabat dan tetangga sehingga si pemilik sawah memberikan sebuah hiburan kepada orang-orang yang telah membantunya di sawahnya dengan angklung yang diletakkan di “paglak”. Biasanya penabuhnya hanya terdiri dari 2 sampai 3 orang saja. Instrumennya terdiri dari 1 angklung (yang mirip dengan angklung di Bali) dan gendang berukuran kecil. Sembari menabuh angklung penabuhnya juga menyanyikan gending-gending khas Banyuwangi. Dari sinilah angklung caruk terbentuk.
Mengapa disebut agklung caruk? “Caruk” merupakan bahasa Osing yang berarti “temu” atau “bertemu”, sehingga angklung caruk mempunyai pengertian dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan
Cara Memainkan Angklung Caruk
Dalam satu panggung. Dua kelompok kesenian ini saling beradu ketangkasan dalam memainkan angklung. Pada sesi pertama pertunjukan angklung caruk diawali dengan “larasan” yaitu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang laki-laki dari masing-masing kelompok yang disebut “badut”. Mereka bargantian menari sesuai dengan kesepakatan. Kemudian di sesi selanjutnya “adol gending” yaitu misalnya kelompok A memberikan aba-aba berupa ketukan sebuah lagu Banyuwangian yang ditujukan kepada kelompok B, dan jika kelompok B tahu ketukan tersebut maka dilanjutkan ketukan tersebut hingga membetuk sebuah iringan musik dan apabila kelompok B tidak bisa atau salah ditengah perjalanan maka kelompok A mengoloknya begitu sebaliknya. Walaupun terjadi “padu-paduan” (olokan dan ejekan). Uniknya kedua kelompok dan pendukungnya saling menjaga sportifitas dan kerukunan.
kesenian angklung caruk Banyuwangi sebagai salah satu obyek wisata budaya
Seiring dengan bertambah majunya jaman dan teknologi, masyarakat seakan terlupa akan kesenian khas yang dimilikinya. Salah satunya yaitu kesenian Angklung Caruk yang merupakan kesenian tradisional warisan nenek moyang kita yang seharusnya kita jaga dan mempertahankannya sebagai ciri khas Banyuwangi. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi masyarakat Jawa Timur khususnya Banyuwangi untuk berupaya sedemikian rupa untuk mencegah semakin tenggelamnya kesenian tradisional tersebut. Didalam upayanya mengangkat kembali kesenian tradisional tersebut banyak ditemui berbagai macam kendala yang harus dipecahkan demi kelangsungan diri kesenian Angklung Caruk tersebut. Setelah kendala dapat dipecahkan kita dapat melakukan upaya-upaya lainnya yang ikut menunjang keberadaan Angklung Caruk di dalam tujuannya untuk diangkat menjadi salah satu obyek wisata budaya Jawa Timur. Upaya-upaya tersebut meliputi pembenahan-pembenahan baik ke dalam yaitu kesenian Angklung Caruk itu sendiri maupun ke luar yaitu pihak-pihak dan hal-hal yang bersangkutan dengan kemajuan kesenian itu sendiri. Adapun pembenahan ke dalam yang dilakukan antara lain pembenahan sarana dan prasarana, pembinaan mental para pemain, pembinaan masyarakat, dan lainnya sedangkan pembenahan ke luar dapat berupa promosi. Sehingga melalui usaha-usaha tersebut diharapkan kesenian tersebut dapat berkembang dan diangkat kembali untuk dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan berpotensial sehingga selain dapat menarik minat para wisatawan yang berkunjung juga dapat menunjang kepariwisataan Jawa Timur khususnya Banyuwangi baik dimasa kini maupun di masa yang akan datang.
Sumber :
http://album.banyuwangikab.go.id
http://larosriau.blogspot.com
http://dewey.petra.ac.id
Foto :
http://hasansentot2008.blogdetik.com
http://album.banyuwangikab.go.id
http://www.eastjava.com