Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Bumi Marapu


Oleh : Siti Maria

Pulau Sumba Selayang Pandang

"Bumi Marapu" adalah sebutan lain bagi Tana Humba atau 'Sumba'. 'Marapu' merupakan merupakan kepercayaan asli yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang yang dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi orang Sumba. Dengan membedah pulau Sumba terbesit pesan, Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Altar megalit dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu).

Pulau ini oleh suku bangsanya sendiri disebut "Tana Humba". Menurut ceritera, kata humba berasal dari nama isteri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yakni ibu model Rambu Humba, isteri kekasih hati Umbu Walu Mandoku. Salah satu peletak landasan suku¬-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Kata 'humba'atau 'sumba'artinya 'asli', jadi tana humba artinya 'tanah asli'.

Pulau Sumba terbag atas dua kabupaten, yakni Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Pulau ini terletak dibelahan luar paling selatan dari untaian pulau-pulau di Indonesia yang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.

Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.

Dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau.

Secara topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana luas.

Atau pada 10 LS dan 120 BT, tepatnya di Tenggara Pulau Bali, sebelah selatan Pulau Flores, di sebelah barat daya Pulau Timor, di sebelah barat laut Darwin — Australia. Sebagai sebuah pulau, Pulau Sumba merupakan salah satu dari 3 pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Pulau Flores, Timor dan Sumba.

Dalam peta, pulau Sumba bagaikan sebuah atol di tengah lautan dengan karakteristik kehidupan yang begitu spesifik dan unik. Keunikannya, karena pulau Sumba terkenal dengan ragam atraksi kesenian, upacara adat dan kampung adat yang sangat spesifik dengan kuburan batu dan menhir peninggalan zaman megalitikum.

Dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana, karena merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Namun sekarang telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau.

Secara topografi pulau Sumba terdiri dari tebaran perbukitan dataran rendah yang landai dan bertingkat-tingkat. Wilayahnya yang beramplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam baik terhadap tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Oleh karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa dan aren; sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi dan kuda sesuai dengan keadaan alam Sumba yang berpadang savana luas.



Kuda Sumba tersebut yang dikenal dengan nama Shadelwood sering dimanfaatkan untuk kepentingan perlombaan. Lomba pacuan kuda biasanya diselenggrakan setiap tahun di kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, juga kepentingan untuk upacara, yakni Pasola. Pasola, nama permainan rakyat tradisional yang dilaksanakan dalam rangka menyambut tahun baru adat menurut kepercayaan Marapu. Biasanya diadakan setiap tahun yang menurut perhitungan kalender adat Marapu, jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Di dalam pasola, diperlihatkan permainan rakyat berupa perang tanding sambil menunggang kuda. Perang tanding biasanya dilakukan di suatu padang terbuka. Di tempat itulah mereka saling mendemonstrasikan kemampuan menombak musuhnya dengan menggunakan senjata lambing yang terbuat dari bambu atau kayu, sambil menunggang kuda. Permainan ini biasanya disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum. Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua ketrampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lambing (hola).

Pulau Sumba dikenal pula dengan alamnya nan indah. Ditandai, terdapatnya pantai yang dapat dijadikan berparisiwisata, seperti di Sumba timur, terdapat pantai Kalala, Tarimbang, Purukaberta dan Walakiri yang sudah mendunia dan dikenal indah untuk berselancar. Begitu juga wisata alam di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan tempat persinggahan burung dari Australia.

Penduduk dan Pencahariannya
Penduduk Pulau Sumba, menyebut diri mereka dengan sebutan Tau Humba (orang Sumba) dan memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Sumba yang termasuk golongan bahasa Bima-Sumba. Penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik. Walaupun demikian, namun dalam kehidupan sehari-hari masih sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi yakni pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu, kepercayaan asli yang menyembah roh nenek moyang yang menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. yaitu yang dikenal dengan kepercayaan "Merapu". Dan hal tersebut, membawa akibat keterikatan mereka pada tempat tinggalnya.

Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari penduduk pada dasarnya merupakan cerminan kehidupan agama tradisional mereka. Hal ini dapat dilihat ketika mereka sedang melaksanakan upacara adat berkenaan dengan daur hidup seperti upacara kelahiran (habola), perkawinan (lalei atau mangoma) dan kematian (pa taningu).

Pencaharian penduduk, umumnya bertani dan beternak. Untuk penggarapan sawah khususnya di wilayah desa-desa tradisional dilakukan dengan cara tradisional serta terikat oleh suatu sistem/peraturan adat yang pengawasan dan pengaturannya dikendalikan oleh dewan adat (para rato).Penggarapan sawahnya yang disebut renca Renca, yaitu pengerahan tenaga manusia dan kerbau dalam jumlah besar di atas tanah sawah yang akan ditanami, dimana kaki-kaki kerbau yang berjumlah puluhan digunakan sebagai pengganti bajak. Pekerjaan ini biasanya akan diawali dan diakhiri dengan upacara keagamaan (ritus). Sedangkan berladang umumnya masih mengenal system barter atau dal istilah Sumba dikenal dengan nama Ippa Mandara dimana masyarakat atau kerabat dari desa satu ke desa yang lain dengan tujuan memimta sebagian hasil panen dan sebaliknya pada saat tertentu orang itu dapat mengembalikannya namun hanya berbeda waktu.


Kerajinan, Pulau Sumba terkenal dengan tenunnya. Tenun yang dikenal adalah tenun dengan teknik ikat dan sulam dengan menggunakan alat-alat tradisional yang sederhana. Kain Sumba Barat, disain pada umumnya berupa variasi garis dalam bentuk geometrik dengan selingan gambar mamuli atau binatang. Kain Sumba Timur, motif dan desainnya menggambarkan irama kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dan bahkan menggambarkan kehidupan alam semesta misalnya matahari, bulan dan bintang.
Kerajinan tenun tersebut, bermutu tinggi selain sebagai koleksi atau digunakan dalam upacara adat, tenunan tersebut dibuat dengan mengguna¬kan ramuan tradisional dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Ada beberapa daerah yang terkenal dengan kain tenunnya, seperti di Kabupaten Sumba Timur yakni desa Kaliuda yang terletak di kecamatan Pahungalodu, Kecamatan Rindiumalulu (Rindi dan Watuhadang), kecamatan Pandawai (Rambangaru dan kelurahan Prailulu).

Asal usul Orang Sumba
Orang Sumba diperkirakan berasal dari Indo Cina dengan rumpun ras mongoloid. Mereka datang secara bergelombang dan berkelompok selama berabad-abad lamanya dengan melewati beberapa daerah diantaranya Semenanjung Malaka, Tanabara (Singapura), Riau, Jawa, Bali, Bima, Makasar, Ende, Ambarai (Manggarai), Enda (Roti), Ndau (Dao), Haba (Sabu) dan Raejua.

Dalam perjalanan ada yang menggunakan perahu yang terbuat dari kayu rica. Perahu tersebut kandas dihempas ombak dan pertama kali mendarat di Haharu Lendewatu atau yang kita kenal sekarang dengan nama Tanjung Sasar, nama sebuah tanjung di sebelah utara Pulau Sumba bagian barat.

Selain di Tanjung sasar, juga di Muara Sungai Pandawai, kemudian menyebar ke seluruh Pulau Sumba. Rentan waktu yang berabad-abad lamanya, mereka yang datang ke pulau Sumba tadi menempati beberapa tempat secara berkelompok, seperti ke daerah Sumba Barat (di sekitar dataran tinggi seperti Wanakaladaorang Laura, Kodi dan Waijewa) dan Sumba Timur(Melolo, Lewa dan daerah pesisir seperti yang tinggaldi sekitar Muara sungai Kambaniru), dan kemudian mereka berpencar mencari tempat untuk melangsungkan hidupnya.

Mereka yang hidup berkelompok ini, lalu membentuk satu komunitas. Tujuan membentuk komunitas untuk dapat bertahan hidup dengan menjalankan segala aktivitas kehidupannya mulai dari mendirikan rumah, membuat seperangkat aturan maupun yang berkenaan dengan penggenerasiannya. Mereka menurunkan generasi-generasi dengan melahirkan banyak generasi dan menempati daerah-daerah seperti Waijewa, Loli, Lamboya Kodi, dan Tana Righu serta wilayah lainnya.

Dalam persebarannya mereka menyebar dan berpencar ke daerah-daerah perbukitan di seluruh Pulau Sumba. Kelompok-kelompok mereka makin bertambah banyak, maka bermusyawarahlah para leluhur untuk menetapkan nama kelompoknya masing-masing dan tempat kediamannya dan berjanji serta bersumpah untuk tetap bersatu di dalam persekutuan persaudaraan. Masing-masing berpisah menurut kelompoknya ada yang ke barat dan ada yang ke timur. Kelompok-kelompok itu merupakan satu persekutuan hukum menurut keturunan (genealogis), yang anggota-anggotanya berasal dari satu leluhur. Kelompok-kelompok semacam ini disebut kabihu atau kabisu yang sama artinya dengan marga atau suku/klan.

Masing-masing kelompok menurut marganya (kabisunya) membentuk komunitas dan mencari tanah untuk mendirikan pemukiman semacam desa untuk tempat menetap. Apabila telah mendapat tanah yang dikehendakinya, menetaplah mereka disitu dengan membuat semacam perkampungan yang disebut paraingu, perkampungan yang disebut, Paraingu adalah persekutuan dari beberapa kampung.Sebuah paraingu dipinnpin oleh seorang yang disebut Bapa Raja. Kepemimpinan itu berdasarkan keturunan kepada ahli waris laki-laki. Istilah untuk tempat pemukiman semacam desa di pulau Sumba dikenal dengan nama wano kalada dan wano nggolu untuk di Sumba Barat; sedangkan di Sumba Timur dikenal dengan nama paraingu dan parona.

Tanah yang mereka telah miliki itu akan diselenggarakan dan dipertahankan bersama-sama oleh Tuan Tanah dengan kelompok-kelompok yang ada dalam lingkungan paraingu itu.

Pola Perkampungan dan Arsitektunya
Perkampungan asli suku bangsa Sumba berupa desa-desa tradisional. Perkampungannya terpencar dan mengelompok, letak antar-paraingu (kampung) sangat berjauhan dengan pola perkampungan asli dalam bentuk lingkaran. Perkampungan atau desa tradisional tersebut umumnya terletak di puncak-puncak bukit dan punggung¬punggung gunung yang sulit dicapai. Setiap kampung terdiri dari beberapa rumah dan sekelilinginya dipagari dengan batu alam ataupun bambu yang tinggi dengan tanaman berduri sejenis kaktus serta biasanya mempunyai 2 (dua) pintu gerbang. Pagar tersebut merupakan batas sebagai kesatuan rumah-rumah tempat tinggal saja.


Hal yang menyebabkan didirikannya perkampungan (paraingu) di atas bukit karena pada masa lampau letak yang karena pada masa lampau letak yang demikian mempunyai keterkaitan dengan faktor ketentraman yakni keamanan dan kepercayaan. Faktor keamanan, karena dahulu sering terjadi perang antar suku (klan) atau desa, misalnya dikarenakan pertentangan mengenai soal batas tanah pertanian. Maka dengan demikian pendirian kampung di atas bukit dimaksudkan agar mereka mudah melihat atau mengintai musuh. Karena secara geografis daerah perbukitan dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk melihat musuh dari jarak jauh dan membaca gejala-gejala yang timbul akibat terjadinya perang tanding.

Faktor kepercayaan, karena kepercayaan asli yang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan Marapu yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang. Bukit dan gunung selalu dihubungkan dengan tempat pemujaan arwah nenek moyang, tempatnya arwah dan tempat datangnya nenek moyang. Oleh karenanya, membawa akibat keterikatan mereka pada tempat tinggalnya, sehingga daerah ini dikenal dengan 'Bumi Marapu'. Marapu merupakan kepercayaan asli yang bersumber pada unsur pemujaan arwah nenek moyang dianggap sebagai hal yang sangat penting.

Dalam perkembangannya, walaupun faktor ketentraman yang keterkaitan dengan perang antar klan sudah tidak lagi, akan tetapi pola perkampungan komunitas adat di pulau Sumba masih tetap dipertahankan yakni penduduk masih tetap tinggal di bukit-bukit. Hal ini, dikarenakan keterkaitan dengan kepercayaan aslinya yakni kepercayaan Marapu bahwa tempat-tempat arwah, tempat datangnya nenek moyang, pemujaan arwah nenek moyang selalu berhubungan dengan bukit dan gunung. Mereka menganggap bahwa "marapu" yaitu arwah leluhur atau roh nenek moyang yang didewakan bertempat tinggal pada tempat yang tinggi (tempat yang teratas). Dunia tempat tinggal para marapu/arwah leluhur ini dalam perwujudannya dapat dilihat sebagai gunung atau bukit. Agar manusia dapat berkontak dengan Marapu yang merupakan perantara antara manusia dengan Ilahi, maka perlulah dibangun uma (rumah) di atas bukit.

Rumah tinggal (uma) ada yang merupakan rumah bermenara (uma mbatangu), atau rumah biasa Rumah biasa adalah rumah panggung tanpa menara sebagai tempat tinggal. Arsitektur rumah adat menurut adat Sumba haruslah mempunyai bubungan yang lonjong, serupa menara. Rumah yang bermenara (uma mbatangu) ini dimiliki oleh setiap persekutuan kerabat (kabihu) yang dihuni oleh keluarga secara turun temurun. Menara diyakini sebagai tempat Marapu. Di menara itu pula mereka menyimpan benda pusaka milik keluarga, seperti mas-mas yang telah dikuduskan untuk Marapu. Tempat itu adalah tempat muharam, yang hanya dapat dimasuki oleh para 'ratu' (imam) pada waktu upacara-upacara yang penting.

Disetiap rumah yang bermenara ini mempunyai tiga bagian yakni bagian bawah rumah, tengah rumah dan atas rumah. Ketiga bagian tersebut dalam pandangan orang Sumba seakan-akan simbol alam yang mempunyai makna, yakni alam bawah (tempat arwah-arwah), alam tengah (tempat manusia) dan alam atas (tempat dewa-dewa).

Uma atau rumah adat orang Sumba tersebut memiliki nilai arsitek tersendiri, karena memiliki menara yang tinggi. Rumah adat itu menggunakan pasak dengan alat ikat tali hutan atau rotan. Konstruksi rumah merupakan rumah panggung dengan Uma atau rumah adat orang Sumba tersebut memiliki nilai arsitek tersendiri, karena memiliki menara yang tinggi. Rumah adat itu menggunakan pasak dengan alat ikat tali hutan atau rotan. Konstruksi rumah merupakan rumah panggung dengan alang-alang, tiang utama dari pohon aren, dengan dinding dan lantai bambu. Panggungnya digunakan sebagai tempat aktifitas manusia seperti tempat untuk memasak, tempat untuk tidur. Di atas'panggung ada loteng yang digunakan untuk menyimpan makanan seperti padi, jagung yang kemudian diasapi dari bawah. Sedangkan di bawah panggung digunakan untuk memelihara ternak seperti kuda, kambing, babi dan lain-lain, juga ada tempat khusus untuk ibu-ibu menenun. Rumah adat tersebut bisa bertahan puluhan tahun.

Marapu Kepercayaan Asli Orang Sumba
'Marapu' terdiri dari dua kata, ma dan rapu. Kata ma berarti 'yang'. Sedangkan kata rapu berarti 'dihormati' dan 'didewakan'. Atau mera dan appu. Mera artinya 'serupa' dan appu artinya 'nenek moyang'. Jadi Marapu artinya 'serupa dengan nenek moyang'. Dalam kaitannya ini, 'Marapu" merupakan kepercayaan asli orang Sumba. Pemujaan arwah nenek moyang atau leluhur yang didewakan merupakan unsur yang menonjol. Mereka disebut 'Marapu', yang dipertuan, yang diperdewa, yang diperilah adalah para leluhur yang sangat dihormati oleh anak cucunya turun temurun.

Kepercayaan Marapu yang merupakan penyembahan kepada arwah nenek moyang dan kekuatan-kekuatan supranatural, dalam pemujaannya dengan melaksanakan sejumlah ritus keagamaan. Ritus keagamaan ini, dipimpin oleh seorang iman yang dilakukan berdasarkan ketentuan adat apabila memerlukan pertolongan para leluhur. Penyembahannya ditujukan kepada arwah leluhur dan kekuatan supranatural.

Penyembahan kepada Marapu dan kekuatan supranatuaral itu biasanya dilaksanakan di dalam rumah, di dalam kampung dan di luar kampung. Rumah dan kampung tidak saja dipandang sebagai tempat berdiam tetapi juga sebagai tempat persekutuan dengan sesama marga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Oleh karena itu, orang Sumba mengenal istilah na mawulu tau na maji tau (yang menganyam manusia), na nia pakarawurungu, naAma pakawurunga (ibu bapa yang namanya dibisikkan bila disebut). Adapun tempat-tempat pemujaan pada umumnya berupa rumah-rumah adat disamping khusus berupa katoda (tiang batu).

Orang Sumba sangat menghargai orang yang sudah meninggal. lni ditandai dengan dikuburnya orang yang telah meninggal di depan rumah atau di tengah kampung. Karena beranggapan, leluhur inilah yang telah menetapkan tata cara adat-istiadat yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, perekonomian dan sebagainya. Personifikasi Marapu terwujud dalam bentuk patung, lambang bulan, matahari, berbagai bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Semua itu diletakkan dalam tempat yang baik dan kuat disimpan di atas loteng rumah. Pada tempat itulah roh leluhur hadir.

Bagi orang Sumba menganggap kematian itu sebagai hal yang penting. Kematian berarti memulai kehidupan baru di alam akhirat. Karena itu memberikan bekal bagi orang yang telah meninggal bukanlah tindakan mubazir. Semakin tinggi kedudukan seseorang didalam masyarakat, dari golongan bangsawan (maramba) semakin besar upacara yang dikehendaki untuk diselenggarakan.

Di beberapa tempat dapat dijumpai mayat yang disimpan dalam rumah, diantaranya sudah puluhan tahun. Mayat dalam posisi duduk dibungkus dengan kain puluhan kain tenun Sumba yang bagus-bagus. Alas duduk mayat adalah kulit kerbau. Upacara kematian itu seringkali tertunda-tunda sehubungan dengan persiapan upacara yang membutuhkan dana yang besar.

Upacara yang berhubungan dengan rumah dari mulai mendirikan tiang sampai pada bubungan rumah dilakukan upacara. Pertanian dan upacara sekitar daur hidup merupakan perwujudan pelaksanaan pemujaan berdasarkan kepercayaan asli, di samping adanya unsur pemujaan pada bulan dan matahari. Menghadapi musim bercocok tanam orang Sumba mengenal bulan suci yang disebut bulan Nyale (Wula Nyale). Pada bulan ini mereka meramal tentang buruk-baiknya hasil panen pada musim yang akan datang, dengan menggunakan sistim pengetahuan berdasarkan gejala yang diberikan oleh alam. Gejala itu disaksikan pada cacing (nyale) yang keluar dari pantai laut dangkal berbatu yang penuh lumut. Para pemimpin upacara (Rato) mengamati pertanda alam tentang kapan cacing atau nyale tadi akan muncul. Hakekatnya memohon kesuburan agar panen yang akan datang menjadi baik dan melimpah

Oleh karena itu, upacara adalah kekayaan masyarakat Sumba. Hal ini terbukti walaupun pendapatan penduduknya tergolong miskin, atas dasar kepercayaan terhadap warisan leluhur, penyelenggaraan pesta adat tidak menjadi halangan. Misal Upacara adat Woleka di desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo yang dilaksanakan 40 tahun sekali menjadi salah satu bukti. Upacara untuk meminta ampun, berkat, dan rezeki pada arwah leluhur biasanya akan menghabiskan tak kurang dari 100 ekor kerbau, 100 ekor sapi, 200 ekor babi dan beberapa kuda. Hewan yang menjadi hidangan pesta ini merupakan hasil ternak penduduk.

Penutup
Masyarakat Sumba secara umum, dalam sistem kepercayaan asli adalah pemujaan kepada nenek moyang yang merupakan salah satu unsur kepercayaan lama yang dikenal dengan istilah Marapu. Kepercayaan asli masyarakat tersebut, tercermin dari beranekaragam bentuk dan manifestasi religiusitas, salah satu bentuknya adalah kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan yang berada diluar jiwa manusia. Walaupun masyarakat Sumba sudah menganut agama nasrani, tetapi masyarakat masih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat seperti kepercayaan kepada Marapu yang disimbolkan kepada beberapa mahluk kepercayaan disekitar lingkungan tempat tinggal.

Orang Sumba mengelompokan diri dalam persekutuan marga (kabihu), kampung (paraingu) dan kepercayaan (Marapu). Kehidupan dalam masyarakat dituntun oleh adat istiadat dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan. Seluruh kehidupannya, sejak masih janin dalam rahim ibunya hingga meninggal, diwarnai oleh kepercayaan kepada Marapu. Tidak ada satu bidang kehidupan pun yang tidak diwarnai oleh adat istiadat dan kepercayaan ini. Kesejahteraan atau kemalangan hidup ditentukan oleh taat tidaknya seseorang dalam pelaksanaan adat-istiadat.

Sumber :
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2007.
Alamat Kompleks Depdiknas, Gedung E, Lantai 10, .11. .1 end. Sudirman, Senayan Jakarta 10270
email : subditkomunitasadat@yahoo.com
Fotografer : Julianus Limbeng, Flavianus Dinong