Oleh : Inajati Adrisijanti
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM
I. Pendahuluan
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada hakekatnya perubahan itu merupakan proses historis yang panjang, yang berkembang dari masa ke masa. Di dalam sejarah Indonesia proses tersebut terlihat sejak dari awal pembentukan masyarakat pada masa prasejarah, kedatangan pengaruh kebudayaan Hindu¬Budha, kedatangan agama dan kebudayaan Islam, serta hadirnya pengaruh Barat, sampai masa kini. Sudah difahami bahwa selama perjalanan sejarah tersebut di atas, bangsa Indonesia beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu berhadapan dengan kedatangan budaya lain yang berbeda sifatnya. Oleh karena itu, tidak dapat diingkari bahwa dalam proses yang panjang itu pernah terjadi pula ketegangan dan konflik. Akan tetapi, ketegangan dan konflik tersebut sebenarnya adalah bagian dari proses ke arah penyatuan.
Sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan, maka bagi generasi muda Indonesia modern tetap diperlukan pendidikan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa. Hal ini ditekankan, karena upaya untuk pembangunan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi dibutuhkan landasan pemahaman dan kesadaran akan sejarah budaya masyarakat dan bangsa yang mantap. Masyarakat Indonesia masa kini merupakan suatu mozaik yang kompleks, yang akan sulit difahami hakekatnya tanpa mengetahui latar belakang historisnya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya yang lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M.
II. Kedatangan Islam
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam di daerah bersangkutan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti T’ang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab, dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi, berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M.
Pada sisi lain diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan Hindu-Budha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan.
Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu, Gresik.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia, khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno.
Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.
Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.
Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga si mati adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
III. Institusi Politik
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampung bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik Islam di kawasan tersebut.
Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan itu, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam, sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit.
Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 Ç = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 Ç = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun 1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam
IV. Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun cara¬cara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantren-pesantren yang muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim di banyak tempat di Jawa.
Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah.
Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama, karena selain melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angin untuk berlayar pulang ke negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga, karena situasi pelayaran masa itu keras dan berat. Oleh karena itu mereka biasanya membentuk keluarga dengan menikahi wanita bumiputra, yang terlebih dahulu diislamkan. Dengan demikian, keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam. Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis setempat.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara.
Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok. Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh para resi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun, dan suka menolong.
Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Selain itu, para pujangga waktu itu juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan, seperti cerita Menak Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru.
Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam. Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang datang ke tempat peribadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab bagi mereka.
Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga Cina. Interpretasi tersebut didasarkan antara lain pada:
adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan dari Gujarat (pantai barat India) adanya episode yang mengisahkan peranan orang Arab dan India dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi. 3. berita yang ditulis Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang berkunjung ke Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan etnik Cina yang beragama Islam di Jawa
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan kekuatan supranatural mereka.
Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan, sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang. Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.
V. Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah.
Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
VI. Penutup
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsur¬unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya.
Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam ( kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka
Adrisijanti Romli, Inajati, 1997, “Islam dan Kebudayaan Jawa”, dalam Cinandi, Yogyakarta: Panitia Lustrum VII Jurusan Arkeologi UGM, hlm. 146-150
, 2001, Arkeologi Perkotaan Mataram-Islam, Yogyakarta :
Jendela
, 2003, ”Bandar Niaga Barus Raya. Kajian Perbandingan dengan
Bandar Kuno di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta: 2003
, 1991, ”Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar
Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspek -Aspek Arkeologi Indonesia, no. 12, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam di Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara (terj.), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (ed.), 2002, Lobu Tua. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO & Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, Indonesian Heritage. Ancient History, Singapore: Didier Millet Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, ”Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”, makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi II
Tjahjono, Gunawan, 1998, Indonesian Heritage. Architecture, Singapore: Didier Millet Pte Ltd
Tjandrasasmita, Uka, 1985, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia
Relating to Southeast Asia, Jakarta: Masagung Foundation
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka
_________
Sumber :
Makalah disampaikan dalam acara pembekalan Lawatan Sejarah Regional DIY, Jateng dan Jatim, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta tanggal 11 – 14 Juli 2006.
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM
I. Pendahuluan
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia dalam arus perubahan besar yang mempengaruhi segala dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada hakekatnya perubahan itu merupakan proses historis yang panjang, yang berkembang dari masa ke masa. Di dalam sejarah Indonesia proses tersebut terlihat sejak dari awal pembentukan masyarakat pada masa prasejarah, kedatangan pengaruh kebudayaan Hindu¬Budha, kedatangan agama dan kebudayaan Islam, serta hadirnya pengaruh Barat, sampai masa kini. Sudah difahami bahwa selama perjalanan sejarah tersebut di atas, bangsa Indonesia beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu berhadapan dengan kedatangan budaya lain yang berbeda sifatnya. Oleh karena itu, tidak dapat diingkari bahwa dalam proses yang panjang itu pernah terjadi pula ketegangan dan konflik. Akan tetapi, ketegangan dan konflik tersebut sebenarnya adalah bagian dari proses ke arah penyatuan.
Sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan, maka bagi generasi muda Indonesia modern tetap diperlukan pendidikan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa. Hal ini ditekankan, karena upaya untuk pembangunan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggi dibutuhkan landasan pemahaman dan kesadaran akan sejarah budaya masyarakat dan bangsa yang mantap. Masyarakat Indonesia masa kini merupakan suatu mozaik yang kompleks, yang akan sulit difahami hakekatnya tanpa mengetahui latar belakang historisnya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya yang lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M.
II. Kedatangan Islam
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam di daerah bersangkutan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti T’ang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab, dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi, berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M.
Pada sisi lain diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan Hindu-Budha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan.
Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu, Gresik.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia, khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno.
Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.
Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.
Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga si mati adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
III. Institusi Politik
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampung bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik Islam di kawasan tersebut.
Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan itu, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam, sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit.
Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 Ç = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 Ç = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun 1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam
IV. Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun cara¬cara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantren-pesantren yang muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim di banyak tempat di Jawa.
Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah.
Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama, karena selain melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angin untuk berlayar pulang ke negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga, karena situasi pelayaran masa itu keras dan berat. Oleh karena itu mereka biasanya membentuk keluarga dengan menikahi wanita bumiputra, yang terlebih dahulu diislamkan. Dengan demikian, keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam. Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis setempat.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara.
Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok. Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh para resi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun, dan suka menolong.
Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Selain itu, para pujangga waktu itu juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan, seperti cerita Menak Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru.
Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam. Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang datang ke tempat peribadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab bagi mereka.
Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga Cina. Interpretasi tersebut didasarkan antara lain pada:
adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan dari Gujarat (pantai barat India) adanya episode yang mengisahkan peranan orang Arab dan India dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi. 3. berita yang ditulis Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang berkunjung ke Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan etnik Cina yang beragama Islam di Jawa
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan kekuatan supranatural mereka.
Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan, sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang. Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.
V. Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah.
Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
VI. Penutup
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsur¬unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya.
Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam ( kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka
Adrisijanti Romli, Inajati, 1997, “Islam dan Kebudayaan Jawa”, dalam Cinandi, Yogyakarta: Panitia Lustrum VII Jurusan Arkeologi UGM, hlm. 146-150
, 2001, Arkeologi Perkotaan Mataram-Islam, Yogyakarta :
Jendela
, 2003, ”Bandar Niaga Barus Raya. Kajian Perbandingan dengan
Bandar Kuno di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta: 2003
, 1991, ”Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar
Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspek -Aspek Arkeologi Indonesia, no. 12, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam di Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara (terj.), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (ed.), 2002, Lobu Tua. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO & Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, Indonesian Heritage. Ancient History, Singapore: Didier Millet Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, ”Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”, makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi II
Tjahjono, Gunawan, 1998, Indonesian Heritage. Architecture, Singapore: Didier Millet Pte Ltd
Tjandrasasmita, Uka, 1985, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia
Relating to Southeast Asia, Jakarta: Masagung Foundation
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka
_________
Sumber :
Makalah disampaikan dalam acara pembekalan Lawatan Sejarah Regional DIY, Jateng dan Jatim, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta tanggal 11 – 14 Juli 2006.