Pendahuluan
Kerajaan Kotawaringin adalah kerajaan Islam yang pernah ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah menjelang akhir abad ke 17 M hingga pertengahan abad ke 20 M. Sejak terhapusnya kerajaan tersebut untuk kemudian menjadi wilayah Republik Indo¬nesia terbagi menjadi dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat dengan kota Pangkalan Bun sebagai Ibu-kotanya, clan Kabupaten Kotawaringin Timur dengan kota Sampit sebagai Ibu-kotanya. Kabupa¬ten Kotawaringin Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat dengan kota Pontianak sebagai inn¬kotanya. Jadi bekas Kerajaan Kotawaringin terletak di ujung Barat Propinsi Kalimantan Tengah dengan Palangka Raya sebagai Ibu-kotanya.
Kerajaan Kotawaringin semula berpusat di tempat yang dikenal sebagai Kotawaringin terletak di tepi sungai Lamandau agak jauh ke hulu. Pada awal-awal abad ke 19 pusat kerajaan dipindahkan ke kota Pangkalan Bun yang terletak di tepi sungai Arut, tidak jauh dari pertemuan sungai Arut dengan sungai Lamandau. Pertemuan ke dua sungai itu terletak tidak jauh dari muara sungai Laman¬dau, sehingga dapat dikatakan pusat kerajaan makin mendekati pantai, yaitu pantai Laut Jawa. Hal ini me¬mang perlu mengingat kelancaran hubungan perdagang¬an. Sejak kepindahan pusat kerajaan tersebut, Kotawa¬ringin lebih dikenal sebagai Kotawaringin Lama sebagai Ibu-kota Kecamatan. Namun sisa-sisa sebagai bekas pu¬sat kerajaan masih tampak juga pada kota tersebut.
Peta sejarah di dalam buku Prof. Dr. Slamet Mulyana berjudul "Negarakertagama- (1979 M) tercantum Kota¬waringin sebagai kota di tepi muara sungai Lamandau. I'eta tersebut memberi petunjuk bahwa Kotawaringin adalah pelabuhan di pantai Selatan Kalimantan yang menghadap ke Laut Jawa. Sedangkan atlas -Indonesia dan Dunia- (PT Pembina Peraga, 1990) mencantumkan Teluk Kotawaringin di dekat muara sungai Lamandau. Hal ini sesuai dengan peta sejarah tersebut di atas. Gusti Dumai, warga setempat dan anggauta dari Keluarga Ke¬rajaan Kotawaringin, menerangkan bahwa sungai kecil di areal tersebut oleh penduduk setempat di rebut sungai Kotawaringin. Tentunya pada masa sekitar tiga abad yang lampau sungai tersebut lebih besar dari keadaan sekarang.
Tiga data tersebut, tempat pemukiman, sungai dan teluk¬nya, merupakan petunjuk kuat tentang lokasi Kota¬waringin. Keterangan Gusti Dumai lebih lanjut menye¬butkan bahwa di kawasan tersebut masih ditemukan sisa¬sisa susunan batu bata yang tentunya merupakan sisa-sisa bangunan pada masa kejayaan Kotawaringin. Buku "Sulu"' Sejarah Kalimantan" (Amir Hasan Kiai Bondan, 1925-1953, Banjarmasin) antara lain mencatat : "Sejarah Banjar menyebutkan sekitar tahun 1628 M VOC menjadikan Kotawaringin sebagai tempat supply beras untuk kepentingan mereka, dan dalam tahun 1638 M terjadi perlawanan para pedagang bersama penduduk setempat dengan pembakaran kapal-kapal VOC yang sedang berlabuh di Kotawaringin karena perlakuan me¬reka yang sewenang-wenang". Catatan tersebut memberi gambaran secara jelas betapa Kotawaringin pada masa itu. Kotawaringin merupakan kota pelabuhan yang letaknya strategis sehingga VOC dapat memanfaatkan sebagai tempat supply beras. Namun sayang sekali dalam sejarahnya kota pelabuhan dan perdagangan yang ber¬potensi itu harus mengalami nasib sebagai korban kese¬rakahan bajak-laut yang merajalela di kawasan tersebut. Temuan sejumlah keramik Cina yang bertebaran ter-tutup pasir pantai memberi gambaran betapa kawasan tersebut pernah memegang peranan penting dalam kegiatan perdagangan antar bangsa.
Rupanya kota perdagangan Kotawaringin sempat ter¬punahkan, namun ketenaran namanya masih sempat terselamatkan sebagai nama pusat kerajaan Islam yang didirikan oleh Keluarga Kerajaan Banjar pada masa-masa pemerintahan Sultan Ke IV Mustainubillah. Namun ke giatan bajak-laut tampaknya masih belum reda, maka lokasi pusat Kerajaan Kotawaringin dipindahkan ke hulu sungai Lamandau. Setelah kegiatan bajak-laut reda, Sul¬tan Kotawaringin Ke IX memindahkan pusat kerajaan¬nya ke arah hilir mendekati pantai Laut Jawa. Namun pemindahan tersebut tidak memilih tepian sungai Lamandau, tetapi tepian sungai Arut yang merupakan cabang sungai Lamandau. Pusat kerajaan yang kemudian disebut Pangkalan Bun itu terletak di sebelah hulu dari pertemuan sungai Lamandau dan sungai Arut. Pemilihan lokasi tersebut walaupun sudah mendekati pantai Laut Jawa namun tampaknya masih tidak terlepas dari rasa tidak aman oleh kemungkinan gangguan bajak-laut. Per¬temuan sungai Lamandau dan Arut terletak tidak jauh dari muara Lamandau di pantai Laut Jawa, sedangkan kota Pangkalan Bun terletak tidak jauh di sebelah hulu pertemuan ke dua sungai tersebut.
Kata Bun dalam nama kota Pangkalan Bun berasal dari nama penduduk setempat dari suku Dayak yang tiap hari mengumpulkan hasil hutan di lokasi Pangkalan Bun. Nama tersebut adalah "Bu'un". Itulah kisah dari ceritera tradisi mengenai asal mula nama kota Pangkalan Bun yang berasal dari istilah "Pangkalan si Bu'un".
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Kerajaan Banjar yang wilayahnya kini menjadi wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, antara lain mencatat bahwa Kerajaan Kotawaringin berdiri atas prakarsa Sultan Banjar Ke IV yang bergelar Mustainubillah. Beliau memerintah antara 1650 M - 1678 M.
Kerajaan Banjar didirikan oleh Pangeran Samodra pada sekitar pertengahan abad ke 16 sebagai kerajaan Islam pertama di kawasan ini. Sebagai sultan pertama adalah Pangeran Samodra sendiri dengan gelar Sultan Surian-syah. Menurut ceritera tradisi, beliau adalah keturunan raja-raja sebelumnya yang masih memeluk agama Hindu¬-Budha. Hikayat Lambung Mangkurat mengkisahkan ada¬nya Kerajaan Negara Dipa dan kemudian Negara Daha. Nama "Daha" tersebut mungkin sekali tidak terlepas dari nama Kerajaan di Jawa Timur "Daha" (Kediri). Sehingga hubungan antara Jawa dengan Kalimantan, sebagaimana hubungan antara Jawa dengan Bali, adalah sejak masa¬-masa itu (abad ke XI dan ke XII) yang pada masa itu Kalimantan dikenal sebagai Tanjungpura. Pada masa itu adalah masa kejayaan Kediri di Jawa Timur dengan Kerajaan Daha dan Kahuripannya.
Sisa-sisa bangunan yang kita temukan di kawasan ini, antara lain bangunan percandian, tentunya adalah sisa-sisa dari jaman itu. Nama "Negara" pada sungai yang mengalir di kawasan tersebut memberi petunjuk pula tentang masa kejayaan daerah tersebut pada jaman itu termasuk antara lain nama tempat Margasari. Kitab "Negarakertagama" menyebutkan beberapa nama daerah di kawasan tersebut yang merupakan daerah takluk Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Pangeran Samodra berdarah Keturunan Raja Majapahit. Kisah ini betapapun memberikan kesimpulan bahwa Pangeran Samodra masih berdarah keturunan kerabat raja Majapahit. Setidak-tidaknya sejak masa Kediri, dalam sekitar abad ke XI, sudah berlangsung hubungan antara Jawa dan Kaliman¬tan.
Ketika timbul kesulitan dalam masalah penggantian takhta, Pangeran Samodra memperoleh bantuan dari Ke¬rajaan Demak. Bantuan tersebut menuntut syarat kese¬diaan Pangeran Samodra memeluk agama Islam. Tun¬tutan tersebut di,penuhi oleh Pangeran Samodra yang juga kemudian mengganti nama dengan nama Surian¬syah. Mengenai hubungan antara Jawa dan Kalimantan, khususnya perihal Kerajaan Kotawaringin ini tidak ter¬ungkap di buku-buku sejarah umumnya. Sejauh ini hanya buku "Suluh Sejarah Kalimantan" (Amir Hasan Kiai Bondan, 1925-1953, Banjarmasin) yang mengungkapkan hal-ihwal Kalimantan, khususnya Kalimantan Selat¬an. Kecuali itu studi Iapangan banyak memberikan petunjuk ke arah hubungan tersebut, antara lain :
a. Istilah bahasa Jawa banyak digunakan dalam ucapan sehari-hari di Kalimantan Selatan, misalnya "nonton banyu" yang artinya "melihat air";
b. Seorang kerabat kerajaan Kotawaringin dapat melagu¬kan tembang atau lagu "Ilir-ilir" (bahasa Jawa) yang menurut keterangannya dipopulerkan oleh Kyai Gede, orang Jawa yang termasuk tokoh Kerajaan Kotawaringin;
c.Pertunjukan wayang-kulit merupakan salah satu pertunjukan yang digelar dalam suatu pesta keluarga.
Demikian antara lain yang merupakan petunjuk betapa hubungan antara daerah Jawa dengan Kalimantan Selatan. Kehadiran tokoh Khotib Dayan dan Kyai Gede dalam pemerintahan Kerajaan Banjar dan Kotawaringin merupakan fakta tentang hubungan antara ke dua daerah tersebut.
Maka perihal bantuan Kerajaan Demak untuk Sultan Suriansyah bukan hal yang tidak mungkin. Namun perihal Raja Demak masih perlu dipelajari, Raja Demak yang mana yang membantu Sultan Suriansyah untuk naik takhta. Sejarah Demak mengungkapkan tentang kegiat an yang dilakukan oleh Sultan Trenggana maupun Ratu Kalinyamat, antara lain mengirim bantuan ke negara¬negara yang mereka rasa perlu dibantu. Jadi ada dua kemungkinan, Sultan Trenggana atau Ratu Kalinyamat yang membantu Sultan Suriansyah.
Maka Suriansyah (ketika itu belum menjabat Sultan) berangkat kembali ke Negara Daha dengan disertai armada Demak. Ikut serta pula ulama yang berasal dari. Demak bernama Khatib Dayan yang kelak akan men¬dampingi Suriansyah sebagai penasehat Raja dan sekali¬gus sebagai pengembang agama Islam pertama di kawasan Kalimantan Selatan. Kalau akhirnya makam Khatib Dayan berdampingan dengan makam Rajanya, yaitu Sultan Suriansyah, adalah sebagai penghormatan sang raja terhadap gurunya. Ekspedisi tersebut menghasilkan kemenangan di fihak Demak yang berarti pula sebagai kemenangan Suriansyah dan langsung naik takhta sebagai Sultan Banjar yang pertama.
Sejak pemerintahan Suriansyah Kerajaan Banjar sudah harus menghadapi Kolonial Belanda yang pada awal abad ke 17 sudah mulai menjangkau Indonesia walaupun harus menghadapi kekuatan Portugis yang lebih dahulu mema¬suki tanah air kita Indonesia. Dengan segala daya dan upaya Kerajaan Banjar berhasil mempertahankan eksistensinya selama sekitar 2'/2 abad. Dalam situasi seperti itu, terpaksa pusat kerajaan berpindah-pindah tern pat yang berkisar di sekitar kawasan Banjarmasin-Marta¬pura. Situasi tersebut mengakibatkan makam-makam Raja Banjar beserta kerabatnya harus terpisah-pisah. Se¬perti pula kerajaan-kerajaan lain dii Indonesia ini, sedikit demi sedikit fihak Kolonial Belanda berhasil merongrong kedaulatan Kerajaan Banjar untuk akhirnya menguasai seluruh wilayah kekuasaan Banjar. Dengan demikian wi¬layah kekuasaan Belanda di Indonesia makin bertambah. Melalui surat keputusan yang dibuatnya sendiri tertang¬gal 11 Juni 1860, Belanda menghapus kedaulatan Keraja¬an Banjar. Maka setelah seluruh wilayah Indonesia di¬kuasainya, Belanda menyebut wilayah kekuasaannya ter¬sebut dengan nama "Nederlandsch Indie" atau "Hindia Belanda". Satu tahun sebelumnya, 25 Juni 1859, Belanda menurunkan Sultan Banjar Ke XIII Tarnjidillah II (Sul¬tan terakhir) dari takhtanya dan mengasingkannya ke Jakarta. Sekitar dua tahun kemudian dari penghapusan kedaulatan Kerajaan Banjar melalui surat keputusannya tersebut, 1862 M, Belanda berhasil melumpuhkan per¬lawanan kerabat Kasultanan Banjar beserta para pe¬ngikutnya yang dipimpin Pangeran Hidayat. Belanda berhasil menangkap Pangeran Hidayat dan mengasing¬kannya ke Cianjur. Sementara itu kerabat yang lain, Pangeran Antasari, wafat karena sakit di tempat per¬sembunyiannya.
Demikian perihal Kerajaan Banjar terungkapkan secara singkat Kerajaan Banjar adalah induk dari Kerajaan Kotawaringin, karena Sultan Banjar Ke IV Mustai¬nubillah (1650-1678 M) pengambilan prakarsa berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan bantuan Kyai Gede, seorang ulama yang mungkin juga berasal dari Demak seperti halnya Khatib Dayan (pendamping Sultan Surian¬syah). Sesuai dengan sejarahnya, maka perihal Kerajaan Kotawaringin (1680-1948 M), akan diuraikan dalam 3 periode :
- Periode I (Masa Persiapan)
- Masa Kyai Gede ( - 1680)
- Periode II (Masa Kotawaringin 1680 - 1811 M)
- Periode III (Masa Pangkalan Bun 1811 - 1948 M)
Kawasan yang akan menjadi wilayah Kerajaan Kota¬waringin ini merupakan kawasan yang dapat dikatakan belum siap untuk menjadi wilayah kerajaan, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Penduduknya yang belum banyak itu hidup berkelompok-kelompok saling berjauh¬an sepanjang tepi sungai.. Mereka umumnya pengumpul hasil hutan atau sungai, sedikit sekali yang bertani atau berdagang. Buminya yang luas itu sebagian besar ditum¬buhi hutan lebat dengan sungai-sungai yang berjeram. Hingga sekarang pun penanganan bumi Kalimantan masih jauh dari tuntas. Dunia perdagangan merupakan kegiatan yang lebih menonjol sebagaimana tampak di kota Pangkalan Bun yang kini menjadi Ibu-kota Kabu¬paten Kotawaringin Barat. Adanya kota Pangkalan Bun itu pun baru pada awal abad ke XIX yang sebelumnya juga berupa hutan.
Situasi kawasan yang masih jauh dari kematangan ter¬sebut ini dirasa perlu untuk dipersiapkan terlebih dahulu. Untuk tugas menyelenggarakan persiapan tersebut Sultan Mustainubillah, \Sultan Banjar Ke IV (1650-1678 M), melimpahkan kepercayaan kepada seorang tokoh yang tentunya telah dikenal benar-benar oleh Sultan tersebut. Tokoh tersebut adalah Kyai Gede, seorartg tokoh berasal dari Jawa yang diperkirakan dari Demak seperti haloya Khatib Dayan, Ulama pendamping Sultan Stiriatisyah Namun rupanya Kyai Gede bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang negarawan. Sedangkan Khatib. Dayan benar-benar hanya seorang ulama.
Sejak awal pemerintahan Ayah Sultan Mustainubillah, yaitu Sultan Hidayatullah (1641-1650 M), tahun 1641 M adalah tahun yang terakhir bagi Kerajaan Banjar me¬ngantar upeti untuk Kerajaan Mataram. Saat itu Keraja¬an Mataram dalam pemerintahan Sultan Agung dengan masa pemerintahannya antara 1613-1645 M. Hal itu memberi petunjuk bahwa hegemoni Demak atas Banjar dilanjutkan oleh Kerajaan Mataram. Jadi masa pemerin¬tahan Sultan Mustainubillah, Banjar sudah terbebas dari kewajiban mengantar upeti ke Mataram.
Rupanya Sultan Mustainubillah tidak hendak menyim¬pang dari prinsip Kerajaan Banjar bahwa agama Islam menjadi dasar kerajaan. Antara lain konsep tersebut yang menyebabkan Kyai Gede terpilih untuk pelaksanaan tugas merintis tegaknya Kerajaan Kotawaringin. Sayang sekali bahwa angka tahun pelaksanaan tugas tersebut tidak tercatat. Jelas bahwa tugas ini tidak hanya menyangkut segi agama semata-mata, tetapi juga segi sosial bahkan sosial politis. Tugas tersebut sekaligus merupakan batu ujian bagi Kyai Gede sebagai abdi negara, terutama tingkat kemampuannya. Sejarah membuktikan bahwa Kyai Gede bukah hanya seorang ulama, tetapi juga seorang negarawan. Makam Kyai Gede yang terpisah dari kompleks makam kerabat kerajaan justru mendapat perhatian masyarakat lebih dari makam raja-rajanya. Makamnya yang sederhana terlindung bangunan sederhana pula, namun tampak rapi dan bersih walaupun makam itu sendiri sudah berumur sekitar hampir tiga abad. Hal ini memberi petunjuk pula bahwa Kyai Gede juga seorang tokoh masyarakat yang dicintai dan dihor¬mati khalayak. Walau demikian, sampai akhir hayatnya Kyai Gede tetap menjabat sebagai orang ke dua sesudah raja. Ia menjabat Mangkubumi sejak dari Sultan pertama hingga wafatnya pada masa pemerintahan Sultan Ke II. Sayang sekali, angka tahun kesejarahan Kyai Gede tidak ditemukan.
Bila mengambil ancer-ancer angka tahun pemerintahan Sultan Ke IV tersebut, yaitu 1650-1678 M, dapat diper¬kirakan tahun 1655 M sebagai tahun awal Kyai Gede melaksanakan tugasnya di Kotawaringin. Sesuai dengan tugas yang dibebankan Sultan Mustainubillah sebagai raja dari kerajaan yang berdasarkan ke-Islam-an, pertama¬tama yang dilaksanakan Kyai Gede selaku seorang ulama adalah mengembangkan ajaran Islam. Setelah beberapa waktu lamanya menyusuri sungai Lamandau ke arah hulu sampai di tempat yang dihuni sekelompok suku Dayak. Pimpinan kelompok tersebut adalah Demung Tujuh Ber¬saudara yang merupakan pimpinan secara kolektif. Se¬telah berhasil mengatasi berbagai masalah dengan me¬reka, akhirnya Kyai Gede memutuskan untuk menetap di tempat tersebut yang disebut Tanjung. Pangkalan Batu. Maka langkah pertama yang Kyai Gede lakukan adalah mengembangkan agama Islam.
Dalam mengembangkan agama Islam tersebut, Kyai Gede harus menghadapi kenyataan bahwa tidak seluruh masyarakat di tempat itu menerima ajaran Islam. Se¬bagian masyarakat yang menerimanya dikenal sebagai kelompok "Nyaga", sedangkan yang tidak menerimanya terpaksa menyingkir ke pedalaman (ke arah "darat") meninggalkan tempat awal yang terletak di tepian sungai. Maka kelompok yang ke dua tersebut disebut kelompok "Dayak Darat" untuk tetap memegang keyakinan lama yang mengandung unsur-unsur Hindu dengan ke-"Majapahit"-annya itu.
Selanjutnya Kyai Gede mengembangkan tugasnya sesuai dengan yang dipercayakan Sultan Mustainubillah kepada¬nya. Dan Kyai Gede juga memutuskan untuk menetap di tempat tersebut yang di kemudian hari menjadi pusat kerajaan dan disebut Kotawaringin. Sambil menanti pe-ngangkatan raja, Kyai Gede melaksanakan tugas selaku, pemimpin daerah dengan meneruskan tradisi setempat yaitu mengantar upeti ke Kerajaan Banjar. Menurut catatan, Jajar Melahui adalah pemimpin rombongan pc¬ngantar upeti dari rakyat Dayak setempat dan sekitar¬nya untuk Raja Banjar sebelum kehadiran Kerajaan Kotawaringin.
Dalam masa-masa inilah, sesuai dengan tugasnya selaku penyiar agama Islam, Kyai Gede mendirikan masjid yang hingga kini masih juga dikenal sebagai "Masjid Kyai Gede". Bila di Palembang ada istilah "Gending Suro", maka di kawasan ini dikenal istilah "Dipati Ganding" selaku Mangkubumi dan "Dipatinggendeng" ("Dipating¬gending") selaku wakil raja. Istilah "Gending Suro" tiada lain adalah tokoh sejarah setempat Ki Gede Ing Suro yang menurunkan raja-raja Palembang. Maka istilah "Dipati Ganding" atau "Dipatinggendeng" dapat diper¬kirakan "Dipati Gede Ing" yang artinya "Dipati Gede Di" yang tentunya dapat diteruskan dengan nama tempat ("Dipati Gede Ing ...). Istilah "Dipatinggendeng" lebih dekat keucapan/dialek Jawa dari "Dipati Ganding". Dari kenyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa maksud istilah tersebut adalah "Kyai Gede".
Sebagai penyiar agama Islam, Kyai Gede tentunya me¬miliki satu keinginan yaitu mendirikan masjid. Maka pendirian masjid diperkirakan tidak terlalu jauh dari ta¬hun 1660 M, dengan catatan perkiraan Kyai Gede me¬n-tidal tugasnya di Kotawaringin sekitar tahun 1655 M. Bangunan masjid tersebut seluruhnya dari kayu sesuai de¬ngan keadaan alamnya yang banyak menghasilkan kayu sedangkan batu-batuan sulit, diperoleh. Empat tiang uta¬ma di tengah (Jawa : Saka Guru) diukir dengan gaya Jawa berpola "ukel". Duabelas tiang sekitar tiang utama polos namun diberi bentuk yang lebih artistik dari duapuluh tiang sekitar tiang duabelas tersebut. Maka tiang dua¬puluh ini merupakan deretan tiang di tepi. Dengan demi¬kian tigapuluh enam tiang berderet dalam tiga deret de¬ngan empat tiang utama yang terukir indah di tengah/ pusat. Kemudian berturut-turut ke arah tepi, deretan tiang dua belas tanpa ukir namun dibuat dalam bentuk yang indah dan akhirnya deret paling tepi adalah tiang duapuluh dalam bentuk paling sederhana. Dengan demi¬kian tersusun deretan tiang secara teratur.
Tiga deret tiang yang tersusun dalam bentuk segi-empat itu mendukung tiga atap masjid yang tersusun dari atas ke bawah dengan atap yang paling atas berbentuk pira¬mid berpuncak. Demikianlah bangunan masjid yang di¬beri nama pendirinya, masjid Kyai Gede, berbentuk arsitektur masjid tradisional yang lazim di tanah-air kita, Indonesia (arsitektur tradisional masjid Indonesia). Dengan namanya itu, masjid ini sekaligus merupakan monumen tokoh Kyai Gede sebagai seorang ulama peletak dasar yang kokoh untuk berdirinya Kerajaan Kotawaringin. Ternyata Kerajaan Kotawaringin sempat hidup selama hampir tiga abad (1680-1948 M).
Dengan prestasi dan kesetiaannya kepada raja itu, dalam pemerintahan Kerajaan Kotawaringin, Kyai Gede mene¬rima penghargaan dan kepercayaan untuk menduduki jabatan Mangkubumi. Sampai wafatnya, Kyai Gede sem¬pat memegang jabatan tersebut hingga dalam pemerin-tahan Sultan Kotawaringin yang Ke 11.
Ada catatan menyebutkan bahwa "dalam tahun 1656 M Sultan baru dari Kotawaringin mengirim utusan ke Jakarta". Yang dimaksud Sultan baru dari Kotawaringin di sini tentunya adalah Kyai Gede yang waktu itu sedang mempersiapkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin atas inisiatif Sultan Banjar Ke IV Mustainubillah. Karena Mustainubillah naik takhta pada tahun 1650, maka dapat diperkirakan Kyai Gede mulai menjalankan tugas¬nya antara tahun 1650-1656 M. Maka sementara dapat diperkirakan tahun 1653 adalah tahun permulaan Kyai Gede menjalankan tugasnya di Kotawaringin. Selanjut¬nya peran tokoh Kyai Gede dalam tugasnya membantu tegaknya Kerajaan Kotawaringin dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kyai Gede adalah tokoh berasal dari Demak seba¬gaimana Khotib Dayan pendamping Sultan Pertama Banjar Suriansyah. Kyai Gede adalah gelar, nama Kyai Gede belum ditemukan. Kyai Gede adalah Gelar Kehormatan untuk pimpinan masyarakat di bidang pemerintahan atau/dan agama. Rupanya untuk Kyai Gede ini berlaku ke dua-duanya. Di Jawa, Kyai sering disingkat menjadi Ki, dan Gede diterjemahkan dalam bahasa halus menjadi Ageng. Namun akhirnya gelar tersebut sejak beberapa waktu akhir-akhir ini tidak lazim lagi, yang lazim adalah Kyai, itu pun hanya untuk pimpinan agama, Islam khususnya.
2. Jabatan Mangkubumi dalam pemerintahan, sementara itu gelarnya terabadikan pada masjid yang dibangun¬nya untuk keperluan rakyat, menunjukkan peran Kyai Gede dalam Kerajaan Kotawaringin. Pada tahun 1680 M Sultan Banjar meresmikan salah seorang puteranya, Pangeran Dipati Antakasuma, sebagai Raja Kotawaringin yang Ke I. Dengan demikian Kyai Gede menjalankan tugasnya di Kotawaringin selaku perintis sejak sekitar tahun 1653 adalah selama 27 tahun.
3. Selama sekitar 27 tahun Kyai Gede menjalankan tugasnya dengan mulus tanpa terjadi hal-hal yang mengganggu hubungan antara Banjar dengan Kotawa¬ringin, termasuk hubungan pribadi antara Kyai Gede dengan Keluarga Kerajaan Banjar. Peresmian Raja Kotawaringin Ke I dengan Kyai Gede selaku Mangku¬bumi berjalan mulus. Sayang, tahun wafat Kyai Gede belum diketahui.
Raja Pertama Kotawaringin ini, sesuai dengan pendam¬pingnya yaitu Kyai Gede, adalah tokoh yang berupaya mendekatkan diri ke Tuhannya. Hal itu tampaknya memang menjadi keinginan Sultan Mustainubillah, agar Kerajaan Kotawaringin tidak hanya mengutamakan tata ekonomi dan pemerintahannya, tetapi lebih dari itu ada¬lah mengembangkan agama Islam. Dasar yang diwujud¬kan dengan dwitunggal Ratu Bagawan - Kyai Gede ter-sebut sesuai dengan pendahulunya yang diwujudkan pula dengan dwitunggal Suriansyah - Khotib Dayan. Dasar ini berjalan terus sehingga Raja Ke VIII yang memerintah pada akhir abad ke 18 hingga awal abad ke 19, Pangeran Ratu Anum Kasumayuda, sering pergi ke Danau Gatal dalam rangka penyelenggaraan pendidikan agama Islam. Di tempat tersebut terdapat pesanggrahan yang diman¬faatkan untuk penyelenggaraan pesantren tersebut.
Ratu Bagawan yang dikenal pula sebagai Ratu Kotawa¬ringin rupanya memiliki wibawa yang cukup di antara Keluarga Kerajaan Banjar. Hal ini terbukti dengan ter¬panggilnya Ratu Kotawaringin ke Banjar setiap ada peristiwa penting di Banjar. Ketika Raja Banjar Ke V Sultan Inayatullah wafat pada tahun 1685 M, Ratu Kotawaringin diminta hadir di Banjar untuk menentukan penggantinya walaupun sudah ada seorang kakaknya bergelar Pangeran/Panembahan Di Darat yang tinggal di kawasan Martapura. Dengan segala kewibawaannya se¬laku sesepuh dan penasehat Kerajaan, Ratu Kotawari¬ngin/Bagawan memutuskan bahwa Pangeran Kasuma Alam, putera Almarhum Ratu Agung (Sultan Banjar Ke V), menggantikan ayahnya tersebut selaku Sultan Banjar Ke VI dengan gelar Sultan Saidillah/Saidullah atau Ratu Anom (1685-1700 M). Dalam menjalankan tugasnya, Ratu Bagawan selalu didampingi pendampingnya, "Dipatingganding" ("Dipati Gede Ing" Kotawaringin atau Kyai Gede). Keputusan tersebut berdasarkan atas kebiasaan/tradisi sejak Sultan Pertama Suriansyah, bahwa pergantian takhta berlaku "anak mengganti ayah". Tradisi ini berlaku pula bagi Kerajaan Kotawaringin yang bertahan hingga Raja Kotawaringin Ke XI yang memerintah pada tahun 1867-1904 M. Karena tidak ber¬putera, ketika Raja Ke XI wafat, pemilihan pengganti raja jatuh pada Putera Raja Ke IX Pangeran Ratu Imanuddin (1805-1841 M) yang bergelar Pangeran Ratu Paku Sukma Negara sebagai Raja Ke XII (1904-1913 M). Selanjutnya berlaku tradisi lama hingga Raja Ke XIII yang setelah wafat digantikan puteranya sebagai Raja Ke XIV. Akhirnya Raja Ke XIV inilah merupakan Raja Kotawaringin terakhir yang meletakkan takhta berdasar¬kan Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia.
Salah satu peristiwa penting dalam masa pemerintahan Ratu Bagawan ini yang patut dicatat adalah perselisihan¬nya dengan salah satu kerajaan tetangganya yaitu Ke¬rajaan Sukadana. Kerajaan ini terletak di sebelah Barat Kerajaan Kotawaringin dan kini menjadi Wilayah Pro¬pinsi Kalimantan Barat. Semula dua kerajaan ini bersa¬habat oleh perkawinan antara putera Raja Sukadana ("Seridewa") dengan puteri Raja Kotawaringin ("Puteri Gelang"). Namun perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian. Ketika perkawinan Raja Kotawaringin meng¬hadiahkan "daerah sungai Jelai", yang terletak di per¬batasan antara ke dua kerajaan tersebut, kepada mem¬pelai, setelah terjadi perceraian hadiah perkawinan ter¬sebut menjadi sengketa yang tidak kunjung selesai. Seng¬keta tersebut terjadi karena fihak Sukadana memper¬tahankan hadiah perkawinan tersebut ketika diminta kembali oleh fihak Kotawaringin. Sengketa tersebut se¬lesai dengan sendirinya pada saat terhapusnya keswa¬prajaan seluruh Indonesia (kecuali Jogyakarta) oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948.
Namun pada masa pemerintahan Belanda ("Pemerintah Hindia Belanda"), melalui Surat Keputusannya tertanggal 15 Desember 1901 Kontrolir Sampit menetapkan bahwa daerah sengketa tersebut di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Surat Keputusan ini diundangkan setelah lewat lehih dari 200 tahun dari persengketaan tersebut. Demi¬kianlah antara lain cara Belanda menguasai seluruh Indo¬nesia dengan menguasai daerah demi daerah.
Sayang sekali, akhir hayat Ratu Kotawaringin ini tidak jelas, termasuk letak makam beliau. Berbagai fihak me¬nyebutkan tentang Ratu Kotawaringin yang tewas dalam "Perang Pasir" membantu Kerajaan Banjar tanpa me-nyebutkan tempatnya dimana beliau tewas dan dima¬kamkan. Sedangkan buku "Hikayat Banjar" hanya me¬nyebutkan tentang wafatnya Sultan Saidillah (Raja Banjar Ke VI) pada tahun 1700 M, tiga tahun setelah wafatnya Ratu Kotawaringin. Buku tersebut tidak me-nyebutkan peristiwa Perang Pasir.
Penggunaan gelar "adipati" di dalam pemerintahan Ke¬rajaan Kotawaringin, tentunya adalah salah satu penga¬ruh dari Jawa yang terbawa oleh Kyai Gede. Rupanya gelar ini mulai digunakan oleh Raja Ke I Kotawaringin sebagai Pangeran Adipati Antakasuma dan Kyai Gede sendiri sebagai Mangkubumi/pendamping raja menyan¬dang gelar Adipati Gede. Bagi Kyai Gede agaknya mem¬bawa-bawa nama sendiri adalah suatu pantangan tersen-diri. Dengan gelar adipati pun ternyata gelar "gede" yang disandang, bukan namanya sendiri. Istilah "dipatinggen¬ding" atau "dipati gensing" dapat dibandingkan dengan istilah populer di dalam sejarah Palembang "gending suro". Pangeran Dipati Antakasuma yang ketika muda¬nya bergelar Pangeran Anum adalah adik Sultan Banjar Ke V Inayatullah (1678-1685 M) yang sebelumnya bergelar Pangeran Tuha. Masa itu adalah masa Kerajaan Mataram II (Islam) dalam pemerintahan Amangkurat II (1677-1703 M), cucu Sultan Agung.
Kerajaan Kotawaringin selama berkembangnya dari menjelang akhir abad ke 17 (1680 M) hingga per¬tengahan abad ke 20 (1948 M) sempat memiliki tiga istana : Astana Luhur dan Gedung Nurhayati di Kota¬waringin (kemudian menjadi Kotawaringin Lama) dan yang terakhir adalah Lawang Agung di Pangkalan Bun. Sedangkan bangunan yang hingga sekarang masih tampak dan dikenal sebagai Astana Alnursari terletak di Kotawaringin Lama adalah rumah pribadi Raja Ke XII Pangeran Ratu Paku Sukma Negara. Karena milik raja dan didiami raja beserta para kerabatnya, maka rumah pribadi Alnursari tersebut secara umum juga disebut astana.
1. Astana Luhur
Bangunan istana ini didirikan oleh Raja Ke I Kota¬waringin Pangeran Dipati Antakasuma yang merupa¬kan istana pertama kerajaan tersebut. Istana tersebut didirikan di tempat Kyai Gede mendarat dan akhirnya bermukim bersama suku Dayak setempat yang waktu itu dikenal sebagai Tanjung Pangkalan Batu. Nama ini diganti oleh Raja tersebut menjadi Kotawaringin, na-mun dalam berbagai prasasti Kerajaan Islam Kota¬waringin disebut Kotaringin. Apakah hal ini hanya sekedar untuk membedakan antara nama kerajaan yang "Kotawaringin" dengan nama bagi Ibu-kotanya yang "Kotaringin", belum ditemukan penjelasannya.
Dari bangunan istana ini tidak tertinggal sisa-sisanya, walaupun bahannya dari kayu pilihan, terutama kayu besi. Karenanya sulit menjejaki bekas Iokasinya. Na¬rnun menurut petunjuk kerabat raja yang kini sudah meninggal, Almarhum Gusti Dumai Anas, lokasi istana tersebut terletak sekitar areal sebelah Barat makam Kyai Gede.
Astana Luhur dikenal pula dengan nama Tiang Ber¬ukir. Dari informasi diperoleh data bahwa Astana Luhur yang berukuran besar ini berbentuk "Rumah Betang" yang merupakan perwujudan arsitektur Dayak. Rumah Betang berarti rumah besar. Rumah orang Dayak memang berukuran besar, karena satu rumah dihuni sejumlah keluarga. Menghuni rumah secara beramai-ramai memang cara khas orang Dayak. Bila diserang sewaktu-waktu secara mendadak, mereka dapat mempertahankan diri atau menangkis serangan secara beramai-ramai pula. Panggung rumah Dayak berukuran tinggi antara lain untuk memper¬sulit serangan. Astana Luhur berukuran besar karena tempat kediaman raja umumnya perlu berukuran besar untuk berbagai fasilitas. Secara tehnis, rumah Dayak memang tidak terlalu sulit, yang penting me¬merlukan kayu-kayu berukuran besar. Sehingga men¬dirikan rumah Dayak relatif lebih cepat. Pada umum¬nya rumah Dayak berdenah segi-empat panjang de¬ngan atap yang berbentuk atap-pelana. Selain rumah untuk keluarga, dibangun pula rumah untuk menyim¬pan berbagai jenis benda pusaka yang disebut Pago¬ngan. Nama ini tentunya berkait dengan benda pusaka yang diantaranya berupa "gong". Lokasi Pagongan ini tidak jelas lagi, lokasi yang sekarang ini adalah baru. Kecuali itu Raja Ke I juga membangun Paseban yang tidak jelas juga di mana lokasinya. Biasanya Paseban untuk menerima tamu/pegawainya. Astana Luhur ini sempat didiami hingga Raja Ke VI.
2. Gedung Nurhayati
Bangunan istana Kotawaringin yang ke dua ini di¬bangun oleh Raja Ke VI, Pangeran Panghulu. Angka tahun pemerintahannya belum diperoleh. Gedung ini didiami Raja Ke VI sendiri hingga Raja Ke IX. Gedung Nurhayati yang dikenal pula sebagai Gedung Bundar didirikan untuk mengganti istana yang pertama As¬tana Luhur. Setelah didiami enam raja beserta keluar¬ganya secara berturut-turut, bangunan Astana Luhur mengalami proses kerapuhan walaupun terbuat dari bahan kayu pilihan. Karenanya Pangeran Panghulu, Raja Ke VI tersebut, merasa perlu menggantinya dengan mendirikan Gedung Nurhayati terletak di se-belah hilir Astana Al'Nursari yang kini masih tampak sisa-sisanya dan Astana tersebut terletak di sebelah hilir lokasi Astana Luhur. Sama dengan Astana Luhur, sisa dari Gedung Nurhayati pun tidak tampak kecuali hanya beberapa tiang saja, dan tahun pembangunan¬nya pun tidak tercatat. Raja Ke IX (1805-1841 M) meninggalkannya, jadi yang tinggal di Gedung ter sebut adalah Raja Ke VI Pangeran Panghulu, Raja Ke VII Pangeran Ratu Bagawan, Raja Ke VIII Pangeran Ratu Anum Kasumayuda dan yang terakhir adalah Pangeran Ratu Imanuddin, (Raja Ke IX). Sementara itu Raja Ke VIII yang masa kecilnya dikenal sebagai Gusti Mussadam lebih sering tinggal di pesanggrah¬annya di Danau Gatal, tidak jauh sebelah hulu Kota¬waringin. Di tempat inilah beliau menyelenggarakan pendidikan agama Islam untuk kerabat raja dan umum di samping beliau sendiri mendalami agama Islam.
3. Lawang Agung
Pangeran Ratu Imanuddin (1805-1841 M) adalah penghuni yang terakhir Gedung Nurhayati dan selama tinggal di Gedung tersebut is membangun istana yang ke tiga di Pangkalan Bun. Istana tersebut mulai di¬bangun pada tahun 1809 dan selesai pada tahun 1811 M. Sejak tahun tersebut pusat kerajaan dipindahkan dari Kotawaringin ke Pangkalan Bun dan bekas pusat kerajaan disebut Kotawaringin Lama.
Sumber :
Subdibyo Yuwono, dkk., 1996/1997, Makam Raja-Raja Kotawaringin, Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kerajaan Kotawaringin adalah kerajaan Islam yang pernah ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah menjelang akhir abad ke 17 M hingga pertengahan abad ke 20 M. Sejak terhapusnya kerajaan tersebut untuk kemudian menjadi wilayah Republik Indo¬nesia terbagi menjadi dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat dengan kota Pangkalan Bun sebagai Ibu-kotanya, clan Kabupaten Kotawaringin Timur dengan kota Sampit sebagai Ibu-kotanya. Kabupa¬ten Kotawaringin Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat dengan kota Pontianak sebagai inn¬kotanya. Jadi bekas Kerajaan Kotawaringin terletak di ujung Barat Propinsi Kalimantan Tengah dengan Palangka Raya sebagai Ibu-kotanya.
Kerajaan Kotawaringin semula berpusat di tempat yang dikenal sebagai Kotawaringin terletak di tepi sungai Lamandau agak jauh ke hulu. Pada awal-awal abad ke 19 pusat kerajaan dipindahkan ke kota Pangkalan Bun yang terletak di tepi sungai Arut, tidak jauh dari pertemuan sungai Arut dengan sungai Lamandau. Pertemuan ke dua sungai itu terletak tidak jauh dari muara sungai Laman¬dau, sehingga dapat dikatakan pusat kerajaan makin mendekati pantai, yaitu pantai Laut Jawa. Hal ini me¬mang perlu mengingat kelancaran hubungan perdagang¬an. Sejak kepindahan pusat kerajaan tersebut, Kotawa¬ringin lebih dikenal sebagai Kotawaringin Lama sebagai Ibu-kota Kecamatan. Namun sisa-sisa sebagai bekas pu¬sat kerajaan masih tampak juga pada kota tersebut.
Peta sejarah di dalam buku Prof. Dr. Slamet Mulyana berjudul "Negarakertagama- (1979 M) tercantum Kota¬waringin sebagai kota di tepi muara sungai Lamandau. I'eta tersebut memberi petunjuk bahwa Kotawaringin adalah pelabuhan di pantai Selatan Kalimantan yang menghadap ke Laut Jawa. Sedangkan atlas -Indonesia dan Dunia- (PT Pembina Peraga, 1990) mencantumkan Teluk Kotawaringin di dekat muara sungai Lamandau. Hal ini sesuai dengan peta sejarah tersebut di atas. Gusti Dumai, warga setempat dan anggauta dari Keluarga Ke¬rajaan Kotawaringin, menerangkan bahwa sungai kecil di areal tersebut oleh penduduk setempat di rebut sungai Kotawaringin. Tentunya pada masa sekitar tiga abad yang lampau sungai tersebut lebih besar dari keadaan sekarang.
Tiga data tersebut, tempat pemukiman, sungai dan teluk¬nya, merupakan petunjuk kuat tentang lokasi Kota¬waringin. Keterangan Gusti Dumai lebih lanjut menye¬butkan bahwa di kawasan tersebut masih ditemukan sisa¬sisa susunan batu bata yang tentunya merupakan sisa-sisa bangunan pada masa kejayaan Kotawaringin. Buku "Sulu"' Sejarah Kalimantan" (Amir Hasan Kiai Bondan, 1925-1953, Banjarmasin) antara lain mencatat : "Sejarah Banjar menyebutkan sekitar tahun 1628 M VOC menjadikan Kotawaringin sebagai tempat supply beras untuk kepentingan mereka, dan dalam tahun 1638 M terjadi perlawanan para pedagang bersama penduduk setempat dengan pembakaran kapal-kapal VOC yang sedang berlabuh di Kotawaringin karena perlakuan me¬reka yang sewenang-wenang". Catatan tersebut memberi gambaran secara jelas betapa Kotawaringin pada masa itu. Kotawaringin merupakan kota pelabuhan yang letaknya strategis sehingga VOC dapat memanfaatkan sebagai tempat supply beras. Namun sayang sekali dalam sejarahnya kota pelabuhan dan perdagangan yang ber¬potensi itu harus mengalami nasib sebagai korban kese¬rakahan bajak-laut yang merajalela di kawasan tersebut. Temuan sejumlah keramik Cina yang bertebaran ter-tutup pasir pantai memberi gambaran betapa kawasan tersebut pernah memegang peranan penting dalam kegiatan perdagangan antar bangsa.
Rupanya kota perdagangan Kotawaringin sempat ter¬punahkan, namun ketenaran namanya masih sempat terselamatkan sebagai nama pusat kerajaan Islam yang didirikan oleh Keluarga Kerajaan Banjar pada masa-masa pemerintahan Sultan Ke IV Mustainubillah. Namun ke giatan bajak-laut tampaknya masih belum reda, maka lokasi pusat Kerajaan Kotawaringin dipindahkan ke hulu sungai Lamandau. Setelah kegiatan bajak-laut reda, Sul¬tan Kotawaringin Ke IX memindahkan pusat kerajaan¬nya ke arah hilir mendekati pantai Laut Jawa. Namun pemindahan tersebut tidak memilih tepian sungai Lamandau, tetapi tepian sungai Arut yang merupakan cabang sungai Lamandau. Pusat kerajaan yang kemudian disebut Pangkalan Bun itu terletak di sebelah hulu dari pertemuan sungai Lamandau dan sungai Arut. Pemilihan lokasi tersebut walaupun sudah mendekati pantai Laut Jawa namun tampaknya masih tidak terlepas dari rasa tidak aman oleh kemungkinan gangguan bajak-laut. Per¬temuan sungai Lamandau dan Arut terletak tidak jauh dari muara Lamandau di pantai Laut Jawa, sedangkan kota Pangkalan Bun terletak tidak jauh di sebelah hulu pertemuan ke dua sungai tersebut.
Kata Bun dalam nama kota Pangkalan Bun berasal dari nama penduduk setempat dari suku Dayak yang tiap hari mengumpulkan hasil hutan di lokasi Pangkalan Bun. Nama tersebut adalah "Bu'un". Itulah kisah dari ceritera tradisi mengenai asal mula nama kota Pangkalan Bun yang berasal dari istilah "Pangkalan si Bu'un".
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Kerajaan Banjar yang wilayahnya kini menjadi wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, antara lain mencatat bahwa Kerajaan Kotawaringin berdiri atas prakarsa Sultan Banjar Ke IV yang bergelar Mustainubillah. Beliau memerintah antara 1650 M - 1678 M.
Kerajaan Banjar didirikan oleh Pangeran Samodra pada sekitar pertengahan abad ke 16 sebagai kerajaan Islam pertama di kawasan ini. Sebagai sultan pertama adalah Pangeran Samodra sendiri dengan gelar Sultan Surian-syah. Menurut ceritera tradisi, beliau adalah keturunan raja-raja sebelumnya yang masih memeluk agama Hindu¬-Budha. Hikayat Lambung Mangkurat mengkisahkan ada¬nya Kerajaan Negara Dipa dan kemudian Negara Daha. Nama "Daha" tersebut mungkin sekali tidak terlepas dari nama Kerajaan di Jawa Timur "Daha" (Kediri). Sehingga hubungan antara Jawa dengan Kalimantan, sebagaimana hubungan antara Jawa dengan Bali, adalah sejak masa¬-masa itu (abad ke XI dan ke XII) yang pada masa itu Kalimantan dikenal sebagai Tanjungpura. Pada masa itu adalah masa kejayaan Kediri di Jawa Timur dengan Kerajaan Daha dan Kahuripannya.
Sisa-sisa bangunan yang kita temukan di kawasan ini, antara lain bangunan percandian, tentunya adalah sisa-sisa dari jaman itu. Nama "Negara" pada sungai yang mengalir di kawasan tersebut memberi petunjuk pula tentang masa kejayaan daerah tersebut pada jaman itu termasuk antara lain nama tempat Margasari. Kitab "Negarakertagama" menyebutkan beberapa nama daerah di kawasan tersebut yang merupakan daerah takluk Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Pangeran Samodra berdarah Keturunan Raja Majapahit. Kisah ini betapapun memberikan kesimpulan bahwa Pangeran Samodra masih berdarah keturunan kerabat raja Majapahit. Setidak-tidaknya sejak masa Kediri, dalam sekitar abad ke XI, sudah berlangsung hubungan antara Jawa dan Kaliman¬tan.
Ketika timbul kesulitan dalam masalah penggantian takhta, Pangeran Samodra memperoleh bantuan dari Ke¬rajaan Demak. Bantuan tersebut menuntut syarat kese¬diaan Pangeran Samodra memeluk agama Islam. Tun¬tutan tersebut di,penuhi oleh Pangeran Samodra yang juga kemudian mengganti nama dengan nama Surian¬syah. Mengenai hubungan antara Jawa dan Kalimantan, khususnya perihal Kerajaan Kotawaringin ini tidak ter¬ungkap di buku-buku sejarah umumnya. Sejauh ini hanya buku "Suluh Sejarah Kalimantan" (Amir Hasan Kiai Bondan, 1925-1953, Banjarmasin) yang mengungkapkan hal-ihwal Kalimantan, khususnya Kalimantan Selat¬an. Kecuali itu studi Iapangan banyak memberikan petunjuk ke arah hubungan tersebut, antara lain :
a. Istilah bahasa Jawa banyak digunakan dalam ucapan sehari-hari di Kalimantan Selatan, misalnya "nonton banyu" yang artinya "melihat air";
b. Seorang kerabat kerajaan Kotawaringin dapat melagu¬kan tembang atau lagu "Ilir-ilir" (bahasa Jawa) yang menurut keterangannya dipopulerkan oleh Kyai Gede, orang Jawa yang termasuk tokoh Kerajaan Kotawaringin;
c.Pertunjukan wayang-kulit merupakan salah satu pertunjukan yang digelar dalam suatu pesta keluarga.
Demikian antara lain yang merupakan petunjuk betapa hubungan antara daerah Jawa dengan Kalimantan Selatan. Kehadiran tokoh Khotib Dayan dan Kyai Gede dalam pemerintahan Kerajaan Banjar dan Kotawaringin merupakan fakta tentang hubungan antara ke dua daerah tersebut.
Maka perihal bantuan Kerajaan Demak untuk Sultan Suriansyah bukan hal yang tidak mungkin. Namun perihal Raja Demak masih perlu dipelajari, Raja Demak yang mana yang membantu Sultan Suriansyah untuk naik takhta. Sejarah Demak mengungkapkan tentang kegiat an yang dilakukan oleh Sultan Trenggana maupun Ratu Kalinyamat, antara lain mengirim bantuan ke negara¬negara yang mereka rasa perlu dibantu. Jadi ada dua kemungkinan, Sultan Trenggana atau Ratu Kalinyamat yang membantu Sultan Suriansyah.
Maka Suriansyah (ketika itu belum menjabat Sultan) berangkat kembali ke Negara Daha dengan disertai armada Demak. Ikut serta pula ulama yang berasal dari. Demak bernama Khatib Dayan yang kelak akan men¬dampingi Suriansyah sebagai penasehat Raja dan sekali¬gus sebagai pengembang agama Islam pertama di kawasan Kalimantan Selatan. Kalau akhirnya makam Khatib Dayan berdampingan dengan makam Rajanya, yaitu Sultan Suriansyah, adalah sebagai penghormatan sang raja terhadap gurunya. Ekspedisi tersebut menghasilkan kemenangan di fihak Demak yang berarti pula sebagai kemenangan Suriansyah dan langsung naik takhta sebagai Sultan Banjar yang pertama.
Sejak pemerintahan Suriansyah Kerajaan Banjar sudah harus menghadapi Kolonial Belanda yang pada awal abad ke 17 sudah mulai menjangkau Indonesia walaupun harus menghadapi kekuatan Portugis yang lebih dahulu mema¬suki tanah air kita Indonesia. Dengan segala daya dan upaya Kerajaan Banjar berhasil mempertahankan eksistensinya selama sekitar 2'/2 abad. Dalam situasi seperti itu, terpaksa pusat kerajaan berpindah-pindah tern pat yang berkisar di sekitar kawasan Banjarmasin-Marta¬pura. Situasi tersebut mengakibatkan makam-makam Raja Banjar beserta kerabatnya harus terpisah-pisah. Se¬perti pula kerajaan-kerajaan lain dii Indonesia ini, sedikit demi sedikit fihak Kolonial Belanda berhasil merongrong kedaulatan Kerajaan Banjar untuk akhirnya menguasai seluruh wilayah kekuasaan Banjar. Dengan demikian wi¬layah kekuasaan Belanda di Indonesia makin bertambah. Melalui surat keputusan yang dibuatnya sendiri tertang¬gal 11 Juni 1860, Belanda menghapus kedaulatan Keraja¬an Banjar. Maka setelah seluruh wilayah Indonesia di¬kuasainya, Belanda menyebut wilayah kekuasaannya ter¬sebut dengan nama "Nederlandsch Indie" atau "Hindia Belanda". Satu tahun sebelumnya, 25 Juni 1859, Belanda menurunkan Sultan Banjar Ke XIII Tarnjidillah II (Sul¬tan terakhir) dari takhtanya dan mengasingkannya ke Jakarta. Sekitar dua tahun kemudian dari penghapusan kedaulatan Kerajaan Banjar melalui surat keputusannya tersebut, 1862 M, Belanda berhasil melumpuhkan per¬lawanan kerabat Kasultanan Banjar beserta para pe¬ngikutnya yang dipimpin Pangeran Hidayat. Belanda berhasil menangkap Pangeran Hidayat dan mengasing¬kannya ke Cianjur. Sementara itu kerabat yang lain, Pangeran Antasari, wafat karena sakit di tempat per¬sembunyiannya.
Demikian perihal Kerajaan Banjar terungkapkan secara singkat Kerajaan Banjar adalah induk dari Kerajaan Kotawaringin, karena Sultan Banjar Ke IV Mustai¬nubillah (1650-1678 M) pengambilan prakarsa berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan bantuan Kyai Gede, seorang ulama yang mungkin juga berasal dari Demak seperti halnya Khatib Dayan (pendamping Sultan Surian¬syah). Sesuai dengan sejarahnya, maka perihal Kerajaan Kotawaringin (1680-1948 M), akan diuraikan dalam 3 periode :
- Periode I (Masa Persiapan)
- Masa Kyai Gede ( - 1680)
- Periode II (Masa Kotawaringin 1680 - 1811 M)
- Periode III (Masa Pangkalan Bun 1811 - 1948 M)
Kawasan yang akan menjadi wilayah Kerajaan Kota¬waringin ini merupakan kawasan yang dapat dikatakan belum siap untuk menjadi wilayah kerajaan, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Penduduknya yang belum banyak itu hidup berkelompok-kelompok saling berjauh¬an sepanjang tepi sungai.. Mereka umumnya pengumpul hasil hutan atau sungai, sedikit sekali yang bertani atau berdagang. Buminya yang luas itu sebagian besar ditum¬buhi hutan lebat dengan sungai-sungai yang berjeram. Hingga sekarang pun penanganan bumi Kalimantan masih jauh dari tuntas. Dunia perdagangan merupakan kegiatan yang lebih menonjol sebagaimana tampak di kota Pangkalan Bun yang kini menjadi Ibu-kota Kabu¬paten Kotawaringin Barat. Adanya kota Pangkalan Bun itu pun baru pada awal abad ke XIX yang sebelumnya juga berupa hutan.
Situasi kawasan yang masih jauh dari kematangan ter¬sebut ini dirasa perlu untuk dipersiapkan terlebih dahulu. Untuk tugas menyelenggarakan persiapan tersebut Sultan Mustainubillah, \Sultan Banjar Ke IV (1650-1678 M), melimpahkan kepercayaan kepada seorang tokoh yang tentunya telah dikenal benar-benar oleh Sultan tersebut. Tokoh tersebut adalah Kyai Gede, seorartg tokoh berasal dari Jawa yang diperkirakan dari Demak seperti haloya Khatib Dayan, Ulama pendamping Sultan Stiriatisyah Namun rupanya Kyai Gede bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang negarawan. Sedangkan Khatib. Dayan benar-benar hanya seorang ulama.
Sejak awal pemerintahan Ayah Sultan Mustainubillah, yaitu Sultan Hidayatullah (1641-1650 M), tahun 1641 M adalah tahun yang terakhir bagi Kerajaan Banjar me¬ngantar upeti untuk Kerajaan Mataram. Saat itu Keraja¬an Mataram dalam pemerintahan Sultan Agung dengan masa pemerintahannya antara 1613-1645 M. Hal itu memberi petunjuk bahwa hegemoni Demak atas Banjar dilanjutkan oleh Kerajaan Mataram. Jadi masa pemerin¬tahan Sultan Mustainubillah, Banjar sudah terbebas dari kewajiban mengantar upeti ke Mataram.
Rupanya Sultan Mustainubillah tidak hendak menyim¬pang dari prinsip Kerajaan Banjar bahwa agama Islam menjadi dasar kerajaan. Antara lain konsep tersebut yang menyebabkan Kyai Gede terpilih untuk pelaksanaan tugas merintis tegaknya Kerajaan Kotawaringin. Sayang sekali bahwa angka tahun pelaksanaan tugas tersebut tidak tercatat. Jelas bahwa tugas ini tidak hanya menyangkut segi agama semata-mata, tetapi juga segi sosial bahkan sosial politis. Tugas tersebut sekaligus merupakan batu ujian bagi Kyai Gede sebagai abdi negara, terutama tingkat kemampuannya. Sejarah membuktikan bahwa Kyai Gede bukah hanya seorang ulama, tetapi juga seorang negarawan. Makam Kyai Gede yang terpisah dari kompleks makam kerabat kerajaan justru mendapat perhatian masyarakat lebih dari makam raja-rajanya. Makamnya yang sederhana terlindung bangunan sederhana pula, namun tampak rapi dan bersih walaupun makam itu sendiri sudah berumur sekitar hampir tiga abad. Hal ini memberi petunjuk pula bahwa Kyai Gede juga seorang tokoh masyarakat yang dicintai dan dihor¬mati khalayak. Walau demikian, sampai akhir hayatnya Kyai Gede tetap menjabat sebagai orang ke dua sesudah raja. Ia menjabat Mangkubumi sejak dari Sultan pertama hingga wafatnya pada masa pemerintahan Sultan Ke II. Sayang sekali, angka tahun kesejarahan Kyai Gede tidak ditemukan.
Bila mengambil ancer-ancer angka tahun pemerintahan Sultan Ke IV tersebut, yaitu 1650-1678 M, dapat diper¬kirakan tahun 1655 M sebagai tahun awal Kyai Gede melaksanakan tugasnya di Kotawaringin. Sesuai dengan tugas yang dibebankan Sultan Mustainubillah sebagai raja dari kerajaan yang berdasarkan ke-Islam-an, pertama¬tama yang dilaksanakan Kyai Gede selaku seorang ulama adalah mengembangkan ajaran Islam. Setelah beberapa waktu lamanya menyusuri sungai Lamandau ke arah hulu sampai di tempat yang dihuni sekelompok suku Dayak. Pimpinan kelompok tersebut adalah Demung Tujuh Ber¬saudara yang merupakan pimpinan secara kolektif. Se¬telah berhasil mengatasi berbagai masalah dengan me¬reka, akhirnya Kyai Gede memutuskan untuk menetap di tempat tersebut yang disebut Tanjung. Pangkalan Batu. Maka langkah pertama yang Kyai Gede lakukan adalah mengembangkan agama Islam.
Dalam mengembangkan agama Islam tersebut, Kyai Gede harus menghadapi kenyataan bahwa tidak seluruh masyarakat di tempat itu menerima ajaran Islam. Se¬bagian masyarakat yang menerimanya dikenal sebagai kelompok "Nyaga", sedangkan yang tidak menerimanya terpaksa menyingkir ke pedalaman (ke arah "darat") meninggalkan tempat awal yang terletak di tepian sungai. Maka kelompok yang ke dua tersebut disebut kelompok "Dayak Darat" untuk tetap memegang keyakinan lama yang mengandung unsur-unsur Hindu dengan ke-"Majapahit"-annya itu.
Selanjutnya Kyai Gede mengembangkan tugasnya sesuai dengan yang dipercayakan Sultan Mustainubillah kepada¬nya. Dan Kyai Gede juga memutuskan untuk menetap di tempat tersebut yang di kemudian hari menjadi pusat kerajaan dan disebut Kotawaringin. Sambil menanti pe-ngangkatan raja, Kyai Gede melaksanakan tugas selaku, pemimpin daerah dengan meneruskan tradisi setempat yaitu mengantar upeti ke Kerajaan Banjar. Menurut catatan, Jajar Melahui adalah pemimpin rombongan pc¬ngantar upeti dari rakyat Dayak setempat dan sekitar¬nya untuk Raja Banjar sebelum kehadiran Kerajaan Kotawaringin.
Dalam masa-masa inilah, sesuai dengan tugasnya selaku penyiar agama Islam, Kyai Gede mendirikan masjid yang hingga kini masih juga dikenal sebagai "Masjid Kyai Gede". Bila di Palembang ada istilah "Gending Suro", maka di kawasan ini dikenal istilah "Dipati Ganding" selaku Mangkubumi dan "Dipatinggendeng" ("Dipating¬gending") selaku wakil raja. Istilah "Gending Suro" tiada lain adalah tokoh sejarah setempat Ki Gede Ing Suro yang menurunkan raja-raja Palembang. Maka istilah "Dipati Ganding" atau "Dipatinggendeng" dapat diper¬kirakan "Dipati Gede Ing" yang artinya "Dipati Gede Di" yang tentunya dapat diteruskan dengan nama tempat ("Dipati Gede Ing ...). Istilah "Dipatinggendeng" lebih dekat keucapan/dialek Jawa dari "Dipati Ganding". Dari kenyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa maksud istilah tersebut adalah "Kyai Gede".
Sebagai penyiar agama Islam, Kyai Gede tentunya me¬miliki satu keinginan yaitu mendirikan masjid. Maka pendirian masjid diperkirakan tidak terlalu jauh dari ta¬hun 1660 M, dengan catatan perkiraan Kyai Gede me¬n-tidal tugasnya di Kotawaringin sekitar tahun 1655 M. Bangunan masjid tersebut seluruhnya dari kayu sesuai de¬ngan keadaan alamnya yang banyak menghasilkan kayu sedangkan batu-batuan sulit, diperoleh. Empat tiang uta¬ma di tengah (Jawa : Saka Guru) diukir dengan gaya Jawa berpola "ukel". Duabelas tiang sekitar tiang utama polos namun diberi bentuk yang lebih artistik dari duapuluh tiang sekitar tiang duabelas tersebut. Maka tiang dua¬puluh ini merupakan deretan tiang di tepi. Dengan demi¬kian tigapuluh enam tiang berderet dalam tiga deret de¬ngan empat tiang utama yang terukir indah di tengah/ pusat. Kemudian berturut-turut ke arah tepi, deretan tiang dua belas tanpa ukir namun dibuat dalam bentuk yang indah dan akhirnya deret paling tepi adalah tiang duapuluh dalam bentuk paling sederhana. Dengan demi¬kian tersusun deretan tiang secara teratur.
Tiga deret tiang yang tersusun dalam bentuk segi-empat itu mendukung tiga atap masjid yang tersusun dari atas ke bawah dengan atap yang paling atas berbentuk pira¬mid berpuncak. Demikianlah bangunan masjid yang di¬beri nama pendirinya, masjid Kyai Gede, berbentuk arsitektur masjid tradisional yang lazim di tanah-air kita, Indonesia (arsitektur tradisional masjid Indonesia). Dengan namanya itu, masjid ini sekaligus merupakan monumen tokoh Kyai Gede sebagai seorang ulama peletak dasar yang kokoh untuk berdirinya Kerajaan Kotawaringin. Ternyata Kerajaan Kotawaringin sempat hidup selama hampir tiga abad (1680-1948 M).
Dengan prestasi dan kesetiaannya kepada raja itu, dalam pemerintahan Kerajaan Kotawaringin, Kyai Gede mene¬rima penghargaan dan kepercayaan untuk menduduki jabatan Mangkubumi. Sampai wafatnya, Kyai Gede sem¬pat memegang jabatan tersebut hingga dalam pemerin-tahan Sultan Kotawaringin yang Ke 11.
Ada catatan menyebutkan bahwa "dalam tahun 1656 M Sultan baru dari Kotawaringin mengirim utusan ke Jakarta". Yang dimaksud Sultan baru dari Kotawaringin di sini tentunya adalah Kyai Gede yang waktu itu sedang mempersiapkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin atas inisiatif Sultan Banjar Ke IV Mustainubillah. Karena Mustainubillah naik takhta pada tahun 1650, maka dapat diperkirakan Kyai Gede mulai menjalankan tugas¬nya antara tahun 1650-1656 M. Maka sementara dapat diperkirakan tahun 1653 adalah tahun permulaan Kyai Gede menjalankan tugasnya di Kotawaringin. Selanjut¬nya peran tokoh Kyai Gede dalam tugasnya membantu tegaknya Kerajaan Kotawaringin dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kyai Gede adalah tokoh berasal dari Demak seba¬gaimana Khotib Dayan pendamping Sultan Pertama Banjar Suriansyah. Kyai Gede adalah gelar, nama Kyai Gede belum ditemukan. Kyai Gede adalah Gelar Kehormatan untuk pimpinan masyarakat di bidang pemerintahan atau/dan agama. Rupanya untuk Kyai Gede ini berlaku ke dua-duanya. Di Jawa, Kyai sering disingkat menjadi Ki, dan Gede diterjemahkan dalam bahasa halus menjadi Ageng. Namun akhirnya gelar tersebut sejak beberapa waktu akhir-akhir ini tidak lazim lagi, yang lazim adalah Kyai, itu pun hanya untuk pimpinan agama, Islam khususnya.
2. Jabatan Mangkubumi dalam pemerintahan, sementara itu gelarnya terabadikan pada masjid yang dibangun¬nya untuk keperluan rakyat, menunjukkan peran Kyai Gede dalam Kerajaan Kotawaringin. Pada tahun 1680 M Sultan Banjar meresmikan salah seorang puteranya, Pangeran Dipati Antakasuma, sebagai Raja Kotawaringin yang Ke I. Dengan demikian Kyai Gede menjalankan tugasnya di Kotawaringin selaku perintis sejak sekitar tahun 1653 adalah selama 27 tahun.
3. Selama sekitar 27 tahun Kyai Gede menjalankan tugasnya dengan mulus tanpa terjadi hal-hal yang mengganggu hubungan antara Banjar dengan Kotawa¬ringin, termasuk hubungan pribadi antara Kyai Gede dengan Keluarga Kerajaan Banjar. Peresmian Raja Kotawaringin Ke I dengan Kyai Gede selaku Mangku¬bumi berjalan mulus. Sayang, tahun wafat Kyai Gede belum diketahui.
Raja Pertama Kotawaringin ini, sesuai dengan pendam¬pingnya yaitu Kyai Gede, adalah tokoh yang berupaya mendekatkan diri ke Tuhannya. Hal itu tampaknya memang menjadi keinginan Sultan Mustainubillah, agar Kerajaan Kotawaringin tidak hanya mengutamakan tata ekonomi dan pemerintahannya, tetapi lebih dari itu ada¬lah mengembangkan agama Islam. Dasar yang diwujud¬kan dengan dwitunggal Ratu Bagawan - Kyai Gede ter-sebut sesuai dengan pendahulunya yang diwujudkan pula dengan dwitunggal Suriansyah - Khotib Dayan. Dasar ini berjalan terus sehingga Raja Ke VIII yang memerintah pada akhir abad ke 18 hingga awal abad ke 19, Pangeran Ratu Anum Kasumayuda, sering pergi ke Danau Gatal dalam rangka penyelenggaraan pendidikan agama Islam. Di tempat tersebut terdapat pesanggrahan yang diman¬faatkan untuk penyelenggaraan pesantren tersebut.
Ratu Bagawan yang dikenal pula sebagai Ratu Kotawa¬ringin rupanya memiliki wibawa yang cukup di antara Keluarga Kerajaan Banjar. Hal ini terbukti dengan ter¬panggilnya Ratu Kotawaringin ke Banjar setiap ada peristiwa penting di Banjar. Ketika Raja Banjar Ke V Sultan Inayatullah wafat pada tahun 1685 M, Ratu Kotawaringin diminta hadir di Banjar untuk menentukan penggantinya walaupun sudah ada seorang kakaknya bergelar Pangeran/Panembahan Di Darat yang tinggal di kawasan Martapura. Dengan segala kewibawaannya se¬laku sesepuh dan penasehat Kerajaan, Ratu Kotawari¬ngin/Bagawan memutuskan bahwa Pangeran Kasuma Alam, putera Almarhum Ratu Agung (Sultan Banjar Ke V), menggantikan ayahnya tersebut selaku Sultan Banjar Ke VI dengan gelar Sultan Saidillah/Saidullah atau Ratu Anom (1685-1700 M). Dalam menjalankan tugasnya, Ratu Bagawan selalu didampingi pendampingnya, "Dipatingganding" ("Dipati Gede Ing" Kotawaringin atau Kyai Gede). Keputusan tersebut berdasarkan atas kebiasaan/tradisi sejak Sultan Pertama Suriansyah, bahwa pergantian takhta berlaku "anak mengganti ayah". Tradisi ini berlaku pula bagi Kerajaan Kotawaringin yang bertahan hingga Raja Kotawaringin Ke XI yang memerintah pada tahun 1867-1904 M. Karena tidak ber¬putera, ketika Raja Ke XI wafat, pemilihan pengganti raja jatuh pada Putera Raja Ke IX Pangeran Ratu Imanuddin (1805-1841 M) yang bergelar Pangeran Ratu Paku Sukma Negara sebagai Raja Ke XII (1904-1913 M). Selanjutnya berlaku tradisi lama hingga Raja Ke XIII yang setelah wafat digantikan puteranya sebagai Raja Ke XIV. Akhirnya Raja Ke XIV inilah merupakan Raja Kotawaringin terakhir yang meletakkan takhta berdasar¬kan Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia.
Salah satu peristiwa penting dalam masa pemerintahan Ratu Bagawan ini yang patut dicatat adalah perselisihan¬nya dengan salah satu kerajaan tetangganya yaitu Ke¬rajaan Sukadana. Kerajaan ini terletak di sebelah Barat Kerajaan Kotawaringin dan kini menjadi Wilayah Pro¬pinsi Kalimantan Barat. Semula dua kerajaan ini bersa¬habat oleh perkawinan antara putera Raja Sukadana ("Seridewa") dengan puteri Raja Kotawaringin ("Puteri Gelang"). Namun perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian. Ketika perkawinan Raja Kotawaringin meng¬hadiahkan "daerah sungai Jelai", yang terletak di per¬batasan antara ke dua kerajaan tersebut, kepada mem¬pelai, setelah terjadi perceraian hadiah perkawinan ter¬sebut menjadi sengketa yang tidak kunjung selesai. Seng¬keta tersebut terjadi karena fihak Sukadana memper¬tahankan hadiah perkawinan tersebut ketika diminta kembali oleh fihak Kotawaringin. Sengketa tersebut se¬lesai dengan sendirinya pada saat terhapusnya keswa¬prajaan seluruh Indonesia (kecuali Jogyakarta) oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948.
Namun pada masa pemerintahan Belanda ("Pemerintah Hindia Belanda"), melalui Surat Keputusannya tertanggal 15 Desember 1901 Kontrolir Sampit menetapkan bahwa daerah sengketa tersebut di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Surat Keputusan ini diundangkan setelah lewat lehih dari 200 tahun dari persengketaan tersebut. Demi¬kianlah antara lain cara Belanda menguasai seluruh Indo¬nesia dengan menguasai daerah demi daerah.
Sayang sekali, akhir hayat Ratu Kotawaringin ini tidak jelas, termasuk letak makam beliau. Berbagai fihak me¬nyebutkan tentang Ratu Kotawaringin yang tewas dalam "Perang Pasir" membantu Kerajaan Banjar tanpa me-nyebutkan tempatnya dimana beliau tewas dan dima¬kamkan. Sedangkan buku "Hikayat Banjar" hanya me¬nyebutkan tentang wafatnya Sultan Saidillah (Raja Banjar Ke VI) pada tahun 1700 M, tiga tahun setelah wafatnya Ratu Kotawaringin. Buku tersebut tidak me-nyebutkan peristiwa Perang Pasir.
Penggunaan gelar "adipati" di dalam pemerintahan Ke¬rajaan Kotawaringin, tentunya adalah salah satu penga¬ruh dari Jawa yang terbawa oleh Kyai Gede. Rupanya gelar ini mulai digunakan oleh Raja Ke I Kotawaringin sebagai Pangeran Adipati Antakasuma dan Kyai Gede sendiri sebagai Mangkubumi/pendamping raja menyan¬dang gelar Adipati Gede. Bagi Kyai Gede agaknya mem¬bawa-bawa nama sendiri adalah suatu pantangan tersen-diri. Dengan gelar adipati pun ternyata gelar "gede" yang disandang, bukan namanya sendiri. Istilah "dipatinggen¬ding" atau "dipati gensing" dapat dibandingkan dengan istilah populer di dalam sejarah Palembang "gending suro". Pangeran Dipati Antakasuma yang ketika muda¬nya bergelar Pangeran Anum adalah adik Sultan Banjar Ke V Inayatullah (1678-1685 M) yang sebelumnya bergelar Pangeran Tuha. Masa itu adalah masa Kerajaan Mataram II (Islam) dalam pemerintahan Amangkurat II (1677-1703 M), cucu Sultan Agung.
Kerajaan Kotawaringin selama berkembangnya dari menjelang akhir abad ke 17 (1680 M) hingga per¬tengahan abad ke 20 (1948 M) sempat memiliki tiga istana : Astana Luhur dan Gedung Nurhayati di Kota¬waringin (kemudian menjadi Kotawaringin Lama) dan yang terakhir adalah Lawang Agung di Pangkalan Bun. Sedangkan bangunan yang hingga sekarang masih tampak dan dikenal sebagai Astana Alnursari terletak di Kotawaringin Lama adalah rumah pribadi Raja Ke XII Pangeran Ratu Paku Sukma Negara. Karena milik raja dan didiami raja beserta para kerabatnya, maka rumah pribadi Alnursari tersebut secara umum juga disebut astana.
1. Astana Luhur
Bangunan istana ini didirikan oleh Raja Ke I Kota¬waringin Pangeran Dipati Antakasuma yang merupa¬kan istana pertama kerajaan tersebut. Istana tersebut didirikan di tempat Kyai Gede mendarat dan akhirnya bermukim bersama suku Dayak setempat yang waktu itu dikenal sebagai Tanjung Pangkalan Batu. Nama ini diganti oleh Raja tersebut menjadi Kotawaringin, na-mun dalam berbagai prasasti Kerajaan Islam Kota¬waringin disebut Kotaringin. Apakah hal ini hanya sekedar untuk membedakan antara nama kerajaan yang "Kotawaringin" dengan nama bagi Ibu-kotanya yang "Kotaringin", belum ditemukan penjelasannya.
Dari bangunan istana ini tidak tertinggal sisa-sisanya, walaupun bahannya dari kayu pilihan, terutama kayu besi. Karenanya sulit menjejaki bekas Iokasinya. Na¬rnun menurut petunjuk kerabat raja yang kini sudah meninggal, Almarhum Gusti Dumai Anas, lokasi istana tersebut terletak sekitar areal sebelah Barat makam Kyai Gede.
Astana Luhur dikenal pula dengan nama Tiang Ber¬ukir. Dari informasi diperoleh data bahwa Astana Luhur yang berukuran besar ini berbentuk "Rumah Betang" yang merupakan perwujudan arsitektur Dayak. Rumah Betang berarti rumah besar. Rumah orang Dayak memang berukuran besar, karena satu rumah dihuni sejumlah keluarga. Menghuni rumah secara beramai-ramai memang cara khas orang Dayak. Bila diserang sewaktu-waktu secara mendadak, mereka dapat mempertahankan diri atau menangkis serangan secara beramai-ramai pula. Panggung rumah Dayak berukuran tinggi antara lain untuk memper¬sulit serangan. Astana Luhur berukuran besar karena tempat kediaman raja umumnya perlu berukuran besar untuk berbagai fasilitas. Secara tehnis, rumah Dayak memang tidak terlalu sulit, yang penting me¬merlukan kayu-kayu berukuran besar. Sehingga men¬dirikan rumah Dayak relatif lebih cepat. Pada umum¬nya rumah Dayak berdenah segi-empat panjang de¬ngan atap yang berbentuk atap-pelana. Selain rumah untuk keluarga, dibangun pula rumah untuk menyim¬pan berbagai jenis benda pusaka yang disebut Pago¬ngan. Nama ini tentunya berkait dengan benda pusaka yang diantaranya berupa "gong". Lokasi Pagongan ini tidak jelas lagi, lokasi yang sekarang ini adalah baru. Kecuali itu Raja Ke I juga membangun Paseban yang tidak jelas juga di mana lokasinya. Biasanya Paseban untuk menerima tamu/pegawainya. Astana Luhur ini sempat didiami hingga Raja Ke VI.
2. Gedung Nurhayati
Bangunan istana Kotawaringin yang ke dua ini di¬bangun oleh Raja Ke VI, Pangeran Panghulu. Angka tahun pemerintahannya belum diperoleh. Gedung ini didiami Raja Ke VI sendiri hingga Raja Ke IX. Gedung Nurhayati yang dikenal pula sebagai Gedung Bundar didirikan untuk mengganti istana yang pertama As¬tana Luhur. Setelah didiami enam raja beserta keluar¬ganya secara berturut-turut, bangunan Astana Luhur mengalami proses kerapuhan walaupun terbuat dari bahan kayu pilihan. Karenanya Pangeran Panghulu, Raja Ke VI tersebut, merasa perlu menggantinya dengan mendirikan Gedung Nurhayati terletak di se-belah hilir Astana Al'Nursari yang kini masih tampak sisa-sisanya dan Astana tersebut terletak di sebelah hilir lokasi Astana Luhur. Sama dengan Astana Luhur, sisa dari Gedung Nurhayati pun tidak tampak kecuali hanya beberapa tiang saja, dan tahun pembangunan¬nya pun tidak tercatat. Raja Ke IX (1805-1841 M) meninggalkannya, jadi yang tinggal di Gedung ter sebut adalah Raja Ke VI Pangeran Panghulu, Raja Ke VII Pangeran Ratu Bagawan, Raja Ke VIII Pangeran Ratu Anum Kasumayuda dan yang terakhir adalah Pangeran Ratu Imanuddin, (Raja Ke IX). Sementara itu Raja Ke VIII yang masa kecilnya dikenal sebagai Gusti Mussadam lebih sering tinggal di pesanggrah¬annya di Danau Gatal, tidak jauh sebelah hulu Kota¬waringin. Di tempat inilah beliau menyelenggarakan pendidikan agama Islam untuk kerabat raja dan umum di samping beliau sendiri mendalami agama Islam.
3. Lawang Agung
Pangeran Ratu Imanuddin (1805-1841 M) adalah penghuni yang terakhir Gedung Nurhayati dan selama tinggal di Gedung tersebut is membangun istana yang ke tiga di Pangkalan Bun. Istana tersebut mulai di¬bangun pada tahun 1809 dan selesai pada tahun 1811 M. Sejak tahun tersebut pusat kerajaan dipindahkan dari Kotawaringin ke Pangkalan Bun dan bekas pusat kerajaan disebut Kotawaringin Lama.
Sumber :
Subdibyo Yuwono, dkk., 1996/1997, Makam Raja-Raja Kotawaringin, Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan