Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Sekilas Tentang Masyarakat Using

Oleh: Ayu Sutarto
Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur.

Pendahuluan
Secara administratif orang Using (Osing) bertempat tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad yang lalu, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah pemukiman orang Using makin lama makin mengecil, dan jumlah desa yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Using juga makin berkurang. Dari 21 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, tercatat tinggal 9 kecamatan saja yang diduga masih menjadi kantong kebudayaan Using. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).

Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe. Begitu pula halnya dengan identitas budaya Using. Orang Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3) sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).

Orang Using dikenal sangat kaya akan produk-produk kesenian. Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di bidang pertanian. Laku hidup masyarakat Using yang masih menjaga adat serta.

pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat petani telah menjadikan kesenian Using tetap terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang masih memiliki pendukung yang kuat.

Produk-produk Kesenian Masyarakat Using
A. Seni Tari
Gandrung
Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki suara yang merdu. Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblang¬seblang. Musik iringan gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.

Gandrung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Using yang keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.

Seblang
Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang hanya terdapat di Desa Olehsari dan Bakungan, Kecamatan Galagah, Kabupaten Banyuwangi ini diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak sadarkan diri (intrance) karena kerasukan atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan terhadap roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke wadah penari. Ciri-ciri gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.

Pementasan seni tari ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu setiap tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau selamatan desa. Bila pementasan tari seblang tidak diadakan diramalkan akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat desa Olehsari. Atas petunjuk roh halus, pada saat ini pementasan tari seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.

Barong
Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik, dan lagu serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yang diselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.

Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya. Di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren, Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni barong Kemiren saja yang masih utuh “keUsingannya” dan sering melakukan pementasan.

Seni Barong di desa Kemiren diciptakan oleh Eyang Buyut Tompo pada sekitar 1830-an. Pada saat itu di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean (Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat.

Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan Buyut Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk adalah Buyut Cili.

Hadrah Kuntulan
Kesenian hadrah kuntulan lahir tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Banyuwangi. Sebelumnya, hadrah kuntulan ini bernama seni hadrah barjanji. Menurut beberapa seniman kuntulan berasal dari kuntul, nama sejenis unggas berbulu putih, yang selanjutnya warna putih ini dijadikan sebagai warna busana yang dipakai para pemainnya. Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya seperti Hasan Singodimayan, Andang CJ, dan Sudibjo Aries berpendapat bahwa nama kuntulan secara etimologis berasal dari kata arab kuntubil yang artinya terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah belajar mengaji, yaitu untuk melepaskan rasa jenuh pada malam hari mereka mengadakan kegiatan dengan melontarkan pujian-pujian yang berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.

Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang diiringi dengan rebana ditingkahi vokal barjanjen atau asrokal. Pada awal kelahirannya, di saat pementasan semua penarinya adalah laki-laki karena masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut diperagakan oleh perempuan. Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu gerakan yang menggambarkan orang shalat, wudu’ dan adzan. Dalam perkembangan selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami berbagai pernyempurnaan, baik dalam instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan wanita dalam pementasan.

Padhang Ulan
Masyarakat Banyuwangi mempunyai sifat ceria, baik dalam permainan maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13–17 bulan Jawa, kaum muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti ini dimanfaatkan untuk bersenang-senang saja atau untuk mencari jodoh. Situasi seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri khas lincah, gembira, dan agak erotis.

Sabuk Mangir
Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk mangir merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti orang Mangir. Berdasarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib yang berada dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang musuh yang fisik maupun non-fisik.

Puputan Bayu
Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC). Sayuwiwit mengorganisir para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yang disegani kawan maupun lawan. Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan. Perang puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik di pihak lawan maupun di pihak Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah yang menjadi inspirasi terciptanya tari puputan bayu.

Pupus Widuri
Pupus widuri terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Using, yaitu pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau bidadari. Jadi, makna kata pupus widuri adalah gadis muda yang sangat cantik seperti bidadari. Oleh karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru menanjak remaja. Tari pupus widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari ngarak penganten. Gerakan tari-tarian tersebut digabung dan dikonstruksikan

sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat penonton terpesona, baik oleh gerakan maupun kecantikan penarinya.

Keter Wadon
Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung pipit yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap di atas pohon, bermain di telaga bening, berjemur di panas matahari sambil bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit atau ditembak oleh seseorang yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh teman¬temannya yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.

Walang Kadung
Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi yang penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan walang kadung di pohon-pohon atau dedaunan. Walang kadung merupakan jenis serangga yang biasa hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu). Jika diperhatikan, gerakan binatang ini sangat menarik, terutama pada kaki depannya, kaki belakang yang panjang tidak pernah diam, kepalanya yang tidak pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.

Jaranan Buto
Kesenian jaranan buto berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Istilah jaranan buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kendang. Sebagai isntrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat dari anyaman bambu. Wajah raksasa didominasi warna merah menyala, dengan kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (babi hutan) dan kucingan (kucing)

yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara bergantian oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.

Campursari
Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah), yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari. Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar berbahasa Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan yang berisi riwayat Nabi Yusuf. Pembacaan naksah lontar ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan panjang pendek vokal (guru lagu), pupuh atau bait nama tembang (syair) yang dilagukan. Pada umumnya pupuh yang digunakan adalah pupuh macapat yang berasal dari tradisi Jawa, seperti Dandanggula, Kinanti, Pucung, Sinom, dan Asmaradana. Seusai pembacaan naskah lontar, acara dilanjutkan dengan atraksi penampilan jenis kesenian lain seperti, kuntulan, janger, gandrung, rengganis, jinggoan, tarian daerah, kendang kempul, lawak, dan dangdutan. Satu genre kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.

B. Seni Musik
Kendang Kempul
Kesenian kendang kempul yang pada awalnya disebut kendang gong merupakan seni musik yang tumbuh bekembang dari tradisi seni gandrung dengan sentuhan-sentuhan modifikasi perpaduan dengan irama musik dangdut. Dalam hal penggunaan alat musik, selain menggunakan istrumen musik tradisional yang terdiri dari gamelan kempul (biasanya 2 buah), kendang banyuwangen (2 buah, besar dan kecil), dan gong (sekarang tidak dipakai), seni kendang kempul ini juga menggunakan instrumen musik modern.yang terdiri dari organ (keyboard atau syntheziser), gitar (lead maupun melodi), bass elektrik, dan seruling.

Lagu-lagu kendang kempul yang sudah terkenal antara lain, Gelang Alit (ciptaan Andang Cs), Kantru-kantru (“tercengang-cengang”, digubah dari lagu gandrung sekitar tahun 1976), Kembang Pethetan (lagu kendang kempul pertama). Selain lagu-lagu tersebut masih banyak lagi lagu-lagu lainnya, seperti yang dicipta oleh Sanusi, di antaranya yaitu Ibadah Haji, Lare Yatim, Payung, Godhong, Kwade, Gelang Alit, Tanah Kelahiran, Kembang Galengan, dan lain sebagainya.

Angklung Caruk
Seni angklung caruk berasal dari jenis kesenian legong Bali. Pengertian caruk di sini mengacu pada arti lomba, tanding, atau duel meet, yang dalam pementasan dipertandingkan sekurang-kurangnya dua group seni angklung caruk untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian yang terbaik. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik.

Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis -jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung (dua unit angklung), kendang (dua buah), slenthem (dua buah), saron (dua buah), peking (dua buah), kethuk (dua buah), dan gong (dua buah).

Angklung Daerah
Seni angklung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris, yakni menggunakan bunyi kotekan dari bambu yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengusir burung di sawah ketika musim padi. Setelah melalui beberapa tahap penyempurnaan dan penambahan instrumen, akhirnya jenis seni musik ini disebut sebagai angklung daerah serta bisa dipakai untuk mengiringi lagu dan tari. Jenis angklung daerah:

angklung paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak (gubuk kecil) di tengah sawah.

angklung caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan masing¬masing.

angklung tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.

angklung dwi laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.

angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.

Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya). Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung (2 set/unit) saron (4 rancak @ 10 buah anak saron), peking (2 rancak), slenthem (2 rancak), kethuk (2 biji), gong (2 rancak), gendang (2 rancak), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 – 25 orang pemain.

C. Seni Teater Tradisional
Jinggoan
Istilah lain dari seni jinggoan adalah seni janger dan Damarwulan. Masyarakat Using lebih suka menggunakan istilah jinggoan yang diambil dari nama tokoh Prabu Minakjinggo sebagai pahlawan mereka, sedangkan nama janger dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur Bali pada gamelan, tari, dan tatabusana sebagai akibat terjadinya kontak budaya. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Krama. Ini menandakan kepandaian orang Using dalam melakukan adaptasi terhadap pengaruh budaya dari luar. Unsur-unsur Banyuwangi yang masuk ke dalam kesenian ini antara lain seni angklung dan lagu-lagu Banyuwangen.

Dilihat dari bentuk ceritanya, kesenian janger merupakan pengambilan bentuk kesenian langendriyan (ande-ande lumut) yang berasal dari Keraton Mataram Islam di Jogjakarta. Kesenian langendriyan ini pada akhirnya di daerah Banyuwangi berkembang menjadi bentuk dramatari yang dikenal dengan nama Damarwulan. Cerita yang yang sering dipentaskan adalah cerita Bali yaitu Calon Arang, Agung Jelantik, Sastra Dewa. Sedangkan cerita asli Banyuwangi adalah Sayu Wiwit, Wong

Agung Wilis (Minakjinggonya), dan Prabu Tawang Alun. Saat ini, ceritanya tidak lagi terikat oleh cerita kepahlawanan Damarwulan ataupun Minakjinggo (misalnya lakon Minakjinggo Diwisudo), tetapi dapat pula bercerita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh kerajaan Jawa masa lampau, seperti Geger Tuban, Pangeran Wilis, dan Geger Majapahit, Babad Singosari, Babad Pajang, Babad Mataram, dan cerita wayang (seperti lakon Kresno Duta, Kongso Adu Jago, dan lain-lain).
Kesenian janger atau jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi. Dalam pertunjukkannya, kesenian ini sangat komunikatif. Hal ini bisa dilihat ketika penonton mengajukan permintaan kepada para pemain, terutama pelawak untuk membawakan lagu-lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.

Praburoro
Praburoro berasal dari dua kata, yakni prabu yang berarti raja dan roro atau rara yang berarti perempuan. Jadi, praburoro berarti raja perempuan atau ratu (Jw. ratu wedok). Kesenian praburoro merupakan satu jenis seni dramatari dengan lakon yang dipentasakan bersumber pada Serat Menak yang bertolak dari hikayat Negeri Persia. Tokoh-tokoh dari seni dramatari ini antara lain Rengganis, Umar Moyo, Lamtanus, dan Suwongso.

Pusat cerita terletak pada tokoh Dewi Rengganis (seorang ratu, istri Suwongso, putra Jayengrono dari kerajaan Guparman) sehingga seni drama ini disebut praburoro yang berarti “ratu perempuan”. Diceritakan bahwa Dewi Rengganis adalah seorang perempuan yang tidak dapat digauli oleh laki-laki, termasuk suaminya. Rahasia ini diketahui oleh Umar Moyo sehingga Dewi Rengganis merasa sangat malu. Oleh karena itu, ia kemudian melarikan diri ke wilayah Nusantara. Di tanah Jawa ia mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi ratu.

Secara umum praburoro mengisahkan proses masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Sebelum Islam masuk, di tanah Jawa sudah memiliki budaya Hindu. Salah satu seni budaya Hindu itu adalah wayang yang alur cerianya bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata, demikian pula tokoh-tokohnya.

Dalam seni drama praburoro terdapat kurang lebih 21 cerita, yaitu Imam Sejati, Umar Seketi, Menak Sopo Nyono, Mali Bari, Bedhahing Bangit, Praburoro, Putri Cino, Rengganis, Dandang Wincono, Umar Moyo Kembar, Umar Mantu, Subroto Kromo, Maktel Kembar, Subroto Rante, Cinde Kembang, Prabu Bantarangi, Joko Lelono, Suwongo Gugat, Angin Suseno, Samirono Sekso, dan Kusumo Maling.

Penutup
Masyarakat Using bukan hanya ulet dan mahir dalam bercocok tanam melainkan juga piawai dalam berkesenian. Eksistensinya bukan hanya membuat Kabupaten Banyuwangi menjadi gudang pangan, melainkan juga gudang produk¬produk kesenian tradisional yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur. Produk¬produk kebudayaan Using memiliki peranan strategis, baik yang bermuatan kultural maupun ekonomi. Jika dikelola, dibina, dan dimanfaatkan dengan baik, produk¬produk kebudayaan Using dapat memberi kontribusi yang berarti bagi baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.

Orang Using dikenal sebagai sosok yang adaptif, egaliter, terbuka, dan mencintai kesenian. Produk-produk kesenian Using bukan hanya menghibur tetapi juga banyak mengandung nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan. Banyak sekali pesan-pesan mulia yang terkandung dalam syair¬syair baik yang dilantunkan dalam kendang kempul maupun hadrah kuntulan Using dan dalam seni tari tradisional Using, seperti Gandrung dan Seblang. Jelasnya, produk budaya Using memiliki dua warna, yaitu produk budaya yang bercitra agraris dan produk yang bercitra patriotik.

Orang Using, meskipun menjadi pemeluk agama Islam, telah memelihara tradisinya dengan baik dan tidak mempertentangkan nilai agama dengan tradisi. Dalam masyarakat Using, agama dan tradisi saling mengisi: agama seringkali sebagai kekuatan yang lebih dominan mewarnai tradisi. Akibatnya, tidak sedikit unsur-unsur agama maupun kepentingan agama mewarnai produk kesenian Using. Produk-produk kesenian Using yang bercitra agraris dapat dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme.

Daftar Pustaka
Abal, Fatrah. 1993. “Gending-gending Perjuangan” dalam Gema Blambangan No. 28 dan 29. Banyuwangi.

Ali, Hasan. 1991. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi: Suatu Laporan”. Proseding Kongres Bahasa Jawa. Semarang. 15-20 Juli 1991.

. 1994. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi” dalam Gema Blambangan, No. 032

. 2002. Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.

Anoegrajekti, Novi. 2003. “Identitas dan Siasat Perempuan Gandrung” dalam Jurnal Srinthil. No. 3 Tahun 2003.

Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. Edisi 1. Cetakan 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Daniel. 1992. “Seblang Bakungan, Sampai Kapan Bertahan?”. Mutiara No. 611 Tahun ke-15, Minggu I Juli 1992.

Murgiyanto, Sal. M. dan Munardi A.M. 1990. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Pembinaan Media Kebudayaan.

Ningsih, Sri dkk. 2000. Cerita Rakyat Using Banyuwangi. Surabaya: Balai Penelitian Bahasa.
Oetomo, Sri Adi. 1987. Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan. Surabaya: Sinar Wijaya.
______. 1993. Menelusuri dan Mencari “Hari Jadi Banyuwangi”. Pasuruan: Garoeda Buana Indah.

Sari, Dias Mustika. 1994. “Fungsi Wangsalan Dalam Interaksi Sosial: Kajian Sosiolinguistik terhadap Masyarakat Bahasa Using di Dusun Genitri Desa Gendoh Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi”. Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Jember.

Singodimayan, Hasnan. 1999. “Sinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Osing”. Dalam Banyuwangi Pos, Banyuwangi, 25-31 Juli 1999.

. 1999. “Sinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Using”. Banyuwangi Pos,. 25-31 Juli 1999.

Soeyono, Bambang. 1998. “Gandrung Banyuwangi sebagai Identitas Budaya Masyarakat Osing di Jawa Timur”. Tesis S-2. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.

Subaharianto, Andang. 1996. “Mitologi Buyut Cili Dalam Pandangan Orang Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII. Bali: Larasan Sejarah.

Suprianto, Henricus. 1984. “Muatan Erotik Tembang Gandrung Banyuwangi: Unsur Sastra pada Seni Pertunjukan Gandrung di Banyuwangi”. Makalah Seminar Fakultas Sastra UI.

Suripto. 2000. “Angklung Paglak di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi”. Skripsi Program Studi Etnomusikologi Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.

Sutarto. 2003. “Etnografi Masyarakat Using”. Laporan Penelitian. Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur.

Zainuddin, Sodaqoh dkk. 1996. “Orientasi Nilai Budaya Using di Kabupaten Banyuwangi”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. 1

Sumber :
Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10 Agustus 2006.