Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Yogyakarta Dalam Lintasan

Oleh : Suhatno

A. Kadipaten Pakualaman
Berdirinya Kasultanan Yogyakarta sebagai akibat Perjanjian Gianti 13 Pebruari 1755 yang dikenal dengan nama Palihan Nagari. Dalam Perjanjian Gianti ini Kerajaan Mataram dibagi dua antara Sunan Paku Buwono III dengan P Mangkubumi. Separo dikuasai Sunan Paku Buwono III tetap bertahta di Kasunanan Surakarta sedangkan P Mangkubumi bertahta di Yogyakarta. P. Mangkubumi setelah dinobatkan sebagai Sultan bergelar “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyokarto Hadiningrat. Satu bulan setelah Perjanjian Gianti yaitu pada tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa separo dari Kerajaan Mataram yang dikuasainya itu diberi nama Ngayogyokarto Hadiningrat. Sejak itu Sultan Hamengku Buwono I bersiap-siap membangun ibukota dan keraton sebagai pusat pemerintahan. Untuk sementara sultan bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya menempati pesanggrahan Gamping yang dikenal dengan nama Pesanggrahan Ambarketawang.

Pembangunan keraton dimulai pada tanggal 9 Oktober 1755 setelah sebagian dari bangunan-bangunan keraton bisa ditempati, Sultan Hamengku Buwono I pindah ke kraton. Kepindahan Sultan Hamengku Buwono I dari Pesanggrahan ke Keraton ini dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 1756 (Darmosugito, 1956 – 18)

Setelah Sultan Hamengku Buwono I bertahta maka pihak VOC (Belanda) merasa perlu mengawasi pertumbuhan Kasultanan Yogyakarta. Hal ini disebabkan Sultan Hamengku Buwono I dianggap berbahaya bagi VOC, sehinga perlu diawasi. Oleh karena itu di Yogyakarta VOC menempatkan seorang residen. Residen pertama yang diangkat adalah Cornelis Donkel dan menjabat sebagai residen tahun 1755 – 1761. Kecuali itu dalam rangka mengawasi Sultan VOC juga mendirikan Benteng Rustenburg yang kemudian berganti nama Vredeburg.

Ketika Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal tahun 1808 – 1811, ia mengangkat wakil-wakilnya di keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Apabila Sunan Paku Buwono mau tunduk, maka Sultan Hamengku Buwono II menentang. Akibatnya pada tahun 1810 Daendels menurunkan Sultan Hamengku Buwono II dan diganti putra mahkota bergelar Sultan Hamengku Buwono III. Meskipun Sultan Hamengku Buwono II telah diturunkan dari tahta tetapi masih diperkenankan untuk tinggal dalam keraton sehingga disebut Sultan Sepuh. Sedangkan Sultan Hamengku Buwono III yang berkuasa disebut Sultan Raja.

Sejak di tanda tangani Kapitulasi Tuntang tanggal 18 September 1811 kekuasaan Jawa jauh ke tangan Inggris. Mendengar bahwa Belanda telah kalah maka Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) segeramengambil alih lagi tampuk pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono III (Sultan Raja) di kembalikan lagi ke kedudukan semula sebagai putra mahkota.

Kepada pemerintah Inggris Sultan Hamengku Buwono II mengajukan beberapa tuntutan antara lain : 1) Pembayaran kembali uang ganti rugi daerah-daerah pesisir yang telah dikuasai oleh Belanda; 2) Diserahkannya kembali P. Notokusumo dan RT. Notodiningrat yang diasingkan oleh Belanda. Sebagian dari tuntutan Sultan Hamengku Buwono II dipenuhi oleh penguasa Inggris Thomas Stamford Raffles yaitu diserahkannya kembali P. Notokusumo dan RT. Notodiningrat kepada Sultan Hamengku Buwono II. Akan tetapi Sultan Hamengku Buwono II harus membubarkan prajurit keraton, kekuasaannya dikurangi serta sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Inggris. Terhadap permintaan pemerintah Inggris tersebut Sultan Hamengku Buwono II menolaknya. Akibatnya pada tanggal 28 Juni 1812 Keraton Yogyakarta diserbu oleh tentara Inggris dan berhasil. Harta kekayaan Sultan Hamengku Buwono II disita dan Sultan Hamengku Buwono II diasingkan ke Pinang kemudian ke Ambon (Dr. Soekanto, 1952 : 95).

Putra mahkota yang dulu pada jaman pemerintah Daendels diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono III diangkat lagi oleh Raffes sebagai sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Penobatan putra mahkota sebagai Sultan Hamengku Buwono III di laksanakan di Loji Kebon (Tuin Logie) pada tanggal 28 Juni 1812. kemudian pada keesokan harinya tanggal 29 Juni 1812 P. Notokusumo dinobatkan oleh Raffles sebagai Pangeran Merdika di dalam Keraton Yogyakarta dengan gelar KGPA Paku Alam I sedangkan putranya yaitu RT. Notodiningrat berganti nama menjadi KPA. Suryaningrat dan RM. Salyo berganti nama KPA Suryaningprang. Akan tetapi politik kontrak antara KGPA Paku Alam I dengan pemerintah Inggris baru ditanda tangani pada tanggal 17 Maret 1813. Raffles mengangkat P. Notokusumo sebagai Pangeran Merdika karena jasa – jasanya yang begitu besar terhadap Inggris. Berdasarkan politik kontrak yang ditandatangani pada 17 Maret 1813 pemerintah Inggris memberi tanah sebesar 4000 cacah secara turun temurun kepada KGPA Paku Alam, tanah tersebut diambilkan dari tanah milik Sultan Hamengku Buwono. Kepada KGPA Paku Alam I diberikan tunjangan bulanan sebesar 750 real dan diberikan wewenang untuk memiliki sebuah legiun (Soedarisman Poerwokosoemo, 1985 : 147 – 148).

Pada mulanya KGPA Paku Alam I akan diberikan daerah Grobogan. Kemudian dirubah daerah Parakan di Kedu, sebagian daerah Bagelan, dan sebagian di Klaten. Setelah KGPA Paku Alam II naik tahta (4 Januari 1830) wilayah Kadipaten Paku Alaman yang ada di luar kota atau kabupaten luar kota meliputi sebagian tanah milik kasultanan. Kabupaten luar kota ini namanya Kabupaten Karangkemuning yang beribukota di Brosot dan mempunyai empat distrik yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko dan Tawangkarto. Sedangkan wilayah Kadipaten Paku Alaman di dalam kota disebut Kabupaten Kota Paku Alaman mencakup wilayah kawasan sekitar istana, sekarang wilayah Kecamatan Paku Alaman (Keluruhan Gunung Ketur dan Purwokinanti). Kemudian pada masa pemerintahan Paku Alam VII kabupaten luar kota ini namanya Kabupaten Adikarto beribukota di Wates. Kabupaten Adikarto mempunyai empat kapanewon yaitu Panjatan, Brosot, Bendungan dan Temon. (S. Ilmi Albiladiyah, 185 : 9 – 10).

Penjajahan ternyata membawa kesengsaraan bagi rakyat, oleh karena itu perlawanan terhadap Belanda muncul di berbagai daerah. Perlawanan tersebut masih bersifat kokal, kharismatik, pemimpin merupakan segala-galanya. Sehingga kalau pemimpin tertangkap maka perlawanan segera berhenti. Di Yogyakarta perlawanan dipimpin oleh P. Diponegoro 1825 – 1830). Perlawanan ini gagal karena P. Diponegoro ditangkap.

B. Yogyakarta Pada Masa Pergerakan Nasional
Sejak tahun 1908 perjuangan bangsa Indonesia menentang kekuasaan kolonial mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan organisasi dalam bentuk modern. Perjuangan dengan menggunakan organisasi modern ini dipelopori berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta. Budi Utomo mengadakan kongres pertama dilaksanakan di Kweekschol Jetis Yogyakarta (sekarang SMA 11 Yogyakarta) tanggal 3 – 5 Oktober 1908.

Aktivitas organisasi Budi Utomo ternyata memberikan inspirasi rakyat dalam bidang agama, sosial, ekonomi, pendidikan, politik maupun budaya. Terbukti pada tanggal 18 Nopember 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Pemogokan buruh terjadi di pabrik gula sekitar Yogyakarta menuntut kenaikan upah. Pemogokan ini dipimpin oleh RM. Suyopranoto melalui Personeel Fabriek Bond (PFB). Dalam bidang pendidikan juga mengalami kemajuan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantoro mempelopori berdirinya National Onderwijs Instituut Taman Siswa di Jalan Tanjung Yogyakarta.

Pada masa itu Yogyakarta ikut berperan juga dalam mendukung aktivitas organisasi pergerakan di Indonesia. Kongres Perempuan pertama dan Kongres Jong Java diselenggarakan pada bulan Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta (Sekarang Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta). Organisasi pergerakan nasional dari bermacam-macam ruang gerak baik pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, maupun keagamaan mempunyai satu tujuan yaitu kemerdekaan.

C. Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang kegiatan organisasi pergerakan mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan Pemerintah Pendudukan Jepang melarang semua organisasi pergerakan yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Kemudian Jepang membentuk organisasi baru yang langsung dibawah pengawasannya. Organisasi yang dibentuk oleh Jepang tersebut antara lain Gerakan Tiga A, Jawa Hokokai; Seinendan, Keibodan dsb.
Masa pendudukan Jepang yang hanya tiga setengah tahun ternyata membuat rakyat sengsara. Sehingga adanya berita tentang kekalahan Jepang terhadap Sekutu dalam Perang Dunia II merupakan secerah harapan bagi bangsa Indonesia untuk lepas dari penindasan Jepang. Masa kekosongan kekuasaan sejak kekalahan Jepang sampai datangnya tentara Sekutu di manfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaannya.

D. Yogyakarta Pada Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 17 agustus 1945 Ir Sukarno dan Drs. Moh Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu bangsa Indonesia bukan lagi sebagai bangsa yang dijajah tetapi sudah menadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Setelah Indonesia merdeka, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan amanat yang dikenal dengan nama Maklumat 5 September 1945. Maklumat tersebut secara substansial menegaskan bahwa Negeri Ngayogyakarto.

Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Pada masa awal proklamasi ini situasi sangat mencekam dan ketegangan terjadi di mana-mana demikian pula di Yogyakarta. Suasana kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945 diliputi oleh nyalanya api revolusi. Teriak siap dan pekik merdeka terdengar di mana-mana. Ratusan pemuda bersenjatakan bambu runcing, tombak, pedang, keris dan sebagainya bertekad bulat akan menurunkan bendera Hinomaru di gedung¬gedung pemerintah dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih.

Pada pukul 13.00 di depan Balai Mataram berkumpul massa rakyat. Mereka beramai-ramai mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram. Setelah berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram, massa rakyat dengan gagah berani memasuki Tyookan Kantai dengan tujuan yang sama.

Sebelum penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih di Tyookan Kantai itu diadakan perundingan dengan Koochi Zimmukyoku Tyookan di Tyookan Kantai. Sebagai juru bicara rakyat adalah Jalaludin Nasution Sekretaris Promotor Pemuda Nasional (PPN). Sementara itu dua orang anggota Polisi Istimewa yaitu Sunarjo dan sarjono ikut menyaksikan perundingan antara Jalaludin Nasution dengan petinggi Jepang. Pada mulanya pihak Jepang menyetujui permintaan delegasi rakyat, yaitu penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih. Akan tetapi setelah Sang Saka Merah Putih dikibarkan, Jepang ingkar janji. Penguasa Jepang kemudian menurunkan Sang Saka Merah Putih dan mengibarkan kembali bendera Hinomaru. Hal ini membuat rakyat marah dan mereka berkumpul di depan Tyookan Kantai. Dengan semangat yang berkobar massa rakyat dengan dibantu Polisi Istimewa berusaha menerobos penjaga Jepang yang bersenjata. Tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, lima orang muda yaitu Slamet, Sultan Ilyas, sapardi, Rusli dan Siti Ngaisah berhasil menerobos penjaga Jepang dan kemudian naik di atas atap gedung Tyookan Kantai untuk menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itulah sebagai awal runtuhnya Jepang di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 gedung Tyookan Kantai berhasil direbut dan dikuasai massa rakyat. Selanjutnya gedung ini dipergunakan sebagai gedung Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. (R. Sunardjo, 1974 : 3 – 4 lihat juga Djamal Marsudi; 1985 : 55 – 56). Gedung Tyookan Kantai ini setelah dipergunakan Komite Nasional Indonesia Daerah diberi nama Gedung Nasional Yogyakarta (Tashadi; dkk, 1985 : 49).

Dua hari kemudian yaitu pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi usaha pelucutan senjata Jepang di Kido Butai Kotabaru. Mula-mula usaha pelucutan dilakukan secara damai melalui perundingan, tetapi gagal. Oleh karena pelucutan senjata secara damai gagal, maka massa rakyat menyerang Kido Butai Kotabaru sehingga terjadi pertempuran yang sengit. Tentara Jepang kewalahan dan akhirnya menyerah.

Dalam pertempuran Kotabaru, pihak rakyat gugur 21 orang dan luka-luka 32 orang sedang pihak Jepang meninggal 9 orang 20 orang luka-luka. Jenazah para pahlawan tersebut sebelum dimakamkan, disemayamkan lebih dahulu di Gedung Nasional Yogyakarta. Dari 21 korban, 18 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan) sedangkan yang 3 orang dimakamkan di Karangkajen dan Kauman (Djamal Marsudi dkk, 1985 : 55 – 56 : lihat juga Suratmin, dkk, 1982 : 229).

Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta makin menjadi buruk. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara Belanda (NICA) sering terjadi tiap hari. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priuk pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Mengingat keamanan yang semakin buruk itu. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk sementara tetap di Jakarta. Namun karena situasi Jakarta bertambah gawat, Perdana Menteri Sultan Syahrir menyusul ke Yogyakarta.

Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia berdasarkan pertimbangan antara lain : 1) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bersikap tegas dalam mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia; 2) Rakyat Yogyakarta dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita dan semangat revolusi. Presiden Sukarno setelah pindah di Yogyakarta menempati Gedung Nasional. Itulah sebabnya rakyat menamakan Gedung Nasional dengan nama gedung Kepresidenan (M. Alwi Dahlan, PHD (et.al), 1979 : 164). Sedangkan wakil Presiden Moh. Hatta menempati Gedung Asisten Residen di jalan Reksobayan 4 yang sekarang dipergunakan Makarem 072 Pamungkas Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Gedung Asisten Residen ini dipergunakan sebagai tempat tinggal Somobucho atau Kepala Urusan Umum.

Perundingan Linggarjati yang setelah disepakati dan ditandatangani tanggal 25 Maret 1946 oleh kedua belah pihak yaitu Republik Indonesia dan Belanda ternyata diingkari dan diijak-injak oleh Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer I ke dalam wilayah Republik Indonesia. Untuk menyelesaikan sengketa Indonesia – Belanda ini pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kepada kedua belah pihak mulai 4 Agustus 1947. Untuk sementara pengawasan gencatan senjata dilakukan Komisi Konsuler yang nantinya diganti dengan Komisi Konsuler yang nantinya diganti dengan Komisi Jasa-Jasa Baik yang dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN).

Atas usul KTN, pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan perundingan di Kapal Renville sehingga perundingan ini dikenal dengan nama Perundingan Renville. Keputusan Perundingan Renville yang ditandatanggani pada tanggal 17 Januari 1948 sangat merugikan Republik Indonesia dan menguntungkan Belanda. Wilayah kekuasaan Republik Indonesia makin dipersempit; hasil Agresi Militer Belanda I terhadap Republik Indonesia diakui sebagai wilayah kekuasaan Belanda. Namun Belanda tetap tidak puas.

Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi Belanda melancarkan Agresi Militer II, Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia diserangnya. Agresi Militer II merupakan bukti penghianatan Belanda terhadap keputusan Perundingan Renville yang telah disepakati. Sebelum tentara Belanda menguasai kota Yogyakarta, kabinet sempat mengadakan sidang darurat di Istana Presiden. Menghadapi keadaan gawat darurat tersebut ada dua kemungkinan untuk menyelamatkan republik. Pertama, presiden, wakil presiden dan pimpinan angkatan perang mengungsi ke luar kota. Kedua, presiden dan wakil presiden tetap tinggal di ibukota dengan kemungkinan ditangkap Belanda. Alasannya agar lebih mudah ditemui Komisi Tiga Negara dan kegiatan diplomasi dapat berjalan terus.

Sidang kabinet memutuskan memilih kemungkinan yang kedua dan memberikan mandat melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika Syafruddin Prawiranegara gagal maka kepada AA. Maramis (Menteri Keuangan), LN. Palar dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di India diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di India.

Menjelang tengah hari kota Yogyakarta berhasil diduduki tentara Belanda kecuali keraton, dan Istana Kepresidenan dikepung dari segala jurusan dengan kendaraan lapis baja. Akhirnya Presiden Sukarno; Moh Hatta beserta sejumlah pejabat tinggi negara ditangkap dan ditawan Belanda. Presiden sukarno diasingkan ke Prapat dan Wakil Presiden Moh Hatta ke Bangka. Presiden Sukarno kemudian dipindah ke Bangka. Presiden Sukarno setelah ditawan Belanda, diminta untuk mengeluarkan perintah kepada TNI agar menghentikan pertempuran. Permintaan ini ditolak, dengan alasan bahwa dirinya adalah tawanan dan tidak mempunyai kekuasaan lagi, karena telah menyerahkan mandat kepada PDRI di Sumatra (Sutopo Yuwono, 1987 : 11).

Sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh pemerintah, seluruh kekuatan TNI yang masih berada dalam Kota Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk melakukan perang gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman sendiri yang akan memimpinnya. Dengan menduduki Kota Yogyakarta Belanda mengira bahwa TNI sudah tidak ada lagi. Dugaan Belanda itu ternyata meleset karena PDRI di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara meneruskan pemerintah RI dan TNI terus mengadakan perlawanan.

Agresi Militer Belanda II terhadap Republik Indonesia menggemparkan dunia. Reaksi terhadap tindakan Belanda tersebut muncul dimana-mana, baik dari lingkungan negara-negara boneka ciptaan Belanda sendiri maupun dari negara-negara lain yang bersimpati dengan Indonesia. Di New Delhi pada tanggal 20 hingga 23 Januari 1949 atas prakarsa India dan Birma diselenggarakan Konfrensi Asia yang dihadiri oelh utusan dari beberapa negara Asia, Afrika dan juga Australia. Berkat desakan negara-negara sahabat dan perjuangan wakil Republik Indonesia di PBB maka pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan mengadakan perundingan serta pembebasan dengan segera semua tahanan politik. Reaksi internasional semakin hebat setelah pihak TNI dan gerilyawan Indonesia berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam yang dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949.

Kegagalan Belanda di medan tempur dan adanya Resolosi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 memaksa Belanda pada tanggal 4 April 1949 mengadakan perundingan dengan Republik Indonesia. Dalam perundingan ini delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dan Belanda dipimpin Dr. J.H. Van Royen, sehingga perundingan ini dikenal dengan nama Perundingan Roem-Royen. Pada tanggal 7 Mei 1949 ditanda tangani Persetujuan Roem-Royen yang isinya antara lain penghentian tembak menembak; pembebasan para pimpinan Republik Indonesia dan kedua belah pihak bersepakat untuk negadakan Konprensi Meja Bundar.

Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan antara Republik Indonesia dengan Bijeenkomst Foor Federal Overleg (BFO) di bawah pengawasan Komisi PBB untuk Indonesia yang dipimpin Critshley. Adapun hasilnya anta lain 1) Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1949; 2) Perintah penghentian tembak menembak akan dibahas setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta dan 3) Konfrensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.

Sesuai dengan hasil perundingan Republik Indonesia – BOF maka pada tanggal 1 Juli 1949 secara resmi Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa pejabat tinggi negara baru tiba kembali di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Sedangkan Panglima besar Jenderal Sudirman tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintah kembali ke Yogyakarta maka Yogyakarta kembali sebagai ibukota Republik Indonesia dan Presiden Sukarno kembali tinggal di Istana Kepresidenan demikian juga Moh. Hatta tanggal di Reksabayan no. 4. Kemudian pada tanggal 13 Juli 1949 di Istana Kepresiden di adakan sidang kabinet yang pertama. Sidang mumutuskan mengangkat Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan dan Koordinator Keamanan.

Sebelum Konperensi Meja Bundar di laksanakan terlebih dahulu diselenggarakan Konperensi Antar Indonesia. Konprensi Antar Indonesia dilaksanakan dua kali yakni yang pertama di Yogyakarta tanggal 19 – 22 Juli 1949 dan yang kedua di Jakarta tanggal 31 Juli – 2 Agustus 1949. Pada Konprensi Antar Indonesia pertama di Yogyakarta dihasilkan persetujuan mengenai hal-hal yang bertalian dengan ketatanegaraan Negara Indonesia Serikat serta masalah di bidang militer. Sedangkan pada Konperensi Antar Indonesia kedua dihasilkan pembentukan Panitia Persiapan Nasional yang bertugas mengelenggarakan suasana tertib sebelum dan sesudah diselenggarakan Konperensi Meja Bundar yang akan datang. (Ir. Ginandjar Kartasasmita, 1983 : 229 – 230).

Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri di dalam Konperensi Antar Indonesia, maka bangsa Indonesia secara keseluruhan telah siap menghadapi Konperensi Meja Bundar. Kemudian pada tanggal 4 Agustus 1949 dibentuk delegasi Republik Indonesia. Adapun pimpinan delegasi Republik Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar ini adalah Drs. Moh. Hatta sedangkan delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid dari Pontianak.

Konperensi Meja Bundar diadakan di Den Haag dan berlangsung tanggal 23 Agustus hingga tanggal 2 Nopember 1949. Salah satu keputusan yang disepakati dalam Konperensi Meja Bundar adalah Indonesia menjadi Negara Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat.

Pada tanggal 17 Desember 1949, bertempat di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta Ir. Sukarno dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Mr. Kusumah Atmaja sebagai Presiden RIS. Sementara itu Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri RIS. Kabinet dan perdana menteri dilantik pada tanggal 20 Desember 1949 di Istana Kepresidenan Yogyakarta oleh Presiden Sukarno.

Setelah kabinet RIS dilantik, delegasi RIS yang dipimpin Drs. Moh. Hatta berangkat ke Negeri Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilaksanakan pada waktu yang bersamaan di Indonesia dan di Negeri Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak ditandatangani naskah pengakuan kedaulatan maka secara resmi Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda kecuali Irian Barat. Dengan demikian berakhirlah perang kemerdekaan Indonesia.

Berhubung diangkatnya Ir. Sukarno sebagai Presiden RIS, maka jabatan Presiden RI kosong. Untuk mengisi jabatan itu Ketua KNIP Mr. Asaat ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia. Pelantikan dan serahterima jabatan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Sehari setelah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Presiden Sukarno meninggalkan Yogyakarta kembali ke Jakarta untuk memangku tugas sebagai Presiden RIS (Ir. Ginandjar Kartosasmito, 1983 : 250 dan 253). Jakarta kembali menjadi ibukota Republik Indonesia Perlu diketahui bahwa RIS ini tidak berumur lama karena pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengalaman membuktikan bahwa rakyat tetap mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siasat Belanda memecah belah bangsa Indonesia tidak mampu menggoyahkan jiwa bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan.

Daftar Pustaka
Darmosugito. “Sedjarah Kota Yogyakarta”, dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956. Jogjakarta : Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, 1956.

Djamal Marsudi, dkk. Yogya Benteng Prolamasi. Jakarta : Badan Musyawarah Musea, 1985.

Ginandjar Kartasasmita, dkk. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 – 1949. Jakarta : PT. Tira Pustaka, 1983.

M. Alwi Dahlan, Ph D (Et.al). Istana Presiden Indonesia Jakarta : Sekretaris Negara RI, 1979.

S. Ilmi Albiladiyah. Pura Paku Alaman Selayang Pandang. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1985.

Soedarisman Poerwokoesoemo. Kadipaten Paku Alaman. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985.

Soekanto. Sekitar Jogjakarta 1755 – 1825. (Perdjandin Gianti – Perang Diponegoro). Jakarta – Amsterdam : Mahabarata, 1952.

Suratmin, dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Inperalisme Dan Kolonialisme Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982.

Sutopo Yuwono. Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta. Jakarta : Paguyuban Wehrkreise III, 1987.

Tashadi, dkk. Gedung Agung Yogyakarta. (Istana Kepresidenan Di Yogyakarat). Jakarta : Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1985.
-------------------

Suhatno adalah Staf Peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Sumber :
Makalah disampaikan dalam acara pembekalan Lawatan Sejarah Regional DIY, Jateng dan Jatim, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta tanggal 11 – 14 Juli 2006.