Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Angklung Padaeng


Oleh : Obby A.R. Wiramiharja

Latar Belakang

Indonesia negara tercinta adalah sebuah negara dimana bambu tumbuh dimana-mana, dimulai dari Sabang di sebelah barat sampai Merauke di sebelah timur. Untuk itu tidaklah aneh bila bangsa Indonesia mengatakan bahwa bambu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa kita sehari-hari.

Pernah suatu saat seorang asing yang telah mengunjungi berbagai tempat di negara kita ini berkata bahwa bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang aneh; karena mereka membangun rumah mereka dari bambu, dimulai dari lantai, dinding, atap, tiang juga peralatan dapur dan kebutuhan sehari-hari semua dari bambu, bahkan makanan pun, mereka makan bambu pula, dimana di negara kita terkenal dengan rebung.

Bahkan di dalam merebut, membela dan mempertahankan negara dari tangan penjajah "bambu" tidak sedikit berperan andil (bambu runcing) dan malah sampai waktu meninggal pun bambu berperan penting (usungan jenazah).

Hal lain yang menarik, bahwa Indonesia pun pandai membuat alat musik sendiri terbuat dari bambu (suling, calung, gunsang, celempung, rengkong, Angklung, hateng dan lain sebagainya.)

Masa Lalu Musik Bambu
Sejak kapan timbulnya alat musik yang dibuat dari bambu di Indonesia, tidak terdapat keterangan yang jelas. Beberapa ahli, seperti J. Kunst (Mr. J dan C.J. A Kunst "Musical Exploration in the Indian Archipelago" dalam Asiatic Review, Oktober 1936, hal. 814 dan Will G. Gilbert Muziek uit Oost-en West, Inleiding tot de Inhemsche Muziek van Nederlandsch Oost-en West India, (tidak bertahun hal. 9-10) berpendapat, bahwa beberapa bentuk alat musik bambu berasal dari masa sebelum adanya pengaruh Hindu. Menurut dugaan mereka, permulaan berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia sangat erat hubungannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Melayu Polinesia, beberapa Melanium sebelum Masehi.

Dari bukti-bukti yang dapat dikumpulkan, dengan terdapatnya beberapa alat musik dari bambu yang sama bentuknya di Asia Tenggara, dugaan tersebut dapat diterima. Sebagai contoh, alat musik bambu berdawai yang di Sulawesi Selatan disebut Gandrangbulo, di Priangan dikenal dengan sebutan Celempung, di Jawa Tengah disebut Gumbeng atau Gumbeng Rebah, di Bali dinamai Guntang.

Alat seperti itu, dengan berbagai variasinya antara lain terdapat di Siam Utara (Hugo A. Bertzik, Die Gaister der Gelben Blutter 1938, hal. 174); di Laos (A. Schaeffoer, Origine des Instrumente de Musque, 1938 hal XII, gambar 2 dan 3 (masing-masing berdawai 2 dan 1); di Kamboja dikenal dengan sebutan Dianglye (Curt Sachs, Die Musikinstrumente Indiens und Indonesiens, 1915 Hal. 97). Di beberapa tempat di Malaysia biasa disebut Gendang Batak (Henry Balfour, Musical Instruments from Malay Peninsula, Antropology, part 11, 1954 hal. 17); Orang-orang Sakai menyebutnya Krob, orang Semang menyebutnya Amang (M. Kelsinki, "Die Musik der Primitiv Stamme auf Malaka" Anthrops, XXV, 1930 hal. 591).

Demikian pula di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai variasi bentuk dan penamaan terdapat alat musik dari bambu berdawai. Bahkan di Madagaskar, menurut Sachs, (Curt Sachs, Les Instrumente de Musique de Madagascar, 1938, hal. 51) alat seperti itu terdapat pula, dikenal dengan sebutan veliha, vediha (na) atau marovany.

Dengan adanya persamaan bentuk alat musik dari bambu sebagaimana dikemukakan di atas, yang dapat dikatakan salah satu ciri persamaan selera dari suatu kebudayaan yang sama pendukungnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa berkembangnya musik bambu di Indonesia erat kaitannya dengan perpindahan nenek moyangnya dari darata Asia. Perpindahan yang dimaksud mungkin sekali perpindahan gelombang pertama, yakni perpindahan suku Negrito Weda yang terjadi pada zaman Mesolitikum, bahkan tidak mustahil sebelumnya. Sebagaimana dimaklumi sebelum adanya perpindahan suku bangsa Palaeo Mongoloid di Nusantara sudah ada suku-suku bangsa yang menetap yang juga berasal dari daratan Asia yang kini sisasisanya antara lain adalah penduduk asli Irian (M. Amir Sutarga, "Tjiri-tjiri Antropologi Fisik dari Penduduk Pribumi" dalam buku: Penduduk Irian Barat, di bawah redaksi Koentjara-ningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963, hal 22-23).

Penduduk Irian ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang bentuknya dikenal di Pasundan dengan sebutan Kerinding, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut rindhing atau Genggong, dan di Bali disebut Ginggung. Alat seperti itu dapat ditemui di berbagai tempat di Irian, seperti di sekitar Jabi, Tarung Gare, Awembiak, Den Dama, di sekitar Gunung Jaya Wijaya dan di hulu sungai Apauwar. Periksalah lebih lanjut: L.M. d'Alberts, New Guenia, jilid I, hal. 359; W.N. Beaver, A description of the Ciraca District, Western Papua, jilid III, 1914 hal 407; R. Parkinson, Im Bismarck-Archipel, Erlehnisse und Beobachtungen auf der Insel NeuBommern, 1887 hal 122; Curt Sachs, Geist und Werden der Musikinstrumente, 1929, jilid III, gambar No. 59; G.A.J Van der Sande, Uitkomsten de Nederlandsche Nieuw Guenia Expeditie onder leiding van Prof. A. Wichman, jilid III; ch. Le Roux, "Expeditie naar het Nassaugebergie in Cental Noord Nieuw guinea", TBG LXVI, hal 447513, 1926; Dr. J. Kunst, A Study on Papuan Music, peta lampiran "Distribution of Musical Instruments in New Guinea and the Adjacent Islands, 1931.

Dengan dikenalnya alat musik dari bambu oleh penduduk pedalaman Irian Jaya yang dapat dikatakan sebagai monumen kebudayaan zaman Batu Tua, dapatlah kiranya diterima pendapat, bahwa alat musik dari bambu di Indonesia sudah berkembang sejak zaman itu. Jadi tidak seperti pendapat Will Gilbert, yang menyebutkan berkembangnya musik bambu di Indonesia sejalan dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia .... eerste millenium v. Christ (Will G. Gilbert, op.cit, hal 20) atau seribut tahun sebelum Masehi, melainkan jauh sebelum itu, mungkin antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum perhitungan tahun Saka. Pada zaman itu kebudayaan setingkat dengan orang Tasadi, suatu suku terasing di pedalaman Mindanau (Filipina) yang belum mengenal logam dan cocok tanam dan masih hidup di goa-goa.

Orang Tasadi juga mengenal alat musik bambu, yakni alat musik bambu berdawai yang mereka namai Kubing. Sebagaimana dimaklumi, suku Tasadi ini baru ditemukan dan terjadi kontak dengan orang luar lingkungan mereka pada tahun 1971.

Alat-alat musik dari bambu yang tampak pada relief Candi Borobudur dan candi-candi yang lain, dari bentuk dan jenisnya menunjukkan adanya pengaruh Hindu, seperti Bangsing (suling lintang, wangsi).

Sedang alat-alat yang sudah ada sebelumnya, seperti alat musik bambu berdawai dan sebagainya, tidak digambarkan. Gambang bambu seperti yang digambarkan pada relief Borobudur dan teras depan Prambanan, sampai sekarang masih merupakan alat musik sakral di kalangan penganut agama Hindu Bali. Di beberapa Pura tua, seperti di Pura Kelaci Denpasar, terdapat gambang demikian yang kelihatan sudah sangat tua. Alat itu biasa dipergunakan dalam upacaraupacara penting terutama dalam pengabenan.

Sebagai makhluk yang berakal, bagaimanapun juga sederhananya, dalam mencukupi hajat kebutuhannya, nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman purba telah memanfaatkan bahan yang mudah didapat dan dibuat alat, yaitu bambu.

Perubahan bentuk dan peningkatan mutu alat-alat musik dari bambu tampak sangat lamban, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Di beberapa daerah dewasa ini masih terdapat alat musik dari bambu yang hanya berupa ruasan bambu yang dibunyikan dengan cara ditumbuk-tumbukkan pada sebuah papan, seperti Garantang di Tohpati Kasiman, Bali. Ada pula yang ditabuhnya dengan dipukul dengan pemukul dari kayu, seperti Guyonbulon di Banjaran, Bandung Selatan. Tongtong atau kentongan bambu tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di daerah Sumenep, Madura, Tuk-tuk biasa digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring karapan Sapi, dilengkapi dengan Sronen, semacam terompet yang tabungnya dibuat dari bambu pula. Tennong di Pangkajene, Sulawesi, adalah sebuah alat musik bambu sederhana pula, berbentuk bilahan bambu sebanyak 4 buah, dijajarkan di atas paha pemainnya. Dalam hal ini paha berfungsi sebagai penyangga dan sekaligus menjadi resonator.

Menurut keterangan dari orang-orang tua setempat, Tennong biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu rakyat Pangkajene Kepulauan.

Di sekitar Cakung, Jakarta Timur, alat musik semacam Tennong, tetapi dilengkapi dengan penyangga dari gedebog pisang disebut Sampyong, biasa digunakan sebagai Ujungan atau Tari Uncul.

Alat musik dari bambu yang mengalami perkembangan yang wajar adalah suling. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal dan memiliki suling dengan berbagai bentuk dan jenis, serta fungsi. Contohnya di Pasundan terdapat semacam suling yang disebut Surilit, Taleot, Hatong, Hatong Renteng, Hatong Sekaran, Elet, Calintu dan Bangsing.

Di antara berbagai macam suling terdapat pula yang digunakan sebagai alat musik yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan setempat, seperti suling Lembang, di Tanah Toraja. Suling dapat membawakan lagu-lagu sedih yang menyayat hati, atau lagu-lagu riang yang menggembirakan pendengarnya. Dapat pula dibawakan lagu-lagu syahdu berjiwa keagamaan. Itulah mungkin antara lain sebabnya di Maluku suling diperkembangkan sebagai alat musik Gerejani. Di Ambon dan Lease nyanyi-nyanyian Jemaat Gereja biasa diiringi Orkes Suling, yang dibawakan oleh sejumlah pemuda.

Menurut pendapat Dr. Th. Muller Kruger, bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecil yang dipakai oleh kebanyakan jemaat-jemaat di Indonesia, orkes suling bambu jauh lebih baik dan bermanfaat. Alat-alatnya mudah dibuat sendiri dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Sedang orgel harus dibeli dengan harga yang mahal dari luar negeri. Taraf musiknyapun orkes suling bambu tidak kurang indahnya dari orgel.

Manfaatnya untuk kehidupan gerejani banyak pula, sebab dengan digunakannya orkes suling bambu para pemuda mendapat tugas dan tanggung jawab dalam kebaktian-kebaktian. Orkes suling bambu di Maluku dikembangkan oleh Jozef Kam, seorang domine yang di sana dikenal dengan sebutan "Rasul Maluku" yang melakukan pekabaran Injil di Indonesia bagian Timur sejak tahun 1816 (Dr. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 1966 hal 95).

Rupanya di Filipina suling bambu sebagai alat musik Gerejani pernah ditingkatkan lagi bentuknya, yakni disusun sebagai organ. Sebuah pragan bambu yang dibuat tahun 1819 di bawah pengawasan seorang Rahib Agustin diberitakan pada tahun 1973 dalam keadaan rusak berat, sehingga untuk perbaikannya diperlukan dana sebesar 64.000 dollar Amerika (Harian Umum Berita Buana, 13 Juni 1973 hal 4). Hal ini saya kemukakan sekedar memberikan gambaran betapa besar apresiasi masyarakat tetangga kita itu terhadap alat musik bambu yang telah dikembangkan.

Alat musik bambu lainnya yang mengalami berbagai pasang surut dalam perkembangannya adalah Angklung, sebagaimana akan kita tinjau bersama.

Pasang Surut Angklung
1. Data Tertulis peninggalan Masa lalu
Sejak kapan Angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. Groneman, "De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehaldingen der Koninkl, Akademi, Jilid XIX, hal 4). Sebagai alat musik pra Hindu

Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya seperti alat musik bambu lainnya yang sudah berkembang sebelum zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.

Dalam literatur kuno pun saya tidak atau belum menemukan. Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.

Guntang, alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam Kekawin Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sundharmala dengan Pulkul, dalam Smaradhana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisan-tulisan kemudian seperti dalam Serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjukkan keahliannya menyanyi dan bermain musik di depan Bupati Dhaha Kediri.

2. Fungsi Angklung Tradisi
Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan, adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, Angklung bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. De beberapa tempat di Bali Angklung biasa digunakan khususu dalam upacara Pengabenan (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelompok penduduk yang tidak memiliki Angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.

Orang Baduy di Kanekes, Banten Selatan, mempergunakan Angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.

Angklung Gubrag di kampung Jati, Serang, dianggap alat musik sakral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.

Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat Angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikian pula di desa Ringin Anom dan Karangpatian, Ponorogo, upacara Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.

Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, Angklung merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang pengetahuan saya Angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di Desa Bluto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah Kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk Latar Belakang.

Indonesia negara tercinta adalah sebuah negara dimana bambu tumbuh dimana-mana, dimulai dari Sabang di sebelah barat sampai Merauke di sebelah timur. Untuk itu tidaklah aneh bila bangsa Indonesia mengatakan bahwa bambu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa kita sehari-hari.

Pernah suatu saat seorang asing yang telah mengunjungi berbagai tempat di negara kita ini berkata bahwa bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang aneh; karena mereka membangun rumah mereka dari bambu, dimulai dari lantai, dinding, atap, tiang juga peralatan dapur dan kebutuhan sehari-hari semua dari bambu, bahkan makanan pun, mereka makan bambu pula, dimana di negara kita terkenal dengan rebung.

Bahkan di dalam merebut, membela dan mempertahankan negara dari tangan penjajah "bambu" tidak sedikit berperan andil (bambu runcing) dan malah sampai waktu meninggal pun bambu berperan penting (usungan jenazah).

Hal lain yang menarik, bahwa Indonesia pun pandai membuat alat musik sendiri terbuat dari bambu (suling, calung, gunsang, celempung, rengkong, Angklung, hateng dan lain sebagainya.)

Masa Lalu Musik Bambu
Sejak kapan timbulnya alat musik yang dibuat dari bambu di Indonesia, tidak terdapat keterangan yang jelas. Beberapa ahli, seperti J. Kunst (Mr. J dan C.J. A Kunst "Musical Exploration in the Indian Archipelago" dalam Asiatic Review, Oktober 1936, hal. 814 dan Will G. Gilbert Muziek uit Oost-en West, Inleiding tot de Inhemsche Muziek van Nederlandsch Oost-en West India, (tidak bertahun hal. 9-10) berpendapat, bahwa beberapa bentuk alat musik bambu berasal dari masa sebelum adanya pengaruh Hindu. Menurut dugaan mereka, permulaan berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia sangat erat hubungannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Melayu Polinesia, beberapa Melanium sebelum Masehi.

Dari bukti-bukti yang dapat dikumpulkan, dengan terdapatnya beberapa alat musik dari bambu yang sama bentuknya di Asia Tenggara, dugaan tersebut dapat diterima. Sebagai contoh, alat musik bambu berdawai yang di Sulawesi Selatan disebut Gandrangbulo, di Priangan dikenal dengan sebutan Celempung, di Jawa Tengah disebut Gumbeng atau Gumbeng Rebah, di Bali dinamai Guntang.

Alat seperti itu, dengan berbagai variasinya antara lain terdapat di Siam Utara (Hugo A. Bertzik, Die Gaister der Gelben Blutter 1938, hal. 174); di Laos (A. Schaeffoer, Origine des Instrumente de Musque, 1938 hal XII, gambar 2 dan 3 (masing-masing berdawai 2 dan 1); di Kamboja dikenal dengan sebutan Dianglye (Curt Sachs, Die Musikinstrumente Indiens und Indonesiens, 1915 Hal. 97). Di beberapa tempat di Malaysia biasa disebut Gendang Batak (Henry Balfour, Musical Instruments from Malay Peninsula, Antropology, part 11, 1954 hal. 17); Orang-orang Sakai menyebutnya Krob, orang Semang menyebutnya Amang (M. Kelsinki, "Die Musik der Primitiv Stamme auf Malaka" Anthrops, XXV, 1930 hal. 591).

Demikian pula di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai variasi bentuk dan penamaan terdapat alat musik dari bambu berdawai. Bahkan di Madagaskar, menurut Sachs, (Curt Sachs, Les Instrumente de Musique de Madagascar, 1938, hal. 51) alat seperti itu terdapat pula, dikenal dengan sebutan veliha, vediha (na) atau marovany.

Dengan adanya persamaan bentuk alat musik dari bambu sebagaimana dikemukakan di atas, yang dapat dikatakan salah satu ciri persamaan selera dari suatu kebudayaan yang sama pendukungnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa berkembangnya musik bambu di Indonesia erat kaitannya dengan perpindahan nenek moyangnya dari darata Asia. Perpindahan yang dimaksud mungkin sekali perpindahan gelombang pertama, yakni perpindahan suku Negrito Weda yang terjadi pada zaman Mesolitikum, bahkan tidak mustahil sebelumnya. Sebagaimana dimaklumi sebelum adanya perpindahan suku bangsa Palaeo Mongoloid di Nusantara sudah ada suku-suku bangsa yang menetap yang juga berasal dari daratan Asia yang kini sisasisanya antara lain adalah penduduk asli Irian (M. Amir Sutarga, "Tjiri-tjiri Antropologi Fisik dari Penduduk Pribumi" dalam buku: Penduduk Irian Barat, di bawah redaksi Koentjara-ningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963, hal 22-23).

Penduduk Irian ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang bentuknya dikenal di Pasundan dengan sebutan Kerinding, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut rindhing atau Genggong, dan di Bali disebut Ginggung. Alat seperti itu dapat ditemui di berbagai tempat di Irian, seperti di sekitar Jabi, Tarung Gare, Awembiak, Den Dama, di sekitar Gunung Jaya Wijaya dan di hulu sungai Apauwar. Periksalah lebih lanjut: L.M. d'Alberts, New Guenia, jilid I, hal. 359; W.N. Beaver, A description of the Ciraca District, Western Papua, jilid III, 1914 hal 407; R. Parkinson, Im Bismarck-Archipel, Erlehnisse und Beobachtungen auf der Insel NeuBommern, 1887 hal 122; Curt Sachs, Geist und Werden der Musikinstrumente, 1929, jilid III, gambar No. 59; G.A.J Van der Sande, Uitkomsten de Nederlandsche Nieuw Guenia Expeditie onder leiding van Prof. A. Wichman, jilid III; ch. Le Roux, "Expeditie naar het Nassaugebergie in Cental Noord Nieuw guinea", TBG LXVI, hal 447513, 1926; Dr. J. Kunst, A Study on Papuan Music, peta lampiran "Distribution of Musical Instruments in New Guinea and the Adjacent Islands, 1931.

Dengan dikenalnya alat musik dari bambu oleh penduduk pedalaman Irian Jaya yang dapat dikatakan sebagai monumen kebudayaan zaman Batu Tua, dapatlah kiranya diterima pendapat, bahwa alat musik dari bambu di Indonesia sudah berkembang sejak zaman itu. Jadi tidak seperti pendapat Will Gilbert, yang menyebutkan berkembangnya musik bambu di Indonesia sejalan dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia .... eerste millenium v. Christ (Will G. Gilbert, op.cit, hal 20) atau seribut tahun sebelum Masehi, melainkan jauh sebelum itu, mungkin antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum perhitungan tahun Saka. Pada zaman itu kebudayaan setingkat dengan orang Tasadi, suatu suku terasing di pedalaman Mindanau (Filipina) yang belum mengenal logam dan cocok tanam dan masih hidup di goa-goa.

Orang Tasadi juga mengenal alat musik bambu, yakni alat musik bambu berdawai yang mereka namai Kubing. Sebagaimana dimaklumi, suku Tasadi ini baru ditemukan dan terjadi kontak dengan orang luar lingkungan mereka pada tahun 1971.

Alat-alat musik dari bambu yang tampak pada relief Candi Borobudur dan candi-candi yang lain, dari bentuk dan jenisnya menunjukkan adanya pengaruh Hindu, seperti Bangsing (suling lintang, wangsi).

Sedang alat-alat yang sudah ada sebelumnya, seperti alat musik bambu berdawai dan sebagainya, tidak digambarkan. Gambang bambu seperti yang digambarkan pada relief Borobudur dan teras depan Prambanan, sampai sekarang masih merupakan alat musik sakral di kalangan penganut agama Hindu Bali. Di beberapa Pura tua, seperti di Pura Kelaci Denpasar, terdapat gambang demikian yang kelihatan sudah sangat tua. Alat itu biasa dipergunakan dalam upacaraupacara penting terutama dalam pengabenan.

Sebagai makhluk yang berakal, bagaimanapun juga sederhananya, dalam mencukupi hajat kebutuhannya, nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman purba telah memanfaatkan bahan yang mudah didapat dan dibuat alat, yaitu bambu.

Perubahan bentuk dan peningkatan mutu alat-alat musik dari bambu tampak sangat lamban, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Di beberapa daerah dewasa ini masih terdapat alat musik dari bambu yang hanya berupa ruasan bambu yang dibunyikan dengan cara ditumbuk-tumbukkan pada sebuah papan, seperti Garantang di Tohpati Kasiman, Bali. Ada pula yang ditabuhnya dengan dipukul dengan pemukul dari kayu, seperti Guyonbulon di Banjaran, Bandung Selatan. Tongtong atau kentongan bambu tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di daerah Sumenep, Madura, Tuk-tuk biasa digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring karapan Sapi, dilengkapi dengan Sronen, semacam terompet yang tabungnya dibuat dari bambu pula. Tennong di Pangkajene, Sulawesi, adalah sebuah alat musik bambu sederhana pula, berbentuk bilahan bambu sebanyak 4 buah, dijajarkan di atas paha pemainnya. Dalam hal ini paha berfungsi sebagai penyangga dan sekaligus menjadi resonator.

Menurut keterangan dari orang-orang tua setempat, Tennong biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu rakyat Pangkajene Kepulauan.

Di sekitar Cakung, Jakarta Timur, alat musik semacam Tennong, tetapi dilengkapi dengan penyangga dari gedebog pisang disebut Sampyong, biasa digunakan sebagai Ujungan atau Tari Uncul.

Alat musik dari bambu yang mengalami perkembangan yang wajar adalah suling. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal dan memiliki suling dengan berbagai bentuk dan jenis, serta fungsi. Contohnya di Pasundan terdapat semacam suling yang disebut Surilit, Taleot, Hatong, Hatong Renteng, Hatong Sekaran, Elet, Calintu dan Bangsing.

Di antara berbagai macam suling terdapat pula yang digunakan sebagai alat musik yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan setempat, seperti suling Lembang, di Tanah Toraja. Suling dapat membawakan lagu-lagu sedih yang menyayat hati, atau lagu-lagu riang yang menggembirakan pendengarnya. Dapat pula dibawakan lagu-lagu syahdu berjiwa keagamaan. Itulah mungkin antara lain sebabnya di Maluku suling diperkembangkan sebagai alat musik Gerejani. Di Ambon dan Lease nyanyi-nyanyian Jemaat Gereja biasa diiringi Orkes Suling, yang dibawakan oleh sejumlah pemuda.

Menurut pendapat Dr. Th. Muller Kruger, bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecil yang dipakai oleh kebanyakan jemaat-jemaat di Indonesia, orkes suling bambu jauh lebih baik dan bermanfaat. Alat-alatnya mudah dibuat sendiri dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Sedang orgel harus dibeli dengan harga yang mahal dari luar negeri. Taraf musiknyapun orkes suling bambu tidak kurang indahnya dari orgel.

Manfaatnya untuk kehidupan gerejani banyak pula, sebab dengan digunakannya orkes suling bambu para pemuda mendapat tugas dan tanggung jawab dalam kebaktian-kebaktian. Orkes suling bambu di Maluku dikembangkan oleh Jozef Kam, seorang domine yang di sana dikenal dengan sebutan "Rasul Maluku" yang melakukan pekabaran Injil di Indonesia bagian Timur sejak tahun 1816 (Dr. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 1966 hal 95).

Rupanya di Filipina suling bambu sebagai alat musik Gerejani pernah ditingkatkan lagi bentuknya, yakni disusun sebagai organ. Sebuah pragan bambu yang dibuat tahun 1819 di bawah pengawasan seorang Rahib Agustin diberitakan pada tahun 1973 dalam keadaan rusak berat, sehingga untuk perbaikannya diperlukan dana sebesar 64.000 dollar Amerika (Harian Umum Berita Buana, 13 Juni 1973 hal 4). Hal ini saya kemukakan sekedar memberikan gambaran betapa besar apresiasi masyarakat tetangga kita itu terhadap alat musik bambu yang telah dikembangkan.

Alat musik bambu lainnya yang mengalami berbagai pasang surut dalam perkembangannya adalah Angklung, sebagaimana akan kita tinjau bersama.

Pasang Surut Angklung
1. Data Tertulis peninggalan Masa lalu
Sejak kapan Angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. Groneman, "De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehaldingen der Koninkl, Akademi, Jilid XIX, hal 4). Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya seperti alat musik bambu lainnya yang sudah berkembang sebelum zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.

Dalam literatur kuno pun saya tidak atau belum menemukan. Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.

Guntang, alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam Kekawin Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sundharmala dengan Pulkul, dalam Smaradhana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisan-tulisan kemudian seperti dalam Serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjukkan keahliannya menyanyi dan bermain musik di depan Bupati Dhaha Kediri.

2. Fungsi Angklung Tradisi
Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan, adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, Angklung bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. De beberapa tempat di Bali Angklung biasa digunakan khususu dalam upacara Pengabenan (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelompok penduduk yang tidak memiliki Angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.

Orang Baduy di Kanekes, Banten Selatan, mempergunakan Angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.

Angklung Gubrag di kampung Jati, Serang, dianggap alat musik sakral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.

Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat Angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikian pula di desa Ringin Anom dan Karangpatian, Ponorogo, upacara Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.

Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, Angklung merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang pengetahuan saya Angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di Desa Bluto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah Kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.

Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat terdapat Angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Indisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3. Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat lagi Angklung tradisional.

Di Kalimantan Selatan sekarang masih terdapat Angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukkan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah. Menurut keterangan, kata gepang di sini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudaannya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.

Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula Angklung tradisional, yang contohnya dipamerkan di Museum Leiden, Negeri Belanda dengan katalogus No 40/58. Namun sekarang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai Angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.

3. Perubahan Sifat dan Fungsi
Sebagaimana telah dikemukakan, hampir tidak ada keterangan tertulis autohtonis dari Angklung pada masa dahulu. Yang terdapat hanyalah cerita-cerita lisan, sebagaimana terdapat dalam beberapa cerita rakyat di Kanekes, Banten Selatan yang biasa dibawakan dalam bentuk pantun. Menurut cerita di sana, pada masa kebesaran Pajajaran, kerajaan di Pasundan, di samping sebagai alat musik upacara pertanian, Angklung biasa digunakan sebagai alat musik angkatan bersenjata, semacam Marching Band.

Melihat cara-cara permainan Angklung di Banten Selatan dan beberapa tempat di Priangan, demikian pula peranannya dalam pertunjukan Reog Ponorogo dan permainan Kuda Kepang, kemungkinan dipergunakannya Angklung sebagai alat musik tidak mustahil.

Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N. dalam majalah INDIE tahun pertama, No 21, 22 Agustus 1917 hal 330, tentang Angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : "En qeen wonder: de angkloeng is militaire muziek" ("dan tidak mengherankan:Angklung memang musik militer").

Demikian seorang dengan nama samaran "Bianca" dalam majalah de ORIENT No.52, 24 Desember 1938, tentang Angklung Sunda antara lain menulis : Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heeft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde ("pada umumnya musik Angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulkan semangat perjuangan dan mistik").

Penulis lain yang anonim dalam majalah WOLANDA HINDIA tahun ke-12 No.6, 1939, setelah menyaksikan beberapa pertunjukan Angklung di Priangan, antara lain menulis: "Dat deze muziek indruk op de bevolking maakt, is bewezen. Zij beluisteren in de klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij anderen zinnelijke aandoeningen worden opwekt" ("Bahwa musik ini (maksudnya musik Angklung, pen) dapat menimbulkan kesan mendalam bagi pendidik, cukup terbukti. Mereka mendengan musik perang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan emosional").

Demikian pengaruh musik Angklung pada pendukungnya di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada peretengahan abad XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut "Cultuurstelsel" atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan larangan terhadap permainan Angklung.

Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan Angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan. Dalam larangan itu dikecualikan permainan Angklung oleh anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap tidak menimbulkan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintahan jajahan Belanda. Sejak itulah Angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upcara yang dianggap sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan oleh pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan dari belas kasihan orang.

Setelah larangan itu dicabut, yaitu sejak dihapuskannya sistem tanam paksa, Angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk, kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reog atau ogel.

Keadaan nasib Angklung di Priangan yang demikian itu berlangsung hampir satu abad. Baru menjelang masa penjajahan Jepang terjadi perubahan, sebagai hasil kreativitas dan usaha tidak kenal mundur dari Daeng Sutigna, seorang Guru di Kuningan, kelahiran Garut.

Pada masa gerakan kebangsan di kalangan bangsa Indonesia makin menggelora, Angklung yang sekian lamanya ikut menjadi korban penjajahan asing, mulai terjaga kembali.

Sejak tahun 1938 Daeng Sutigna dengan tekun mengadakan eksperimen-eksperimen agar Angklung yang diketahuinya sebagai salah satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas. Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng sampai pada kesimpulan, bahwa agar Angklung dapat cepat populer harus disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis. Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan, akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.

Angklung kembali mendapat tempat yang layak di masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955, sebagai berikut :

"It is with pride and admiration that take this opprtunity of palcing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has found such a practical and fascinating method of teaching the youth of Indonesia how to apreciate and play their own historic inestrument, the Angklung.is original idea of enabling young children to read and understand the tonal structure by visual and practical demonstration, is, to say the least, wonderful.

This extraordinarily talented young teacher has also found a way in which to use is national idiom to bring European music to the people of his country. The great value in giving the players the rate combination of pleasure and discipline -i/e/ good teamwork which would give a unique satisfaction both to performers and audience.

I doubt whether Australia is the ideal place in which he should study further, and feel that his development would be best nurtured by study and research in European countries, and I sincerely hope that he will have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest".

Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian, bahwa Angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan sebagainya, di samping pemupukan rasa musikalis.

Berdasarkan hal-hal itulah, meskipun menurut anggapan beberapa pihak, Angklung sebagai alat musik memiliki beberapa kekurangan, akan tetapi dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat pendidikan, sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat penidikan musik di sekolah, Daeng dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus 1963, No. 082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan : ( SK Terlampir )

• Menetapkan Angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
• Menugaskan Direktur Jendral Kebudayaan untuk mengusahakan agar Angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Demikianlah, Angklung seolah-olah melambangkan pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak kaki penjajah, Angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya kemerdekaan, kembali Angklung menjadi alat musik yang dapat dibanggakan.

4. Perkembangan Pasca Daeng
Kegiatan pak Daeng dalam mengembangkan Angklung tidak terbatas pada pengembangan mutunya, melainkan juga pengembangan dalam arti penyebarluasan. Dibinanya Daeng-Daeng Muda sehingga tersebar di berbagai daerah, sebagai generasi penerus. Pada dasawarsa tujuh puluhan tampak dengan jelas betapa Angklung mencapai puncak kejayaannya. Apresiasi terhadapnya tidak terbatas di lingkungan tanah air saja, melainkan jauh lebih meluas ke negara tetangga. Dari sebuah produsen Angklung saja ratusan set diekspor ke Malaysia setiap tahun, sebagai salah satu komoditi nonmigas.

Menginjak dasawarsa delapanpuluhan, menurut pengamatan saya, tampaknya perkembangan Angklung tidak sehebat dasawarsa sebelumnya, seolah-olah terjadi kemandegan.

Mudah-mudahan konstatasi saya itu meleset, tetapi kalau benar, timbul beberapa pertanyaan, apa yang menjadi sebabnya. Tidak mustahil diakibatkan oleh masa produksi, sehingga kurang terjaga, karena mengejar kuantitas. Atau mungkin juga disebabkan karena para Daeng muda terlalu cepat berpuas diri dengan apa yang telah dicapai. Namun bagaimanapun juga yang menjadi sebabnya, satu hal yang perlu saya sampaikan dengan segala kerendahan hati, tetapi dengan penuh kesungguhan, mudah-mudahan kreativitas aktivitas inovatif dan agresif Pak Daeng Sutigna dalam mengembangkan mengembangkan tidak ikut terkubur bersama almarhum.
____________
Angklung Padaeng (disampaikan pada Seminar Nasional Angklung di ITB, 26 Oktober 1989)

Sumber : http://angklung-web-institute.com
Foto : http://indresvari.files.wordpress.com