Antara Parasitisme dan Simbiosis Mutualisme
Oleh: I Gde Pitana
“Tourism is, everywhere, the enemy of authenticity and cultural identity” (Louis Turner and John Ash, 1976: 17)
"the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the succes of tourist industry" (Philip F. McKean 1973, dikutip dalam Wood 1979).
A. Pendahuluan
Pariwisata telah menjadi industri terbesar dewasa ini, dengan potensi perkembangan yang diprediksi akan semakin baik di masa-masa mendatang (WTO 2004). Jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950 menjadi 476 juta pada 1992, dan pada tahun 2000 angka ini mencapai 698,8 juta orang. Jumlah wisatawan internasional selalu mengalami pening¬katan sampai penghujung milenium, dengan peningkatan tertinggi terjadi tahun 2000 (9,7%). Meskipun memasuki milineum ketiga dunia diguncang berbagai bencana, seperti tragedi WTC atau 9/11 tragedi di Amerika Serikat (11 September 2001), Tragedi Kuta (bom Bali, 12 Oktober 2002), merebaknya wabah SARS (Maret¬-Juni 2003), Perang Amerika-Irak (mulai April 2003), dan wabah flu burung (November 2003), tingkat penurunan jumlah kunjungan tidak terlalu besar, yaitu hanya -0,5% tahun 2001; kemudian naik 2,7% tahun 2002; dan turun lagi -1,2% tahun 2003; bila diban¬dingkan dengan tahun sebelumnya. Dari segi absolut, jumlah wisatawan internasional masih cukup tinggi, yaitu mencapai 694 juta orang tahun 2003, dengan penerimaan 514,4 milyar dollar Amerika, atau menurun 2,2% dibandingkan tahun 2002 (WTO 2004). Untuk tahun 2004, WTO melihat adanya perkembangan positif, yang didukung oleh menguatnya indikator pertumbuhan ekonomi. Mengutip laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 4,6% tahun 2004 dan 4,4% tahun 2005, yang berada di atas angka pertumbuhan beberapa tahun terakhir (2,4% tahun 2001; 3,0% tahun 2002; dan 3,9% tahun 2003). Hal ini dikuatkan lagi dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat, Jepang dan Cina.
Jumlah penerimaan pariwisata tahun 1990 mencapai 268,2 milyar dollar AS, dan pada tahun 2000 mencapai angka 475,8 milyar dollar AS. Pada tahun 1995, pariwisata menyumbangkan 10,9% dari pendapatan (GDP) dunia. Pada tahun 2001, industri pariwisata menciptakan GDP sebesar 3,3 triliun dolar AS, hampir 11% dari total GDP dunia (UNEP 2002). Pada tahun 2005, pariwisata akan menghasilkan penerimaan mencapai 7,2 triliun dolar AS, atau 11,4% dari GDP dunia (WTTC 1995, dalam Wahab 1999). WTO memprediksi bahwa pariwisata akan terus mengalami perkembangan, dengan rerata pertumbuhan jumlah wisatawan internasional sekitar 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Sementara itu, wisatawan domestik diperkirakan mencapai jumlah sepuluh kali lipat dibandingkan wisatawan internasional, yang juga besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah tujuan wisata.
Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung, dari pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara langsung untuk 211 juta orang; dan pada tahun 2001, bagi 207 juta orang tenaga kerja, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh dunia (UNEP 2002). Pada tahun 2005, diperkirakan pariwisata akan menciptakan lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga kerja pada abad ke-19 adalah pertanian, dan pada abad ke-20 adalah industri manufacturing, maka pada abad ke-21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. de Villiers 1999; Salah Wahab 1999). [3]
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata terhadap masyarakat lokal merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur. Namun pembahasan lebih terfokus pada dampak terhadap masyarakat lokal, sedangkan dampak pariwisata terhadap wisatawan dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan pembahasan.
Dalam kaitannya dengan aspek sosial-budaya, di satu pihak ada hipotesis bahwa pariwisata merupakan ‘musuh‘ dalam pelestarian budaya, tetapi di pihak lain ada juga posisi sebaliknya, bahwa pariwisata merupakan wahana yang sangat baik dalam pelestarian kebudayaan. Paper ini akan mencoba membahas hal ini dengan me¬ngambil berbagai kajian dari berbagai destinasi wisata, dengan fokus Bali sebagai salah satu contoh. Bali dijadikan contoh karena pariwisata sudah begitu dalam terintegrasi dalam kehidupan kese¬harian masyarakat Bali, dan Bali sudah menjadi ‘icon‘ dalam kepa¬riwisataan Indonesia.
B. Dampak Sosial Ekonomi
Meskipun pariwisata menyentuh berbagai aspek kehidupan masya¬rakat seperti politik, hukum, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah dampak terhadap sosial-ekonomi, dampak terhadap sosial budaya, dan dampak terhadap lingkungan.
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masya¬rakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa
2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat
3. Dampak terhadap kesempatan kerja
4. Dampak terhadap harga-harga
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan
6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu mem¬berikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, pening¬katan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dan pajak dan keun¬tungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata dipandang mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan pasti terhadap angka pengganda ini, dan beberapa daerah/telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervariasi. Di Irlandia, angka ini adalah 2,7; di Kepulauan Pasifik 3,2; di Yunani 1, 2-1, 4; sedangkan di Hawai hanya 0, 9-1, 3 (Pearce 1982).
Pariwisata telah memberikan devisa yang cukup besar bagi berbagai negara, dan bagi beberapa negara/daerah, pariwisata telah menjadi penghasil devisa terbesar. Pada tahun 2002, 83% dari GDP bagi Anguila (di Kepulauan Karibea) berasal dari pengeluaran wisa¬tawan; bagi St. Lucia (juga di Karibea), angka ini adalah 64%; sedangkan bagi Tonga (di Pasifik) pengeluaran wisatawan sudah mencapai 70% terhadap total devisa pada tahun 1990, dan angka ini mengalami trend peningkatan (Duval 2004; Fennel 1991). Angka-angka ini baru hanya dari pengeluaran wisatawan secara langsung, belum menghitung dampak tidak langsungnya melalui angka-angka pengganda.
Bagi Indonesia, peranan pariwisata juga sangat besar. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 97, 98, 99, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa 2001).
Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi bagi Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisa¬ta dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumberdaya alam, seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manu¬facturing yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sek¬tor andalan dalam pembangunan. Kontribusi pariwisata menun¬jukkan trend yang semakin meningkat dan tahun ke tahun.
Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun 1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, pariwisata menyum¬bang sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dan seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan oleh pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1%, dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan diban¬dingkan dengan angka tahun 1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi tersebut juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan pula dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan, yang menun¬jukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam ‘perekonomian rakyaf‘ cukup tinggi.
Antara dan Parining (1999) juga mengemukakan bahwa pari¬wisata mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor, melalui apa yang disebut open-loop efect dan induced¬ effect (di samping istilah yang sudah umum dikenal sebagai trickle-down effect dan multiplier effect). Dengan menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM), ditemukan bahwa pengaruh pengeluaran wisatawan sangat signifikan terhadap denyut nadi perekonomian Bali, yang meliputi belasan sektor.
Peranan pariwisata juga dapat dilihat dari kontribusinya terha¬dap PDRB dan penyerapan tenaga kerja, walaupun tidak ada angka pasti untuk ‘sektor pariwisata‘ dalam catatan statistik. Tetapi, meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Bali secara jelas menggambarkan peranan sektor (yang terkait dengan) kepariwisataan. Sektor perdagangan, restoran dan perhotelan (pariwisata) semakin besar peranannya dalam kontribusinya terhadap PDRB. Kontribusi tersebut meningkat dari 9,52% pada 1969 menjadi 13,90% pada 1983. Pada tahun 2000, sektor tersebut menyumbang sebesar 33,19% dari PDRB atas dasar harga berlaku.
Dari segi pendapatan pemerintah, PHR merupakan PAD yang sangat besar peranannya dalam pembangunan Bali. Pada tahun 1999/2000, jumlah PHR yang dihasilkan seluruh kabupaten/kota di Bali mencapai 299,483 milyar rupiah, dan tahun 2001 angka ini mencapai 421,853 milyar rupiah (meskipun pariwisata sudah mengalami tragedi WTC).
Dari segi ketenagakerjaan, pada tahun 1995 pariwisata menye¬rap 34,14% dari seluruh tenaga kerja yang bekerja di Bali. Persen¬tase ini terus naik, dan pada tahun 1998 mencapai 38,0%.
Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuk¬nya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-colonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi bagi negara¬negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara ber¬kembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas pariwisata yang ada di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain: "mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Italy, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia, dst" (Fen¬nel 1999: 164).
Akibat kecilnya muatan lokal, maka ‘kebocoran ekonomi‘ (economic leakage) menjadi begitu besar, terutama pada resor-resor ter¬tutup (endaveresort) yang didominasi modal asing. Kebocoran yang dialami oleh Kepulauan Cook mencapai 56%; di St Lucia mencapai 45%; Bahama 43%; dan Antigua 41%. Mengalirnya manfaat eko¬nomi dari negara berkembang ke negara maju ini mempunyai pola yang sama dengan berbagai MNC pada sektor lainnya, yang berkembang sejak industrialisasi dan mo¬dernisasi Dunia Ketiga. Brohman (1996: 55) sampai pada kesim¬pulan bahwa peranan pariwisata sebagai paspor untuk pem¬bangunan harus dikaji ulang. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu munculnya kolonialisme baru melalui pariwisata. Negara-negara yang menjadikan pariwisata sebagai andalan akhirnya terjerat dalam ketergantungan (dependency) yang begitu mencekik leher. Lebih jauh Brohman (1996: 66) menyatakan:
"... the Third World tourism industry will be threatened by many of the problems .... These problems include excessive foreign depen¬dency contributing to a loss of lokal control aver resources and substantial overseas leakage of tourism earnings; the lack of articula¬tion between tourism enclaves and domestic economic sectors, produc¬ing low multiplier and spread effects; the reinforcement of neo-colo¬nial pattern of socioeconomic and spatial polarization; ... the un¬equal distribution of the costs and benefits of tourism and the per¬ceived loss of cultural identity and social control to outsiders" (Brohman 1996: 66).
C. Dampak Sosial Budaya
Secara teoretis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan memang dapat dibedakan. [4] Namun demikian, Mathieson dan Wall (1982: 37) menyebutkan bahwa “there is no clear distinction between social and cultural phenomena”, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial-budaya‘ (the socialcultural impact of tourism in a broad context).
Menilai dampak sosial-budaya pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis. Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).
Terlepas dari berbagai kendala yang disebutkan di atas, berbagai kajian teoritis dan empiris yang dilakukan oleh sosiolog dan antropolog memang secara meyakinkan menemukan adanya berbagai dampak pariwisata terhadap masyarakat setempat baik pariwisata secara individual ataupun bersama-sama dengan kegiatan lainnya.
Asumsi yang paling umum digunakan dalam melihat ‘dampak‘ sosial-budaya pariwisata adalah ‘faktor lain‘ yang ‘menghantam‘ masyarakat, yang disebut sebagai model ‘bola bilyard‘ (Wood, 1984). Sebagaimana dikemukakan oleh Wood, dalam model ‘bola bilyard‘, objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respon aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (dan kebudayaan) setempat, harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdiferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih realitas adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat‘, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang oleh Micehl Picard (1993; 1996) disebut sebagai proses ‘turistifikasi‘ (touristification). Di samping itu, perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood 1984).
Secara teoretis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu :
Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara ma¬syarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, ter¬masuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
1. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
2. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
3. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
4. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
5. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
6. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
7. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
8. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyim¬pangan sosial; dan
9. dampak terhadap bidang kesenian dan adat-istiadat.
Sedangkan Pizam and Milman (1984) mengklasifikasikan dampak sosial-budaya pariwisata atas enam, yaitu:
1. Dampak terhadap aspek demografis jumlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan),
2. Dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan),
3. Dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa),
4. Dampak terhadap transformasi norma (nilai, moral, peranan seks),
5. Dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komuditas), dan
6. Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas).
Banyak kajian telah dilakukan terhadap dampak sosial-buda¬ya pariwisata, dengan penekanan pada aspek-aspek yang berbeda, serta dengan perspektif teori yang berbeda pula.
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadipembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen¬dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun¬tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.
Dan segi gender, Crompton dan Sanderson (1990) mengatakan bahwa sifat pekerjaan di dalam pariwisata semakin memper¬parah segregasi gender dalam masyarakat. Sebaliknya Urry (1991) menemukan bahwa pariwisata memberikan peluang kepada wanita untuk secara sosial-ekonomi lebih independen, sehingga perbedaan gender semakin menipis.
Sharpley (1994) melihat bahwa pariwisata merangsang mun¬culnya komunikasi yang lebih intensif di dalam masyarakat lokal. Masyarakat dapat memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pariwisata, dan manfaat ekonomi pariwisata dapat digunakan dalam kegiatan pelestarian budaya, dan secara nyata pariwisata memberikan kontribusi nyata di dalam pelestarian bangunan-banguan bersejarah atau keagamaan.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry, kebuda¬yaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam menghadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antar budaya. Namun demikian, ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumber daya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Namun di lain pihak, De Kadt (1979) mengatakan bahwa kesenian, kerajin¬an, dan berbagai aspek kebudayaan lokal bisa mengalami revitaligasi akibat kedatangan pariwisata.
Pariwisata juga menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk, karena peluang kerja dan kehadiran tamu merangsang kaum muda untuk pindah ke lokasi di mana pariwisata berkembang. Secara akumulatif hal ini akan menyebabkan terjadinya overcrowding, yang dapat bermuara pada berbagai masalah sosial.
Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial-budaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jumlah wisatawan, baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;
2. Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;
3. Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, si¬tus arkeologi, budaya kemasyarakatan, dst;
4. Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5. Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;
6. Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
7. Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
8. Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
9. Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
10. Struktur sosial masyarakat lokal;
Tipe resor yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.
D. Pariwisata, Penghancur atau Pelestari Kebudayaan? Bali sebagai Jendela [5]
Pariwisata sudah menjadi bread and breath bagi separuh lebih pen¬duduk Bali. Untuk beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata telah menjadi generator penggerak dalam pembangunan ekonomi, dan menjadi lokomotif dalam perubahan sosial-budaya. [6] Internasionali¬sasi lewat pariwisata, khususnya pariwisata budaya seperti yang dikembangkan di Bali, membawa masyarakat lokal terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka diwajibkan memelihara tradisi dan adat budayanya, yang merupakan komoditas yang dapat ‘dijual‘ dalam pariwisata. Di sisi lain, internasionalisasi melalui jaringan pariwisata berarti membenturkan kebudayaan lokal tersebut dengan dunia modern. Ini memberikan peluang besar bahwa budaya lokal akan hanyut dalam derasnya gelombang budaya global (Wil¬liams 1995; Crick 1989; Francillon 1977; Picard 1996).
Oleh karena intensifnya hubungan Bali dengan pariwisata, sekarang masyarakat Bali telah mengalami gejala turistifikasi. Melalui proses internasionalisasi ini, masyarakat Bali menjadi "touristic society". Pro¬ses internasionalisasi dan/atau turistifikasi mempunyai dampak yang sangat tinggi terhadap eksistensi kebudayaan lokal, yang mampu mentransformasikan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Banyak kalangan sangat khawatir dengan turistifikasi ini. Turistifikasi akan dapat mengubah inti kebudayaan Bali, pendang¬kalan terhadap kualitas kebudayaan, serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. [7] Bahkan ada yang menyatakan bahwa sekarang ini jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, telah tercerai berai di bawah pengaruh kepariwisataan. Unsur-unsur kebudayaan Bali berangsur-angsur menjadi cair, dan kemudian hanyut ke lautan budaya dunia yang semakin kuat, dalam lalu lintas kepariwisataan (Dalton 1990; Picard 1990; dan Naya Sujana 1989).
Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah me¬ngalami erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan (demonstrationt), tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri; terjadinya komoditisasi terhadap kebudayaan; terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian; profanisasi kesenian sakral, profanisasi kegiatan ritual ataupun tempat suci; dan bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini sudah semakin kecil kemauannya untuk mempertahankan identitas budayanya atau ke-Bali-annya. [8]
Sebaliknya, banyak juga ahli sosiologi dan antropologi yang melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebuda¬yaan Bali, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). McKean (1978) mengatakan:
... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, ... semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional.... Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. [9]
Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing 1974). Hal-hal luar diserap dan ditambahkan ke dalam kebudayaan, sebagai suatu proses pengayaan.
Penelitian lapangan di beberapa daerah pariwisata menun¬jukkan, organisasi sosial tradisional (khususnya banjar dan desa pakraman) [10] bahkan bertambah kuat, bertambah dinamis. Pariwisata telah menjadi wahana dinamisasi masyarakat (Pitana 1999, Gayatri 2003). Hal ini terkait erat dengan peningkatan ekonomi yang dibawa oleh kepariwisataan, serta semakin bertumbuh-kembangnya kesadaran akan ‘identitas diri‘ (Pitana 1991, 1995). Penemuan ini menghidupkan kembali thesis Noronha (1979), bahwa industri pariwisata tidak mencabut keterikatan manusia Bali terhadap organisasi tradisional, di mana budaya Bali berakar, yaitu desa pakraman (banjar). Bahkan pariwisata dapat memperkuat desa pakraman, melalui aliran ekonomi yang dibawa oleh pariwisata, yang disalurkan kepada lembaga tradisional oleh pelaku pariwisata.
Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Bali secara dinamis dan kreatif telah men-dialog-kan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi untuk melakukan ‘metamorfosis‘. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas manusia dan kebudayaan Bali sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat. Perubahan sosial-budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan internasionalisasi dan tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Bali seakan-akan melakukan ‘konversi‘. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam agama Hindu dengan nuansa Bali yang kental, atau apa yang oleh Clifford Geertz (1973) disebut sebagai internal conversion.
Internasionalisasi dan globalisasi budaya selalu menimbulkan pertanyaan akan identitas budaya dan manusia lokal. Ada asumsi umum bahwa dalam proses internasionalisasi dan modernisasi, ma¬syarakat lokal akan terjepit, termarginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya (Lanfant 1995). Kenyataannya, meskipun budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali telah mengalami proses ‘touristification‘, identitas budaya masyarakat Bali masih tetap, kalau tidak boleh dikatakan menguat. Temuan-temuan lapangan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan or¬ang yang semula pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali. [11] Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas ke-Bali-an ternyata menguat dengan semakin derasnya arus internasionalisasi. [12]
Pembangunan pariwisata telah menyebabkan adanya proses ‘destructuring and restructuring‘ dari media identitas etnis, yang pada akhirnya justru memperkuat identitas. Hal ini senada dengan temuan Lanfant (1995), yang melaporkan bahwa:
... societies have now discovered in the international tour¬ism a means of survival and even advancement. Tradition has been re-evaluated, integrated into the mechanisms of economic production and incorporated into the cultural systems of modern society (Lanfant 1995:37).
Manusia Bali tentu tidak mau ‘dikonservasi,‘ dalam arti yang statis, menjadi a ‘timeless society.‘ Orang Bali melestarikan budayanya tidaklah dalam artian statis, karena kebudayaan pada galibnya adalah sebuah produk sementara yang masih selalu berposes. Sebagaimana dikatakan oleh Samuel (1991: 23), "the elements of culture am subject to continuous social reconstruction." Masyarakat Bali sadar bahwa mereka harus mengadaptasi diri dengan dunia yang tengah berubah, sementara pada saat yang sama mereka juga sadar untuk menjaga kontinyuitas budaya dan identitasnya. Inilah yang sering disebut sebagai continuity in changes, atau dynamic equilibrium. [13] Dengan cara ini, masyarakat Bali secara terus-menerus mengukir dan mengukir kembali identitasnya, sementara benang merah kelaluan tidak diputus. Proses internasionalisasi, terutama yang terjadi melalui aktivitas kepariwisataan, secara bersamaan diikuti oleh proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam, mencari identitas ke masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses ‘tradisionalisasi‘ atau indi¬genisasi, atau ‘balinisasi‘ orang Bali sendiri.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Clifford Geertz (1999), yang mengedepankan bahwa pelestarian tidak boleh diartikan sebagai usaha ‘membekukan‘ sebuah kebudayaan, karena kebudayaan me¬mang selalu berubah, direkonstruksi dan direkreasi, sebagai respon terhadap situasi yang berubah. Usaha untuk membekukan kebu¬dayaan atas nama demi keaslian atau otentisitas, justru akan hasilkan dekadensi. Geertz (1999: 19) menulis bahwa kebudayaan dan tinggalan budaya:
... is not some solid unmoving block of objects, practices, beliefs, and understanding, a settled, crystalline structure of traditions and customs that time and tourism, development and modernity, can only erode, disrupt, pollute, or destroy. It is something that is constantly changing, constantly being reconstructed and recreated, in response to new circumstances and emerging nails. The so-called "museum" or culture park" view of heritage as something that has only to be preserved and tended, only to be kept pristine, isolated from alter¬ations going on around it, is not only utopian, it is mischievous. In trying to frieze a living tradition in the name of authenticity you produce the worst sort of inauthenticity-decadency, not purity.
Masyarakat Bali dalam banyak hal telah menemukan kembali berbagai tradisinya yang (konon) pernah ada, suatu proses yang oleh Hobsbawm (1983) disebut sebagai ‘reinvention of tradition‘. Tradisi¬-tradisi baru dimunculkan, dengan legitimasi tradisi lama, atau ajaran susastra agama, yang sesungguhnya adalah adaptasi, reinterpretasi, dan rekontekstualisasi terhadap situasi yang sedang berkemkembang. [14] Invented tradition [15] ini adalah salah satu hasil dari dialog antara orientasi ke luar (intemasionalisasi) dengan orientasi ke dalam (tra¬disionalisasi-indigenisasi). Tradisi atau elemen budaya baru yang ditumbuhkembangkan, bukan saja untuk kepentingan pariwisata, tetapi (bahkan lebih sering) adalah untuk dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri.
Dengan berbagai argumentasi di atas, ungkapan bahwa ‘Bali tidak lagi Bali‘ atau ‘Bali sudah kehilangan kebaliannya‘, tidak mendapatkan pijakan akademis yang kuat. Mengutip Clifford Geertz dalam kaftan ini,
The answer to that most famous tourist question, "Is Bali still Bali?" is: "Of course it is! What else could it be?” (1999: 19).
E. Wacana Penutup
Apa yang diuraikan di atas, mengandung muatan teoretis-akademis yang sangat signifikan. Bali, dengan keunikannya, adalah suatu ‘masyarakat modern yang tradisional‘. Bali telah mampu menjadi laboratorium sosial-budaya, untuk menguji kesahihan atau kelemahan berbagai teori Barat Temuan-temuan dan Bali memang ternyata sudah mampu memaksa terjadinya revisi terhadap teori Barat. Teori Modernisasi Klasik, yang mendikotomikan modernitas dengan tradisionalitas, dan menihilkan peranan nilai tradisional dalam pembangunan, mendapatkan bantahan empiris dan Bali. Teori hydraulic-despotism dari Wittfogel, juga harus direvisi, kalau dikaitkan dengan temuan-temuan tentang eksistensi subak di Bali. Demikian juga halnya, berbagai teori yang mendikotomikan pariwisata dengan kebudayaan lokal, berbagai pandangan modernistis yang menghipotesiskan hancurnya kebudayaan lokal karena pengaruh pariwisata, juga mendapat bantahan dan Bali. Kasus Bali menunjukkan bahwa meskipun gejala perubahan sosial-budaya terjadi, tetapi pariwisata lebih berperan sebagai wahana pelestari kebudayaan dalam arti yang luas.
Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi pembangunan Bali, bukan saja dalam aspek ekonomi, melainkan juga dalam berbagai aspek lainnya. Uraian di depan juga secara jelas telah menunjukkan bahwa pesimisme tentang kehancuran kebudayaan Bali akibat pariwisata tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, dengan berbagai mekanisme, langsung ataupun tidak langsung, pariwisata telah mampu menjadi patron baru bagi kebudayaan. Pariwisata telah menjadi pemicu dari dinamika masyarakat dalam pembangunan.
Walaupun berbagai kekhawatiran telah dikemukakan mengenai pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali, tetapi data lapangan menunjukkan bahwa pariwisata telah mampu menjadi dinamisator kebudayaan Bali dalam berbagai aspeknya, dan men¬jadi patron baru dalam merangsang berkembangnya kreativitas. Pariwisata telah mampu menjadi wahana pelestarian kebudayaan Bali -dalam arti yang dinamis. Dalam konteks ini, hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan lebih bersifat simbiosis mutualisme daripada parasitisme. Dengan demikian, pandangan dikotomis yang melihat pariwisata sebagai ‘musuh‘ kebudayaan semestinya dapat digantikan dengan pandangan sinergis, bahwa pelestarian kebu¬dayaan bisa berjalan seiring dengan pengembangan pariwisata, bahkan pariwisata bisa menjadi wahana yang sangat baik dalam pelestarian kebudayaan tersebut.
Sejalan dengan simpulan di atas, maka pertanyaan yang lebih arif bukanlah ‘bagaimana menghindarkan sentuhan pariwisata ter¬hadap kebudayaan, melainkan ‘bagaimana pariwisata semestinya dikelola agar bermanfaat bagi masyarakat dan kebudayaan.
Daftar Pustaka
Antara, M dan N. Panning. 1999. "Keterkaitan antara Pariwisata dengan Pertanian di Bali: Tinjauan dengan Model Social Accounting Matrix.” Paper disampaikan dalam Seminar Pariwisata Berkelanjutan menurut Perspektif Orang Bali. Puslit Kebudayaan dan Pariwisata Unud, Denpasar, 3 Agustus 1999.
Bagus, I. G. 1975. "Sanur dan Kuta Masalah Perubahan Sosial di Daerah Pariwisata.” Dalam L G. Bagus (ed). Bali dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar, Fakultas Sastra Unud. H. 95-109.
Cohen, Erik. 1984. "The Sociology of Tourism: Approaches, Issues, and Finding". Annal of Tourism Research No. 30: 236-66.
Eickelman, Dale F., and James Piscatori. 1990. “Social Theory in the Study of Muslim Societies.” Dalam: Dale F. Eickelman and James Piscatori (eds.), Muslim Travellers, Pligrimage, Migration, and the Religious Imagination. London: Routledge.
Erawan, Nyoman. 1993. Pariwisata dan Pembangunan: Bali sebagai suatu Kasus. Denpasar: Upada Sastra.
-------. 1999. "Konsep Pembangunan Pariwisata Bali: Aspek Manfaat Ekonomi." Paper disampaikan dalam Seminar Pariwisata Berkelanjutan menurut Perspektif Orang Bali. Puslit Kebudayaan dan Pariwisata Unud, Denpasar, 3 Agustus 1999.
Friedman, J. 1993. "Will the Real Hawaiian Please Stand: Anthropologists and Natives in Global Struggle for Identity." BKI 149:737-767.
Geertz, Clifford. 1997. “Cultural Tourism: Tradition, Identity and Heritage Construction." Dalam Wiendu Nuryanti (ed), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: UGM Press. H. 14-24.
Geertz, Clifford 1973. The Interpretation of Culture. New York Basic Books.
Hobsbawm, E. J. and T. 0. Ranger. Editors. 1983. The Invention of Tradition. New York Cambridge University Press.
Lanfant at al. 1995 (eds). International Tourism: Identity and Change. International Sociology, London, New Delhi.
Lansing, S. J. 1974. Evil in the Morning of the World. Ann Arbor: Michigan Papers on South and Southeast Asia; No. 6.
Lea, J. 1995. Tourism and Development in the Third World. London and New York Routledge.
McKean, Philip Frick 1978. "Towards a Theoretical Analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali.” Dalam Valena L. Smith (ed). Hosts and Guests: The Anthropology of Tourism. Philadelphia: University of Pensylvania Press. pp. 119-38.
Naya Sujana, N. 1994. "Manusia Bali di Persimpangan Jalan." Dalam G. Pitana (ed.), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post: 45-72.
Noronha, R. 1979. "Paradise Revisited." Dalam E. de Kadt (ed.), Tourism, Passport to Development? Oxford, Oxford University Press: 177-204.
Picard, M. 1996. Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press.
Pitana, I Gde (ed). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
------. 1998. “Interaction Between The Arts and Tourism”. Dalam Sudyatmaka Sugriwa (ed). Taksu: Never Ending Art Creativity. Denpasar: Cultural Affairs Office of Bali Province and Taksu Foundation.
-------. 1999. Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
-------. 2000. Kuta, Cermin Retak Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
Santosa, S.P. 2001. Bahan paparan untuk Gubernur Bali. Mimeo.
UNEP (United Nations Environment Programme). 2002. Industry as Partner for Sustainable Development Tourism. UK UNEP.
Unud and G. Francillon. 1975. "Tourism in Bali -Its Economics and Socio-cultural Impact Three Points of View." Internaional Social Science Journal XXVII (4): 721-52.
Urry, J. 1995. The Tourist Gaze: Leisure and Travel in Contemporary Societies. London: Newbury Park.
Wahab, Salah. 1997. "Balancing Culture Heritage Conservation and Sustainable Development Through Tourism.” Dalam Wiendu Nuryanti (ed), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: UGM Press. H. 59-74.
Wood, R. E. 1980. “International Tourism and Cultural Changein Southeast Asia." Economic development and Cultural Change 28 (1).
___________
I Gde Pitana
Sumber: Buku Minangkabau di Persimpangan Generasi. (Ed. Yerri S. Putra), diterbitkan oleh Pusat Studi Humaniora dan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 2007.
Oleh: I Gde Pitana
“Tourism is, everywhere, the enemy of authenticity and cultural identity” (Louis Turner and John Ash, 1976: 17)
"the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the succes of tourist industry" (Philip F. McKean 1973, dikutip dalam Wood 1979).
A. Pendahuluan
Pariwisata telah menjadi industri terbesar dewasa ini, dengan potensi perkembangan yang diprediksi akan semakin baik di masa-masa mendatang (WTO 2004). Jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950 menjadi 476 juta pada 1992, dan pada tahun 2000 angka ini mencapai 698,8 juta orang. Jumlah wisatawan internasional selalu mengalami pening¬katan sampai penghujung milenium, dengan peningkatan tertinggi terjadi tahun 2000 (9,7%). Meskipun memasuki milineum ketiga dunia diguncang berbagai bencana, seperti tragedi WTC atau 9/11 tragedi di Amerika Serikat (11 September 2001), Tragedi Kuta (bom Bali, 12 Oktober 2002), merebaknya wabah SARS (Maret¬-Juni 2003), Perang Amerika-Irak (mulai April 2003), dan wabah flu burung (November 2003), tingkat penurunan jumlah kunjungan tidak terlalu besar, yaitu hanya -0,5% tahun 2001; kemudian naik 2,7% tahun 2002; dan turun lagi -1,2% tahun 2003; bila diban¬dingkan dengan tahun sebelumnya. Dari segi absolut, jumlah wisatawan internasional masih cukup tinggi, yaitu mencapai 694 juta orang tahun 2003, dengan penerimaan 514,4 milyar dollar Amerika, atau menurun 2,2% dibandingkan tahun 2002 (WTO 2004). Untuk tahun 2004, WTO melihat adanya perkembangan positif, yang didukung oleh menguatnya indikator pertumbuhan ekonomi. Mengutip laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 4,6% tahun 2004 dan 4,4% tahun 2005, yang berada di atas angka pertumbuhan beberapa tahun terakhir (2,4% tahun 2001; 3,0% tahun 2002; dan 3,9% tahun 2003). Hal ini dikuatkan lagi dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat, Jepang dan Cina.
Jumlah penerimaan pariwisata tahun 1990 mencapai 268,2 milyar dollar AS, dan pada tahun 2000 mencapai angka 475,8 milyar dollar AS. Pada tahun 1995, pariwisata menyumbangkan 10,9% dari pendapatan (GDP) dunia. Pada tahun 2001, industri pariwisata menciptakan GDP sebesar 3,3 triliun dolar AS, hampir 11% dari total GDP dunia (UNEP 2002). Pada tahun 2005, pariwisata akan menghasilkan penerimaan mencapai 7,2 triliun dolar AS, atau 11,4% dari GDP dunia (WTTC 1995, dalam Wahab 1999). WTO memprediksi bahwa pariwisata akan terus mengalami perkembangan, dengan rerata pertumbuhan jumlah wisatawan internasional sekitar 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Sementara itu, wisatawan domestik diperkirakan mencapai jumlah sepuluh kali lipat dibandingkan wisatawan internasional, yang juga besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah tujuan wisata.
Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung, dari pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara langsung untuk 211 juta orang; dan pada tahun 2001, bagi 207 juta orang tenaga kerja, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh dunia (UNEP 2002). Pada tahun 2005, diperkirakan pariwisata akan menciptakan lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga kerja pada abad ke-19 adalah pertanian, dan pada abad ke-20 adalah industri manufacturing, maka pada abad ke-21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. de Villiers 1999; Salah Wahab 1999). [3]
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata terhadap masyarakat lokal merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur. Namun pembahasan lebih terfokus pada dampak terhadap masyarakat lokal, sedangkan dampak pariwisata terhadap wisatawan dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan pembahasan.
Dalam kaitannya dengan aspek sosial-budaya, di satu pihak ada hipotesis bahwa pariwisata merupakan ‘musuh‘ dalam pelestarian budaya, tetapi di pihak lain ada juga posisi sebaliknya, bahwa pariwisata merupakan wahana yang sangat baik dalam pelestarian kebudayaan. Paper ini akan mencoba membahas hal ini dengan me¬ngambil berbagai kajian dari berbagai destinasi wisata, dengan fokus Bali sebagai salah satu contoh. Bali dijadikan contoh karena pariwisata sudah begitu dalam terintegrasi dalam kehidupan kese¬harian masyarakat Bali, dan Bali sudah menjadi ‘icon‘ dalam kepa¬riwisataan Indonesia.
B. Dampak Sosial Ekonomi
Meskipun pariwisata menyentuh berbagai aspek kehidupan masya¬rakat seperti politik, hukum, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah dampak terhadap sosial-ekonomi, dampak terhadap sosial budaya, dan dampak terhadap lingkungan.
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masya¬rakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa
2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat
3. Dampak terhadap kesempatan kerja
4. Dampak terhadap harga-harga
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan
6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu mem¬berikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, pening¬katan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dan pajak dan keun¬tungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata dipandang mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan pasti terhadap angka pengganda ini, dan beberapa daerah/telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervariasi. Di Irlandia, angka ini adalah 2,7; di Kepulauan Pasifik 3,2; di Yunani 1, 2-1, 4; sedangkan di Hawai hanya 0, 9-1, 3 (Pearce 1982).
Pariwisata telah memberikan devisa yang cukup besar bagi berbagai negara, dan bagi beberapa negara/daerah, pariwisata telah menjadi penghasil devisa terbesar. Pada tahun 2002, 83% dari GDP bagi Anguila (di Kepulauan Karibea) berasal dari pengeluaran wisa¬tawan; bagi St. Lucia (juga di Karibea), angka ini adalah 64%; sedangkan bagi Tonga (di Pasifik) pengeluaran wisatawan sudah mencapai 70% terhadap total devisa pada tahun 1990, dan angka ini mengalami trend peningkatan (Duval 2004; Fennel 1991). Angka-angka ini baru hanya dari pengeluaran wisatawan secara langsung, belum menghitung dampak tidak langsungnya melalui angka-angka pengganda.
Bagi Indonesia, peranan pariwisata juga sangat besar. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 97, 98, 99, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa 2001).
Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi bagi Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisa¬ta dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumberdaya alam, seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manu¬facturing yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sek¬tor andalan dalam pembangunan. Kontribusi pariwisata menun¬jukkan trend yang semakin meningkat dan tahun ke tahun.
Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun 1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, pariwisata menyum¬bang sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dan seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan oleh pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1%, dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan diban¬dingkan dengan angka tahun 1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi tersebut juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan pula dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan, yang menun¬jukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam ‘perekonomian rakyaf‘ cukup tinggi.
Antara dan Parining (1999) juga mengemukakan bahwa pari¬wisata mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor, melalui apa yang disebut open-loop efect dan induced¬ effect (di samping istilah yang sudah umum dikenal sebagai trickle-down effect dan multiplier effect). Dengan menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM), ditemukan bahwa pengaruh pengeluaran wisatawan sangat signifikan terhadap denyut nadi perekonomian Bali, yang meliputi belasan sektor.
Peranan pariwisata juga dapat dilihat dari kontribusinya terha¬dap PDRB dan penyerapan tenaga kerja, walaupun tidak ada angka pasti untuk ‘sektor pariwisata‘ dalam catatan statistik. Tetapi, meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Bali secara jelas menggambarkan peranan sektor (yang terkait dengan) kepariwisataan. Sektor perdagangan, restoran dan perhotelan (pariwisata) semakin besar peranannya dalam kontribusinya terhadap PDRB. Kontribusi tersebut meningkat dari 9,52% pada 1969 menjadi 13,90% pada 1983. Pada tahun 2000, sektor tersebut menyumbang sebesar 33,19% dari PDRB atas dasar harga berlaku.
Dari segi pendapatan pemerintah, PHR merupakan PAD yang sangat besar peranannya dalam pembangunan Bali. Pada tahun 1999/2000, jumlah PHR yang dihasilkan seluruh kabupaten/kota di Bali mencapai 299,483 milyar rupiah, dan tahun 2001 angka ini mencapai 421,853 milyar rupiah (meskipun pariwisata sudah mengalami tragedi WTC).
Dari segi ketenagakerjaan, pada tahun 1995 pariwisata menye¬rap 34,14% dari seluruh tenaga kerja yang bekerja di Bali. Persen¬tase ini terus naik, dan pada tahun 1998 mencapai 38,0%.
Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuk¬nya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-colonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi bagi negara¬negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara ber¬kembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas pariwisata yang ada di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain: "mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Italy, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia, dst" (Fen¬nel 1999: 164).
Akibat kecilnya muatan lokal, maka ‘kebocoran ekonomi‘ (economic leakage) menjadi begitu besar, terutama pada resor-resor ter¬tutup (endaveresort) yang didominasi modal asing. Kebocoran yang dialami oleh Kepulauan Cook mencapai 56%; di St Lucia mencapai 45%; Bahama 43%; dan Antigua 41%. Mengalirnya manfaat eko¬nomi dari negara berkembang ke negara maju ini mempunyai pola yang sama dengan berbagai MNC pada sektor lainnya, yang berkembang sejak industrialisasi dan mo¬dernisasi Dunia Ketiga. Brohman (1996: 55) sampai pada kesim¬pulan bahwa peranan pariwisata sebagai paspor untuk pem¬bangunan harus dikaji ulang. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu munculnya kolonialisme baru melalui pariwisata. Negara-negara yang menjadikan pariwisata sebagai andalan akhirnya terjerat dalam ketergantungan (dependency) yang begitu mencekik leher. Lebih jauh Brohman (1996: 66) menyatakan:
"... the Third World tourism industry will be threatened by many of the problems .... These problems include excessive foreign depen¬dency contributing to a loss of lokal control aver resources and substantial overseas leakage of tourism earnings; the lack of articula¬tion between tourism enclaves and domestic economic sectors, produc¬ing low multiplier and spread effects; the reinforcement of neo-colo¬nial pattern of socioeconomic and spatial polarization; ... the un¬equal distribution of the costs and benefits of tourism and the per¬ceived loss of cultural identity and social control to outsiders" (Brohman 1996: 66).
C. Dampak Sosial Budaya
Secara teoretis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan memang dapat dibedakan. [4] Namun demikian, Mathieson dan Wall (1982: 37) menyebutkan bahwa “there is no clear distinction between social and cultural phenomena”, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial-budaya‘ (the socialcultural impact of tourism in a broad context).
Menilai dampak sosial-budaya pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis. Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).
Terlepas dari berbagai kendala yang disebutkan di atas, berbagai kajian teoritis dan empiris yang dilakukan oleh sosiolog dan antropolog memang secara meyakinkan menemukan adanya berbagai dampak pariwisata terhadap masyarakat setempat baik pariwisata secara individual ataupun bersama-sama dengan kegiatan lainnya.
Asumsi yang paling umum digunakan dalam melihat ‘dampak‘ sosial-budaya pariwisata adalah ‘faktor lain‘ yang ‘menghantam‘ masyarakat, yang disebut sebagai model ‘bola bilyard‘ (Wood, 1984). Sebagaimana dikemukakan oleh Wood, dalam model ‘bola bilyard‘, objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respon aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (dan kebudayaan) setempat, harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdiferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih realitas adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat‘, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang oleh Micehl Picard (1993; 1996) disebut sebagai proses ‘turistifikasi‘ (touristification). Di samping itu, perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood 1984).
Secara teoretis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu :
Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara ma¬syarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, ter¬masuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
1. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
2. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
3. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
4. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
5. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
6. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
7. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
8. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyim¬pangan sosial; dan
9. dampak terhadap bidang kesenian dan adat-istiadat.
Sedangkan Pizam and Milman (1984) mengklasifikasikan dampak sosial-budaya pariwisata atas enam, yaitu:
1. Dampak terhadap aspek demografis jumlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan),
2. Dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan),
3. Dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa),
4. Dampak terhadap transformasi norma (nilai, moral, peranan seks),
5. Dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komuditas), dan
6. Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas).
Banyak kajian telah dilakukan terhadap dampak sosial-buda¬ya pariwisata, dengan penekanan pada aspek-aspek yang berbeda, serta dengan perspektif teori yang berbeda pula.
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadipembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen¬dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun¬tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.
Dan segi gender, Crompton dan Sanderson (1990) mengatakan bahwa sifat pekerjaan di dalam pariwisata semakin memper¬parah segregasi gender dalam masyarakat. Sebaliknya Urry (1991) menemukan bahwa pariwisata memberikan peluang kepada wanita untuk secara sosial-ekonomi lebih independen, sehingga perbedaan gender semakin menipis.
Sharpley (1994) melihat bahwa pariwisata merangsang mun¬culnya komunikasi yang lebih intensif di dalam masyarakat lokal. Masyarakat dapat memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pariwisata, dan manfaat ekonomi pariwisata dapat digunakan dalam kegiatan pelestarian budaya, dan secara nyata pariwisata memberikan kontribusi nyata di dalam pelestarian bangunan-banguan bersejarah atau keagamaan.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry, kebuda¬yaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam menghadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antar budaya. Namun demikian, ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumber daya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Namun di lain pihak, De Kadt (1979) mengatakan bahwa kesenian, kerajin¬an, dan berbagai aspek kebudayaan lokal bisa mengalami revitaligasi akibat kedatangan pariwisata.
Pariwisata juga menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk, karena peluang kerja dan kehadiran tamu merangsang kaum muda untuk pindah ke lokasi di mana pariwisata berkembang. Secara akumulatif hal ini akan menyebabkan terjadinya overcrowding, yang dapat bermuara pada berbagai masalah sosial.
Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial-budaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jumlah wisatawan, baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;
2. Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;
3. Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, si¬tus arkeologi, budaya kemasyarakatan, dst;
4. Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5. Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;
6. Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
7. Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
8. Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
9. Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
10. Struktur sosial masyarakat lokal;
Tipe resor yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.
D. Pariwisata, Penghancur atau Pelestari Kebudayaan? Bali sebagai Jendela [5]
Pariwisata sudah menjadi bread and breath bagi separuh lebih pen¬duduk Bali. Untuk beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata telah menjadi generator penggerak dalam pembangunan ekonomi, dan menjadi lokomotif dalam perubahan sosial-budaya. [6] Internasionali¬sasi lewat pariwisata, khususnya pariwisata budaya seperti yang dikembangkan di Bali, membawa masyarakat lokal terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka diwajibkan memelihara tradisi dan adat budayanya, yang merupakan komoditas yang dapat ‘dijual‘ dalam pariwisata. Di sisi lain, internasionalisasi melalui jaringan pariwisata berarti membenturkan kebudayaan lokal tersebut dengan dunia modern. Ini memberikan peluang besar bahwa budaya lokal akan hanyut dalam derasnya gelombang budaya global (Wil¬liams 1995; Crick 1989; Francillon 1977; Picard 1996).
Oleh karena intensifnya hubungan Bali dengan pariwisata, sekarang masyarakat Bali telah mengalami gejala turistifikasi. Melalui proses internasionalisasi ini, masyarakat Bali menjadi "touristic society". Pro¬ses internasionalisasi dan/atau turistifikasi mempunyai dampak yang sangat tinggi terhadap eksistensi kebudayaan lokal, yang mampu mentransformasikan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Banyak kalangan sangat khawatir dengan turistifikasi ini. Turistifikasi akan dapat mengubah inti kebudayaan Bali, pendang¬kalan terhadap kualitas kebudayaan, serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. [7] Bahkan ada yang menyatakan bahwa sekarang ini jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, telah tercerai berai di bawah pengaruh kepariwisataan. Unsur-unsur kebudayaan Bali berangsur-angsur menjadi cair, dan kemudian hanyut ke lautan budaya dunia yang semakin kuat, dalam lalu lintas kepariwisataan (Dalton 1990; Picard 1990; dan Naya Sujana 1989).
Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah me¬ngalami erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan (demonstrationt), tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri; terjadinya komoditisasi terhadap kebudayaan; terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian; profanisasi kesenian sakral, profanisasi kegiatan ritual ataupun tempat suci; dan bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini sudah semakin kecil kemauannya untuk mempertahankan identitas budayanya atau ke-Bali-annya. [8]
Sebaliknya, banyak juga ahli sosiologi dan antropologi yang melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebuda¬yaan Bali, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). McKean (1978) mengatakan:
... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, ... semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional.... Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. [9]
Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing 1974). Hal-hal luar diserap dan ditambahkan ke dalam kebudayaan, sebagai suatu proses pengayaan.
Penelitian lapangan di beberapa daerah pariwisata menun¬jukkan, organisasi sosial tradisional (khususnya banjar dan desa pakraman) [10] bahkan bertambah kuat, bertambah dinamis. Pariwisata telah menjadi wahana dinamisasi masyarakat (Pitana 1999, Gayatri 2003). Hal ini terkait erat dengan peningkatan ekonomi yang dibawa oleh kepariwisataan, serta semakin bertumbuh-kembangnya kesadaran akan ‘identitas diri‘ (Pitana 1991, 1995). Penemuan ini menghidupkan kembali thesis Noronha (1979), bahwa industri pariwisata tidak mencabut keterikatan manusia Bali terhadap organisasi tradisional, di mana budaya Bali berakar, yaitu desa pakraman (banjar). Bahkan pariwisata dapat memperkuat desa pakraman, melalui aliran ekonomi yang dibawa oleh pariwisata, yang disalurkan kepada lembaga tradisional oleh pelaku pariwisata.
Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Bali secara dinamis dan kreatif telah men-dialog-kan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi untuk melakukan ‘metamorfosis‘. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas manusia dan kebudayaan Bali sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat. Perubahan sosial-budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan internasionalisasi dan tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Bali seakan-akan melakukan ‘konversi‘. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam agama Hindu dengan nuansa Bali yang kental, atau apa yang oleh Clifford Geertz (1973) disebut sebagai internal conversion.
Internasionalisasi dan globalisasi budaya selalu menimbulkan pertanyaan akan identitas budaya dan manusia lokal. Ada asumsi umum bahwa dalam proses internasionalisasi dan modernisasi, ma¬syarakat lokal akan terjepit, termarginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya (Lanfant 1995). Kenyataannya, meskipun budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali telah mengalami proses ‘touristification‘, identitas budaya masyarakat Bali masih tetap, kalau tidak boleh dikatakan menguat. Temuan-temuan lapangan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan or¬ang yang semula pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali. [11] Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas ke-Bali-an ternyata menguat dengan semakin derasnya arus internasionalisasi. [12]
Pembangunan pariwisata telah menyebabkan adanya proses ‘destructuring and restructuring‘ dari media identitas etnis, yang pada akhirnya justru memperkuat identitas. Hal ini senada dengan temuan Lanfant (1995), yang melaporkan bahwa:
... societies have now discovered in the international tour¬ism a means of survival and even advancement. Tradition has been re-evaluated, integrated into the mechanisms of economic production and incorporated into the cultural systems of modern society (Lanfant 1995:37).
Manusia Bali tentu tidak mau ‘dikonservasi,‘ dalam arti yang statis, menjadi a ‘timeless society.‘ Orang Bali melestarikan budayanya tidaklah dalam artian statis, karena kebudayaan pada galibnya adalah sebuah produk sementara yang masih selalu berposes. Sebagaimana dikatakan oleh Samuel (1991: 23), "the elements of culture am subject to continuous social reconstruction." Masyarakat Bali sadar bahwa mereka harus mengadaptasi diri dengan dunia yang tengah berubah, sementara pada saat yang sama mereka juga sadar untuk menjaga kontinyuitas budaya dan identitasnya. Inilah yang sering disebut sebagai continuity in changes, atau dynamic equilibrium. [13] Dengan cara ini, masyarakat Bali secara terus-menerus mengukir dan mengukir kembali identitasnya, sementara benang merah kelaluan tidak diputus. Proses internasionalisasi, terutama yang terjadi melalui aktivitas kepariwisataan, secara bersamaan diikuti oleh proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam, mencari identitas ke masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses ‘tradisionalisasi‘ atau indi¬genisasi, atau ‘balinisasi‘ orang Bali sendiri.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Clifford Geertz (1999), yang mengedepankan bahwa pelestarian tidak boleh diartikan sebagai usaha ‘membekukan‘ sebuah kebudayaan, karena kebudayaan me¬mang selalu berubah, direkonstruksi dan direkreasi, sebagai respon terhadap situasi yang berubah. Usaha untuk membekukan kebu¬dayaan atas nama demi keaslian atau otentisitas, justru akan hasilkan dekadensi. Geertz (1999: 19) menulis bahwa kebudayaan dan tinggalan budaya:
... is not some solid unmoving block of objects, practices, beliefs, and understanding, a settled, crystalline structure of traditions and customs that time and tourism, development and modernity, can only erode, disrupt, pollute, or destroy. It is something that is constantly changing, constantly being reconstructed and recreated, in response to new circumstances and emerging nails. The so-called "museum" or culture park" view of heritage as something that has only to be preserved and tended, only to be kept pristine, isolated from alter¬ations going on around it, is not only utopian, it is mischievous. In trying to frieze a living tradition in the name of authenticity you produce the worst sort of inauthenticity-decadency, not purity.
Masyarakat Bali dalam banyak hal telah menemukan kembali berbagai tradisinya yang (konon) pernah ada, suatu proses yang oleh Hobsbawm (1983) disebut sebagai ‘reinvention of tradition‘. Tradisi¬-tradisi baru dimunculkan, dengan legitimasi tradisi lama, atau ajaran susastra agama, yang sesungguhnya adalah adaptasi, reinterpretasi, dan rekontekstualisasi terhadap situasi yang sedang berkemkembang. [14] Invented tradition [15] ini adalah salah satu hasil dari dialog antara orientasi ke luar (intemasionalisasi) dengan orientasi ke dalam (tra¬disionalisasi-indigenisasi). Tradisi atau elemen budaya baru yang ditumbuhkembangkan, bukan saja untuk kepentingan pariwisata, tetapi (bahkan lebih sering) adalah untuk dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri.
Dengan berbagai argumentasi di atas, ungkapan bahwa ‘Bali tidak lagi Bali‘ atau ‘Bali sudah kehilangan kebaliannya‘, tidak mendapatkan pijakan akademis yang kuat. Mengutip Clifford Geertz dalam kaftan ini,
The answer to that most famous tourist question, "Is Bali still Bali?" is: "Of course it is! What else could it be?” (1999: 19).
E. Wacana Penutup
Apa yang diuraikan di atas, mengandung muatan teoretis-akademis yang sangat signifikan. Bali, dengan keunikannya, adalah suatu ‘masyarakat modern yang tradisional‘. Bali telah mampu menjadi laboratorium sosial-budaya, untuk menguji kesahihan atau kelemahan berbagai teori Barat Temuan-temuan dan Bali memang ternyata sudah mampu memaksa terjadinya revisi terhadap teori Barat. Teori Modernisasi Klasik, yang mendikotomikan modernitas dengan tradisionalitas, dan menihilkan peranan nilai tradisional dalam pembangunan, mendapatkan bantahan empiris dan Bali. Teori hydraulic-despotism dari Wittfogel, juga harus direvisi, kalau dikaitkan dengan temuan-temuan tentang eksistensi subak di Bali. Demikian juga halnya, berbagai teori yang mendikotomikan pariwisata dengan kebudayaan lokal, berbagai pandangan modernistis yang menghipotesiskan hancurnya kebudayaan lokal karena pengaruh pariwisata, juga mendapat bantahan dan Bali. Kasus Bali menunjukkan bahwa meskipun gejala perubahan sosial-budaya terjadi, tetapi pariwisata lebih berperan sebagai wahana pelestari kebudayaan dalam arti yang luas.
Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi pembangunan Bali, bukan saja dalam aspek ekonomi, melainkan juga dalam berbagai aspek lainnya. Uraian di depan juga secara jelas telah menunjukkan bahwa pesimisme tentang kehancuran kebudayaan Bali akibat pariwisata tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, dengan berbagai mekanisme, langsung ataupun tidak langsung, pariwisata telah mampu menjadi patron baru bagi kebudayaan. Pariwisata telah menjadi pemicu dari dinamika masyarakat dalam pembangunan.
Walaupun berbagai kekhawatiran telah dikemukakan mengenai pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali, tetapi data lapangan menunjukkan bahwa pariwisata telah mampu menjadi dinamisator kebudayaan Bali dalam berbagai aspeknya, dan men¬jadi patron baru dalam merangsang berkembangnya kreativitas. Pariwisata telah mampu menjadi wahana pelestarian kebudayaan Bali -dalam arti yang dinamis. Dalam konteks ini, hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan lebih bersifat simbiosis mutualisme daripada parasitisme. Dengan demikian, pandangan dikotomis yang melihat pariwisata sebagai ‘musuh‘ kebudayaan semestinya dapat digantikan dengan pandangan sinergis, bahwa pelestarian kebu¬dayaan bisa berjalan seiring dengan pengembangan pariwisata, bahkan pariwisata bisa menjadi wahana yang sangat baik dalam pelestarian kebudayaan tersebut.
Sejalan dengan simpulan di atas, maka pertanyaan yang lebih arif bukanlah ‘bagaimana menghindarkan sentuhan pariwisata ter¬hadap kebudayaan, melainkan ‘bagaimana pariwisata semestinya dikelola agar bermanfaat bagi masyarakat dan kebudayaan.
Daftar Pustaka
Antara, M dan N. Panning. 1999. "Keterkaitan antara Pariwisata dengan Pertanian di Bali: Tinjauan dengan Model Social Accounting Matrix.” Paper disampaikan dalam Seminar Pariwisata Berkelanjutan menurut Perspektif Orang Bali. Puslit Kebudayaan dan Pariwisata Unud, Denpasar, 3 Agustus 1999.
Bagus, I. G. 1975. "Sanur dan Kuta Masalah Perubahan Sosial di Daerah Pariwisata.” Dalam L G. Bagus (ed). Bali dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar, Fakultas Sastra Unud. H. 95-109.
Cohen, Erik. 1984. "The Sociology of Tourism: Approaches, Issues, and Finding". Annal of Tourism Research No. 30: 236-66.
Eickelman, Dale F., and James Piscatori. 1990. “Social Theory in the Study of Muslim Societies.” Dalam: Dale F. Eickelman and James Piscatori (eds.), Muslim Travellers, Pligrimage, Migration, and the Religious Imagination. London: Routledge.
Erawan, Nyoman. 1993. Pariwisata dan Pembangunan: Bali sebagai suatu Kasus. Denpasar: Upada Sastra.
-------. 1999. "Konsep Pembangunan Pariwisata Bali: Aspek Manfaat Ekonomi." Paper disampaikan dalam Seminar Pariwisata Berkelanjutan menurut Perspektif Orang Bali. Puslit Kebudayaan dan Pariwisata Unud, Denpasar, 3 Agustus 1999.
Friedman, J. 1993. "Will the Real Hawaiian Please Stand: Anthropologists and Natives in Global Struggle for Identity." BKI 149:737-767.
Geertz, Clifford. 1997. “Cultural Tourism: Tradition, Identity and Heritage Construction." Dalam Wiendu Nuryanti (ed), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: UGM Press. H. 14-24.
Geertz, Clifford 1973. The Interpretation of Culture. New York Basic Books.
Hobsbawm, E. J. and T. 0. Ranger. Editors. 1983. The Invention of Tradition. New York Cambridge University Press.
Lanfant at al. 1995 (eds). International Tourism: Identity and Change. International Sociology, London, New Delhi.
Lansing, S. J. 1974. Evil in the Morning of the World. Ann Arbor: Michigan Papers on South and Southeast Asia; No. 6.
Lea, J. 1995. Tourism and Development in the Third World. London and New York Routledge.
McKean, Philip Frick 1978. "Towards a Theoretical Analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali.” Dalam Valena L. Smith (ed). Hosts and Guests: The Anthropology of Tourism. Philadelphia: University of Pensylvania Press. pp. 119-38.
Naya Sujana, N. 1994. "Manusia Bali di Persimpangan Jalan." Dalam G. Pitana (ed.), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post: 45-72.
Noronha, R. 1979. "Paradise Revisited." Dalam E. de Kadt (ed.), Tourism, Passport to Development? Oxford, Oxford University Press: 177-204.
Picard, M. 1996. Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press.
Pitana, I Gde (ed). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
------. 1998. “Interaction Between The Arts and Tourism”. Dalam Sudyatmaka Sugriwa (ed). Taksu: Never Ending Art Creativity. Denpasar: Cultural Affairs Office of Bali Province and Taksu Foundation.
-------. 1999. Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
-------. 2000. Kuta, Cermin Retak Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit Bali Post.
Santosa, S.P. 2001. Bahan paparan untuk Gubernur Bali. Mimeo.
UNEP (United Nations Environment Programme). 2002. Industry as Partner for Sustainable Development Tourism. UK UNEP.
Unud and G. Francillon. 1975. "Tourism in Bali -Its Economics and Socio-cultural Impact Three Points of View." Internaional Social Science Journal XXVII (4): 721-52.
Urry, J. 1995. The Tourist Gaze: Leisure and Travel in Contemporary Societies. London: Newbury Park.
Wahab, Salah. 1997. "Balancing Culture Heritage Conservation and Sustainable Development Through Tourism.” Dalam Wiendu Nuryanti (ed), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: UGM Press. H. 59-74.
Wood, R. E. 1980. “International Tourism and Cultural Changein Southeast Asia." Economic development and Cultural Change 28 (1).
___________
I Gde Pitana
Sumber: Buku Minangkabau di Persimpangan Generasi. (Ed. Yerri S. Putra), diterbitkan oleh Pusat Studi Humaniora dan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 2007.