I. Pendahuluan
Belum dapat diketahui secara pasti, kapan Bandung dibentuk menjadi sebuah pemukiman karena tanggal yang dijadikan dasar berdirinya pun diambil dari terbitnya Surat Keputusan Bandung menjadi gemlente. Surat Keputusan tersebut terbit pada tanggal 1 April 1906. Saat itu pemerintahan kota Bandung mulai dipisahkan dengan pemerintahan Kabupaten Bandung oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutch.
Sebuah cerita menuturkan bahwa yang membuat Bandung menjadi sebuah kota adalah Gubernur Jenderal Daendels. Ketika itu, Daendels sedang mengawasi pem¬bangunan jalan rayapos yang melintasi Bandung. Di dekat jembatan Sungai Cikapundung (Sekitar Gedung Merdeka) yang tengah diselesaikan oleh -pasukan zeni militer Belanda dibantu penduduk Kampung Cikapundung, Daendels menancapkan patok kayu sambil berkata "usahakan yang terbaik, jika aku kembali lagi, ditempat ini telah dibangun sebuah kota". Pada patok itu berdiri, orang kemudian membuat tanda berupa tugu yang menyatakan tanda kilometer 0 untuk daerah Bandung. Sejak itulah kota Bandung dibangun hingga mencapai bentuk perkembangan sekarang ini.
A. Lokasi dan Kondisi Geografis
Dari tahun ke tahun, Bandung menunjukkan perkem¬bangan yang sangat pesat. Kepesatan tersebut di¬mungkinkan karena letaknya yang strategis sebagai hinterland ibu kota. Di bidang budaya, Bandung berkembang menjadi pusat budaya Jawa Barat mengalahkan Cianjur, Banten, dan Cirebon yang telah memiliki akar budaya lebih tua. Kemudian dari segi politik, Bandung sering dijadikan barometer politik, dan dari segi ekonomi Bandung menjadi koridor utama Jakarta serta pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Priangan, Cianjur, Cirebon, dan Jawa Tengah.
Dengan alasan-alasan tersebut, tidak heran jika Bandung memiliki berbagai macam fungsi, seperti pusat pemerintahan Jawa Barat dengan adanya Kantor Gubernur di Gedung Sate. Kemudian sebagai kota pendidikan, dengan adanya ITB, Unpad, IKIP serta puluhan perguruan tinggi swasta dan berbagai macam pendidikan lainnya. Bandung juga merupa¬kan pusat perdagangan regional Jawa Barat; kota industri, pusat budaya dan pariwisata, serta etalasi Jawa Barat.
Secara astronomic, Bandung yang dikelilingi pe¬gunungan ini, terletak di antara 107" BT dan 6° 55' LS. Jarak antara ibukota negara (Jakarta) sekitar 180 km, dari Bogor kurang lebih 126 Km, dan dari Cirebon sekitar 130 Km. Ditinjau dari segi topografi, Bandung terletak pada ketinggian rata-rata 768 meter diatas permukaan laut. Sisi sebelah Utara berupa perbukitan dengan titik tertinggi 1.050 meter diatas permukaan laut. Sedangkan sisi sebelah Selatan yang relatif datar, titik terendahnya sekitar 675 meter diatas permukaan laut.
Kawasan kota Bandung yang dahulunya merupakan danau purba Bandung ini, dikelilingi beberapa gunung, antara lain : Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m), Gunung Malabar (2.321 m), Gunung Burangrang (2.064 m), Gunung Bukit Tunggul (2.209 m), Gunung Patuha (2.249 m), Gunung Palasari, Gunung Mang¬layang, dan Gunung Tilu. Oleh karena dipengaruhi iklim pegunungan yang lembab dan sejuk, temperatur rata-rata harian antara 18° C sampai 28,2" C dengan curah hujan antara 77,2 mm hingga 178,6 mm. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 208 hari.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/331/PUOD tanggal 23 Juni 1986 luas wi¬layah Kotamadya Bandung yang semula 12.758 hektar berkembang menjadi kurang lebih 17.000 hektar dengan batas-batas: Sebelah utara sampai dengan garis ketinggian 750 m, sebelah timur sam¬pai Sungai Cibiru, sebelah selatan sampai jalan Tol Padalarang-Cileunyi, dan sebelah barat sampai jalan Terusan Pasteur, Jalan Raya- Bandung Cimahi, dan batas wilayah Kota Administratif Cimahi. Wilayah seluas 17.000 hektar tersebut dimanfaatkan untuk perumahan (54%), perkotaan (9%), perkotaan dan perdagangan (4%), industri (2%), pertanian (14%), kompleks militer (8%), cadangan untuk pengem¬bangan (3%), dan kegunaan lain-lain (6%); serta meliputi 4 Wilayah Pembantu Walikota Madya, 26 kecamatan, dan 135 kelurahan.
Pengembangan luas wilayah yang dipergunakan untuk pemukiman penduduk dilakukan dengan melingkari wilayah yang telah ada. Hal tersebut menyebabkan tempat tinggal penduduk semakin jauh letaknya dari pusat kota. Perluasan wilayah itu tidak diimbangi dengan pembuatan alternatifjalan yang baru, bahkan jalur jalan untuk mencapai pusat kota masih meng¬gunakan jalan yang lama, sehingga Bandung dapat dikatakan tidak teratur dan mengakibatkan pemakai jalan selalu dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas yang hampir berlangsung setiap hari.
B. Kependudukan
Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki perkembangan penduduk yang sangat pusat. Tingkat kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 135 jiwa/hektar. Bahkan beberapa wilayah seperti Pagarsih, Jamika, Kiaracondong, Cicadas, Binong, dan Babakan Ciparay, mencapai kepadatan 250 jiwa/ hektar sampai 400 jiwa/hektar. Padahal menurut ketentuan WHO, tingkat kepadatan penduduk kota paling ideal sekitar 60 jiwa/hektar.
Lajti Pertumbuhan penduduk (LPP) Kodya Bandung mencapai 3,48%. Padahal data asli dari BKKBN (se¬suai dengan angka kelahiran) hanya 1,08%. Berarti, 2,4% LPP berasal dari kaum pendatang.
Memang berdasarkan data kependudukan yang ter¬dapat di Pemda Kodya Bandung, setiap tahun Bandung di banj iri kaum pendatang antara 40.000 — 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai pelosok untuk mencari kehidupan yang lebih baik dibanding di daerah asal. Selain oleh pencari nafkah, Bandung juga diserbu pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah dengan jumlah setahunnya mencapai sekitar 10.000 orang. Yang mengkhawatirkan adalah apabila pendatang (termasuk pelajar/mahasiwa) tidak mau kembali ke tempat asalnya. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan pasangan (suami atau istri) orang Bandung dan kemudian tinggal di Bandung.
Beberapa nama tempat di Bandung, mencerminkan keberadaan kaum pendatang seperti di kawasan Kiaracondong, terdapat kampung yang disebut pen¬duduk setempat "Kampung Jawa" karena sebagian besar penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan Sumur Bandung juga ter¬dapat "Babakan Ciamis" yang kalau ditelusuri latar belakangnya, ternyata karena di tempat tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Ciamis, terutama dari Kecamatan Panjalu.
Bertambahnya jumlah pendatang yang merupakan produk parahnya arus urbanisasi, diakibatkan juga oleh banyak didirikan pabrik-pabrik tekstil atau garmen yang menyerap pekerja sampai ribuan orang dan sebagian besar diantaranya berasal dari daerah luar Bandung. Jumlah tersebut akan semakin meningkat apabila ditambah lagi dengan pendatang yang bersifat commuter (Wang alik). Pendatang tersebut hadir di Bandung karena berhubungan dengan pekerjaan (tempat kerjanya di Bandung) dan sekolah. Menurut perhitungan jumlah pendatang commuter diperkirakan mencapai 300.000 setitap harinya. Mereka datang dari kota satelit seperti Ciparay, Majalaya, Banjaran. Soreang, Lembang, Cililin, Cicalengka atau Subang dan beberapa kota yang letaknya terlalu jauh.
Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur yang tercatat pada data kependudukan Kotamadya Bandung tahun 1996, jumlah penduduk yang berusia muda menunjukkan perbandingan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia sedang/produktif dan tua. Oleh karena itu, beban ketergantungan (depen¬dency ratio) yang dapat dihitung diperkirakan sekitar 72,8 persen, yang berarti bafiwa setiap 100 orang berusia produktif atau konsumtif harus menang-gung 72 orang yang nonproduktif atau konsumtif. Tinggi beban ketergantungan ini menyebabkan pen-dapatan Kota Madya Bandung habis dikonsumsi oleh penduduk nonproduktif.
C. Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung serta segenap lapisan masyarakat selama kurun waktu 90 tahun ini telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembira¬kan. Hal tersebut dapat dilihat dari angka laju per¬tumbuhan ekonomi yang dewasa ini mencapai 1156%, jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6% dan laju pertumbuhan eknomi Jawa Bann 9%.
Walaupun laju pertumbuhan ekonominya tinggi, ter¬nyata masih banyak warga kota Bandung yang belum berhasil dalam bidang materi. Hal tersebut terlihat dengan adanya tiga desa/kelurahan yang tertinggal, yaitu Desa Mengger, Kelurahan Cigondewah Wetan, dan Kelurahan Sukapura, serta terdapatnya hampir 150.000 KK yang dinyatakan prasejahtera dan mis¬kin (40% dari seluruh penduduk Kodya Bandung).
Upaya yang dilakukan Pemda Kotamadya Bandung untuk membrantas kemiskinan. antara lain memberi¬kan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) kepada tiga kelurahan tertinggal, dan membentuk KBS (Kelom¬pok Bina Sosial) untuk membantu penduduk yang kekurangan modal. Selain itu. dibentuk juga Yayusan Berhiber, merealisasikan program Rereongan Sarupi, dan program Satata Sariksa.
Sikap-sikap seperti itu menunjukkan bahwa masya¬rakat Jawa Barat umumnya. khususnya kota Bandung masih memiliki kepedulian sosial yang relatif tinggi terhadap sesamanya. Namun perlu juga disadari bahwa nilai-nilai luhur tersebut kin i memudar seiring dengan perkembangan zaman. terutama di daerah pusat kota yang sudah individualistis. Padahal kalau sikap hidup demikian diupayakan dan dibina kembali, niscaya merupakan potensi yang luar biasa untuk menjarnin kemajuari di segala bidang kehidupan.
Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung menyadari bahwa berbagai permasalahan kerapkali timbul, walaupun upaya pembangunan di segala bidang dilaksanakan secara terencana. menyelunth, dan ber¬kesinambungan.
Permasalahan yang timbul antara lain diakibatkan bertambahnya penduduk yang berpengaruh terhadap fasilitas dan utilitas yang dibangun Pemda. Adapun yang paling dominan adalah semakin sempitnya lahan terbuka karena hampir sebagian besar digunakan untuk pemukiman.
Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa kon¬disi tempat tinggal penduduk Bandung dan sekitar¬nya relatif balk tetapi terdapat juga kondisi pemukiman yang kurang memadai sebagai tempat tinggal atau kumuh. Daerah kumuh tersebut umumnya terdapat dipinggir rel kereta api, Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan tidak sedikit yang menjadikan kuburan (tempat pemakaman umum) sebagai pemukiman. Dengan demikian, upaya pemenuhan utilitas dan fasilitas kota yang dilaksanakan saat ini, masih jauh tertinggal dibanding kebutuhan.
II Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung
1. Gedung Sate
Pembangunan gedung ini dirintis tahun 1918, dan iibangun pada tahun 1920. Bangunannya berbentuk 7.ersegi panjang. Pintu masuk utama terletak di tengah-tengah bagian gedung yang memanjang, rnenghadap ke utara. Puncak atapnya bersusun tiga dengan antena anti petir yang terletak di tengahnya berbentuk setusuk sate, menurut sebagian orang lambang setusuk sate tersebut melambangkan biaya ang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk mem¬bangun gedung tersebut
Enam bulatan tersebut berarti enam juta gulden. Menurut catatan pembangunan gedung sate itu hanya lima juta gulden (Comite van Artie, "Bandung de Staat op de Hoogulakte"). Puncak atap tersebut memotong atap bangunan menjadi dua bagian Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.
Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.
2. Gedung Pakuan
Gedung Pakuan didirikan pada tahun 1867 atas prakarsa Residen Priangan RAA. Wiranatakusuma IV (Dalem Bintang 1), Bupati Bandung ketujuh di¬bantu oleh para pekerja perkebunan Babakan Bogor.
Perancang bangunan ini adalah insinyur kepala dan staf dari Residen Van der Moore dan mulai dibangun tahun 1864. Gedung Pakuan memiliki langgam Indische Empire Stijl (Gaya Empire Hindia). Bentuk dan gaya gedung itu tampak merupakan perpaduan antara bentuk dan gaya bangunan Sunda dengan gaya dan bentuk bangunan Eropa. Nama Gedung Pakuan diusulkan oleh Dalem Isteri RAA Wiranatakusuma V.
Pada dinding, pintu dan palang-palang bangunannya terdapat karya seni semacam kaligrafi, berupa ayat¬ayat suci Al Qur'an.
Dalam bangunan ini terdapat sebuah ruangan tempat Bupati menerima tamu dan pendopo. Pendopo ini dibangun pada tahun 1950 pada masa petherintahan Bupati RAA Wiranatakusumah IV.
3. Gedung Dwi Warna
Gedung ini dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan Technisishon Dionstdor Stadsge¬meente Bandung, dipergunakan sebagai Pension Fonds seluruh Indonesia. Pada waktu pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia, gedung ini diperguna¬kan sebagai gedung Kempe Tai, kemudian sebagai gedung Rekomba, dan pada masa feodal sebagai gedung DPR Negara Pasundan.
Di gedung ini pula dilakukan demonstrasi pem¬bubaran Negara Pasundan yang kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah Negara Pasundan bersatu (kembali) ke Negara Kesatuan, gedung DPR Tingkat I Jawa Barat (dulu) oleh Bung Karno dipergunakan sebagai gedung Sekretariat Konferensi Asia Afrika dan di¬beri nama "Gedung Dwi Wama". Setelah konferensi selesai, kembali ke fungsi semula yaitu sebagai gedung KP3 (Kantor Pusat Pensiunan Pegawai), kemudian sebagai Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai, namanya "Sub Direktorat Pe¬ngumpulan Data Seluruh Indonesia".
4. Gedung Merdeka
Gedung Merdeka dibangun pada tahun 1879, oleh arsitektur berkebangsaan Belanda hernama Van Galen Last dan CP. Wolf Schoomaker, kemudian dibangun sampai berbentuk sekarang tahun 1927 - 1929. Dahulu gedung ini terdiri atas dua huah bangunan, yakni bangunan pokok yang disehut Gedung Schowberg dan satu lagi yang disehut Societiet Concordia. Kedua gedung ini disatukan dan telah dilaksanakan perombakan besar tahun I954, dalam rangka akan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955.
Dahulu gedung ini merupakan gedung pertemuan orang Belanda dari kalangan atas, seperti kaum intelektual, perwira militer, -pemilik perusahaan perkebunan di sekitar kota Bandung.
Sejak tahun 1955 gedung ini merupakan gedung .bersejarah yang terkenal ke seluruh dunia, karena di gedung inilah berlangsung Konferensi Asia Afrika yang membangkitkan semangat untuk gerakan ke¬merdekaan negara-negara terjajah yang ada di seluruh Asia Afrika. Di samping itu, di gedung ini pula tempat dilangsungkannya pertemuan-pertemuan nasional maupun internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi WHO, dan sekarang digunakan sebagai gedung Museum Asia Afrika.
Gedung tersebut telah mengalami pemugaran pada tahun 1978/1979 oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (bersambung)
Sumber :
RosmanaTjetjep dkk, 1999/2000 Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung Jakarta. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Belum dapat diketahui secara pasti, kapan Bandung dibentuk menjadi sebuah pemukiman karena tanggal yang dijadikan dasar berdirinya pun diambil dari terbitnya Surat Keputusan Bandung menjadi gemlente. Surat Keputusan tersebut terbit pada tanggal 1 April 1906. Saat itu pemerintahan kota Bandung mulai dipisahkan dengan pemerintahan Kabupaten Bandung oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutch.
Sebuah cerita menuturkan bahwa yang membuat Bandung menjadi sebuah kota adalah Gubernur Jenderal Daendels. Ketika itu, Daendels sedang mengawasi pem¬bangunan jalan rayapos yang melintasi Bandung. Di dekat jembatan Sungai Cikapundung (Sekitar Gedung Merdeka) yang tengah diselesaikan oleh -pasukan zeni militer Belanda dibantu penduduk Kampung Cikapundung, Daendels menancapkan patok kayu sambil berkata "usahakan yang terbaik, jika aku kembali lagi, ditempat ini telah dibangun sebuah kota". Pada patok itu berdiri, orang kemudian membuat tanda berupa tugu yang menyatakan tanda kilometer 0 untuk daerah Bandung. Sejak itulah kota Bandung dibangun hingga mencapai bentuk perkembangan sekarang ini.
A. Lokasi dan Kondisi Geografis
Dari tahun ke tahun, Bandung menunjukkan perkem¬bangan yang sangat pesat. Kepesatan tersebut di¬mungkinkan karena letaknya yang strategis sebagai hinterland ibu kota. Di bidang budaya, Bandung berkembang menjadi pusat budaya Jawa Barat mengalahkan Cianjur, Banten, dan Cirebon yang telah memiliki akar budaya lebih tua. Kemudian dari segi politik, Bandung sering dijadikan barometer politik, dan dari segi ekonomi Bandung menjadi koridor utama Jakarta serta pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Priangan, Cianjur, Cirebon, dan Jawa Tengah.
Dengan alasan-alasan tersebut, tidak heran jika Bandung memiliki berbagai macam fungsi, seperti pusat pemerintahan Jawa Barat dengan adanya Kantor Gubernur di Gedung Sate. Kemudian sebagai kota pendidikan, dengan adanya ITB, Unpad, IKIP serta puluhan perguruan tinggi swasta dan berbagai macam pendidikan lainnya. Bandung juga merupa¬kan pusat perdagangan regional Jawa Barat; kota industri, pusat budaya dan pariwisata, serta etalasi Jawa Barat.
Secara astronomic, Bandung yang dikelilingi pe¬gunungan ini, terletak di antara 107" BT dan 6° 55' LS. Jarak antara ibukota negara (Jakarta) sekitar 180 km, dari Bogor kurang lebih 126 Km, dan dari Cirebon sekitar 130 Km. Ditinjau dari segi topografi, Bandung terletak pada ketinggian rata-rata 768 meter diatas permukaan laut. Sisi sebelah Utara berupa perbukitan dengan titik tertinggi 1.050 meter diatas permukaan laut. Sedangkan sisi sebelah Selatan yang relatif datar, titik terendahnya sekitar 675 meter diatas permukaan laut.
Kawasan kota Bandung yang dahulunya merupakan danau purba Bandung ini, dikelilingi beberapa gunung, antara lain : Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m), Gunung Malabar (2.321 m), Gunung Burangrang (2.064 m), Gunung Bukit Tunggul (2.209 m), Gunung Patuha (2.249 m), Gunung Palasari, Gunung Mang¬layang, dan Gunung Tilu. Oleh karena dipengaruhi iklim pegunungan yang lembab dan sejuk, temperatur rata-rata harian antara 18° C sampai 28,2" C dengan curah hujan antara 77,2 mm hingga 178,6 mm. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 208 hari.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/331/PUOD tanggal 23 Juni 1986 luas wi¬layah Kotamadya Bandung yang semula 12.758 hektar berkembang menjadi kurang lebih 17.000 hektar dengan batas-batas: Sebelah utara sampai dengan garis ketinggian 750 m, sebelah timur sam¬pai Sungai Cibiru, sebelah selatan sampai jalan Tol Padalarang-Cileunyi, dan sebelah barat sampai jalan Terusan Pasteur, Jalan Raya- Bandung Cimahi, dan batas wilayah Kota Administratif Cimahi. Wilayah seluas 17.000 hektar tersebut dimanfaatkan untuk perumahan (54%), perkotaan (9%), perkotaan dan perdagangan (4%), industri (2%), pertanian (14%), kompleks militer (8%), cadangan untuk pengem¬bangan (3%), dan kegunaan lain-lain (6%); serta meliputi 4 Wilayah Pembantu Walikota Madya, 26 kecamatan, dan 135 kelurahan.
Pengembangan luas wilayah yang dipergunakan untuk pemukiman penduduk dilakukan dengan melingkari wilayah yang telah ada. Hal tersebut menyebabkan tempat tinggal penduduk semakin jauh letaknya dari pusat kota. Perluasan wilayah itu tidak diimbangi dengan pembuatan alternatifjalan yang baru, bahkan jalur jalan untuk mencapai pusat kota masih meng¬gunakan jalan yang lama, sehingga Bandung dapat dikatakan tidak teratur dan mengakibatkan pemakai jalan selalu dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas yang hampir berlangsung setiap hari.
B. Kependudukan
Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki perkembangan penduduk yang sangat pusat. Tingkat kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 135 jiwa/hektar. Bahkan beberapa wilayah seperti Pagarsih, Jamika, Kiaracondong, Cicadas, Binong, dan Babakan Ciparay, mencapai kepadatan 250 jiwa/ hektar sampai 400 jiwa/hektar. Padahal menurut ketentuan WHO, tingkat kepadatan penduduk kota paling ideal sekitar 60 jiwa/hektar.
Lajti Pertumbuhan penduduk (LPP) Kodya Bandung mencapai 3,48%. Padahal data asli dari BKKBN (se¬suai dengan angka kelahiran) hanya 1,08%. Berarti, 2,4% LPP berasal dari kaum pendatang.
Memang berdasarkan data kependudukan yang ter¬dapat di Pemda Kodya Bandung, setiap tahun Bandung di banj iri kaum pendatang antara 40.000 — 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai pelosok untuk mencari kehidupan yang lebih baik dibanding di daerah asal. Selain oleh pencari nafkah, Bandung juga diserbu pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah dengan jumlah setahunnya mencapai sekitar 10.000 orang. Yang mengkhawatirkan adalah apabila pendatang (termasuk pelajar/mahasiwa) tidak mau kembali ke tempat asalnya. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan pasangan (suami atau istri) orang Bandung dan kemudian tinggal di Bandung.
Beberapa nama tempat di Bandung, mencerminkan keberadaan kaum pendatang seperti di kawasan Kiaracondong, terdapat kampung yang disebut pen¬duduk setempat "Kampung Jawa" karena sebagian besar penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan Sumur Bandung juga ter¬dapat "Babakan Ciamis" yang kalau ditelusuri latar belakangnya, ternyata karena di tempat tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Ciamis, terutama dari Kecamatan Panjalu.
Bertambahnya jumlah pendatang yang merupakan produk parahnya arus urbanisasi, diakibatkan juga oleh banyak didirikan pabrik-pabrik tekstil atau garmen yang menyerap pekerja sampai ribuan orang dan sebagian besar diantaranya berasal dari daerah luar Bandung. Jumlah tersebut akan semakin meningkat apabila ditambah lagi dengan pendatang yang bersifat commuter (Wang alik). Pendatang tersebut hadir di Bandung karena berhubungan dengan pekerjaan (tempat kerjanya di Bandung) dan sekolah. Menurut perhitungan jumlah pendatang commuter diperkirakan mencapai 300.000 setitap harinya. Mereka datang dari kota satelit seperti Ciparay, Majalaya, Banjaran. Soreang, Lembang, Cililin, Cicalengka atau Subang dan beberapa kota yang letaknya terlalu jauh.
Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur yang tercatat pada data kependudukan Kotamadya Bandung tahun 1996, jumlah penduduk yang berusia muda menunjukkan perbandingan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia sedang/produktif dan tua. Oleh karena itu, beban ketergantungan (depen¬dency ratio) yang dapat dihitung diperkirakan sekitar 72,8 persen, yang berarti bafiwa setiap 100 orang berusia produktif atau konsumtif harus menang-gung 72 orang yang nonproduktif atau konsumtif. Tinggi beban ketergantungan ini menyebabkan pen-dapatan Kota Madya Bandung habis dikonsumsi oleh penduduk nonproduktif.
C. Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung serta segenap lapisan masyarakat selama kurun waktu 90 tahun ini telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembira¬kan. Hal tersebut dapat dilihat dari angka laju per¬tumbuhan ekonomi yang dewasa ini mencapai 1156%, jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6% dan laju pertumbuhan eknomi Jawa Bann 9%.
Walaupun laju pertumbuhan ekonominya tinggi, ter¬nyata masih banyak warga kota Bandung yang belum berhasil dalam bidang materi. Hal tersebut terlihat dengan adanya tiga desa/kelurahan yang tertinggal, yaitu Desa Mengger, Kelurahan Cigondewah Wetan, dan Kelurahan Sukapura, serta terdapatnya hampir 150.000 KK yang dinyatakan prasejahtera dan mis¬kin (40% dari seluruh penduduk Kodya Bandung).
Upaya yang dilakukan Pemda Kotamadya Bandung untuk membrantas kemiskinan. antara lain memberi¬kan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) kepada tiga kelurahan tertinggal, dan membentuk KBS (Kelom¬pok Bina Sosial) untuk membantu penduduk yang kekurangan modal. Selain itu. dibentuk juga Yayusan Berhiber, merealisasikan program Rereongan Sarupi, dan program Satata Sariksa.
Sikap-sikap seperti itu menunjukkan bahwa masya¬rakat Jawa Barat umumnya. khususnya kota Bandung masih memiliki kepedulian sosial yang relatif tinggi terhadap sesamanya. Namun perlu juga disadari bahwa nilai-nilai luhur tersebut kin i memudar seiring dengan perkembangan zaman. terutama di daerah pusat kota yang sudah individualistis. Padahal kalau sikap hidup demikian diupayakan dan dibina kembali, niscaya merupakan potensi yang luar biasa untuk menjarnin kemajuari di segala bidang kehidupan.
Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung menyadari bahwa berbagai permasalahan kerapkali timbul, walaupun upaya pembangunan di segala bidang dilaksanakan secara terencana. menyelunth, dan ber¬kesinambungan.
Permasalahan yang timbul antara lain diakibatkan bertambahnya penduduk yang berpengaruh terhadap fasilitas dan utilitas yang dibangun Pemda. Adapun yang paling dominan adalah semakin sempitnya lahan terbuka karena hampir sebagian besar digunakan untuk pemukiman.
Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa kon¬disi tempat tinggal penduduk Bandung dan sekitar¬nya relatif balk tetapi terdapat juga kondisi pemukiman yang kurang memadai sebagai tempat tinggal atau kumuh. Daerah kumuh tersebut umumnya terdapat dipinggir rel kereta api, Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan tidak sedikit yang menjadikan kuburan (tempat pemakaman umum) sebagai pemukiman. Dengan demikian, upaya pemenuhan utilitas dan fasilitas kota yang dilaksanakan saat ini, masih jauh tertinggal dibanding kebutuhan.
II Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung
1. Gedung Sate
Pembangunan gedung ini dirintis tahun 1918, dan iibangun pada tahun 1920. Bangunannya berbentuk 7.ersegi panjang. Pintu masuk utama terletak di tengah-tengah bagian gedung yang memanjang, rnenghadap ke utara. Puncak atapnya bersusun tiga dengan antena anti petir yang terletak di tengahnya berbentuk setusuk sate, menurut sebagian orang lambang setusuk sate tersebut melambangkan biaya ang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk mem¬bangun gedung tersebut
Enam bulatan tersebut berarti enam juta gulden. Menurut catatan pembangunan gedung sate itu hanya lima juta gulden (Comite van Artie, "Bandung de Staat op de Hoogulakte"). Puncak atap tersebut memotong atap bangunan menjadi dua bagian Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.
Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.
2. Gedung Pakuan
Gedung Pakuan didirikan pada tahun 1867 atas prakarsa Residen Priangan RAA. Wiranatakusuma IV (Dalem Bintang 1), Bupati Bandung ketujuh di¬bantu oleh para pekerja perkebunan Babakan Bogor.
Perancang bangunan ini adalah insinyur kepala dan staf dari Residen Van der Moore dan mulai dibangun tahun 1864. Gedung Pakuan memiliki langgam Indische Empire Stijl (Gaya Empire Hindia). Bentuk dan gaya gedung itu tampak merupakan perpaduan antara bentuk dan gaya bangunan Sunda dengan gaya dan bentuk bangunan Eropa. Nama Gedung Pakuan diusulkan oleh Dalem Isteri RAA Wiranatakusuma V.
Pada dinding, pintu dan palang-palang bangunannya terdapat karya seni semacam kaligrafi, berupa ayat¬ayat suci Al Qur'an.
Dalam bangunan ini terdapat sebuah ruangan tempat Bupati menerima tamu dan pendopo. Pendopo ini dibangun pada tahun 1950 pada masa petherintahan Bupati RAA Wiranatakusumah IV.
3. Gedung Dwi Warna
Gedung ini dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan Technisishon Dionstdor Stadsge¬meente Bandung, dipergunakan sebagai Pension Fonds seluruh Indonesia. Pada waktu pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia, gedung ini diperguna¬kan sebagai gedung Kempe Tai, kemudian sebagai gedung Rekomba, dan pada masa feodal sebagai gedung DPR Negara Pasundan.
Di gedung ini pula dilakukan demonstrasi pem¬bubaran Negara Pasundan yang kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah Negara Pasundan bersatu (kembali) ke Negara Kesatuan, gedung DPR Tingkat I Jawa Barat (dulu) oleh Bung Karno dipergunakan sebagai gedung Sekretariat Konferensi Asia Afrika dan di¬beri nama "Gedung Dwi Wama". Setelah konferensi selesai, kembali ke fungsi semula yaitu sebagai gedung KP3 (Kantor Pusat Pensiunan Pegawai), kemudian sebagai Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai, namanya "Sub Direktorat Pe¬ngumpulan Data Seluruh Indonesia".
4. Gedung Merdeka
Gedung Merdeka dibangun pada tahun 1879, oleh arsitektur berkebangsaan Belanda hernama Van Galen Last dan CP. Wolf Schoomaker, kemudian dibangun sampai berbentuk sekarang tahun 1927 - 1929. Dahulu gedung ini terdiri atas dua huah bangunan, yakni bangunan pokok yang disehut Gedung Schowberg dan satu lagi yang disehut Societiet Concordia. Kedua gedung ini disatukan dan telah dilaksanakan perombakan besar tahun I954, dalam rangka akan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955.
Dahulu gedung ini merupakan gedung pertemuan orang Belanda dari kalangan atas, seperti kaum intelektual, perwira militer, -pemilik perusahaan perkebunan di sekitar kota Bandung.
Sejak tahun 1955 gedung ini merupakan gedung .bersejarah yang terkenal ke seluruh dunia, karena di gedung inilah berlangsung Konferensi Asia Afrika yang membangkitkan semangat untuk gerakan ke¬merdekaan negara-negara terjajah yang ada di seluruh Asia Afrika. Di samping itu, di gedung ini pula tempat dilangsungkannya pertemuan-pertemuan nasional maupun internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi WHO, dan sekarang digunakan sebagai gedung Museum Asia Afrika.
Gedung tersebut telah mengalami pemugaran pada tahun 1978/1979 oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (bersambung)
Sumber :
RosmanaTjetjep dkk, 1999/2000 Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung Jakarta. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia