Oleh Dewa Gde Satrya
Tidak disangka-sangka, hingga detik-detik terakhir masa kampanye berlalu, minimnya –atau bahkan mungkin di beberapa daerah tidak ada– calon legislatif (caleg) DPR dan DPRD yang mengusung tema pariwisata, tentu kecuali Bali. Kebanyakan berwacana tentang isu spesifik problem perkotaan seperti sengketa tanah, sembako murah, dan yang lainnya abstrak soal kesejahteraan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan sisanya lagi tidak jelas visinya. Lantas jika demikian, ada pertanyaan, sejauh manakah pemahaman dan kapasitas caleg terhadap situasi dan kondisi masing-masing daerah (DPRD) dan Indonesia secara luas (DPR), baik secara makro maupun mikro jika isu politik yang diangkat mirip-mirip dan terfokus pada area tertentu saja?
Di sisi lain, kita meyakini bahwa setiap orang yang memutuskan maju sebagai caleg telah lama hidup dan berdinamika di daerah pemilihannya. Apakah kesadaran tentang pariwisata itu belum meresapi komponen penting bangsa ini, ataukah memang pariwisata belum menjadi isu politik yang sensitif dan berdaya pikat untuk merengkuh dukungan? Apa pun alasannya, yang paling jelas adalah formasi legislatif baru kita ini nantinya berdampak signifikan pada laju kemajuan pariwisata setiap daerah dan Indonesia umumnya, terutama dari segi legislasi, anggaran dan dukungan politik.
Awalnya kita berpikiran bahwa dewan tidak serta merta terkait langsung dengan praktik kepariwisataan. Tetapi jika kita tilik perundang-undangan kepariwisataan yang baru (UU 10/2009), tampaklah jelas bahwa dewan bermitra dengan presiden (pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia) dan wali kota/bupati (pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah) untuk mengayomi, ikut mendukung dan mengawal jalannya pembangunan kepariwisataan. Dalam hal ini, Badan Promosi Pariwisata Daerah, misalnya, formasi marketer pariwisata itu memang atas keputusan eksekutif. Tetapi tidakkah dalam urusan teknisnya kerap kali harus berhadap-hadapan dan pasang badan dengan dewan?
Mindset, mentalitas, dan pemahaman dewan terhadap kekinian pariwisata tiap daerahnya dengan segala aspek kompleks yang terkait dengannya, teramat menentukan hangat (damai, sejuk, tentram, dan sejenisnya) atau tidaknya suasana kerja pembangunan pariwisata kota ini. Kerap kali dewan mudah mengecam ketimbang memberikan pertimbangan solutif dan ikut mendukung keputusan-keputusan yang strategis, terlebih jika urusannya dengan dana.
Dari perspektif yang lain kita melihat teramat sedikit caleg dengan background kepariwisataan. Padahal, negeri kita ini membutuhkan semakin banyak pecinta, pejuang dan sosok yang berani pasang badan serta memberikan dukungan politik untuk urusan kepariwisataan. Pariwisata dengan politik ibarat ikan dan air, tidak terpisahkan dan saling memengaruhi. Maka situasi politik di dewan sangat menentukan jalannya pembangunan kepariwisataan di daerah dan pusat.
Ladang Politik
Secara berkebalikan dapat dikatakan, pariwisata justru bisa menjadi ajang politik untuk menaburkan benih-benih kepercayaan, dukungan dan loyalitas pemilih kepada parpol tertentu atau anggota dewan. Tidakkah kontekstualitas problematika dan isu pembangunan tiap daerah justru teramat dekat bersentuhan langsung dengan kehidupan warga, utamanya dampaknya terhadap kesejahteraan umum, kebahagiaan hidup bersama, dan masa depan yang lebih baik? Jika saja Bali yang lebih dulu populer sebagai mainstream pariwisata RI juga didukung oleh mindset kepariwisataan anggota dewannya, terlepas pro-kontra dan kepentingan politik yang ada di dalamnya, maka sewajarnyalah pula daerah-daerah lain memiliki anggota dewan yang memang paham seluk beluk dan kesulitan-kesulitan teknis dalam kepariwisataan.
Pengertian dewan terhadap spektrum global pariwisata, yang termasuk di dalamnya hambatan-hambatan dari otoritas negara asing lewat larangan terbang maskapai kita, travel warning dan lain sejenisnya, akan membentuk fleksibilitas dalam kontrol terhadap pembangunan sektor pariwisata. Maksudnya, sah-sah saja jika ada target peningkatan pendapatan daerah yang sekaligus peningkatan arus kunjungan dan belanja wisatawan, tetapi semakin bijak manakala mekanisme legislasi juga memberikan pertimbangan lain yang kondusif untuk mencapai sasaran itu. Gampangnya, seperti perusahaan menargetkan peningkatan omzet dan laba bersih perusahaan, maka ada stimulus dan mekanisme reward and punishment yang berimbang.
Tetapi mungkin soal reward and punishment itu tidak dapat diterapkan lurus-lurus seperti di perusahaan dalam kaitan kinerja dewan terhadap kontrol pembangunan kepariwisataan pemerintahan dan stakeholder terkait. Cukuplah mindset, pola kerja solutif-dialogis, serta dukungan total (skala dukungan politik) yang menjadi bagian dewan.
Tidakkah dewan menghendaki apa yang baik di mata masyarakat? Maka, lebih baiklah manakala suara, kerinduan dan harapan rakyat itu didengar dengan peka. Di dalamnya tampak kerinduan yang teramat besar setiap daerah meningkat martabatnya sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih dulu mendunia sebagai trademark pariwisata. Di dalamnya pula ada harapan yang besar pariwisata berdampak pada pertumbuhan perekonomian serta kesempatan kerja yang luas bagi sebanyak-banyaknya masyarakat.
Formasi anggota dewan 5 tahun mendatang jelas-jelas krusial bagi kepariwisataan daerah dan Indonesia umumnya. Bila saja visi itu tidak ada, atau mungkin ada tetapi samar-samar, minimal panggilan hati untuk membangun dan mempercepat kemajuan pariwisata Indonesia melalui fungsi legislasi sangatlah dibutuhkan.
__________
Dewa Gde Satrya adalah Dosen dan Peneliti di Universitas Widya Kartika Surabaya, R&D Manager Surabaya Tourism Promotion Board.
Sumber : http://www.balipost.co.id
Tidak disangka-sangka, hingga detik-detik terakhir masa kampanye berlalu, minimnya –atau bahkan mungkin di beberapa daerah tidak ada– calon legislatif (caleg) DPR dan DPRD yang mengusung tema pariwisata, tentu kecuali Bali. Kebanyakan berwacana tentang isu spesifik problem perkotaan seperti sengketa tanah, sembako murah, dan yang lainnya abstrak soal kesejahteraan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan sisanya lagi tidak jelas visinya. Lantas jika demikian, ada pertanyaan, sejauh manakah pemahaman dan kapasitas caleg terhadap situasi dan kondisi masing-masing daerah (DPRD) dan Indonesia secara luas (DPR), baik secara makro maupun mikro jika isu politik yang diangkat mirip-mirip dan terfokus pada area tertentu saja?
Di sisi lain, kita meyakini bahwa setiap orang yang memutuskan maju sebagai caleg telah lama hidup dan berdinamika di daerah pemilihannya. Apakah kesadaran tentang pariwisata itu belum meresapi komponen penting bangsa ini, ataukah memang pariwisata belum menjadi isu politik yang sensitif dan berdaya pikat untuk merengkuh dukungan? Apa pun alasannya, yang paling jelas adalah formasi legislatif baru kita ini nantinya berdampak signifikan pada laju kemajuan pariwisata setiap daerah dan Indonesia umumnya, terutama dari segi legislasi, anggaran dan dukungan politik.
Awalnya kita berpikiran bahwa dewan tidak serta merta terkait langsung dengan praktik kepariwisataan. Tetapi jika kita tilik perundang-undangan kepariwisataan yang baru (UU 10/2009), tampaklah jelas bahwa dewan bermitra dengan presiden (pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia) dan wali kota/bupati (pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah) untuk mengayomi, ikut mendukung dan mengawal jalannya pembangunan kepariwisataan. Dalam hal ini, Badan Promosi Pariwisata Daerah, misalnya, formasi marketer pariwisata itu memang atas keputusan eksekutif. Tetapi tidakkah dalam urusan teknisnya kerap kali harus berhadap-hadapan dan pasang badan dengan dewan?
Mindset, mentalitas, dan pemahaman dewan terhadap kekinian pariwisata tiap daerahnya dengan segala aspek kompleks yang terkait dengannya, teramat menentukan hangat (damai, sejuk, tentram, dan sejenisnya) atau tidaknya suasana kerja pembangunan pariwisata kota ini. Kerap kali dewan mudah mengecam ketimbang memberikan pertimbangan solutif dan ikut mendukung keputusan-keputusan yang strategis, terlebih jika urusannya dengan dana.
Dari perspektif yang lain kita melihat teramat sedikit caleg dengan background kepariwisataan. Padahal, negeri kita ini membutuhkan semakin banyak pecinta, pejuang dan sosok yang berani pasang badan serta memberikan dukungan politik untuk urusan kepariwisataan. Pariwisata dengan politik ibarat ikan dan air, tidak terpisahkan dan saling memengaruhi. Maka situasi politik di dewan sangat menentukan jalannya pembangunan kepariwisataan di daerah dan pusat.
Ladang Politik
Secara berkebalikan dapat dikatakan, pariwisata justru bisa menjadi ajang politik untuk menaburkan benih-benih kepercayaan, dukungan dan loyalitas pemilih kepada parpol tertentu atau anggota dewan. Tidakkah kontekstualitas problematika dan isu pembangunan tiap daerah justru teramat dekat bersentuhan langsung dengan kehidupan warga, utamanya dampaknya terhadap kesejahteraan umum, kebahagiaan hidup bersama, dan masa depan yang lebih baik? Jika saja Bali yang lebih dulu populer sebagai mainstream pariwisata RI juga didukung oleh mindset kepariwisataan anggota dewannya, terlepas pro-kontra dan kepentingan politik yang ada di dalamnya, maka sewajarnyalah pula daerah-daerah lain memiliki anggota dewan yang memang paham seluk beluk dan kesulitan-kesulitan teknis dalam kepariwisataan.
Pengertian dewan terhadap spektrum global pariwisata, yang termasuk di dalamnya hambatan-hambatan dari otoritas negara asing lewat larangan terbang maskapai kita, travel warning dan lain sejenisnya, akan membentuk fleksibilitas dalam kontrol terhadap pembangunan sektor pariwisata. Maksudnya, sah-sah saja jika ada target peningkatan pendapatan daerah yang sekaligus peningkatan arus kunjungan dan belanja wisatawan, tetapi semakin bijak manakala mekanisme legislasi juga memberikan pertimbangan lain yang kondusif untuk mencapai sasaran itu. Gampangnya, seperti perusahaan menargetkan peningkatan omzet dan laba bersih perusahaan, maka ada stimulus dan mekanisme reward and punishment yang berimbang.
Tetapi mungkin soal reward and punishment itu tidak dapat diterapkan lurus-lurus seperti di perusahaan dalam kaitan kinerja dewan terhadap kontrol pembangunan kepariwisataan pemerintahan dan stakeholder terkait. Cukuplah mindset, pola kerja solutif-dialogis, serta dukungan total (skala dukungan politik) yang menjadi bagian dewan.
Tidakkah dewan menghendaki apa yang baik di mata masyarakat? Maka, lebih baiklah manakala suara, kerinduan dan harapan rakyat itu didengar dengan peka. Di dalamnya tampak kerinduan yang teramat besar setiap daerah meningkat martabatnya sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih dulu mendunia sebagai trademark pariwisata. Di dalamnya pula ada harapan yang besar pariwisata berdampak pada pertumbuhan perekonomian serta kesempatan kerja yang luas bagi sebanyak-banyaknya masyarakat.
Formasi anggota dewan 5 tahun mendatang jelas-jelas krusial bagi kepariwisataan daerah dan Indonesia umumnya. Bila saja visi itu tidak ada, atau mungkin ada tetapi samar-samar, minimal panggilan hati untuk membangun dan mempercepat kemajuan pariwisata Indonesia melalui fungsi legislasi sangatlah dibutuhkan.
__________
Dewa Gde Satrya adalah Dosen dan Peneliti di Universitas Widya Kartika Surabaya, R&D Manager Surabaya Tourism Promotion Board.
Sumber : http://www.balipost.co.id