Oleh: Nur Faizah
Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.
Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.
Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.
Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).
Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.
Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.
Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.
Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai "sarana tamasya" dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.
Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?
Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.
Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.
Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.
Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.
Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.
Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep “kefitrahan” itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.
Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan “ruang” dan “waktu”. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?
Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai “komoditas” sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa “sejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua”.
__________
Nur Faizah, Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta
Sumber : www.tempointeraktif.com
Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.
Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.
Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.
Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).
Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.
Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.
Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.
Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai "sarana tamasya" dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.
Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?
Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.
Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.
Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.
Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.
Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.
Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep “kefitrahan” itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.
Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan “ruang” dan “waktu”. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?
Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai “komoditas” sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa “sejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua”.
__________
Nur Faizah, Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta
Sumber : www.tempointeraktif.com