Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Travel Warning ke Malaysia

Oleh : Jawahir Thontowi

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia merasa terusik keamanan dan kenyamanan tinggal di Malaysia. Pasalnya, peran Rela — sebagai milisi Departemen Dalam Negeri Malaysia — yang semula melakukan penangkapan terhadap pekerja migran ilegal, telah mengalami perubahan orientasi. Tidak mengherankan jika petugas Rela melakukan tindakan brutal dan terkadang berbuat tidak senonoh. Menjelang Idul Fitri, Rela bahkan melakukan penggeledahan dan penangkapan pada istri seorang diplomat Indonesia.

Dilihat dari perspektif hubungan diplomatik, pengiriman nota protes oleh KBRI terhadap Menteri Luar Negeri Malaysia, cukup tepat. Termasuk yang disampaikan jubir Dino Pati Jalal bahwa Pemerintah Indonesia juga mengusulkan agar peran Rela yang kemudian banyak melakukan operasi pada WNI, perlu ditinjau dan dikaji secara teliti.

Tindakan protes tersebut dipandang beberapa Anggota DPR RI, tidaklah cukup. Usulan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi diplomatik lebih tegas, sudah disuarakan. Kalau perlu malah DPR mengusulkan agar Pemerintah SBY memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Namun karena bukan dari partai yang berkuasa, usulan PAN-PPP (KR, 10 Oktober 2007) suaranya tak mewujud dalam suatu kebijakan.

Mungkin, usulan yang pernah dilontarkan sebagian Anggota DPR agar Pemerintah Indonesia membuat Surat Larangan Bepergian, travel warning ke Malaysia, perlu dipertimbangkan serius. Memang, travel warning akan membuat negara sahabat merasa tersinggung, tapi tak akan berakibat putus hubungan diplomatik. Setidaknya, AS, Inggris dan juga Australia berkali-kali mengeluarkan travel warning ketika teror bom tahun 2002 dan 2006 mengancam Indonesia. Namun hingga hari ini ketiga negara tersebut tetap terikat dalam hubungan kerja sama yang baik.

Beberapa alasan bisa dikemukakan Pemerintah Indonesia untuk membuat travel warning tersebut. Pertama penganiayaan 4 polisi Malaysia terhadap Donald Luther Kolobita akhir Agustus silam, merupakan bukti kesombongan. Pemerintah Malaysia sebagai negara penerima (receiving state) mengingkari kewajiban internasional. Jelas, ke-4 polisi Malaysia melanggar pasal 25 Universal Declaration of Human Rights yang mengatakan: ”setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat kemanusiaan”.

Kedua, hampir setiap minggu kita mendengar rintihan duka lara akibat perlakuan majikan Malaysia terhadap TKI khususnya TKW. Tercatat, ada 36 TKI meninggal di Malaysia, juga tak sedikit melakukan bunuh diri. Tapi Pemerintah Malaysia tak melakukan proses peradilan memadai. Ketiga, selain travel warning juga peran Presiden SBY diperlukan untuk melakukan introspeksi komprehensif ke dalam kebijakan dalam negeri. Sudah sepantasnya, Pemerintah Indonesia mengurangi rasa ketergantungan pada Pemerintah Malaysia khususnya dalam bidang TKI. Meski kondisinya dilematis karena tak kurang 1,5 juta TKI, 10 ribu mahasiswa Indonesia dan sekitar 600 ribu turis Malaysia (Jurnal Nasional, 3/9/07).

Pelbagai kasus ini sebenarnya sudah bisa membuat Presiden SBY menjatuhkan sanksi dengan membuat surat pernyataan politik resmi, semacam travel warning atau employer warning. Karena pelbagai kasus ini sudah menunjukkan bukti bila Pemerintah Malaysia lalai dalam melindungi WNI baik yang bekerja ataupun menjadi tamu di negeri itu.

Travel warning dapat menjadi senjata diplomatik untuk menekan suatu pemerintahan agar WNA mendapatkan jaminan keamanan yang memadai. AS, Inggris dan Australia cukup efektif membuat pemerintah negara lain termasuk Indonesia lebih hati-hati dalam melindungi keamanan dan keselamatan WNA. Malaysia pastilah tidak diam, jika Indonesia memberikan larangan berkunjung dan bekerja di negeri itu. Ketergantungan Malaysia kepada TKI dan sistem perdagangan Indonesia, sangat besar. Kalau negeri jiran berpenduduk kurang lebih 25 juta tersebut akan selalu meremehkan posisi internasionalnya, bilamana Pemerintah Indonesia tidak memiliki sikap tegas dan memiliki nyali.

Travel warning ke Malaysia, perlu menjadi agenda prioritas. Di sisi lain, Pemerintah SBY juga perlu melakukan perubahan kebijakan signifikan di dalam negeri. Pengentasan kemiskinan untuk mengubah nasib TKI dan sanksi bagi PJTKI yang tidak disiplin, tak bisa ditunda.
__________
Jawahir Thontowi, adalah Direktur Centre for Local Law Development Studies FH UII

Sumber: www.kr.co.id