Ringkasan
Penelitian ini berusaha mengungkap tradisi lisan Dieng. Dataran tinggi Dieng ternyata menyimpan cerita-cerita yang bersumber dari pewayangan maupun dari tradisi lokal. Dieng juga menyimpan candi-candi yang diberi nama sesuai nama tokoh wayang. Hal ini merupakan pemaknaan baru. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif yang berusaha mengungkap kekayaan tradisi lisan Dieng.
Tradisi lisan Dieng dapat digunakan untuk mengembangkan pariwisata. Sampai saat ini tradisi tersebut belum secara efektif diangkat sebagai daya tarik wisata khas Dieng
Dieng adalah tempat yang penuh misteri. Karena itu, secara kirata basa, dalam bahasa Jawa dieng sering disebut sebagai adi dan aeng (indah dan aneh). Tempat ini dipercaya sebagai tempat persemayaman para dewa. Kata Dieng konon berasal dari kata hyang (Jawa Kuna) yang berarti dewa atau tempat persemayaman dewa (Winter dan Ranggawarsita, 200:36). Pengertian ini sangat cocok karena berada di tempat yang tinggi sementara setiap saat awan tebal bisa menyelimuti daerah ini sehingga menambah kemisteriusan seperti suasana kayangan. Di tempat ini ditemukan pula candi-candi Hindu tertua di Pulau Jawa. Dieng juga merupakan daerah yang secara alami mengeluarkan asap, yaitu dari kawah-kawah sisa gunung merapi. Udara di Dieng juga cukup dingin sehingga menambah keajaiban wilayah ini. Tempat yang demikian memang sangat cocok dijadikan tempat wisata.
Dewasa ini, Dieng memang dataran tinggi (plateu) yang kaya akan objek wisata yang menarik. Objek wisata tersebut berupa pemandangan yang menakjubkan dan peninggalan purbakala. Objek wisata di Dieng adalah perpaduan antara objek wisata alam dan peninggalan purbakala. Objek wisata alam berupa kawah, telaga, gua, mata air, dan hutan wisata. Sementara objek wisata peninggalan purbakala berupa candi, saluran air, arca-arca, dan relief. Sebagian candi-candi berdiri kokoh di tempat aslinya, sementara relief, arca, dan lain-lain tersimpan dengan baik di Museum Purbakala Dieng. Sebagian candi yang lain telah lenyap dan hanya tercatat namanya di naskah-naskah kuna.
Pariwisata Dataran Tinggi Dieng memiliki kekhasan tersendiri. Di antara kekhasan tersebut ialah perlunya wisata alam karena objek-objek wisata di Dieng terletak di puncak gunung dengan ketinggian 2090 meter di atas permukaan laut. Sebelum sampai ke Dieng, wisatawan ditawari pemandangan gunung yang indah. Objek wisata Dieng juga tersebar dalam radius 50 kilometer persegi sehingga memerlukan perjalanan cukup lama untuk menikmati objek wisata yang satu dengan lainnya. Hawa yang sejuk antara 5-15 derajat Celcius menjadikan keindahan Dieng semakin memikat.
Sebagai objek wisata, pada abad ke-18 Dieng sudah disebutkan sebagai tempat wisata. Hal ini disebutkan dalam Serat Centhini yang menceritakan sepasang suami istri dari Pekalongan mengunjungi tempat ini dalam rangka menghibur diri karena orang tuanya baru saja meninggal, mereka mampir di Dieng untuk mengunjungi tempat-tempat yang menarik di Dieng.
Salah satu potensi untuk meningkatkan pariwisata Dieng ialah dalam hal tradisi lisan. Potensi tradisi lisan di Dieng memang belum banyak diungkap. Padahal Dieng kaya dengan potensi tradisi lisan yang dapat dijadikan sebagai pendukung pariwisata. Dalam penelitian pendahuluan kami (Sudardi, 2004a), terungkap bahwa sebagian besar objek wisata di Dieng berkaitan dengan tradisi lisan. Satu-satunya tradisi lisan yang sudah diangkat hanyalah tradisi ruwatan rambut gembel yang berkaitan dengan kepercayaan mengenai leluhur orang Dieng Ki Kaladete.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengarah pada terbentuknya produk yang diharapkan dapat menjadi master untukpengembangan pariwisata dan seperangkat usulan kebijakan untuk mengembangkan pariwisata dengan memanfaatkan tradisi lisan di Dataran Tinggi Dieng.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-eksploratif. Dengan variabel masalah tradisi lisan untuk pengembangan pariwisata. Target penelitian ini ialah mencari bahan-bahan baru dengan tujuan menemukan kaitan-kaitan yang dapat diubah menjadi hipotesis-hipotesis (Vredenbregt, 1985:53). Hipotesis yang dimunculkan berupa hipotesis alternatif yang berkaitan dengan tradisi lisan dan pengembangan pariwisata.
Hasil utama penelitian ini berupa deskripsi tradisi lisan yang kemudian akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk rancangan kebijakan dalam mengembangkan pariwisata di Dataran Tinggi Dieng. Yang tersaji adalah suatu jaringan kausal yang sistematis yang mengarah pada pembentukan teori-teori. Jadi, perbedaan penelitian ini dengan penelitian deskriptif bahwa penelitian ini bukan hanya menata fenomena pada suatu universum, tetapi berusaha menemukan tatanan kausalitas pada suatu empiris (lihat Vredenbregt, 1985:51-52).
C. Kajian Teoretis
Tradisi lisan adalah bagian dari suatu kebudayaan dalam bentuk mentifact dan sociofact. Artinya, tradisi lisan melekat pada suatu masyarakat sebagai kekayaan mental dan seringkali muncul dalam aktivitas sosial. Contoh yang nyata adalah mentifact orang Tengger yang percaya bahwa Kawah Gunung Bromo dihuni leluhur mereka. Mentifact ini menimbulkan sociofact berupa kegiatan setiap bulan kasada ketika orang-orang Tengger membuang barang-barang mereka dalam ritual kasada (Sutarto, 1998).
Dalam pariwisata, atraksi yang menampilkan budaya sebagai daya tarik disebut pariwisata budaya. Sebagaimana dinyatakan Boissevain, bahwa pariwisata budaya melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dan intensif karena yang menjadi daya tarik melekat pada masyarakat itu sendiri (1996).
Awal-awal Boissevain mengingatkan bahwa pariwisata budaya dapat meluntuskan keaslian budaya lokal karena adanya interaksi intensif tersebut. Karena itu, usaha pemakutan budaya untuk konsumsi pariwisata harus dibatasi.
Menurut penelitian pendahuluan kami (Sudardi/a, 2004), tradisi lisan di Dieng mempunyai formasi sebagai akibat perjalanan historis yang terjadi di Pulau Jawa. Formasi tersebut dapat terdiri dari:
a. Masa Purbakala
Masa purbakala adalah masa Mataram Kuna, yaitu masa ketika candi-candi didirikan. Hal ini berkaitan dengan tradisi lisan di Dieng bahwa Tlaga Bale Kambang tempat membuang harta kekayaan Ratu Sima ketika dikalahkan oleh Raja Kanaha (Sanjaya) (Sukatno, 2004:168). Raja Kanaha mengingatkan pada nama dinasti Sanjaya yang sementara ini dipercaya para ahli arkelogi sebagai pendiri candi-candi di Dieng.
b. Masa Mataram-Islam
Teks pertama-tama yang menyebutkan Dieng adalah teks Centhini. Di dalam teks tersebut dinyatakan hal-hal yang berkaitan dengan wayang yang merupakan proses jawanisasi cerita India yang meliputi cerita-cerita tentang semua candi dan tempat-tempat yang dikaitkan dengan kisah Mahabharata seperti Sumur Jalatunda.
Tanda-tanda jawanisasi tersebut dapat dilihat dalam beberapa teks Jawa dari masa Mataram Islam seperti Serat Manikmaya (Poerbatjaraka, 1952:120), Serat Kandha (Poerbatjaraka, 1952:120), Serat Purwakandha, (Raflles, 1978: 373-374), dan Serat Paramayoga ditulis oleh Ranggawarsita (1802-1873).
c. Unsur-unsur Lokal Jenius
Di samping unsur purbakala dan unsur-unsur dari Mataram Islam, tradisi lisan di Dieng juga diwarnai oleh hal-hal yang lokal jenius. Unsur lokal jenius tersebut terdapat pada beberapa cerita tentang Kawah Sikidang (dalam hubungan dengan Ki Kaladete dan rambut gembel) dan Tlagawarna (dalam hubungan dengan warna-warna airnya).
Meskipun belum maksimal, potensi tradisi lisan di Dieng sudah dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata. Beberapa tradisi mengalami penyimpangan dari konteks yang sebenarnya karena adanya kerancuan dengan tradisi lain. Misalnya, tradisi Ki Kala Dete rancu dengan tradisi Nyai Rara Kidul.
Penyimpangan yang terjadi ialah anggapan bahwa rambut gembel itu dari Nyi Roro Kidul sebagaimana disiarkan SCTV (25-september 2004). Padahal, konsep rambut gembel sebenarnya berasal dari konsep adanya tokoh Ki Kaladete yang berambut gembel. Rambut gembel tersebut akan dititipkan pada anak cucunya sebagai tanda bukti eksistensi Ki Kaladete.
Di kalangan masyarakat Hindu-Bali dewasa ini, Dieng merupakan salah satu tempat ziarah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Bali, Dieng dianggap merupakan tempat asal-usul leluhur mereka, khususnya dalam pengembangan agama Hindu. Di Dienglah mula-mula ditemukan candi Hindu Siwaistis.
Para pemuka agama di Bali mengunjungi Dieng setiap setahun sekali dalam upacara muspe atau mabakti. Dalam upacara ini, peziarah dari Bali mengambil air suci dari Gua Sumur, di pinggir telaga warta. Air tersebut disebut sebagai air pawitrasari. Nama pawitrasari mengingatkan pada nama air yang dicari Bhima dalam kitab Nawaruci. Kitab ini merupakan kitab dari tradisi Hindu-Jawa akhir yang berisi ajaran sangkan paran. Mengenai teks Nawaruci sendiri penah dikaji oleh Prijohoetomo (1934) berjudul Nawaruci: Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling. Pengambilan air suci yang berkaitan dengan Bima itu menjadi masuk akal karena di Dieng setidaknya ditemukan dua artefak yang berkaitan dengan Bima, yaitu Candi Bima dan Tuk Bima Lukar.
Salah satu unsur wisata adalah kegiatan spiriutal. Dewasa ini Dieng juga telah menjadi pusat kegiatan spiritual. Setidaknya, Dieng telah dinisbatkan kepada aliran kepercayaan Kaki Tunggul Sabdo Jati yang memuja sesepuh Nusantara yang disebut Semar. Dieng dianggap sebagai tempat tinggal leluhur mistis. Dieng kemudian disebut Pertapan Mandolo Sari. Peresmian tempat tersebut dilaksanakan pada 7 April 2000. Para penghayat aliran kepercayaan tersebut menyusun konsep leluhur mistis yang mendiami Dieng sebagai berikut (lihat Sukatno, 2004:197-198).
4. Potensi Tradisi Lisan Dieng
4.1. Dieng Masa Purbakala
Pulau Jawa sejak zaman dahulu dikenal sebagai tempat yang banyak disinggahi para pedagang. Orang Cina menyebut Pulau Jawa sebagai Ho-ling atau Chopo. Sementara orang India menyebutnya sebagai Kaling, atau Kalingga. Pada abad ke-7, kerajaan yang mulanya berpusat di Jawa Barat berpindah ke Jawa Tengah. Kerajaan yang paling terkenal ialah Kalingga. Pulau Jawa pada waktu itu dianggap sebagai pusat agama Buddha, di samping juga berkembang agama Hindu.
Pada abad ke-7 berkuasalah dinasti Sanjaya yang beragama Hindu. Pada saa yang hampir bersamaan juga berkuasa dinasti Syailendra yang beragama Hindu. Kedua dinasti itu saling bersaingan dan berdamping di Jawa Tengah. Dari Dinasti Sailendra yang Buiddha ditinggalkan candi-candi seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Mendut, dan sebagainya. Sementara dari Dinasti Sanjaya kita temukan candi Dieng, Candi Prambanan, dan lain-lain.
Khususnya mengenai Dieng, tampaknya Dieng dahulu merupakan tempat ziarah agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sis-sisa candi yang tersebar di berbagai tempat. Dieng merupakan kompleks candi Hindu-Siwa yang di tempat ini dahulu diperkirakan tinggal para pendeta yang setiap hari melaksanakan kebaktian sementara para bangsawan dan mungkinjuga rakyat jelata pada waktu tertentu mengadakan ziarah ke tempat ini untuk mendapatkan kekuatan rohani. Di Dieng sekarang masih ditemukan sisa-sisa bangunan semi permanen. Bangunan ini disebut darmasala yang berfungsi sebagai penginapan, tempat tinggal, atau tempat istirahat sebelum memasuki candi.
Sisa-sisa darmasala tersebut berupa pundasi dan umpak-umpak yang terletak di kompeks Candi Arjuna. Bahwa Dieng sejak abad ke-8-9 merupakan pusat kegiatan kerohanian dibuktikan oleh sebuah prasasti yang ditemukan di atas Bukit Pangonan, Dieng tidak jauh dari Candi Bima. Setidaknya, Dieng memang telah menjadi pusat ziarah agama Hindu selama 4-5 abad (Wirjosuparto, 1958:15).
Berdasarkan prasasti dan seni hias bangunan diketahui bahwa seni bangunan di Dieng merupakan seni bangunan tertua di Jawa. Perlu dijelaskan bahwa bangunan-bangunan di Dieng tidak berasal dari masa yang sama. Hal tersebut tampak dari gaya yang terlihat pada bangunan-bangunan candi Dieng.
4.2. Tradisi Lisan dari Masa Mataram-Islam
Teks pertama-tama yang menyebutkan Dieng adalah teks Centhini. Di dalam teks tersebut dinyatakan hal-hal yang berkaitan dengan wayang.
Candi-candi di Dieng diberi nama dengan nama-nama wayang. Hal tersebut tentu saja berkaitan atau mengingatkan tentang tokoh-tokoh dalam pewayangan. Menurut cacatan dalam Serat Centhini dan laporan-laporan para pelancong terdahulu, candi-candi di Dieng cukup banyak, tetapi dewasa ini beberapa candi yang dahulu pernah disebutkan orang tersebut telah lenyap. Beberapa di antaranya tinggal pondasinya saja. Hal yang dirasakan mendesak dilakukan terhadap peninggalan purbakala Dieng ialah pengamanan situs. Banyak situs-situs yang dewas ini dijadikan lahan pertanian. Batu-batu candi juga sering diambil penduduk sebagai bahan bangunan.
Serat Centhini menginformasikan juga tentang adanya candi yang diberi nama tokoh pewayangan golongan Kurawa, yaitu Candi Duryudana, Candi Dahyang Durna, dan Candi Sakuni. Ketiga candi tersebut sekarang sudah lenyap dan tidak diketahui pasti letaknya. Terdapat dua kemungkinan lenyapnya candi tersebut. Candi tersebut mungkin hancur akibat tanah longsor atau gejala alam lainnya. Yang kedua, candi tersebut mungkin sengaja dilenyapkan karena kebencian masyarakat terhadap tokoh dari Kurawa yang dalam tradisi pewayangan dikenal sebagai tokoh-tokoh jahat. Dengan demikian, sebagian besar candi-candi yang diselamatkan memang candi-candi yang diberi nama tokoh Pandawa. Mengenai tradisi lisan yang berkaitan dengan tokoh Kurawa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Candi Duryudana | Duryudana a
dalah sulung Kurawa. Ia dikenal berperangai jahat dan menjadi sebab utama perang Mahabharata. | ||
Candi Durna | Durna adalah nama lain Bambang Kumbayana setelah dianiaya Gandamana. Durna adalah guru para Pandawa dan Kurawa. Dalam peperangan Mahabharata ia memihak Kurawa karena sudah berjanji dengan Arjuna bahwa Durna aka menyerahkan panah Arjasengkali dan Rodadedali untuk Pandawa dan menyerahkan dirinya untuk Kurawa. | ||
Candi Sakuni | Sakuni memiliki kakak perempuan bernama Gendari yang kemudian menikah dengan Destarata. Gendari inilah yang kemudian menurunkan para Kurawa. Jadi, Sakuni adalah paman para Kurawa dari pihak ibu. Sakuni terkenal licik dan cerdas. Ia pandai berjudi. Sakuni diangkat sebagai Patih oleh Duryudana. Sakunilah yang menjadi penasihat dan pendukung utama Duryudana. |
Candi-candi di Dieng yang sampai sekarang masih dapat ditemukan dalam keadaan cukup utuh adalah sebagai berikut.
Nama Candi | Keterangan Tradisi Lisan |
Candi Arjuna | Arjuna adalah pahlawan Pandawa. Ia merupakan anak Dewa Indra. Terkenal ketampanan dan suka pada wanita candik. Keturunannya yang meneruskan menjadi raja (Pariksit). |
Candi Srikandi | Srikandi adalah istri Arjuna. Ia terkenal kenes, pandai memanah. Ia pula yang digunakan Pandawa untuk mengalahkan Bisma. Srikandi adalah wanita setia dan tidak memiliki keturunan. |
Candi Sembadra | Sembadra adalah istri Arjuna. Ia terkenal lemah lembut. Sembadra adalah adik Kresna. Sembadra memiliki anak Angkwijaya yang akan menurunkan raja Pandawa (Pariksit). |
Candi Puntadewa | Puntadewa adalah sulung Pandawa. Ia terkenal sangat jujur dan tidakp andai berperang dan berpolitik. Kesengsaran Pandawa adalah akibat ulahnya yang suka bermain judi. Ia dikenal berdarah putih. Peperangan dahsyat yang pernah ia lakukan ialah ketika melawan Prabu Salya. Di sinilah Puntadewa mengeluarkan senjata Kalimasada. |
Candi Semar | Semar adalah panakawan Pandawa, khususnya Arjuna. Hidupnya diabdikan untuk kemenangan Pandawa. Karena ia manusia-dewa, maka ia menjadi penasihat Pandawa apabila m,enghadapi kesulitan. Tokoh ini adalah tokoh yang ditemukand alam wayang Jawa dan tidak ditemukan dalam Mahabharata. |
Candi Gatotkaca | Gatotkaca adalah anak Bima yang dalam Mahabharata tewas oleh senjata Karna. Ia terkenal kesaktiannya dan merupakan jagonya para dewa. |
Candi Bima | Bima adalah anak ke-2 Pandawa. Ia terkenal karena besar tubuhnya dan sangat sakti. Bima dikenal sebagai manusia lugas. |
Candi Dwarawati I | Candi Dwarawati ada 2. Dwarawati adalah nama kerajaan Kresna. Kresna sendiri adalah titisan Wisnu yang berfungsi sebagai penasihat Pandawa. Ia terkenal sebagai manusia cemani (serba hitam). Kemenangan Pandawa juga akibat nasihat-nasihatnya. Ia juga berperan sebagai kusir kereta perang Arjuna dalam peperangan menentukan di Kurusetra. |
4.3. Tradisi Lisan untuk Promosi Pariwisata
Tradisi lisan dapat digunakan sebagai bahan promosi wisata yang menarik. Tradisi yang masih hidup dan berkembang dapat dijadikan ciri khas promosi wisata. Tradisi lisan Dieng yang dewasa ini dijadikan bahan promosi pariwisata ialah tradisi pemotongan/ruwat rambut gembel. Berbagai tradisi lisan dapat dipergunakan untuk membuat promosi lebih menarik, misalnya tentang cerita wayang, tradisi setempat, dan lain-lain.
Promosi merupakan usaha terpadu untuk memasarklan pariwisata. Karena itu, penggunaan tradisi lisan sebagai usaha mengembangkan pariwisata harus pada proporsi yang tepat. Yang jelas tradisi lisan merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata.
Sebagai misal, promosi tentang Kawah Sikidang akan menjadi lebih menarik apabila menyertakan pula pandangan masyarakat tentang kawah tersebut yang dipercaya sebagai tempat raja Sikidang dikuburkan dilengkapi dengan pandangan masyarakat bahwa Kawah Sikidang juga sebagai tempat muksa Ki Kaladete.
4.4. Tradisi Lisan Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata
Tradisi lisan dapat dikembangkan untuk pengembangan pariwisata. Tradisi lisan Dieng seperti tradisi Semar, tradisi Bima, tradisi di Kawah Candradimuka, tradisi Sumur Jalatundha dapat dikembangkan sebagai pariwisata minat khusus (special interest tourism) yang dikenal sebagai pariwisata ziarah.
Berbagai tempat di Dieng di samping sebagai tempat tujuan wisata memang dikenal sebagai tempat ziarah. Karena itu, wisata ziarah tersebut perlu diakomodasi sebagai bagiandari pengembangan pariwisata. Berbagai tempat di Dieng sering dikunjungi orang untuk berziarah. Tempat tersebut misalnya Gua Sumur yang sering dikunjungi oleh orang Bali ketika mengambil air suci. Menurut kepercayaan orang Bali, gua sumur berisi air pawitrasari. Air diambil sebelum perayaan hari raya keadamaan yang disebut sebagai mendak tirta. Bukan orang Bali saja yang percaya kepada kekuatan magis air dari Gua Sumur. Masyarakat dari Indramayu percaya bahwa air gua tersebut memiliki khasiat untuk menyuburkan tanah apabila diambil pada Hari Raya Idul Adha. Karena itu, orang sekitar Indramayu pada Hari Raya Idul Adha, khususnya hari tasyrik, berbondong-bondong ke Gua Sumur untuk tujuan mendapatkan khasiat air gua tersebut.
Tempat lain ialah Sumur Jalatunda yang dikunjungi orang dalam rangka mendapatkan air sumur tersebut yang dipercaya mempunyai khasiat menjadi awet muda. Barangsiapa dapat melemparkan batu sampai ke seberang sumur, maka cita-citanya akan terkabul.
Tradisi lisan juga dapat dikembangkan sebagai alat interpretasi objek wisata. Objek-objek yang tampaknya sederhana menjadi lebih menarik karena adanya interpretasi terhadap objek wisata tersebut. Di Dieng terdapat mata air Tuk Bima Lukar. Mata air ini sebernarnya mata air biasa saja sebagaimana layaknya mata air lainnya. Namun, karena dihubungkankan interpretasinya dengan tokoh Bima, maka ceritanya menjadi lebih menarik. Tradisi ini dapat digunakan untuk mengembangkan pariwisata minat khusus, ziarah.
Tradisi lisan juga dapat dijadikan sarana penciptaan atraksi wisata yang berkaitan dengan tradisi lisan. Tradisi Tuk Bima Luka, misalnya dapat dijadikan atraksi wisata dengan mengangkat cerita tersebut dalam pertunjukkan yang dipentaskan di objek wisata. Hal yang sama dapat dilakukan dengan Gangsiran Aswatama dengan cara membuat pertunjukkan tentang Aswatama yang membuat lubang bawah tanah untuk mencederai Pandawa. Kisah ini dapat dijadikan semacam diroma untuk dapat mengingatkan pengunjung tentang peristiwa tersebut.
4.5. Tradisi Lisan untuk Pengembangan Produk Wisata
Di samping untuk pengembangan wisata ziarah, tradisi lisan juga dapat dijadikan bahan pengembangan produk wisata seperti atraksi wisata, pembuatan souvenir, tata ruang hotel, makanan khas, dan sebagainya.
Tradisi lisan tentang Semar dapat dijadikan suatu atraksi wisata, baik atraksi ritual maupun atraksi hiburan semata. Yang jelas tradisi Semar memang tampak menonjol di Dieng. Tradisi lisan juga dapat dijadikan inspirasi pembuatan souvenir. Dewasa ini souvenir khas Dieng belum ada, setidaknya belum digarap secara maksimal. Souvenir khas yang menonjol baru makanan keripik jamur dan manisan carica. Diperlukan souvenir kerajinan tangan seperti ukiran candi, lukisan tradisi lisan, dan sebagainya.
4.6. Tradisi Lisan Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia
Tradisi lisan dapat digunakan sebagai bahan untuk membekali SDM dengan pengetahuan tradisi tersebut. Pengetahuan tersebut akan menjadi keterampilan dan pengetahuan tersendiri yang menjadikan mereka berbeda dengan pariwisata di daerah lain. Mereka menguasai tradisi lisan sekaligus menghayatinya. Hal ini akan menjadikan mereka sadar akan kekayaan di wilayahnya.
Pengetahuan tentang tradisi lisan ini dapat dikembangkan di kalangan guide, para pedagangan, pegawai, dan sebagainya. Mereka harus dibuat fasih dalam menjelaskan tradisi lisan mereka sendiri.
5. Kesimpulan dan Saran
Dieng merupakan wilayah yang kaya akan tradisi lisan. Tradisi lisan Dieng dapat dibagi menjadi 3, yaitu tradisi purba, tradisi zaman Mataram Islam, dan tradisi genius lokal.
Tradisi lisan zaman purba hanya meninggalkan jejak yang sedikit dan tidak meyakinkan. Menurut tradisi lisan Dieng, candi-candi tersebut merupakan candi dari masa pewayangan dan tidak menyentun aspek historis pembuat candi dari masa wangsa Sanjaya.
Pada masa Mataram Islam, tradisi lisan Dieng mengalami perubahan besar seiring dengan terjadinya proses jawanisasi tradisi India (Mahabhrata dan Ramayana). Menurut kepercayaan masa ini, cerita Mahabharata dan Ramayana terjadi di Jawa, di antaranya di dataran tinggi ini.
Karena itu, kemudian terjadi perubahan konsepsi besa-besaran. Dieng dianggap sebagai kahyangan sekaligus tempat terjadinya peristiwa di dalam Mahabharata. Konsep tata letaknya memang tampak kacau, sebagai misal peristiwa dalam Adiparwa yang berhubungan dengan Sumru Jalatunda ternyata berdekatan dengan peristiwa di Kurusetra ketika Aswatama menembus lorong bawah tanah untuk membunuh istri-istri Pandawa. Tempat ini juga berdekatan dengan kahyangan para dewa di mana di sana terdapat Kawah Candradimuka.
Hal tersebut tidak membuat risau karena pada masa itu yang terpenting bukan kebenaran geografis, melainkan pemahaman baru tentang Dieng yang dianggap peninggalan pada tokoh-tokoh wayang. Dalam tradisi Mataram, tokoh-tokoh Pandawa dianggap sebagai nenek moyang mereka.
Tradisi tersebut juga masih berbaur dengan genius lokal masyarakat setempat yang menghubungkan Dieng dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada nenek moyang mereka seperti Ki Kala Dete dan cerita-cerita etiologis seperti terjadinya Kawah Sikidang dan Telaga warna.
Tradisi lisan di Dieng saat ini mengalami pelunturan. Karena itu, tradisi ini perlu segera diselamatkan dengan cara mendokumentasikan dan dokumentasi tersebut kemudian disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Pemerintah secara terintegrasi bertanggungjawab untuk memfasilitasi penggalian dan pemanfaatan tradisi lisan tersebut. Perlu diadakan kursus-kursus dan pelatihan untuk mendidik masyarakat setempat mengenal tradisi lisan mereka.
Daftar Pustaka
Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi Berg, C.C. 1938. Javaansche Geschiedschrijving. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia berjudul Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, 1974.
Bernas. 2002. “Festival-Dieng Wonosobo Resmi Dibuka”. Tanggal 16 Maret 2002.
Boissevain, Jeremy. ed. 1996. Coping with Tourists. Providence: Berghahn Books.
Bosch, F.D.K. 1952. “Criwijaya, de Cailendra en de Sanjayawamca” dalam Bijdragen van Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde. 108.
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafitipers
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo. 2004. Pesona Wisata dan Budaya Wonosobo.
-------, 2004. Sejarah Wonosobo.
Ernawati, Diyah Bekti. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Dieng Melalui Pengembangan Sektor Wisata. Surakarta. Proposal penelitian.
Http. www. Kompas. com. ”Tiga Benda Purbakala ditemkukan Di Kawasan Dieng”. Kamis, 12 Juni 2003.
http.www. Suara Merdeka. com. “Rambut Gembel dilarung di Telaga Warna”. Senin, 30 Agustus, 2004.
-------, “Rambut Gembel dilarung di Telaga Warna”. Senin, 30 Agustus, 2004.
Inovasi Manajemen Perkotaan Kabupaten Banjarnegara. 2001. Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng.
Jasari. 2004. “Sambutan Bupati Banjarnegara dalam Penerbitan Buku Dieng Poros Dunia”. 1 Februari 2004
Kamajaya. 1992. Serat Centhini (Suluk Tambangraras) Yasandalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) ing Surakarta Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
-------, 1992. Serat Centhini (Suluk Tambangraras) Yasandalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) ing Surakarta Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Mardiyanto 2004. “Sambutan Gubernur Jawa Tengah dalam Penerbitan Buku Dieng Poros Dunia”. 1 Februari 2004
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Qualitative Data Analysis (Analisis Data Kualitatif) Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press
Nasution. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan
-------, 1956. “Criwijaya, de Cailendra en de Sanjayavamca” dalam Bijdragen van Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde. 114. (Merupakan polemik dengan Bosch).
Prijohoetomo. 1934. Nawaruci: Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling.
Raffles, Thomas Stamford. 1978. The History of Java.(Vol. I) Oxford: Oxford University Press.
Ranggawarsita, R.Ng. 1997. Serat Paramayoga. Alih Aksara Kamajaya. Surakarta/Yogyakarta: Yayasan Mangadeg dan Centhini.
Siaran SCTV, Liputan-6. 25-September-2004.).
Soedarsono, R.M.1991. “Secara alami dan kultural seharusnya Indonesia mampu menjadi negara wisata nomor satu di Asia Tenggara” dalam Humaniora. Yogyakarta: Fak. Sastra, UGM.
Suara Merdeka, “Alokasikan Dana 1 Milyar untuk Dieng”. Jumat, 17 Juli 2005
Sudardi, B. 2004. “Sastra Lisan di Dieng”. Laporan Observasi Lapangan, Maret 2004. (Tidak diterbitkan).
------, 2004. “Dieng: Persemayaman Para Dewa”. Makalah dalam Seminar Internasional Bahasa dan Sastra, 3-4 Desember, di Yogyakarta.
Sukatno, Otto. 2004. Dieng Poros Dunia. Yogyakata: IRCISOD
Suroto, Ki Anom. 2006. Lakon Gatotkaca Lahir. (Kaset)
Sutarto, Ayu. 1998. “Kebudayaan Orang Tengger”. Makalah dalam Semiloka Tradisi Lisan, Bogor, 18 Juni 1998.
Sutopo, Heribertus. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar Teoretis dan Praktis. Surakarta: Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret.
Vredenbregt, J. 1985. Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu Empiris. Jakarta: P.T. Gramedia.
Winter C,F, dan Ranggawarsita. 2000. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1958. Sejarah Bangunan Kuna Dieng. Jakarta: Kalimosodo.
Zoetmulder. 1985. Kalangwan : Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
________
Bani Sudardi, Supana, Asep Yudha Wirajaya adalah dosen Fak. Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh Penelitian Hibah Bersaing, DP3M Dikti, didownload dari http://fs.uns.ac.id
Sumber : http://fs.uns.ac.id