Bloggernyo urang sikaladi By. Boim

Natural Transform, Studi Kasus Temuan Fragmen Keramik di Parit Keliling Kompleks Candi Plaosan


Oleh Stanov Purnawibowo
Pendahuluan
Data arkeologi sebenarnya merupakan cerminan kehidupan dan keadaan masa lalu yang sudah mengalami bias, dengan demikian data yang kita temukan sekarang bukan cerminan masa lalu yang sesungguhnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab. Daniels (1972), mengelompokkan faktor-fakor tersebut menjadi historical factors, post-depositional factors, dan research factors. Historical factors meliputi semua faktor penyebab yang berasal dari cara hidup pembuat dan pemakai artefak, lingkungan sekitar, serta reaksi mereka terhadapnya. Post-depositional factors mencakup semua sebab yang mengubah kedudukan atau posisi data setelah ditinggalkan oleh pemakainya hingga ditemukan oleh arkeolog. Research factors adalah faktor-faktor yang berasal dari si peneliti mulai dari ekskavasi hingga publikasi. Pengaruh faktor ini dapat menghasilkan distorsi data yang sangat merugikan. Proses yang membentuk data arkeologi hingga seperti keadaan pada waktu ditemukan sekarang disebut proses transformasi data arkeologi (Tanudirja,1992:72). Dalam perjalanannya, terdapat faktor-faktor dan proses-proses yang mengakibatkan terjadinya transformasi atau perubahan terhadap data arkeologi.

Berdasarkan pandangan dari kaum behavioral, terdapat tiga ranah penelitian arkeologi yang harus diperhatikan, pertama ialah bagaimana menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan proses pembentukan data arkeologi (formation of the archaeology record); kedua menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan upaya merekonstruksi, mengidentifikasi, serta menggambarkan tingkah laku manusia pada masa lalu; ketiga menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan penjelasan tingkah laku manusia pada masa lalu. Proses-proses yang mempengaruhi pembentukan data arkeologi beserta akibat-akibat yang dihasilkannya perlu diidentifikasi dan dikenali sebelum kesimpulan tentang tingkah laku (human behavior) serta budaya masa lalu dihasilkan. Menurut Schiffer (1976), ketika masa lalu dikaji tanpa memperhatikan tiga hal di atas, maka hasilnya akan banyak dipengaruhi oleh bias, sebab menurutnya data arkeologi merupakan hasil akumulasi bias. Pemahaman tentang masa lalu harus didahului oleh pemahaman mengenai bagaimana data tersebut terbentuk, mengalami perubahan hingga memperlihatkan ciri-ciri yang spesifik seperti pada saat ditemukan.

Proses transformasi data arkeologi tidak terlepas dari adanya bias yang terdapat pada data arkeologi. Disebutkan oleh Collins (1979), besarnya bias terhadap data arkeologi disebabkan oleh tujuh faktor yaitu:

• Tidak semua pola tingkah laku manusia menghasilkan budaya materi.
• Di antara pola budaya materi yang terbentuk tidak mempunyai kesempatan untuk masuk konteks arkeologi.
• Di antara budaya materi yang masuk ke dalam konteks arkeologi tidak semuanya merupakan konteks yang jelas.
• Tidak semua data terawetkan di dalam lingkungan pengendapannya.
• Di antara data yang terawetkan tidak semuanya dapat diselamatkan.
• Di antara data arkeologi yang terselamatkan tidak semuanya mampu diungkapkan oleh arkeolog.
• Di antara pola-pola data yang ada tidak semuanya dapat diidentifikasi dengan tepat.

Besarnya bias terhadap data arkeologi harus dilakukan intepretasi yang didasarkan atas minimal tiga macam hubungan antar data arkeologi. Pertama, hubungan antar atribut data arkeologi. Kedua, hubungan keruangan atau spasial antar data arkeologi, serta hubungan antara data arkeologi dengan lingkungannya. Ketiga, hubungan kuantitatif yang relatif ataupun absolut antar data arkeologi. Hal tersebut menurut Yuwono (1999: 15), merupakan awal dari pengungkapan makna data secara luas, yang didahului oleh penjelasan proses pembentukan data arkeologi hingga ditemukan kembali. Secara umum faktor penyebab terjadinya transformasi data arkeologi dalam kaitannya dengan post-depositional factors dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama perubahan dapat terjadi karena faktor tindakan manusia baik disengaja maupun tidak, jenis transformasi yang demikian disebut Cultural Transform atau C-Transform. Kedua adalah perubahan yang disebabkan oleh faktor alam atau disebut Natural Transform atau N-Transform.

Sejalan dengan pengelompokkan faktor-faktor tersebut, maka dikenal dua macam konteks dalam pandangan transformasi data arkeologi yaitu systemic context (S) dan archaeological context (A). Systemic context merupakan sekumpulan benda yang masih masuk dalam sistem tingkah laku manusia pendukungnya. Archaeological context adalah sekumpulan benda yang tidak lagi berfungsi/difungsikan dalam suatu sistem tingkah laku masyarakatnya. Keseluruhan objek yang terdapat dalam archaeological context merupakan hasil hubungan timbal balik antara tingkah laku manusia dan materi dengan tingkah laku budaya dan non budaya yang membentuk data arkeologi.

Secara umum konteks arkeologi dibagi menjadi dua garis besar, yaitu konteks primer dan konteks sekunder. Konteks primer adalah kondisi dari data arkeologi yang berupa matriks, provenience (keletakan di muka bumi) dan asosiasi belum teraduk sejak data arkeologi terdeposit hingga ditemukan kembali oleh arkeolog. Konteks sekunder adalah kondisi data arkeologi yang berupa matriks, provenience, serta asosiasi telah mengalami perubahan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, akibat dari proses transformasi yang terjadi setelah data arkeologi terdeposisi di suatu tempat. Lebih rinci lagi masing-masing konteks dapat dibedakan menjadi dua kategori, sehingga keseluruhannya terdapat empat jenis konteks arkeologi.

Konteks primer dibedakan menjadi Use-related primary context dan Transposed primary context. Use-related primary context dapat diartikan sebuah konteks yang dihasilkan melalui deposisi di lokasi artefak dibuat dan digunakan oleh para pendukungnya. Transposed primary context adalah sebuah konteks yang dihasilkan melalui tingkah laku yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembuatan atau penggunaan artefak, tetapi melalui tingkah laku yang berhubungan dengan pembuangan atau penimbunan deposit-deposit tertentu.

Konteks sekunder dibedakan menjadi Use-related secondary context dan Natural secondary context. Use-related secondary context dapat diartikan aktivitas pengadukan yang dilakukan oleh manusia berikutnya, baik sengaja maupun tidak, untuk tujuan tertentu. Aktivitas yang dimaksud misalnya peperangan, penggunaan lahan untuk keperluan pertanian, pembangunan gedung-gedung, atau penjarahan (looting). Jenis-jenis peristiwa tersebut biasanya dapat dikenali oleh arkeolog. Natural secondary context adalah konteks yang pada proses pembentukannya diakibatkan oleh perilaku non-budaya, misalnya oleh binatang, tumbuhan, dan peristiwa-peristiwa alam tertentu.

Dari pemaparan di atas, tulisan ini akan membahas salah satu contoh kasus Natural Transformation (N-Transform) yang terjadi, serta jenis konteks arkeologi yang terbentuk oleh proses N-Transform pada fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit keliling Kompleks Candi Plaosan. Pembatasan ruang lingkup pembahasan hanya pada ranah Natural Transformation disebabkan oleh kondisi parit sisi bagian barat ditemukan keramik dalam jumlah banyak yang kondisinya fragmentaris, serta terdeposisi tidak pada setiap lapisan (layer) tanah. Pada sisi bagian selatan parit ditemukan fragmen keramik yang tidak utuh (fragmentaris) dan terdeposisi hampir setiap layer (lapisan tanah), serta berasosiasi dengan sedimen yang mengisi parit tersebut (menyebar baik secara vertikal maupun horisontal). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui proses pembentukan data arkeologi dalam konteks arkeologi.

Metode penalaran tulisan ini adalah induktif, sifat penelisikan deskriptif-analitif yang merupakan bagian dari sifat penelitian eksploratif. Penelisikan ilmiah ini berawal dari data lapangan yang diperoleh mulai tahun 2003 hingga tahun 2004, berupa data hasil ekskavasi dan pengeboran tanah di beberapa titik lokasi. Data tersebut antara lain fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit, data stratigrafi parit, dan data sebaran lokasi terdeposisinya fragmen keramik baik secara vertikal maupun horisontal. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta disinkronkan dengan teori transformasi data arkeologi serta jenis konteks arkeologinya untuk kemudian dapat dilihat jenis transformasi data dan jenis konteks arkeologinya.

Gambaran Umum Hasil Ekskavasi
Kompleks Candi Plaosan terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Secara geografis Kompleks Candi Plaosan berada pada dataran kaki vulkan (Volcanic Footplain) Gunung api Merapi, yaitu pada koordinat 7º44‘32” LS dan 110º30‘11,07” BT. Dataran kaki vulkan secara umum memiliki morfologi bentuk lahan datar (flat) hingga landai (ganttle slope) dengan kemiringan 0-7%. Lingkungan sekitarnya berupa persawahan yang subur dan permukiman. Letak Kompleks Candi Plaosan secara fisiografis termasuk di zone tengah Pulau Jawa. Daerahnya berupa depresi yang ditumbuhi gunung api dan rangkaian pegunungan. Di sisi lain, aktivitas volkan (berhubungan dengan proses pengeluaran inti bumi dari dalam bumi) Merapi juga menimbulkan kerusakan yang menimbun hampir keseluruhan bangunan candi yang tersebar di daerah selatan dan barat wilayah Jawa Tengah.

Kompleks Candi Plaosan merupakan salah satu candi yang terletak di daerah selatan zone tengah. Sebagian besar komponennya tertimbun oleh endapan piroklastik hasil erupsi Merapi selama periode Kuarter (10.000 s.d.1000.000 tahun yang lalu), serta endapan epiklastik yang proses pembentukannya lebih kemudian melalui proses erosi air terhadap endapan material piroklastik. Hal ini terlihat dari material penyusun permukaan Kompleks Candi Plaosan yang terdiri dari endapan piroklastik yang materialnya berukuran debu, pasir, dan kerakal, serta endapan epiklastik (Yuwono, 2003: 13 — 25).

Kompleks Candi Plaosan dikelilingi struktur parit yang baru ditampakkan secara intensif oleh BP3 Jawa Tengah pada tahun 2002 — 2003. Penelitian tentang parit Plaosan dilakukan oleh Kusen sejak tahun 1986, kemudian dilanjutkan oleh kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jawa Tengah. Struktur parit yang sudah ditampakkan selebar 8 m, panjang 150 m ke arah utara, dan 200 m ke arah timur. Penggalian tahun 1986 yang dilakukan oleh SPSP Jawa Tengah membuka struktur parit sepanjang 25 m. Pada bulan Februari 2003 Jurusan Arkeologi bekerjasama dengan SPSP Jawa Tengah mengadakan penelitian arkeologis dan sosial-budaya di situs Plaosan yang bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi parit Plaosan. Pada parit Kompleks Candi Plaosan ditemukan data arkeologi berupa fragmen gerabah, fragmen keramik, fragmen logam, fragmen gigi binatang dan fragmen tulang. Data tersebut banyak ditemukan di dalam parit dan ada sebagian ditemukan di sekitar dinding dan pagar parit.
Terdapat hal menarik sehubungan dengan temuan data arkeologi di dalam parit yang masih luput dari penelitian-penelitian sebelumnya. Hal menarik tersebut pada lokasi parit sisi bagian barat ditemukan keramik dalam jumlah banyak yang kondisinya fragmentaris, serta terdeposisi tidak pada setiap layer tanah. Pada sisi bagian selatan parit ditemukan fragmen keramik yang tidak utuh (fragmentaris) dan terdeposisi hampir setiap layer (lapisan tanah), serta berasosiasi dengan sedimen yang mengisi parit tersebut (menyebar baik secara vertikal maupun horisontal).

Hasil survei yang dilakukan tim survei fisik kawasan Kompleks Candi Plaosan dari FIB UGM pada tahun 2003, menunjukkan adanya dua strata geologi yang pokok di kawasan tersebut. Dua strata geologi tersebut adalah endapan pasir lepas (unconsilidated sand) hasil dari erupsi Merapi Muda di lapisan atas, dan endapan pasir konglomeratan yang agak kompak (consolidated sand) hasil erupsi Merapi Tua. Endapan pasir lepas tersebut mengubur permukaan maeveld (lapisan tanah budaya yang satu konteks sistem dengan candi) dari Candi Plaosan sedalam 21 cm — 50 cm.

Parit sisi barat yang diwakili oleh sektor A dan B memiliki ketinggian 162,742 m dpl hingga 161,423 m dpl yang memanjang dari utara ke selatan. Dari data ekskavasi di parit sisi bagian barat ini deposisi fragmen keramik mulai terdapat pada kedalaman 80 cm hingga kedalaman 280 cm dari permukaan tanah. Pada lapisan tanah warna gelap, tekstur geluh pasiran, tidak dijumpai kerikil, merupakan lapisan pertama di kedalaman -50 cm — -95 cm dari permukaan tanah. Fragmen keramik yang terdeposisi berjumlah 12 keping. Fragmen tersebut terdiri dari empat keping bagian bibir, satu keping bagian badan yang berkarinasi, lima keping bagian badan, dan dua keping bagian dasar. Pada lapisan tanah dengan bercak (mottling) kemerahan, warna coklat, konsistensi agak teguh, tekstur geluh pasiran dengan kedalaman -95 cm — -115 cm ditemukan fragmen keramik sebanyak 7 keping. Terdiri dari 1 keping bagian badan dan 6 keping bagian dasar.

Pada lapisan tanah pasir halus dengan tekstur geluh dengan sisipan abu vulkanik di kedalaman -160 cm — -162 cm hingga kedalaman -140 cm — -220 cm jumlah fragmen keramik yang ditemukan 85 keping. Fragmen tersebut terdiri dari 16 keping bagian bibir, 11 keping bagian leher, 27 keping bagian badan, dan 30 keping bagian dasar. Keseluruhan fragmen keramik tersebut tidak ada satupun yang berasal dari satu wadah yang sama. Pengamatan terhadap bagian-bagian fragmen tersebut diketahui yang terdeposisi adalah fragmen dari guci dan mangkuk.

Parit sisi timur yang diwakili oleh sektor D dan C memiliki ketinggian 162,943 m dpl hingga 162,947 m dpl yang memanjang dari utara ke selatan. Dari data hasil ekskavasi di parit sisi timur deposisi fragmen keramik mulai terdapat pada kedalaman -60 cm hingga kedalaman -220 cm dari permukaan tanah. Pada kedalaman -0 cm — -115 cm lapisan tanahnya berstruktur kompak, berwarna coklat kekuningan dan terdapat endapan pasir halus. Pada lapisan ini hanya ditemukan 1 keping bagian bibir. Pada kedalaman -140 cm, di lapisan tanah pasir halus, berasosiasi dengan tanah lempung, fragmen yang terdeposisi berjumlah 2 keping terdiri dari 1 keping bagian badan dan 1 keping bagian bibir.

Pada kedalaman -200 cm dan -220 cm, di dalam lapisan tanah dengan struktur kompak berwarna abu-abu, tanah lempung berwarna coklat kekuningan & tanah lanau berwarna abu-abu, jumlah deposisi fragmen keramik 8 keping. Terdiri dari 4 keping bagian bibir, 3 keping bagian badan, dan 1 keping bagian dasar. Pada parit sisi timur lapisan sedimen yang mengendap didominasi oleh lempung, gambar stratigrafi diambil dari penampang stratigrafi sisi utara, sebelum bangunan yang melintang di dalam parit. Hal ini akan berdampak pada endapan lempung yang dihasilkan di dalam parit sisi timur. Endapan tersebut diakibatkan oleh air yang berarus lambat atau cenderung menggenang.

Parit sisi selatan diwakili oleh sektor E yang memiliki ketinggian 161,210 m dpl memanjang dari arah barat ke timur. Fragmen keramik mulai ditemukan pada kedalaman -40 cm hingga kedalaman -220 cm dari permukaan tanah. Pada kedalaman -0 cm — -70 cm, lapisan tanahnya didominasi oleh lapisan tanah olah warna gelap, dijumpai banyak kerikil, tekstur geluh pasiran. Pada lapisan tersebut ditemukan fragmen keramik yang ditemukan berjumlah 8 keping yang terdiri dari 4 keping bagian bibir, 2 keping bagian badan, dan 2 keping bagian dasar. Lapisan tanah berikutnya yaitu lapisan tanah warna gelap, sedikit dijumpai kerikil dibandingkan lapisan di atasnya, tekstur geluh pasiran merupakan tanah olah sebelum lapisan sekarang pada kedalaman -70 cm — -130 cm.

Jumlah fragmen keramik yang ditemukan di lapisan tersebut 40 keping yang terdiri dari 10 keping bagian bibir, 9 keping bagian badan, dan 21 keping bagian dasar. Lapisan berikutnya pada kedalaman -130 cm — -175 cm merupakan lapisan tanah yang didominasi oleh pasir halus yang diselingi lapisan lempung pasiran, ditemukan fragmen keramik berjumlah 24 keping. Terdiri dari 20 keping bagian badan dan 4 keping bagian dasar. Lapisan tanah pasir kasar warna keabu-abuan bercampur endapan lempung pada kedalaman -175 cm — -225 cm ditemukan fragmen keramik berjumlah 265 keping. Fragmen tersebut terdiri dari 60 keping bagian bibir, 3 keping bagian cerat, 107 keping bagian badan, dan 95 keping bagian dasar.

Natural Tranform dan Jenis Konteks
Proses transformasi Natural Transform terjadi pada fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit pada sedimen disebabkan oleh medium air baik yang berarus deras, sedang, lambat, atau menggenang karena adanya penahan arus berupa tanggul yang ada di dalam parit. Sedimen yang batas setiap lapisannya membentuk garis linear secara teratur, diasumsikan air sebagai medium pembawa sedimen juga membawa fragmen keramik. Bila hal ini benar maka sebaran fragmen keramik dengan jumlah yang banyak akan terendapkan mengikuti batas antar lapisan, serta posisi di dalam sedimen akan terletak di bagian bawah sedimen yang diendapkan, karena ukuran fragmen keramik lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran butir kerikil, pasir, lanau, serta lempung.

Dari kriteria tersebut proses transformasi fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit sisi barat dapat dilihat melalui posisi deposisi fragmen pada lapisan sedimen tertentu serta jumlah fragmen keramik yang diperoleh melalui hasil ekskavasi dari kotak-kotak yang dibuka di sektor A dan B. Sektor A dihasilkan jumlah fragmen 56 keping. Fragmen keramik di kotak-kotak tersebut diperoleh dari kedalaman -200 cm — -220 cm dan satu keping dari kedalaman -280 cm. Sektor B fragmen keramik diperoleh dari kedalaman -80 cm — -280 cm. Fragmen yang ditemukan di sektor B terletak pada lima jenis matriks sedimen yang berbeda.

Matriks pada deposisi seluruh fragmen keramik di sektor A masih berada pada satu layer (lapisan tanah) yang sama pada kedalaman -200 cm — -280 cm yang merupakan lapisan pasir kasar, konsistensi teguh, banyak terdapat kerikil dan gravel dengan susunan tidak beraturan. Adanya endapan pasir kasar, gravel, dan kerikil yang menjadi matriks dari 57 keping fragmen keramik di sektor A, susunannya tidak teratur. Hal ini dapat dijadikan indikasi medium pengendapnya adalah arus air bercampur dengan material gravel, kerikil, dan pasir yang arusnya cukup deras di dalam parit. Layer ini pernah menjadi permukaan yang tidak berair, terlihat dari adanya endapan abu vulkanik di atas layer ini dengan ketebalan 2 cm.

Fragmen keramik yang terdeposisi di sektor B pada kedalaman 80 cm, berjumlah empat keping fragmen, terdeposisi pada layer sedimen dengan tekstur geluh pasiran. Lapisan ini juga pernah menjadi lapisan permukaan, indikasi ini terlihat dari adanya campuran debu yang dominan pada lapisan pasir. Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman 100 cm, berjumlah delapan keping fragmen, terdeposisi pada layer sedimen dengan kondisi tekstur geluh pasiran, konsistensi agak teguh. Pada layer ini terdapat bercak/mottling kemerahan, bercak tersebut merupakan oksida besi (Fe) yang terjadi karena tanah tersebut pernah digunakan sebagai tempat pertanian dengan menggunakan sistem genangan air yang cukup lama.

Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman 140 cm, berjumlah tujuh keping yang terletak pada batas layer kelima dan keenam di dalam parit sisi barat, kondisi batas layer tersebut membentuk garis linear yang menurun di bagian tengah parit. Kondisi layer kelima yang menjadi matriks ini merupakan lapisan yang banyak mengandung kerikil, pelapisan yang tidak terus – menerus, tekstur geluh pasiran. Lapisan ini berada di dalam parit, banyaknya kerikil serta pasir pada layer ini mengindikasikan pernah ada arus air yang cukup deras di dalam parit, sehingga menghasilkan sedimen yang didominasi oleh kerikil dan pasir.

Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman 220-280 cm, berjumlah 28 keping yang terletak pada layer sedimen dengan kondisi lapisan pasir kasar, konsistensi teguh, banyak terdapat kerikil dan gravel dengan susunan tidak beraturan. Adanya endapan pasir kasar, gravel, dan kerikil yang susunannya tidak teratur pada layer ini dapat dijadikan indikasi medium pengendapnya adalah air bercampur dengan material gravel, kerikil, dan pasir yang arusnya cukup deras di dalam parit. Layer ini pernah menjadi permukaan yang tidak berair, terlihat dari adanya endapan abu vulkanik di atas layer ini dengan ketebalan 2 cm.

Proses transformasi fragmen keramik yang terjadi di dalam parit sisi barat sektor A, adalah transformasi oleh alam (Natural Transform), dalam hal ini medium pembawanya adalah aliran arus air deras di dalam parit yang bercampur dengan material gravel, kerikil, dan pasir kasar. Proses transformasi alam (Natural Transform) yang terjadi di sektor B terjadi pada fragmen keramik yang terdeposisi pada layer sedimen yang dihasilkan oleh arus air yang terjadi di dalam parit, baik oleh arus deras, lambat maupun menggenang. Dengan kata lain fragmen keramik yang berada pada kedalaman 140 cm, 220 cm, dan 280 cm dengan jumlah masing-masing 7 keping, 13 keping, dan 15 keping, terdeposisi di dalam parit oleh transformasi alam.

Proses transformasi fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit sisi timur dapat dilihat melalui data dari hasil ekskavasi di sektor C dan D. Proses tersebut dapat dilihat melalui posisi deposisi fragmen keramik pada lapisan-lapisan sedimen tertentu yang menjadi matriksnya, serta jumlah fragmen keramik yang diperoleh melalui data yang didapat di parit sisi timur. Data tersebut antara lain sektor C diperoleh jumlah fragmen 6 keping, yang tersebar 5 keping pada kedalaman -220 cm dan 1 keping pada kedalaman -140 cm. Sektor D jumlah fragmen 5 keping tersebar pada kedalaman -60 cm sebanyak 1 keping, kedalaman -140 cm sebanyak 1 keping, dan kedalaman -200 cm sebanyak 3 keping.

Sektor C fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -140 cm berjumlah 1 keping yang terdapat pada sedimen dengan konsistensi agak teguh, lapisan tanahnya mengandung banyak kerikil yang berasosiasi dengan lempung. Endapan lempung merupakan endapan yang diloloskan oleh pori-pori tanah pada lapisan di atasnya yang digunakan sebagai lahan pertanian yang menggenang/sawah. Sektor C fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -220 berjumlah 5 keping terdapat pada sedimen konsistensi teguh warna abu-abu yang berasosiasi dengan lempung kekuningan dan lanau abu-abu. Kandungan lempung dan lanau pada layer ini mengindikasikan lapisan ini terbentuk oleh air yang menggenangi bagian dalam parit.

Sektor D fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -60 cm berjumlah 1 keping terdapat pada sedimen endapan pasir halus di layer ini akibat dari hasil genangan air yang digunakan untuk mengairi persawahan. Sektor D fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -140 cm berjumlah 1 keping terdapat pada sedimen yang mengandung banyak kerikil dan berasosiasi dengan lempung. Endapan lempungnya merupakan endapan yang diloloskan oleh pori-pori tanah pada lapisan di atasnya yang digunakan sebagai lahan persawahan. Sektor D fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -200 cm berjumlah tiga keping terdapat pada sedimen dengan konsistensi teguh warna abu-abu yang berasosiasi dengan lempung kekuningan dan lanau abu-abu. Kandungan lempung dan lanau pada layer ini mengindikasikan lapisannya terbentuk oleh air yang menggenangi bagian dalam parit.

Proses transformasi Natural Transform terjadi pada fragmen keramik yang terdeposisi di sektor C pada kedalaman -220 cm dengan jumlah lima keping, serta di sektor D deposisi fragmen keramik pada kedalaman -200 cm dengan jumlah tiga keping. Proses transformasi fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit sisi selatan dapat dilihat dari lapisan sedimen yang mengisi parit sektor E dari seluruh kotak yang dibuka. Fragmen keramik yang ditemukan di sisi selatan didapat dari kedalaman -40 cm, -80 cm, -120 cm, -140 cm, -200 cm, dan -220 cm. Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman 40 cm berjumlah 18 keping fragmen, terdeposisi pada lapisan sedimen tanah warna gelap, tekstur geluh pasiran. Pada lapisan ini dijumpai banyak kerikil. Lapisan permukaan ini merupakan lapisan tanah olah pertanian yang teraduk serta banyak mengandung humus.

Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -80 cm, dan -120 cm, masing-masing berjumlah 4 keping dan 34 keping terdeposisi pada lapisan sedimen warna lebih gelap, kandungan kerikil lebih sedikit, tekstur geluh pasiran, konsistensi tidak teguh. Tekstur geluh pasiran menjadi indikasi lapisan tanah ini pernah menjadi permukaan. Lapisan ini walaupun menunjukkan gejala pembentukan oleh alam pada penjelasan di atas tetapi pernah menjadi lapisan permukaan yang dipergunakan untuk lahan pertanian, hal ini disamakan dengan kondisi layer yang sama pada layer sejenis di dua sisi parit lainnya. Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -140 cm berjumlah 24 keping, terdeposisi pada lapisan sedimen pasir halus yang berseling dengan lempung pasiran.

Lapisan pasir halus dan lempung pasiran mengindikasikan medium pengendapnya berupa arus air di dalam parit yang arusnya sangat lambat atau cenderung menggenang. Fragmen keramik yang terdeposisi pada kedalaman -200 cm dan -220 cm, masing-masing berjumlah 249 keping dan 16 keping, terdeposisi pada lapisan sedimen lempung pasiran. Lapisan sedimen lempung pasiran mengindikasikan medium pengendapannya berupa arus air di dalam parit yang sangat lambat atau menggenang. Lapisan ini diasumsikan pernah menjadi dasar dari parit pada waktu tertentu saat parit tersebut tergenang oleh air dan menghasilkan endapan lempung pasiran.

Proses transformasi karena alam (Natural Transform) terjadi pada fragmen keramik yang terdeposisi pada lapisan dengan kedalaman -140 cm, berjumlah 24 keping yang terdeposisi pada lapisan sedimen pasir halus dan lempung pasiran. Sedimen ini mengindikasikan medium pengendapnya berupa arus air yang arusnya sangat lambat atau cenderung menggenang. Proses transformasi yang sama juga terjadi pada deposisi fragmen keramik yang berada pada kedalaman -200 cm, dan -220 cm, masing-masing berjumlah 249 keping dan 16 keping. Fragmen keramik tersebut terdeposisi pada lapisan sedimen lempung pasiran. Sedimen tersebut mengindikasikan medium pengendapnya adalah arus air yang sangat lambat atau menggenang, dengan kondisi yang seperti ini dapat dikatakan bahwa lapisan ini pernah menjadi dasar parit.

Mengingat bentuk parit yang mengitari Kompleks Candi Plaosan (kecuali sisi utara yang hingga kini belum ditemukan strukturnya), posisi dari parit sisi selatan lebih rendah bila dibandingkan dengan sisi barat dan timur, maka bila ada aliran air di dalam parit maka deposisi fragmen keramik serta material yang terbawa oleh arus air akan terakumulasi di parit sisi selatan / sektor E. Hal ini berkaitan erat dengan adanya penampakan alur yang diduga sebagai outlet (saluran keluar) yang menuju sungai yang ada di sebelah timur Kompleks Candi Plaosan yang dekat dengan parit sisi selatan.

Natural Transform terjadi pada fragmen keramik yang terdeposisi pada lapisan dengan kedalaman -140 cm, dengan jumlah 24 keping terdeposisi pada lapisan sedimen pasir halus dan lempung pasiran. Sedimen ini mengindikasikan medium pengendapnya berupa arus air yang arusnya sangat lambat atau cenderung menggenang. Proses transformasi yang sama juga terjadi pada deposisi fragmen keramik yang berada pada kedalaman -200 cm, dan -220 cm, masing-masing berjumlah 249 keping dan 16 keping. Fragmen keramik tersebut terdeposisi pada lapisan sedimen lempung pasiran. Sedimen tersebut mengindikasikan medium pengendapnya adalah arus air yang sangat lambat atau menggenang, sehingga dapat dikatakan bahwa lapisan ini pernah menjadi dasar parit.

Jenis konteks arkeologi, natural secondary context terdapat pada fragmen keramik yang melalui proses transformasi oleh alam (Natural Transform). Jenis konteks ini terdapat pada seluruh deposisi fragmen keramik yang terdapat di setiap sisi parit keliling. Jenis konteks arkeologi natural secondary context pada fragmen keramik yang terdeposisi di parit sisi barat, terdapat di kedalaman -140 cm sebanyak 13 keping dan kedalaman -200 cm sebanyak 57 keping. Kemudian pada kedalaman -220 cm berjumlah 27 keping dan kedalaman -280 cm berjumlah 1 keping. Jenis konteks arkeologi Natural secondary context pada fragmen keramik yang terdeposisi di parit sisi timur, terdapat di kedalaman -200 cm berjumlah 4 keping dan kedalaman -220 cm berjumlah 5 keping. Jenis konteks arkeologi Natural secondary context pada fragmen keramik yang terdeposisi di parit sisi selatan, terdapat di kedalaman -140 cm berjumlah 24 keping, kedalaman -200 cm berjumlah 249 keping, dan kedalaman -280 cm berjumlah 16 keping.

Penutup
Natural Transform adalah proses pembentukan data arkeologi yang disebabkan oleh faktor alam, proses tersebut dapat dilihat pada temuan fragmen keramik yang terdeposisi di dalam layer (lapisan tanah) parit yang diindikasikan terbentuk oleh proses alamiah, hasil terbawa arus air dan materia sedimen di dalam parit. Jenis konteks yang terbentuk pada fragmen keramik yang terdeposisi di dalam parit melalui proses transformasi alamiah adalah Natural Secondary Context.

Kepustakaan:
Collins, B. Michael, 1979. “Sources of Bias in Processual Data: An Appraisal”, dalam James W. Mueller (ed.), Sampling In Archaeology. Arizona: The University of Arizona Press, hal. 16–32.

Daniels, S. G. H., 1972. “Research Design Model”, dalam David L. Clarke, Models in Archaeology. London: Methuen & Co. Ltd., hal. 201–229.

Kusen, 1986. “Parit Keliling Candi Plaosan”, dalam PIA IV. Jakarta: Puslitarkenas, hal. 397–412.
Mundardjito, 1982. “Pandangan Tafonomi”, dalam Arkeologi : Penilaian Kembali atas Teori dan Metode, dalam PIA II. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, hal. 497–509.

Schiffer, Michael B., 1976. Behavioral Archaeology. New York: Academic Press.

——————-, 1987. Formation Processes of The Archaeological Record. Albuquerque: University of New Mexico Press.

Sharer, Robert J. and Wendy Ashmore, 1993. Archaeology : Discovering Our Past, Second Edition. California: Mayfield Publishing Company, Inc.

Yuwono, Edy J. S, 2002–2003. Laporan Survei Lingkungan Fisik Kompleks Candi Plaosan dan Sekitarnya. Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Pengembangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (belum diterbitkan).

——————-, 1993/1994. Laporan Penelitian Transformasi Batuan Candi Pacitan (Sebuah Kajian Tafonomi), Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM (belum diterbitkan).

——————-,1999. “Situs Gunungbang dalam Perspektif Transformasi”, dalam Seminar Sehari Penelitian Perpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul Tahap I, 12 Mei 1999. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

——————-, 2000. Paradigma, Karakter, dan Data Arkeologi, Bahan Kuliah Metode Arkeologi I. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Tanudirja, Daud Aris, 1992. “Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia”, dalam PIA VI. Malang: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 156–174.

Tim HIMA, 2003. Laporan Analisis Fragmen Gerabah dan Keramik Parit Plaosan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM (tidak diterbitkan).
__________
Stanov Purnawibowo adalah Peneliti pada Balai Arkeologi Medan.

Sumber :http://balarmedan.wordpress.com
Foto : http://2.bp.blogspot.com