Oleh : Muhlis Suhaeri
Perjalanan ke wilayah pedalaman Kalimantan Barat, merupakan suatu pengalaman dan sensasi tersendiri. Keanekaragaman masyarakat, keelokan budaya, dan keasrian alamnya, memberikan pengalaman tersendiri. Satu hal pasti, Anda harus siap dengan berbagai pengalaman tak terduga.
Tak heran, ketika seorang teman mengajak ke acara gawai adat, 15-16 Juni 2007, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan. Upacara adat itu bernama Nyobeng. Yang merupakan upacara adat, memandikan atau membersihkan kepala manusia hasil mengayau nenek moyang. Suku Dayak Bidayuh merupakan salah satu sub suku Dayak di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Daerah ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.
Dari ibu kota propinsi, Pontianak, perjalanan bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat menuju Kota Singkawang. Perjalanan sejauh 145 km, bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam. Jalanan lumayan bagus. Dari Singkawang menuju Bengkayang bisa ditempuh selama satu setengah jam. Jarak dari Singkawang ke Kabupaten Bengkayang, sekitar 80 km. Jalanan sempit dengan aspal hingga ke ibu kota kabupaten. Ada beberapa losmen dan hotel di sini.
Paginya, kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Seluas. Setahun lalu, ketika melewati jalan ini, banyak lubang menganga di sepanjang jalan. Namun, sekarang jalan sudah terlihat mulus dan bagus. Namun, kondisi ini biasanya hanya bertahan dua tahunan saja. Setelah itu, jalan harus diaspal kembali. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, faktor manusia. Cara pengerjaan jalan kurang bagus, sehingga jalan cepat rusak. Kedua, faktor alam. Sebagian besar tanah di Kalbar merupakan tanah gambut, sehingga tanah bersifat labil dan mudah amblas.
Setelah menempuh perjalanan darat selama dua jam, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecoklatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai Kumba menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung. Kedua nama itu adalah salah satu wilayah kecamatan di Bengkayang.
Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor air (perahu bangkong). Perahu bangkong merupakan sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 cm, bermesi 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 cm. Kalau bersimpangan dengan perahu lain jalannya harus pelan, agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.
Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut barang dagangan. Sekali angkut biasanya 400 kg. Dari ibu kota kabupaten, pedagang biasanya mengangkut barang dagangan berupa kebutuhan 9 bahan pokok, sabun, deterjen dan berbagai kebutuhan lainnya. Dari pedalaman, pedagang membawa hasil kebun dan pertanian, seperti karet, jagung, lada dan lainnya. Diantara bawaan barang dagangan itulah, penduduk “numpang” perahu menuju perkampungannya. Untuk jasa tersebut, penduduk harus merogoh koceknya sebesar Rp 15 ribu.
Air sungai Kumba tidak terlalu deras. Lebar sungai sekitar 50 meter dengan kedalaman 2-3 meter. Setelah satu setengah jam perjalanan, sampailah kami pada dua cabang anak sungai. Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung.
Sungai Bumbung tidak begitu lebar. Lebarnya sekitar 15 meter. Kedalaman sungai ditentukan oleh faktor curah hujan. Bila curah hujan jarang, kedalaman air sungai 1-2 meter. Bila turun hujan, ketinggian air lebih tinggi. Bagi para pemilik perahu motor, melayari sungai lebih enak saat air pasang. Bila air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang dan berserakan di dasar dan permukaan sungai. Tak heran bila terkadang tersangkut di batang pohon tumbang. Bila sudah demikian, penumpang harus turun dan mengangkat perahu secara bersama. Dasar sungai merupakan lumpur bercampur pasir.
Setelah menempuh perjalanan dua jam, dan berkelok pada beberapa anak sungai, sampailah kami pada jembatan Taling atau Sohoo. Jembatan itu terdiri dari dua batang bambu direntangkan di atas Sungai Sohoo. Tingginya sekitar 4 meter dari sungai. Bagian atas jembatan ada dua batang bambu direntangkan sebagai pegangan tangan.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang. Setelah berjalan kaki selama satu jam, kami sampai pada batas kampung. Sebuah papan bertuliskan selamat datang tertera pada pintu masuk kampung.
Kampung itu bernama Hli Buei. Biasa disebut Kampung Sebujit. Termasuk wilayah Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Di batas desa, ada penyambutan. Puluhan lelaki mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang. Sebagian diantaranya membawa senapan lantak dan sumpit. Senapan lantak biasa digunakan untuk berburu binatang. Hari itu, senapan dibunyikan sebagai tanda penyambutan. Bunyinya menggelegar dan keras. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil ruh leluhur, dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.
Rombongan tamu disambut para tetua adat. Sang kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun tak kena, anjing harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah. Setelah itu, juga ada pelemparan ayam ke rombongan. Ayam, sama nasibnya dengan anjing. Upacara ini disebut naburi.
Setelah itu, tamu dilempar dengan telur ayam. Menurut kepercayaan, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ihlas. Kalau pecah, berarti tamu datang dengan ihlas. Beras putih dan beras kuning dilempar ke tamu, sambil dibacakan mantra. Rombongan diberi minuman tuak dari pohon niru dicampur kulit pohon Pakak. Kulit pohon ini memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Cara membuatnya, kulit pohon itu harus dikeringkan terlebih dahulu.
Tuak yang terletak dibumbung bambu itu, diedarkan para gadis kembang desa ke segenap tamu. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak yang diedarkan. Inilah minuman penyambutan. Ibaratnya, inilah minuman welcome drink, seperti ketika kita masuk ke cafe atau tempat entertainment lainnya.
Selepas upacara penyambutan di batas perkampungan, rombongan tamu masuk ke perkampungan. Masyarakat menyalami semua tamu. Kami diantar memasuki tempat upacara yang berada di tengah perkampungan. Perkampungan itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut rumah Betang. Rumah ini berbentuk rumah panggung besar dan memanjang. Semua bangunan dari kayu. Bentuk atap menyerupai limas segitiga. Rumah dihuni puluhan kepala keluarga. Biasanya, di rumah inilah, semua pola hidup komunal dan kebudayaan Dayak, merepresentasikan dirinya.
Sebagian besar rumah di kampung Sebujit dihuni satu keluarga. Rumah terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, hiasan rumah, tak lagi menampak ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola. Siaran TV3 Malaysia, lebih mudah ditangkap daripada TVRI.
Tempat upacara berada di tengah kampung. Di sana ada rumah adat. Namanya, rumah balug. Rupa rumah adat ini bentuknya bulat. Lebarnya sekira 10 meter dengan tinggi 15 meter dari tanah. Rumah ditopang dari kayu belian bulat yang dibenamkan ke tanah. Ukuran kayu sebesar 10-15 cm. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon yang telah dibuat undakan dengan pegangan dua batang bambu. Atap rumah mengerucut.
Di rumah adat inilah, berbagai benda pusaka disimpan. Di lantai bawah ada empat gong dengan diameter sekira 75 cm. Pada tengah rumah terdapat simlog. Ini seperti beduk. Bentuknya memanjang sekitar tujuh meter. Diameter bedug sekitar 30 cm. Bedug terbuat dari kulit babi hutan. Alat pemukulnya dari rotan-rotan kecil sebesar ibu jari.
Nah, pada bubungan rumah inilah terssimpan tengkorak hasil mengayau para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak berukuran 40x30x20 cm. Di dalamnya juga berisi berbagai kalung dari taring babi.
Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki air yang telah diberi mantera. Tamu yang masuk tempat upacara diperciki dengan daun anjuang. Fungsi dari air dan daun anjuang sebagai talak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.
Di sekitar rumah adat ini, ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tamu disambut dengan tarian. Warga dan tamu menari bersama, sambil mengitari rumah adat. Tetua adat menyanyikan lagu dan membaca matra. Tarian itu bernama mamiamis. Ini tarian bagi Ngngiu atau pembela tanah leluhur. Tarian secara bersama ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur. Yang baru datang dari mengayau. Arti dari tari ini adalah, tari perdamaian. Lalu, para tetua adat naik rumah balug. Simlog dipukul. Mercon pun dinyalakan. Bunyi dua benda itu bertujuan memanggil arwah leluhur. Ini pertanda ritual upacara Nyobeng telah dimulai.
Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi yang beragama Islam, diberikan makanan khusus. Tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.
Setelah makan bersama, tamu dipersilahkan meninggalkan area rumah adat dan menuju rumah penduduk. Setiap rumah penduduk boleh untuk ditempati. Mereka terbuka dengan semua tamu yang datang. Penduduk juga menjamu tamu yang datang ke rumah mereka dengan berbagai suguhan. Sebagian besar rumah penduduk menyediakan penganan kecil di ruang tamunya. Penduduk juga menyembelih ayam bagi masyarakat muslim yang datang ke rumahnya. Ayam dianggap makanan dan lauk “netral” bagi kaum muslim. Tamu berisitirahat sebentar dan menaruh barang di rumah penduduk. Setelah mandi atau membersihkan badan, tamu beristirahat sejenak.
Sementara itu, sebagian penduduk laki-laki berjalan menyusuri hutan di sekitar perkampungan. Mereka mencari bambu hutan. Batang bambu selebar 10 cm digotong beramai-ramai ke rumah adat. Bambu itu diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau di tangan.
Mandau senjata khas masyarakat Dayak, serupa pedang. Di tengah mandau biasanya ada ukiran dan motif tertentu. Gagang mandau biasanya dibuat dari tulang atau kayu. Pada gagang mandau, biasanya diberi hiasan tertentu. Hiasan itu berupa rambut manusia, gigi manusia dan lainnya. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang ini, jarang sekali dilakukan.
Ketika ketua adat menganggukkan kepala, sebagai tanda kegiatan bisa dimulai, seseorang maju ke depan. Ia meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Suara mandau bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya. Ia mulai mengambil ancang-acang. Gagang mandau di pegang dengan dua tangannya. Setelah menarik napas, ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong. Orang bertepuk tangan dengan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Namun, ada juga beberapa orang tidak bisa memotong bambu dengan sekali tebas. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan dan kekuatan bagi para lelaki. Menetak bambu hingga terputus, merupakan lambang kejantanan.
Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji. Sesajian itu harus dioles dengan darah ayam dari sayapnya. Darah ayam juga dipercikkan ke berbagai tempat. Yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat dan perkampungan.
Menjelang sore, ketua adat melakukan pemanggilan ruh. Ruh adat harus diberitahu sebelumnya, karena pelaksanaan adat harus segera dimulai.
Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk ruh baik, dibuat 7 sesaji. dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak yang berada di bubungan rumah balug.
Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan, dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Usai mengoleskan darah pada tengkorak, kotak itu dimasukkan lagi pada kotak dan disimpan.
Acara dilanjutkan dengan memotong anjing. Anjing dewasa itu berwarna hitam. Pemotongan anjing dimasukkan untuk menolak ruh jahat. Setelah dipotong, darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Ketika bakal dipotong, anjing tidak mengonggong sama sekali. Anjing itu diam saja. Dia seolah tahu, nasibnya untuk persembahan suatu ritual yang manusia jalankan. Darah anjing diusapkan pada tiang, dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.
Acara selanjutnya adalah mandi-mandi. Upacara ini diikuti segenap kawula. Tua, muda, dan kanak. Tujuannya membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang. Daun ini dipercaya sebagai daun yang punya kekuatan magis. Daun anjuang biasa dipakai dalam berbagai upacara adat, kaum Dayak.
Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Babi juga diambil hatinya dan dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara, berpantang untuk berkata kotor. Bersikap kasar pada perempuan. Tidak berhubungan badan dengan perempuan. Tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Bila orang melakukan itu, dipercaya bisa membawa malapetaka.
Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, sebagian besar masyarakat tidak mengikuti upacara ritual itu. Yang mengikuti biasanya hanya orang tua dan tetua adat. Kawula muda dan kanak, lebih tertarik datang ke lapangan dan menonton pertujukkan musik dangdut. Di tengah lapangan tersebut, juga bertebaran permainan judi. Ada judi kolok-kolok, dokok dan lainnya.
Orkes dangdut dimainkan para pemuda setempat. Suara penyanyi dan peralatannya biasa saja. Bahkan, kalau boleh dibilang, hancur lebur. Meski demikian, itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan. Grup band menyediakan lima orang perempuan, untuk menemani orang yang ingin menari. Caranya, setiap yang ingin berjoget, mesti membayar tiket. Cukup dengan membayar Rp 5.000 untuk setiap lagunya. Dengan tiket itu, ia bisa mengajak seorang penari di orkes tersebut. Bagi yang tidak kebagian penari, mereka harus aktif dan pintar mencari penonton perempuan yang bertebaran di sekitar acara. Ketika ada kesepakatan, penonton perempuan akan mengikuti ajakan si pemegang tiket.
Setiap orang bolah memborong tiket. Berapapun ia mau. Asal dengkul kuat saja mengikuti alunan musik dangdut, hingga pagi. Uniknya, meski terjadi persaingan dalam mendapatkan teman joget atau ketika sedang berjoget di sekitar arena tersebut, tidak ada keributan atau perkelahian layaknya dalam suatu pentas musik. Orang akan berpikir seribu kali, bila berbuat rusuh atau berkelahi. Pasalnya? Siapa yang melakukan perkelahian atau berbuat rusuh, harus mengganti seluruh biaya pesta adat. Jumlahnya mencapai puluhan juta. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah, orang tidak berani berbuat sembarangan.
Kampung di tengah hutan itu, terus mengeliat. Mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih. Namun, ada juga yang mulai terkikis.□
Sumber : http://muhlissuhaeri.blogspot.com
Perjalanan ke wilayah pedalaman Kalimantan Barat, merupakan suatu pengalaman dan sensasi tersendiri. Keanekaragaman masyarakat, keelokan budaya, dan keasrian alamnya, memberikan pengalaman tersendiri. Satu hal pasti, Anda harus siap dengan berbagai pengalaman tak terduga.
Tak heran, ketika seorang teman mengajak ke acara gawai adat, 15-16 Juni 2007, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan. Upacara adat itu bernama Nyobeng. Yang merupakan upacara adat, memandikan atau membersihkan kepala manusia hasil mengayau nenek moyang. Suku Dayak Bidayuh merupakan salah satu sub suku Dayak di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Daerah ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.
Dari ibu kota propinsi, Pontianak, perjalanan bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat menuju Kota Singkawang. Perjalanan sejauh 145 km, bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam. Jalanan lumayan bagus. Dari Singkawang menuju Bengkayang bisa ditempuh selama satu setengah jam. Jarak dari Singkawang ke Kabupaten Bengkayang, sekitar 80 km. Jalanan sempit dengan aspal hingga ke ibu kota kabupaten. Ada beberapa losmen dan hotel di sini.
Paginya, kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Seluas. Setahun lalu, ketika melewati jalan ini, banyak lubang menganga di sepanjang jalan. Namun, sekarang jalan sudah terlihat mulus dan bagus. Namun, kondisi ini biasanya hanya bertahan dua tahunan saja. Setelah itu, jalan harus diaspal kembali. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, faktor manusia. Cara pengerjaan jalan kurang bagus, sehingga jalan cepat rusak. Kedua, faktor alam. Sebagian besar tanah di Kalbar merupakan tanah gambut, sehingga tanah bersifat labil dan mudah amblas.
Setelah menempuh perjalanan darat selama dua jam, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecoklatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai Kumba menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung. Kedua nama itu adalah salah satu wilayah kecamatan di Bengkayang.
Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor air (perahu bangkong). Perahu bangkong merupakan sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 cm, bermesi 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 cm. Kalau bersimpangan dengan perahu lain jalannya harus pelan, agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.
Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut barang dagangan. Sekali angkut biasanya 400 kg. Dari ibu kota kabupaten, pedagang biasanya mengangkut barang dagangan berupa kebutuhan 9 bahan pokok, sabun, deterjen dan berbagai kebutuhan lainnya. Dari pedalaman, pedagang membawa hasil kebun dan pertanian, seperti karet, jagung, lada dan lainnya. Diantara bawaan barang dagangan itulah, penduduk “numpang” perahu menuju perkampungannya. Untuk jasa tersebut, penduduk harus merogoh koceknya sebesar Rp 15 ribu.
Air sungai Kumba tidak terlalu deras. Lebar sungai sekitar 50 meter dengan kedalaman 2-3 meter. Setelah satu setengah jam perjalanan, sampailah kami pada dua cabang anak sungai. Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung.
Sungai Bumbung tidak begitu lebar. Lebarnya sekitar 15 meter. Kedalaman sungai ditentukan oleh faktor curah hujan. Bila curah hujan jarang, kedalaman air sungai 1-2 meter. Bila turun hujan, ketinggian air lebih tinggi. Bagi para pemilik perahu motor, melayari sungai lebih enak saat air pasang. Bila air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang dan berserakan di dasar dan permukaan sungai. Tak heran bila terkadang tersangkut di batang pohon tumbang. Bila sudah demikian, penumpang harus turun dan mengangkat perahu secara bersama. Dasar sungai merupakan lumpur bercampur pasir.
Setelah menempuh perjalanan dua jam, dan berkelok pada beberapa anak sungai, sampailah kami pada jembatan Taling atau Sohoo. Jembatan itu terdiri dari dua batang bambu direntangkan di atas Sungai Sohoo. Tingginya sekitar 4 meter dari sungai. Bagian atas jembatan ada dua batang bambu direntangkan sebagai pegangan tangan.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang. Setelah berjalan kaki selama satu jam, kami sampai pada batas kampung. Sebuah papan bertuliskan selamat datang tertera pada pintu masuk kampung.
Kampung itu bernama Hli Buei. Biasa disebut Kampung Sebujit. Termasuk wilayah Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Di batas desa, ada penyambutan. Puluhan lelaki mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang. Sebagian diantaranya membawa senapan lantak dan sumpit. Senapan lantak biasa digunakan untuk berburu binatang. Hari itu, senapan dibunyikan sebagai tanda penyambutan. Bunyinya menggelegar dan keras. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil ruh leluhur, dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.
Rombongan tamu disambut para tetua adat. Sang kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun tak kena, anjing harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah. Setelah itu, juga ada pelemparan ayam ke rombongan. Ayam, sama nasibnya dengan anjing. Upacara ini disebut naburi.
Setelah itu, tamu dilempar dengan telur ayam. Menurut kepercayaan, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ihlas. Kalau pecah, berarti tamu datang dengan ihlas. Beras putih dan beras kuning dilempar ke tamu, sambil dibacakan mantra. Rombongan diberi minuman tuak dari pohon niru dicampur kulit pohon Pakak. Kulit pohon ini memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Cara membuatnya, kulit pohon itu harus dikeringkan terlebih dahulu.
Tuak yang terletak dibumbung bambu itu, diedarkan para gadis kembang desa ke segenap tamu. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak yang diedarkan. Inilah minuman penyambutan. Ibaratnya, inilah minuman welcome drink, seperti ketika kita masuk ke cafe atau tempat entertainment lainnya.
Selepas upacara penyambutan di batas perkampungan, rombongan tamu masuk ke perkampungan. Masyarakat menyalami semua tamu. Kami diantar memasuki tempat upacara yang berada di tengah perkampungan. Perkampungan itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut rumah Betang. Rumah ini berbentuk rumah panggung besar dan memanjang. Semua bangunan dari kayu. Bentuk atap menyerupai limas segitiga. Rumah dihuni puluhan kepala keluarga. Biasanya, di rumah inilah, semua pola hidup komunal dan kebudayaan Dayak, merepresentasikan dirinya.
Sebagian besar rumah di kampung Sebujit dihuni satu keluarga. Rumah terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, hiasan rumah, tak lagi menampak ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola. Siaran TV3 Malaysia, lebih mudah ditangkap daripada TVRI.
Tempat upacara berada di tengah kampung. Di sana ada rumah adat. Namanya, rumah balug. Rupa rumah adat ini bentuknya bulat. Lebarnya sekira 10 meter dengan tinggi 15 meter dari tanah. Rumah ditopang dari kayu belian bulat yang dibenamkan ke tanah. Ukuran kayu sebesar 10-15 cm. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon yang telah dibuat undakan dengan pegangan dua batang bambu. Atap rumah mengerucut.
Di rumah adat inilah, berbagai benda pusaka disimpan. Di lantai bawah ada empat gong dengan diameter sekira 75 cm. Pada tengah rumah terdapat simlog. Ini seperti beduk. Bentuknya memanjang sekitar tujuh meter. Diameter bedug sekitar 30 cm. Bedug terbuat dari kulit babi hutan. Alat pemukulnya dari rotan-rotan kecil sebesar ibu jari.
Nah, pada bubungan rumah inilah terssimpan tengkorak hasil mengayau para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak berukuran 40x30x20 cm. Di dalamnya juga berisi berbagai kalung dari taring babi.
Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki air yang telah diberi mantera. Tamu yang masuk tempat upacara diperciki dengan daun anjuang. Fungsi dari air dan daun anjuang sebagai talak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.
Di sekitar rumah adat ini, ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tamu disambut dengan tarian. Warga dan tamu menari bersama, sambil mengitari rumah adat. Tetua adat menyanyikan lagu dan membaca matra. Tarian itu bernama mamiamis. Ini tarian bagi Ngngiu atau pembela tanah leluhur. Tarian secara bersama ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur. Yang baru datang dari mengayau. Arti dari tari ini adalah, tari perdamaian. Lalu, para tetua adat naik rumah balug. Simlog dipukul. Mercon pun dinyalakan. Bunyi dua benda itu bertujuan memanggil arwah leluhur. Ini pertanda ritual upacara Nyobeng telah dimulai.
Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi yang beragama Islam, diberikan makanan khusus. Tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.
Setelah makan bersama, tamu dipersilahkan meninggalkan area rumah adat dan menuju rumah penduduk. Setiap rumah penduduk boleh untuk ditempati. Mereka terbuka dengan semua tamu yang datang. Penduduk juga menjamu tamu yang datang ke rumah mereka dengan berbagai suguhan. Sebagian besar rumah penduduk menyediakan penganan kecil di ruang tamunya. Penduduk juga menyembelih ayam bagi masyarakat muslim yang datang ke rumahnya. Ayam dianggap makanan dan lauk “netral” bagi kaum muslim. Tamu berisitirahat sebentar dan menaruh barang di rumah penduduk. Setelah mandi atau membersihkan badan, tamu beristirahat sejenak.
Sementara itu, sebagian penduduk laki-laki berjalan menyusuri hutan di sekitar perkampungan. Mereka mencari bambu hutan. Batang bambu selebar 10 cm digotong beramai-ramai ke rumah adat. Bambu itu diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau di tangan.
Mandau senjata khas masyarakat Dayak, serupa pedang. Di tengah mandau biasanya ada ukiran dan motif tertentu. Gagang mandau biasanya dibuat dari tulang atau kayu. Pada gagang mandau, biasanya diberi hiasan tertentu. Hiasan itu berupa rambut manusia, gigi manusia dan lainnya. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang ini, jarang sekali dilakukan.
Ketika ketua adat menganggukkan kepala, sebagai tanda kegiatan bisa dimulai, seseorang maju ke depan. Ia meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Suara mandau bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya. Ia mulai mengambil ancang-acang. Gagang mandau di pegang dengan dua tangannya. Setelah menarik napas, ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong. Orang bertepuk tangan dengan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Namun, ada juga beberapa orang tidak bisa memotong bambu dengan sekali tebas. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan dan kekuatan bagi para lelaki. Menetak bambu hingga terputus, merupakan lambang kejantanan.
Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji. Sesajian itu harus dioles dengan darah ayam dari sayapnya. Darah ayam juga dipercikkan ke berbagai tempat. Yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat dan perkampungan.
Menjelang sore, ketua adat melakukan pemanggilan ruh. Ruh adat harus diberitahu sebelumnya, karena pelaksanaan adat harus segera dimulai.
Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk ruh baik, dibuat 7 sesaji. dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak yang berada di bubungan rumah balug.
Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan, dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Usai mengoleskan darah pada tengkorak, kotak itu dimasukkan lagi pada kotak dan disimpan.
Acara dilanjutkan dengan memotong anjing. Anjing dewasa itu berwarna hitam. Pemotongan anjing dimasukkan untuk menolak ruh jahat. Setelah dipotong, darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Ketika bakal dipotong, anjing tidak mengonggong sama sekali. Anjing itu diam saja. Dia seolah tahu, nasibnya untuk persembahan suatu ritual yang manusia jalankan. Darah anjing diusapkan pada tiang, dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.
Acara selanjutnya adalah mandi-mandi. Upacara ini diikuti segenap kawula. Tua, muda, dan kanak. Tujuannya membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang. Daun ini dipercaya sebagai daun yang punya kekuatan magis. Daun anjuang biasa dipakai dalam berbagai upacara adat, kaum Dayak.
Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Babi juga diambil hatinya dan dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara, berpantang untuk berkata kotor. Bersikap kasar pada perempuan. Tidak berhubungan badan dengan perempuan. Tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Bila orang melakukan itu, dipercaya bisa membawa malapetaka.
Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, sebagian besar masyarakat tidak mengikuti upacara ritual itu. Yang mengikuti biasanya hanya orang tua dan tetua adat. Kawula muda dan kanak, lebih tertarik datang ke lapangan dan menonton pertujukkan musik dangdut. Di tengah lapangan tersebut, juga bertebaran permainan judi. Ada judi kolok-kolok, dokok dan lainnya.
Orkes dangdut dimainkan para pemuda setempat. Suara penyanyi dan peralatannya biasa saja. Bahkan, kalau boleh dibilang, hancur lebur. Meski demikian, itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan. Grup band menyediakan lima orang perempuan, untuk menemani orang yang ingin menari. Caranya, setiap yang ingin berjoget, mesti membayar tiket. Cukup dengan membayar Rp 5.000 untuk setiap lagunya. Dengan tiket itu, ia bisa mengajak seorang penari di orkes tersebut. Bagi yang tidak kebagian penari, mereka harus aktif dan pintar mencari penonton perempuan yang bertebaran di sekitar acara. Ketika ada kesepakatan, penonton perempuan akan mengikuti ajakan si pemegang tiket.
Setiap orang bolah memborong tiket. Berapapun ia mau. Asal dengkul kuat saja mengikuti alunan musik dangdut, hingga pagi. Uniknya, meski terjadi persaingan dalam mendapatkan teman joget atau ketika sedang berjoget di sekitar arena tersebut, tidak ada keributan atau perkelahian layaknya dalam suatu pentas musik. Orang akan berpikir seribu kali, bila berbuat rusuh atau berkelahi. Pasalnya? Siapa yang melakukan perkelahian atau berbuat rusuh, harus mengganti seluruh biaya pesta adat. Jumlahnya mencapai puluhan juta. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah, orang tidak berani berbuat sembarangan.
Kampung di tengah hutan itu, terus mengeliat. Mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih. Namun, ada juga yang mulai terkikis.□
Sumber : http://muhlissuhaeri.blogspot.com