Oleh Reviono Ana Rima
Pendahuluan
Dunia pada milenium ke tiga ini serasa semakin kecil akibat mudahnya transportasi dan komunikasi. Pada tahun 2000 tercatat 692 juta orang berpergian lintas negara, diperkirakan pada tahun 2010 akan mencapai 1,047 milyar, dan pada tahun 2020 mencapai sekitar 1,602 milyar. Selain peningkatan jumlah yang hampir 3 kali lipat dalam 20 tahun ke depan, tampaknya akan terjadi perubahan karakteristik dengan peningkatan yang tajam di Asia dan Eropa. Hal tersebut akan berdampak pada kesehatan karena pajanan terhadap penyakit infeksi akan semakin tinggi dan akan lebih mudah untuk membawa patogen ke berbagai negara.
Studi pada wisatawan dari negara maju ke negara berkembang dan Eropa Timur menunjukkan bahwa lebih dari sepertiganya mengalami sakit saat berpergian. Penyakit yang tersering adalah diare dan common cold. Pada setiap 2 minggu perjalanan mereka akan kehilangan 3 hari karena sakit. Dua puluh persen dari mereka akan tetap sakit sepulang ke negara asalnya dan 10% akhirnya pergi ke dokter untuk berobat. Peningkatan jumlah wisatawan antar negara akan diikuti peningkatan risiko terkena penyakit infeksi.
Sejak bulan Desember 2003 outbreak highly pathogenic avian influenza terutama influenza A (H5N1) pada unggas telah dilaporkan di beberapa negara di Asia. Sampai dengan 12 Januari 2006, total kasus avian influenza (AI) yang telah teridentifikasi pada manusia mencapai 160 kasus 93 kasus dari Vietnam, 22 Thailand, 18 Turki, 16 Indonesia, 7 China, dan 4 Kamboja. Wisatawan yang akan berkunjung ke negara yang telah terjangkit cukup dibuat was-was karenanya. Di sinilah kedokteran wisata diharapkan banyak berperan. Meskipun banyak informasi resmi terbaru dari berbagai media namun hal itu tidak dapat menggantikan hubungan personal dengan seorang dokter yang lebih mempunyai pengetahuan terhadap masalah kesehatan yang akan mereka hadapi.
Perkembangan Kedokteran Wisata
Wisata internasional telah menjadi industri yang berkembang pesat. Di era globalisasi ini semakin banyak wisatawan berpergian ke negara berkembang yang seringkali tidak mempunyai sistem penjernihan air yang sehat dan program kontrol penyakit yang memadai. Pasien yang akan berwisata ke daerah tersebut sering meminta konsultasi dengan dokternya mengenai persiapan spesifik untuk menghindari sakit dan saran kesehatan sebelum berangkat. Dalam hal ini dokter pada pelayanan primer cukup berperan akan tetapi dengan semakin pesatnya perkembangan permasalahan dan informasi yang semakin spesialistik dirasa perlu adanya ahli yang berdedikasi di bidang kedokteran wisata untuk dapat menangani kasus secara individual dalam berbagai keperluan perjalanan yang berbeda.
Penelitian CDC (Center for Disease Control) menemukan bahwa para dokter pada pelayanan primer maupun staf kedutaan tidak dapat menangani calon wisatawan dengan benar. Kedokteran wisata adalah suatu bidang keahlian interdisipliner yang telah berkembang cepat sebagai respons terhadap kebutuhan berwisata di seluruh dunia. Ilmu Kedokteran Wisata mempelajari berbagai aspek berwisata dan kaitannya dengan kesehatan, temasuk kebugaran dalam perjalanan dan risiko sakit karena perjalanan tersebut sebagai implikasi pajanan terhadap berbagai penyakit infeksi.
Penguasaan Ilmu Kedokteran Wisata harus meliputi pemahaman epidemiologi, kedokteran preventif dan sosial serta aspek kuratif secara lengkap. Akhir-akhir ini perkembangan Ilmu Kedokteran Wisata sebagai suatu disiplin telah diakui. Strategi baru pemberantasan penyakit infeksi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Inggris di antaranya menetapkan suatu kebutuhan terhadap spesialis di bidang kedokteran wisata. Perkembangan organisasi yang penting yaitu telah berdirinya klinik kesehatan wisata di rumah sakit pendidikan dan pelayanan primer. Klinik tersebut melayani pemeriksaan risiko pra-wisata dan memberikan pelayanan konsultasi terutama nasehat yang berhubungan dengan peningkatan risiko terkena penyakit dan kemungkinan infeksi saat berwisata.
Pemeriksaan pra-wisata yang baik, khususnya bagi wisatawan yang memang telah mempunyai penyakit tertentu sebelumnya, mungkin dapat mencegah kejadian sakit dan juga kematian. Sebagian klinik wisata juga memberikan pelayanan kesehatan pasca-wisata bagi mereka yang masih atau jatuh sakit setelah pulang berwisata atau mereka yang ingin melakukan cek kesehatan. Pemeriksaan risiko pra-wisata harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti:
1. Rincian perjalanan:
• Negara dan daerah tujuan
• Urban, rural atau hutan
• Maksud / tujuan wisata
• Cara berwisata
• Tipe akomodasi
• Lama tinggal
2. Pertimbangan khusus:
• Aktivitas tertentu
• Kebutuhan tertentu
• Penyakit risiko tinggi tertentu
• Wisata sebelumnya
• Ada tidaknya fasilitas kesehatan di tempat tujuan
3. Riwayat kesehatan secara rinci.
4. Obat-obatan yang sedang dipakai
5. Riwayat imunisasi
6. Kebutuhan imunisasi dan profilaksis malaria.
Problem kesehatan yang sering timbul dalam berwisata antara lain: diare, malaria, infeksi saluran napas, hepatitis A dan B, infeksi kulit, penyakit infeksi yang ditularkan lewat seksual Bidang kedokteran wisata bukanlah bidang ilmu yang baru. Dahulu pada saat Eropa, Meksiko dan pulau Karibia menjadi tempat kunjungan utama wisatawan Amerika, para dokter di Amerika telah dipersiapkan untuk menangani permasalahan kesehatan mereka dengan mempelajari ilmu penyakit tropik. Saat ini tujuan wisata mereka semakin bervariasi seperti ke Asia, Amerika Latin, dan Afrika sehingga para dokter di sana akan menghadapi masalah yang makin beragam yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Kedokteran wisata berkembang menjadi ilmu yang kompleks karena perubahan pola penyakit yang terus menerus serta makin meningkatnya wisatawan dari waktu ke waktu. Rekomendasi yang diberikan juga dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga selalu dibutuhkan rujukan terbaru.
Dewasa ini terdapat perkembangan yang sangat dramatik dalam pelayanan kesehatan bagi para wisatawan. Pendidikan bagi para dokter di bidang ini juga terus ditingkatkan; salah satu contoh adalah The International Society of Travel Medicine (ISTM), suatu kelompok profesional dari berbagai penjuru dunia yang bertujuan untuk memberi pendidikan kedokteran berkelanjutan bagi para dokter dan penyuluhan kesehatan bagi wisatawan di bidang kedokteran wisata. Organisasi ini mempublikasi daftar klinik wisata yang dapat dilihat melalui internet pada situs mereka http:www.istm.org. Di Amerika Serikat badan CDC setiap tahun mempublikasikan Health Information for International Travel. Di Indonesia juga terdapat Perhimpunan Kedokteran Wisata.
Penyebaran H5N1
Outbreak highly pathogenic avian influenza pada Desember 2003 dilaporkan di peternakan di Asia Tenggara. Pada bulan Juli 2004 dilaporkan merebak lagi dan telah mengenai peternakan di Vietnam, Thailand, China, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Turki, Rusia, Romania, dan Kazakhstan. Selanjutnya dilaporkan dari Kroasia dan Mongolia ditemukan AI pada burung liar yang bermigrasi antar negara. Kasus ini sangat penting karena diperkirakan bertanggung jawab atas penyebaran AI antar negara. Sampai dengan 12 Januari 2006, total kasus AI yang telah teridentifikasi pada manusia mencapai 160 kasus, kira-kira separuhnya adalah kasus fatal.
Jumlah kasus kumulatif terbaru dapat diakses pada http://www.who.int influenza/en/. Hampir seluruh kasus pernah kontak langsung dengan ternak terinfeksi AI yang masih hidup dan pada beberapa kasus adalah keluarga yang kontak dengan penderita AI. Terdapat indikasi virus H5N1 akan meluas dari Asia Tenggara ke seluruh dunia. Outbreak AI di Asia disebabkan oleh virus H5N1, suatu subtipe virus Influenza A yang menyebabkan penyakit serius pada ternak domestik. Ancaman virus H5N1 akan menjadi besar apabila virus tersebut telah mampu menyebar dari manusia ke manusia. Para ahli meramalkan kemungkinan terjadinya mutasi virus yang dapat menyebabkan penyebaran dari manusia ke manusia.
Transmisi seperti itu sampai saat ini belum dipastikan. Sedikit kasus yang terbatas mungkin sudah terjadi seperti transmisi kontak erat dari anak yang sakit kepada ibunya pada bulan September 2004 di Thailand, atau kasus dari Vietnam yang diduga melalui transmisi antar manusia; tetapi kasus seperti ini masih sangat jarang dan tidak menular ke lain orang lagi. Penyebaran antar manusia menyebabkan suatu pandemi dan mengharuskan dunia untuk waspada, untuk menyiapkan berbagai langkah seperti penggunaan metode karantina, persediaan obat antivirus dan tindakan yang meliputi:
• Identifikasi kasus secara dini dan surveilans kasus baru yang efisien.
• Tersedia obat antivirus dan kelancaran pengiriman kepada grup target.
• Institusi yang dapat bergerak cepat dan badan yang mempunyai wewenang untuk -mengawasi aturan dan pelaksanaan karantina terhadap populasi target.
• Kerjasama internasional terhadap strategi di atas termasuk pembatasan berwisata dan mungkin yang paling penting kerjasama dalam persediaan obat.
Proteksi Wisatawan Terhadap H5N1
Sebaiknya kita waspada tetapi tidak overacting. Wisatawan umumnya tidak menyukai berkunjung ke peternakan unggas, sehingga risiko sesungguhnya bagi wisatawan adalah sangat rendah. Tidak ada alasan untuk tidak berpergian hanya karena takut terhadap AI. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tidak merekomendasikan larangan berpergian ke negara yang telah terjangkit H5N1 dan tidak merekomendasikan penggunaan alat pelindung diri seperti respirator, sarung tangan, atau masker bedah sebagai proteksi terhadap AI, kecuali pada petugas kesehatan. Sarung tangan harus dipakai oleh orang yang membersihkan benda- benda yang secara potensial terkontaminasi.
Suatu entry screening (seleksi pendatang) di pintu masuk suatu negara telah dibahas. Mereka memperhitungkan masa inkubasi AI, lama penerbangan antara negara asal ke negara tujuan dan analisis tentang progresivitas gejala dari asimpto- matis sampai muncul, sehingga diharapkan orang yang mungkin terinfeksi dari negara yang terjangkit wabah dapat dicegah masuk ke negara yang belum terkena wabah. Akan tetapi metode ini dianggap tidak efektif, karena masa inkubasi influenza lebih lama dibanding waktu penerbangan antar negara tersebut, sehingga penderita terinfeksi tidak terdeteksi pada screening tersebut.
Di samping itu apabila ditemukan orang yang terinfeksi pada penerbangan tersebut bukan tidak mungkin terdapat orang lain yang terinfeksi tetapi tanpa gejala, sehingga idealnya seluruh penumpang tersebut harus dikarantina. Hal ini perlu dipertimbangkan lebih dalam karena sensitivitas screening ini adalah rendah. Beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh calon wisatawan ke negara terjangkit H5N1 adalah:
1. Apakah pemberian imunisasi influenza dapat mencegah AI? Imunisasi flu setahun sekali tidak memberikan proteksi terhadap strain baru Avian flu yang berasal dari Asia ini, tetapi vaksinasi Flu adalah ide yang baik untuk memproteksi flu lainnya. Di Ontario vaksinasi flu tidak dikenai biaya.
2. Apakah yang harus dilakukan untuk melindungi diri terhadap AI? Wisatawan terutama yang sering berpergian ke daerah endemis H5N1 pada populasi burung harus menghindari kontak terhadap ternak atau permukaan yang mungkin telah terkontaminasi ternak, feses maupun sekretnya. Memakan produk ternak yang telah dimasak dengan baik adalah aman. Sering-seringlah mencuci tangan.
3. Apakah obat antivirus dapat mencegah AI? Haruskah wisatawan membawa persediaan obat antivirus? Obat anti virus seperti oseltamivir dan zanamivir telah menunjukkan aktivitas yang bagus terhadap hampir semua strain H5N1, tetapi pemberian obat tersebut untuk persediaan maupun pencegahan individu tidak dianjurkan.
Mayo Clinic`s Travel & Tropical Medicine Clinic memberikan saran mengenai AI bagi wisatawan sebagai berikut:
1. Penting bagi wisatawan untuk mengetahui gejala AI. Gejala tersebut mirip flu biasa seperti demam, batuk, nyeri menelan dan atau nyeri otot. Kadang gejala pernapasan disertai diare, konjungtivitis atau pneumonia. Wisatawan harus segera memeriksakan diri ke dokter apabila merasakan gejala tersebut. Penting untuk dimengerti bahwa 15-25% wisatawan terkena infeksi virus di saluran napas saat berwisata, sehingga gejala di atas mungkin akibat influenza biasa dan tidak selalu berarti terkena AI. Wisatawan tidak perlu panik tetapi tetap diharuskan untuk memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala tersebut setelah berwisata ke daerah terjangkit H5N1.
2. Saat ini belum ditemukan vaksin flu burung. Berdasarkan panduan CDC and WHO: wisatawan yang berpergian ke daerah terjangkit tidak perlu mempersiapkan diri dengan membawa atau memakai obat antivirus. Saat ini pemberian profilaksis obat anti virus bagi wisatawan tidak direkomendasikan. Hal ini mungkin berubah bila terdapat perkembangan situasi lebih lanjut.
3. Metode pencegahan penularan H5N1 meliputi: menghindari kontak dengan pasar unggas, menghindari makanan yang berasal dari ternak atau produk ternak yang tidak dimasak atau dimasak kurang matang, termasuk hidangan yang terbuat dari darah ternak yang belum dimasak.
4. Wisatawan harus sering mencuci tangan dan menggunakan gel alkohol untuk tangan untuk menjaga higiene tangan.
5. Wisatawan harus membawa masker N95 yang dapat digunakan apabila di negara tujuan terjadi outbreak infeksi saluran napas.
6. Tetap mengikuti informasi situasi global selama berwisata melalui media atau website CDC: http://www.cdc.gov/travel/ atau WHO: http://www.who.int/csr/don/en/.
Meskipun risiko infeksi terhadap wisatawan di area yang terjangkit AI sangat rendah, pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri bekerjasama dengan WHO mengeluarkan advis bagi para wisatawan ke daerah terjangkit AI, yang dapat diakses melalui http://www.smartraveller. gov.au/. Warga Australia yang akan berpergian dalam waktu singkat ke daerah terjangkit AI mempunyai risiko terinfeksi lebih rendah, tetapi tetap disarankan untuk mendiskusikan risiko AI dengan dokternya sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan rutin pra-wisata. Di sini kedokteran wisata diharapkan mengambil peran.
Pencegahan Penyebaran AI Antar Negara
Untuk mencegah penyebaran suatu wabah infeksi antar negara diperlukan respons yang memadai. Dari penelitian respons negara-negara Eropa terhadap 5 wabah, salah satunya adalah Influenza H5N1. Setidaknya 4 hal diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran antar negara yaitu: deteksi munculnya wabah, koordinasi antar negara, rencana pendanaan dan laporan lengkap surveilans maupun klinis. Kegagalan mendeteksi suatu wabah yang bersifat nasional akan menyebabkan negara lain terjangkit. Suatu kasus dapat saja awalnya bersifat rumor atau tidak dapat dibuktikan, tetapi dengan suatu penyelidikan dan data surveilans yang lengkap seharusnya dapat dibuat laporan resmi yang bersifat internasional.
Suatu perencanaan kewaspadaan di tingkat lokal (negara) perlu dipersiapkan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, yang didukung dengan rencana pendanaan untuk melakukan semua kegiatan tersebut. Suatu surveilans yang baik akan memberi arahan kepada tingkat pelaksana seperti public health (puskesmas) dan juga industri agar tidak terlambat mengantisipasinya. Meskipun kejadian infeksi dari manusia sangat terbatas, awak pesawat harus mengerti dan waspada terhadap gejala AI. Penumpang dari daerah terjangkit AI yang menderita demam dan gejala respirasi, meskipun ternyata hanya karena infeksi pernapasan biasa, harus dievaluasi oleh petugas kesehatan. Yang perlu dilakukan bila awak pesawat atau personel lain mengetahui ada penumpang dengan gejala AI setelah berwisata dari daerah terjangkit AI adalah sebagai berikut:
• Harus mengusahakan supaya penumpang tersebut mendapat tempat duduk sebisa mungkin terpisah dari penumpang lain (3-6 feet).
• Penumpang tersebut perlu memakai masker untuk mengurangi jumlah droplet ke udara.
• Awak pesawat harus memakai sarung tangan disposibel bila melakukan kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh penumpang tersebut.
• Sebelum mendarat kapten pesawat harus melaporkan terlebih dahulu ke karantina perihal penumpang sakit.
• Petugas karantina akan mengatur untuk menyediakan bantuan medis saat pesawat mendarat dan memberitahukan Departemen Kesehatan. Petugas karantina akan bekerja- sama dengan maskapai penerbangan dan Departemen Kesehatan untuk membantu transportasi medis, kontrol penyakit, aktivitas surveilens dan prosedur desinfeksi pesawat.
Kesimpulan
Peningkatan jumlah wisatawan antar negara akan diikuti peningkatan risiko terkena penyakit infeksi Kedokteran wisata adalah suatu keahlian interdisipliner yang telah berkembang cepat sebagai respons terhadap kebutuhan berwisata di seluruh dunia Dalam hal keterkaitannya dengan Avian Influenza, kedokteran wisata berperan pada pelayanan pra-wisata maupun pasca-wisata Pada pelayanan pra-wisata selain pemeriksaan risiko pra-wisata, juga penting adanya pelayanan konsultasi terutama advis yang berhubungan dengan peningkatan risiko terkena penyakit dan kemungkinan infeksi saat berwisata.
Kepustakaan
-------, Guidelines and Recommendations Interim Guidance for Airline Flight Crews and Persons Meeting Passengers Arriving from Areas with Avian Influenza, tersedia di: http://www.cdc.gov
-------, Threat of Avian Influenza Pandemic Grows, but People Can Take Precautions. Available at
-------, Travel Medicine. 2005 The Ohio State University Medical Center, tersedia di: http://www. medicalcenter.osu.edu
-------, Travel Medicine: Helping Patients Prepare for Trips Abroad, tersedia di http://www.aafp.org
-------. Cruise Ship/Air. Guidelines and Recommendations. Interim Guidance for Airline Cleaning Crews and baggage/Pac, tersedia di: http://www.cdc.gov
-------. Travel & Tropical Medicine Clinic at Mayo Clinic in Rochester, Minn, tersedia di : http://www.mayoclinic.org/travelclinic-rst.
--------, tersedia di: http://www.medicalnewstoday.com
Aditama TY. Penyakit Paru pada Wisatawan.IDI. Jakarta, 2003
Handszuh H. Tourism Trends and Patterns. European Conference on Travel Medicine. Venice: Cini Foundation, 25-27 March 1998, tersedia di http://www.ectm5.org
Mac Lehosel L, Brard H, Camaroni I. Communicable Disease Outbreaks Involving More Than One Country: Systems Approach to Evaluating the Response. BMJ 2001 : 232 : 861-3
Mardh PA. What is Travel Medicine? Content, Current Position, Tools, and Tasks. J Travel Med 2002; 9:34-47.
Mawhorter SD. Travel Medicine for the Primary Care Physician, tersedia di: http://www.clevelandclinicmeded.com
Paynter W., Travel Medicine. Clinician Reviews. Tersedia di: http://www.findarticles.com
Pitman RJ, Cooper BS, Trotter CL, et al. Entry Screening for Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) or Influenza: Policy Evaluation. BMJ 2005: 331 : 1242-3
Spira A. Avian Influenza (The Bird Flu), tersedia di: http://www.healthytravel.com
Srisamran K, Bovornkitti S. Travel Medicine: Concepts and Implementation. J Environ Med 2001; 3(1): 1-3.
Ung Chusak K, Auewarakal P, Dowel SF. Probable Person to Person Transmission of Avian Influenza A (H5N1). N Engl J Med 2005;352:333-40
Zuckerman JN. Recent Developments: Travel Medicine. BMJ 2002;325: 260-4
__________
Reviono Ana Rima adalah Staf Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 152, 2006.
Sumber :http://www.kalbe.co.id
Pendahuluan
Dunia pada milenium ke tiga ini serasa semakin kecil akibat mudahnya transportasi dan komunikasi. Pada tahun 2000 tercatat 692 juta orang berpergian lintas negara, diperkirakan pada tahun 2010 akan mencapai 1,047 milyar, dan pada tahun 2020 mencapai sekitar 1,602 milyar. Selain peningkatan jumlah yang hampir 3 kali lipat dalam 20 tahun ke depan, tampaknya akan terjadi perubahan karakteristik dengan peningkatan yang tajam di Asia dan Eropa. Hal tersebut akan berdampak pada kesehatan karena pajanan terhadap penyakit infeksi akan semakin tinggi dan akan lebih mudah untuk membawa patogen ke berbagai negara.
Studi pada wisatawan dari negara maju ke negara berkembang dan Eropa Timur menunjukkan bahwa lebih dari sepertiganya mengalami sakit saat berpergian. Penyakit yang tersering adalah diare dan common cold. Pada setiap 2 minggu perjalanan mereka akan kehilangan 3 hari karena sakit. Dua puluh persen dari mereka akan tetap sakit sepulang ke negara asalnya dan 10% akhirnya pergi ke dokter untuk berobat. Peningkatan jumlah wisatawan antar negara akan diikuti peningkatan risiko terkena penyakit infeksi.
Sejak bulan Desember 2003 outbreak highly pathogenic avian influenza terutama influenza A (H5N1) pada unggas telah dilaporkan di beberapa negara di Asia. Sampai dengan 12 Januari 2006, total kasus avian influenza (AI) yang telah teridentifikasi pada manusia mencapai 160 kasus 93 kasus dari Vietnam, 22 Thailand, 18 Turki, 16 Indonesia, 7 China, dan 4 Kamboja. Wisatawan yang akan berkunjung ke negara yang telah terjangkit cukup dibuat was-was karenanya. Di sinilah kedokteran wisata diharapkan banyak berperan. Meskipun banyak informasi resmi terbaru dari berbagai media namun hal itu tidak dapat menggantikan hubungan personal dengan seorang dokter yang lebih mempunyai pengetahuan terhadap masalah kesehatan yang akan mereka hadapi.
Perkembangan Kedokteran Wisata
Wisata internasional telah menjadi industri yang berkembang pesat. Di era globalisasi ini semakin banyak wisatawan berpergian ke negara berkembang yang seringkali tidak mempunyai sistem penjernihan air yang sehat dan program kontrol penyakit yang memadai. Pasien yang akan berwisata ke daerah tersebut sering meminta konsultasi dengan dokternya mengenai persiapan spesifik untuk menghindari sakit dan saran kesehatan sebelum berangkat. Dalam hal ini dokter pada pelayanan primer cukup berperan akan tetapi dengan semakin pesatnya perkembangan permasalahan dan informasi yang semakin spesialistik dirasa perlu adanya ahli yang berdedikasi di bidang kedokteran wisata untuk dapat menangani kasus secara individual dalam berbagai keperluan perjalanan yang berbeda.
Penelitian CDC (Center for Disease Control) menemukan bahwa para dokter pada pelayanan primer maupun staf kedutaan tidak dapat menangani calon wisatawan dengan benar. Kedokteran wisata adalah suatu bidang keahlian interdisipliner yang telah berkembang cepat sebagai respons terhadap kebutuhan berwisata di seluruh dunia. Ilmu Kedokteran Wisata mempelajari berbagai aspek berwisata dan kaitannya dengan kesehatan, temasuk kebugaran dalam perjalanan dan risiko sakit karena perjalanan tersebut sebagai implikasi pajanan terhadap berbagai penyakit infeksi.
Penguasaan Ilmu Kedokteran Wisata harus meliputi pemahaman epidemiologi, kedokteran preventif dan sosial serta aspek kuratif secara lengkap. Akhir-akhir ini perkembangan Ilmu Kedokteran Wisata sebagai suatu disiplin telah diakui. Strategi baru pemberantasan penyakit infeksi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Inggris di antaranya menetapkan suatu kebutuhan terhadap spesialis di bidang kedokteran wisata. Perkembangan organisasi yang penting yaitu telah berdirinya klinik kesehatan wisata di rumah sakit pendidikan dan pelayanan primer. Klinik tersebut melayani pemeriksaan risiko pra-wisata dan memberikan pelayanan konsultasi terutama nasehat yang berhubungan dengan peningkatan risiko terkena penyakit dan kemungkinan infeksi saat berwisata.
Pemeriksaan pra-wisata yang baik, khususnya bagi wisatawan yang memang telah mempunyai penyakit tertentu sebelumnya, mungkin dapat mencegah kejadian sakit dan juga kematian. Sebagian klinik wisata juga memberikan pelayanan kesehatan pasca-wisata bagi mereka yang masih atau jatuh sakit setelah pulang berwisata atau mereka yang ingin melakukan cek kesehatan. Pemeriksaan risiko pra-wisata harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti:
1. Rincian perjalanan:
• Negara dan daerah tujuan
• Urban, rural atau hutan
• Maksud / tujuan wisata
• Cara berwisata
• Tipe akomodasi
• Lama tinggal
2. Pertimbangan khusus:
• Aktivitas tertentu
• Kebutuhan tertentu
• Penyakit risiko tinggi tertentu
• Wisata sebelumnya
• Ada tidaknya fasilitas kesehatan di tempat tujuan
3. Riwayat kesehatan secara rinci.
4. Obat-obatan yang sedang dipakai
5. Riwayat imunisasi
6. Kebutuhan imunisasi dan profilaksis malaria.
Problem kesehatan yang sering timbul dalam berwisata antara lain: diare, malaria, infeksi saluran napas, hepatitis A dan B, infeksi kulit, penyakit infeksi yang ditularkan lewat seksual Bidang kedokteran wisata bukanlah bidang ilmu yang baru. Dahulu pada saat Eropa, Meksiko dan pulau Karibia menjadi tempat kunjungan utama wisatawan Amerika, para dokter di Amerika telah dipersiapkan untuk menangani permasalahan kesehatan mereka dengan mempelajari ilmu penyakit tropik. Saat ini tujuan wisata mereka semakin bervariasi seperti ke Asia, Amerika Latin, dan Afrika sehingga para dokter di sana akan menghadapi masalah yang makin beragam yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Kedokteran wisata berkembang menjadi ilmu yang kompleks karena perubahan pola penyakit yang terus menerus serta makin meningkatnya wisatawan dari waktu ke waktu. Rekomendasi yang diberikan juga dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga selalu dibutuhkan rujukan terbaru.
Dewasa ini terdapat perkembangan yang sangat dramatik dalam pelayanan kesehatan bagi para wisatawan. Pendidikan bagi para dokter di bidang ini juga terus ditingkatkan; salah satu contoh adalah The International Society of Travel Medicine (ISTM), suatu kelompok profesional dari berbagai penjuru dunia yang bertujuan untuk memberi pendidikan kedokteran berkelanjutan bagi para dokter dan penyuluhan kesehatan bagi wisatawan di bidang kedokteran wisata. Organisasi ini mempublikasi daftar klinik wisata yang dapat dilihat melalui internet pada situs mereka http:www.istm.org. Di Amerika Serikat badan CDC setiap tahun mempublikasikan Health Information for International Travel. Di Indonesia juga terdapat Perhimpunan Kedokteran Wisata.
Penyebaran H5N1
Outbreak highly pathogenic avian influenza pada Desember 2003 dilaporkan di peternakan di Asia Tenggara. Pada bulan Juli 2004 dilaporkan merebak lagi dan telah mengenai peternakan di Vietnam, Thailand, China, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Turki, Rusia, Romania, dan Kazakhstan. Selanjutnya dilaporkan dari Kroasia dan Mongolia ditemukan AI pada burung liar yang bermigrasi antar negara. Kasus ini sangat penting karena diperkirakan bertanggung jawab atas penyebaran AI antar negara. Sampai dengan 12 Januari 2006, total kasus AI yang telah teridentifikasi pada manusia mencapai 160 kasus, kira-kira separuhnya adalah kasus fatal.
Jumlah kasus kumulatif terbaru dapat diakses pada http://www.who.int influenza/en/. Hampir seluruh kasus pernah kontak langsung dengan ternak terinfeksi AI yang masih hidup dan pada beberapa kasus adalah keluarga yang kontak dengan penderita AI. Terdapat indikasi virus H5N1 akan meluas dari Asia Tenggara ke seluruh dunia. Outbreak AI di Asia disebabkan oleh virus H5N1, suatu subtipe virus Influenza A yang menyebabkan penyakit serius pada ternak domestik. Ancaman virus H5N1 akan menjadi besar apabila virus tersebut telah mampu menyebar dari manusia ke manusia. Para ahli meramalkan kemungkinan terjadinya mutasi virus yang dapat menyebabkan penyebaran dari manusia ke manusia.
Transmisi seperti itu sampai saat ini belum dipastikan. Sedikit kasus yang terbatas mungkin sudah terjadi seperti transmisi kontak erat dari anak yang sakit kepada ibunya pada bulan September 2004 di Thailand, atau kasus dari Vietnam yang diduga melalui transmisi antar manusia; tetapi kasus seperti ini masih sangat jarang dan tidak menular ke lain orang lagi. Penyebaran antar manusia menyebabkan suatu pandemi dan mengharuskan dunia untuk waspada, untuk menyiapkan berbagai langkah seperti penggunaan metode karantina, persediaan obat antivirus dan tindakan yang meliputi:
• Identifikasi kasus secara dini dan surveilans kasus baru yang efisien.
• Tersedia obat antivirus dan kelancaran pengiriman kepada grup target.
• Institusi yang dapat bergerak cepat dan badan yang mempunyai wewenang untuk -mengawasi aturan dan pelaksanaan karantina terhadap populasi target.
• Kerjasama internasional terhadap strategi di atas termasuk pembatasan berwisata dan mungkin yang paling penting kerjasama dalam persediaan obat.
Proteksi Wisatawan Terhadap H5N1
Sebaiknya kita waspada tetapi tidak overacting. Wisatawan umumnya tidak menyukai berkunjung ke peternakan unggas, sehingga risiko sesungguhnya bagi wisatawan adalah sangat rendah. Tidak ada alasan untuk tidak berpergian hanya karena takut terhadap AI. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tidak merekomendasikan larangan berpergian ke negara yang telah terjangkit H5N1 dan tidak merekomendasikan penggunaan alat pelindung diri seperti respirator, sarung tangan, atau masker bedah sebagai proteksi terhadap AI, kecuali pada petugas kesehatan. Sarung tangan harus dipakai oleh orang yang membersihkan benda- benda yang secara potensial terkontaminasi.
Suatu entry screening (seleksi pendatang) di pintu masuk suatu negara telah dibahas. Mereka memperhitungkan masa inkubasi AI, lama penerbangan antara negara asal ke negara tujuan dan analisis tentang progresivitas gejala dari asimpto- matis sampai muncul, sehingga diharapkan orang yang mungkin terinfeksi dari negara yang terjangkit wabah dapat dicegah masuk ke negara yang belum terkena wabah. Akan tetapi metode ini dianggap tidak efektif, karena masa inkubasi influenza lebih lama dibanding waktu penerbangan antar negara tersebut, sehingga penderita terinfeksi tidak terdeteksi pada screening tersebut.
Di samping itu apabila ditemukan orang yang terinfeksi pada penerbangan tersebut bukan tidak mungkin terdapat orang lain yang terinfeksi tetapi tanpa gejala, sehingga idealnya seluruh penumpang tersebut harus dikarantina. Hal ini perlu dipertimbangkan lebih dalam karena sensitivitas screening ini adalah rendah. Beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh calon wisatawan ke negara terjangkit H5N1 adalah:
1. Apakah pemberian imunisasi influenza dapat mencegah AI? Imunisasi flu setahun sekali tidak memberikan proteksi terhadap strain baru Avian flu yang berasal dari Asia ini, tetapi vaksinasi Flu adalah ide yang baik untuk memproteksi flu lainnya. Di Ontario vaksinasi flu tidak dikenai biaya.
2. Apakah yang harus dilakukan untuk melindungi diri terhadap AI? Wisatawan terutama yang sering berpergian ke daerah endemis H5N1 pada populasi burung harus menghindari kontak terhadap ternak atau permukaan yang mungkin telah terkontaminasi ternak, feses maupun sekretnya. Memakan produk ternak yang telah dimasak dengan baik adalah aman. Sering-seringlah mencuci tangan.
3. Apakah obat antivirus dapat mencegah AI? Haruskah wisatawan membawa persediaan obat antivirus? Obat anti virus seperti oseltamivir dan zanamivir telah menunjukkan aktivitas yang bagus terhadap hampir semua strain H5N1, tetapi pemberian obat tersebut untuk persediaan maupun pencegahan individu tidak dianjurkan.
Mayo Clinic`s Travel & Tropical Medicine Clinic memberikan saran mengenai AI bagi wisatawan sebagai berikut:
1. Penting bagi wisatawan untuk mengetahui gejala AI. Gejala tersebut mirip flu biasa seperti demam, batuk, nyeri menelan dan atau nyeri otot. Kadang gejala pernapasan disertai diare, konjungtivitis atau pneumonia. Wisatawan harus segera memeriksakan diri ke dokter apabila merasakan gejala tersebut. Penting untuk dimengerti bahwa 15-25% wisatawan terkena infeksi virus di saluran napas saat berwisata, sehingga gejala di atas mungkin akibat influenza biasa dan tidak selalu berarti terkena AI. Wisatawan tidak perlu panik tetapi tetap diharuskan untuk memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala tersebut setelah berwisata ke daerah terjangkit H5N1.
2. Saat ini belum ditemukan vaksin flu burung. Berdasarkan panduan CDC and WHO: wisatawan yang berpergian ke daerah terjangkit tidak perlu mempersiapkan diri dengan membawa atau memakai obat antivirus. Saat ini pemberian profilaksis obat anti virus bagi wisatawan tidak direkomendasikan. Hal ini mungkin berubah bila terdapat perkembangan situasi lebih lanjut.
3. Metode pencegahan penularan H5N1 meliputi: menghindari kontak dengan pasar unggas, menghindari makanan yang berasal dari ternak atau produk ternak yang tidak dimasak atau dimasak kurang matang, termasuk hidangan yang terbuat dari darah ternak yang belum dimasak.
4. Wisatawan harus sering mencuci tangan dan menggunakan gel alkohol untuk tangan untuk menjaga higiene tangan.
5. Wisatawan harus membawa masker N95 yang dapat digunakan apabila di negara tujuan terjadi outbreak infeksi saluran napas.
6. Tetap mengikuti informasi situasi global selama berwisata melalui media atau website CDC: http://www.cdc.gov/travel/ atau WHO: http://www.who.int/csr/don/en/.
Meskipun risiko infeksi terhadap wisatawan di area yang terjangkit AI sangat rendah, pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri bekerjasama dengan WHO mengeluarkan advis bagi para wisatawan ke daerah terjangkit AI, yang dapat diakses melalui http://www.smartraveller. gov.au/. Warga Australia yang akan berpergian dalam waktu singkat ke daerah terjangkit AI mempunyai risiko terinfeksi lebih rendah, tetapi tetap disarankan untuk mendiskusikan risiko AI dengan dokternya sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan rutin pra-wisata. Di sini kedokteran wisata diharapkan mengambil peran.
Pencegahan Penyebaran AI Antar Negara
Untuk mencegah penyebaran suatu wabah infeksi antar negara diperlukan respons yang memadai. Dari penelitian respons negara-negara Eropa terhadap 5 wabah, salah satunya adalah Influenza H5N1. Setidaknya 4 hal diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran antar negara yaitu: deteksi munculnya wabah, koordinasi antar negara, rencana pendanaan dan laporan lengkap surveilans maupun klinis. Kegagalan mendeteksi suatu wabah yang bersifat nasional akan menyebabkan negara lain terjangkit. Suatu kasus dapat saja awalnya bersifat rumor atau tidak dapat dibuktikan, tetapi dengan suatu penyelidikan dan data surveilans yang lengkap seharusnya dapat dibuat laporan resmi yang bersifat internasional.
Suatu perencanaan kewaspadaan di tingkat lokal (negara) perlu dipersiapkan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, yang didukung dengan rencana pendanaan untuk melakukan semua kegiatan tersebut. Suatu surveilans yang baik akan memberi arahan kepada tingkat pelaksana seperti public health (puskesmas) dan juga industri agar tidak terlambat mengantisipasinya. Meskipun kejadian infeksi dari manusia sangat terbatas, awak pesawat harus mengerti dan waspada terhadap gejala AI. Penumpang dari daerah terjangkit AI yang menderita demam dan gejala respirasi, meskipun ternyata hanya karena infeksi pernapasan biasa, harus dievaluasi oleh petugas kesehatan. Yang perlu dilakukan bila awak pesawat atau personel lain mengetahui ada penumpang dengan gejala AI setelah berwisata dari daerah terjangkit AI adalah sebagai berikut:
• Harus mengusahakan supaya penumpang tersebut mendapat tempat duduk sebisa mungkin terpisah dari penumpang lain (3-6 feet).
• Penumpang tersebut perlu memakai masker untuk mengurangi jumlah droplet ke udara.
• Awak pesawat harus memakai sarung tangan disposibel bila melakukan kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh penumpang tersebut.
• Sebelum mendarat kapten pesawat harus melaporkan terlebih dahulu ke karantina perihal penumpang sakit.
• Petugas karantina akan mengatur untuk menyediakan bantuan medis saat pesawat mendarat dan memberitahukan Departemen Kesehatan. Petugas karantina akan bekerja- sama dengan maskapai penerbangan dan Departemen Kesehatan untuk membantu transportasi medis, kontrol penyakit, aktivitas surveilens dan prosedur desinfeksi pesawat.
Kesimpulan
Peningkatan jumlah wisatawan antar negara akan diikuti peningkatan risiko terkena penyakit infeksi Kedokteran wisata adalah suatu keahlian interdisipliner yang telah berkembang cepat sebagai respons terhadap kebutuhan berwisata di seluruh dunia Dalam hal keterkaitannya dengan Avian Influenza, kedokteran wisata berperan pada pelayanan pra-wisata maupun pasca-wisata Pada pelayanan pra-wisata selain pemeriksaan risiko pra-wisata, juga penting adanya pelayanan konsultasi terutama advis yang berhubungan dengan peningkatan risiko terkena penyakit dan kemungkinan infeksi saat berwisata.
Kepustakaan
-------, Guidelines and Recommendations Interim Guidance for Airline Flight Crews and Persons Meeting Passengers Arriving from Areas with Avian Influenza, tersedia di: http://www.cdc.gov
-------, Threat of Avian Influenza Pandemic Grows, but People Can Take Precautions. Available at
-------, Travel Medicine. 2005 The Ohio State University Medical Center, tersedia di: http://www. medicalcenter.osu.edu
-------, Travel Medicine: Helping Patients Prepare for Trips Abroad, tersedia di http://www.aafp.org
-------. Cruise Ship/Air. Guidelines and Recommendations. Interim Guidance for Airline Cleaning Crews and baggage/Pac, tersedia di: http://www.cdc.gov
-------. Travel & Tropical Medicine Clinic at Mayo Clinic in Rochester, Minn, tersedia di : http://www.mayoclinic.org/travelclinic-rst.
--------, tersedia di: http://www.medicalnewstoday.com
Aditama TY. Penyakit Paru pada Wisatawan.IDI. Jakarta, 2003
Handszuh H. Tourism Trends and Patterns. European Conference on Travel Medicine. Venice: Cini Foundation, 25-27 March 1998, tersedia di http://www.ectm5.org
Mac Lehosel L, Brard H, Camaroni I. Communicable Disease Outbreaks Involving More Than One Country: Systems Approach to Evaluating the Response. BMJ 2001 : 232 : 861-3
Mardh PA. What is Travel Medicine? Content, Current Position, Tools, and Tasks. J Travel Med 2002; 9:34-47.
Mawhorter SD. Travel Medicine for the Primary Care Physician, tersedia di: http://www.clevelandclinicmeded.com
Paynter W., Travel Medicine. Clinician Reviews. Tersedia di: http://www.findarticles.com
Pitman RJ, Cooper BS, Trotter CL, et al. Entry Screening for Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) or Influenza: Policy Evaluation. BMJ 2005: 331 : 1242-3
Spira A. Avian Influenza (The Bird Flu), tersedia di: http://www.healthytravel.com
Srisamran K, Bovornkitti S. Travel Medicine: Concepts and Implementation. J Environ Med 2001; 3(1): 1-3.
Ung Chusak K, Auewarakal P, Dowel SF. Probable Person to Person Transmission of Avian Influenza A (H5N1). N Engl J Med 2005;352:333-40
Zuckerman JN. Recent Developments: Travel Medicine. BMJ 2002;325: 260-4
__________
Reviono Ana Rima adalah Staf Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 152, 2006.
Sumber :http://www.kalbe.co.id