Oleh : Tri Marhaeni
Pendahuluan
Candi-candi di Bumiayu, Muara Enim, Sumatra Selatan, merupakan death monument, artinya monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. Tinggalan monumental itu beserta sistem budayanya benar-benar hilang pula dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumiayu tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Diceritakan pula bahwa wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang.
Penduduk Bumiayu tidak mengenal pula kata “candi” sebelum ada kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di situs tersebut. Kata “candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata “kuil” dari agama Hindu atau Budha. Namun, orang Jawa yang mewarisi puluhan candi-candi itu pun tidak mengenal lagi pengertian dan fungsi candi yang sebenarnya. Mereka menganggap candi sebagai bangunan pemakaman atau penanaman abu jenazah, bukan kuil dewa Hindu atau Budha. R. Soekmono (1974) melalui dissertasinya di Universitas Indonesia membuktikan dengan meyakinkan bahwa apa yang disebut candi itu sebenarnya adalah bangunan kuil dewa sebagaimana yang ada di tanah asalnya, Hindustan.
Selama ditinggalkan oleh pendukungnya, Candi Bumiayu potensial mengalami kerusakan, baik yang disebabkan oleh proses alam maupun tangan manusia. Diperkirakan kerusakannya lebih banyak disebabkan oleh karena tangan manusia. Masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Bumiayu belum menyadari tinggalan tersebut sebagai pusaka warisan leluhurnya yang harus dilestarikan. Sebagai buktinya, digunakannya bata candi, baik polos maupun berelief, untuk bangunan pemakaman dan masjid di desa setempat. Bapak Hasan Husein (60 tahun) mengakui bahwa bata masjid Desa Bumiayu diambil dari sisa bangunan nomor lima.
Candi-candi Bumiayu yang ditemukan dalam keadaan demikian itu sejak tahun 1991 telah diupayakan pemanfaatan dan pengembangannya oleh Pemerintah Republik Indonesia. Upaya tersebut dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan melakukan penelitian intensif sejak tahun 1991. Kemudian dilanjutkan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala dengan melakukan pemugaran sejak tahun 1992. Kini, seiring dengan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Muaraenim merencanakan pemanfaatan dan pengembangannya untuk kepentingan pariwisata dalam kerangka pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, perlu diketahui rambu-rambu hukum serta strategi pemanfaatan dan pengembangannya.
Rambu-Rambu Hukum
Candi Bumiayu yang ketika ditemukan keadaannya merana karena ditinggalkan masyarakat pendukungnya mendorong Pemerintah menguasai dan kemudian melindungi serta memeliharanya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Pasal 13 Ayat 1 bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
Perlindungan dan pemeliharaannya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran (P.P. No. 10 Tahun 1993 Pasal 23 Ayat 1) dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya (P.P. No. 10 Pasal 23 Ayat 2). Khusus untuk pelaksanaan pemugaran diberikan rambu-rambu yang lebih jelas lagi dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 063/U/1995 Pasal 12 Ayat 4 bahwa pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tataletak dengan mempertahankan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Secara hukum telah ada pula upaya pencegahan benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya dari kerusakan oleh tangan manusia. Dalam UU No. 5 Tahun 1992 Pasal 15 Ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Selanjutnya dalam Pasal 15 Ayat 2 dinyatakan tanpa izin Pemerintah, setiap orang dilarang (a) mengambil atau memindahkan benda cagar budaya, baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat; (b) mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya; (c) memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya adalah mengurangi, menambah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya; dan (b) mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs (PP No. 10 Tahun 1993 Pasal 29 Ayat 2).
Rambu-rambu hukum demikian seharusnya benar-benar dipatuhi dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya. Hal itu mengingat bahwa Candi Bumiayu dan situs serta lingkungannya termasuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Kecerobohan yang dilakukan tidak hanya menimpa dunia arkeologi, melainkan juga bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal itu berarti pula mengingkari maksud dan tujuan dari pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya arkeologi itu sendiri.
Pemanfaatan Situs Candi Bumiayu
Pemanfaatan situs Candi Bumiayu untuk kepentingan wisata dapat mencapai sasaran bila pengunjung mudah mencapai lokasi, kemudian menyaksikan objek wisata yang asli dalam suasana aman dan nyaman dengan mendapatkan pengetahuan baru yang menarik, dan pulang mendapatkan kesan yang menyenangkan. Keaslian objek wisata merupakan hal yang paling menarik wisatawan. Oleh karena itu, pemugaran candi harus benar-benar memperhatikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada.
Kemudahan mencapai lokasi didukung dengan sarana dan prasarana jalan yang memadai. Keamanan di lingkungan candi harus diwujudkan. Keamanan tidak hanya dalam hal terhindar dari tindak kejahatan, melainkan dari sarana dan prasarana yang terdapat di lingkungan objek wisata. Suasana nyaman dapat diwujudkan dengan penyiapan parkir kendaraan, jalan lingkungan objek wisata, pertamanan, fasilitas pelepas lelah, dan toilet serta terjaganya kebersihan lingkungan. Pengetahuan baru yang menarik disediakan dengan memberi informasi yang singkat, jelas, akurat, dan disajikan dengan bahasa yang sederhana. Untuk membuat informasi demikian perlu mempunyai asumsi bahwa pengunjung adalah orang-orang yang tidak banyak waktu, beraneka ragam tingkat pendidikan, belum mengenal dengan baik Candi Bumiayu dan lingkungannya, dan menginginkan kemudahan.
Pemanfaatan Candi Bumiayu untuk kepentingan pendidikan sejarah bangsa dapat tercapai jika mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan Nasional, khususnya guru sejarah di sekolah-sekolah. Tercapainya sasaran pendidikan, termasuk pendidikan sejarah bangsa, dipengaruhi pula oleh kelengkapan media belajarnya. Dalam hal itu perlu juga dimasukkan Candi Bumiayu dalam muatan lokal dari pendidikan sejarah bangsa serta diprioritaskan sebagai tempat widyawisata murid-murid sekolah. Kelayakannya sebagai media belajar dan objek widyawisata anak didik dapat dilihat dari keaslian, nilai sejarah dan budayanya. Candi Bumiayu tidak hanya merupakan bukti kehidupan leluhur bangsa, melainkan juga merupakan simbol yang dapat membangkitkan kesadaran sejarah dan kebanggaan nasional serta memperkuat jatidiri bangsa.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek penelitian tidak hanya mencakup penelitian arkeologi, melainkan juga, sebagai contoh, arsitektur, teknik, dan biologi. Bagi arkeologi, Candi Bumiayu dan situs serta lingkungannya merupakan bahan kajian arkeologi keruangan (spatial archaeology) sekala mikro, semi-mikro, dan makro atau regional untuk mengetahui seluk-beluk teknologi/adaptasi lingkungan, sosial, dan idiologi/religinya. Bagi penelitian arsitektur, Candi Bumiayu dapat dipelajari dari segi pola perancangan dan latar belakangnya. Ilmu teknik sipil dapat meninjauanya dari aspek konstruksi. Sementara itu, peneliti biologi dapat memusatkan perhatian pada spesies lumut, jamur, dan ganggang yang tumbuh pada bangunan candi sekaligus teknologi pembasmiannya yang aman. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan menjadi umpan balik bagi pengembangan Candi Bumiayu itu sendiri. Sebelum melaksanakan penelitian harus minta izin kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek wisata, pendidikan, dan penelitian dapat menimbulkan kerusakan dengan banyaknya orang yang mengunjunginya. Kerusakan itu timbul karena bahan bangunan candi tersebut bersifat mudah pecah (fragile) dan rapuh. Bahannya dibuat dari tanah liat yang dibakar dengan suhu tertinggi tidak lebih daripada 1000o C (suhu tertinggi pembakaran tembikar). Dengan suhu tersebut butiran-butiran tanah liat belum mengalami pelelehan, baik di bagian permukaan maupun seluruhnya, serta berpori. Dalam keadaan demikian ikatan antarbutiran belum sekuat porselen serta bersifat menyerap air. Proses pelapukan bangunan candi berlangsung dalam pergantian musim hujan dengan kemarau. Selain itu, keadaan bata yang tinggi kelembabannya akan mengakibatkan tumbuhnya lumut, jamur, dan ganggang yang mempercepat proses pelapukannya. Oleh karena itu, tepat bila bangunan candi dinaungi bangunan cungkup.[1] Namun, bangunan cungkup itu hendaknya tidak menghalangi pandangan pengunjung. Apalagi bangunan candi digemari sebagai latar potret kenangan bagi pengunjung.
Keadaan bangunan yang mudah retak dan rapuh tidak memungkinkan pengunjung menginjak atau menaiki bangunan candi. Tekanan beban dari tubuh manusia, apalagi berulang-ulang, dapat mengakibatkan retaknya bata. Permukaan bata pun menjadi aus karena abrasi dari gesekan kaki pengunjung. Keausan akan berlangsung lebih cepat bila kaki pengunjung menggunakan alas atau sepatu yang dibuat dari bahan yang keras. Untuk mencegah kemungkinan yang tidak diharapkan itu harus dibuat sistem pengamanan yang menjamin keselamatan candi.
Penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Candi Bumiayu pun dapat memperparah kerusakan benda cagar budaya dan situs bila dilakukan tanpa metode dan teknik yang benar. Ekskavasi pada dasarnya mengambil benda dari matriknya. Oleh karena itu, dalam ekskavasi harus dilakukan perekaman data, baik dalam bentuk verbal maupun piktorial. Tanpa perekaman data yang benar, tinggalan arkeologi yang dipindahkan dari tempat asalnya (matriknya) kehilangan reliabilitasnya sebagai sumberdata. Pelaksanaan dan hasil kegiatan ekskavasi harus dilaporkan kepada instansi teknis yang berwenang (Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka-Belitung).
Pengembangan Situs Candi Bumiayu
Segala pengembangan situs Candi Bumiayu pada hakekatnya dimaksudkan untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Pengembangan itu bersifat fisik maupun nonfisik. Pengembangan fisik mencakup pengadaan sarana dan sarana untuk kepentingan pengunjung maupun pengelola. Sementara itu, pengembangan nonfisik salah satunya mencakup penataan sistem informasi objek wisata.
Pengembangan fisik tidak akan diuraikan dalam kesempatan ini karena ada di luar bidang disiplin ilmu penulis. Namun, perlu dikemukakan bahwa pembangunan fisik itu dapat menjadi ancaman kerusakan bangunan candi, situs, dan lingkungannya. Sebagai misal, dalam pembangunan gedung yang permanen, jalan, dan selokan di situs dan lingkungannya dilakukan penggalian-penggalian untuk pondasi bangunan yang mungkin akan merusak lapisan budaya Candi Bumiayu yang penting artinya bagi penelitian. Lapisan budaya Candi Bumiayu adalah sekumpulan tinggalan-tinggalan budaya yang sezaman dengan Candi Bumiayu dan yang terkumpul dalam suatu ruang atau lapisan tanah tertentu. Tinggalan-tinggalan budaya dalam lapisan tersebut mungkin dapat memperluas wawasan dalam penafsiran tentang Candi Bumiayu dalam konteks budayanya. Untuk menghindari kerusakan tersebut diperlukan ekskavasi penyelamatan (salvage excavation) di lokasi yang direncanakan untuk bangunan-bangunan permanen.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek wisata, pendidikan, dan penelitian memerlukan pengembangan sistem informasi Candi Bumiayu. Dalam sistem tersebut terdapat hubungan fungsional antara sumberdaya manusia, alat, dan bahan informasi. Untuk itu perlu disiapkan tenaga informasi dan pemandu dengan memberi semacam kursus atau penataran singkat. Bahan pengajarannya mencakup seni bertutur dan komunikasi, kepariwisataan, dan kesejarahan dan kepurbakalaan Candi Bumiayu. Untuk tenaga pemandu swasta dapat direkrut dari kalangan penduduk setempat.
Bahan informasi Candi Bumiayu dapat digali dari hasil penelitian yang dilakukan selama ini. Informasi dimaksud mencakup keadaan objek wisata secara keseluruhan serta hasil-hasil kesenian dan kerajinan dari masyarakat setempat. Bahan-bahan tersebut perlu diolah terlebih dahulu sehingga mudah dipahami dan menarik khalayak umum yang beraneka ragam tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Bahan-bahan informasi tersebut dapat dikemas dalam bentuk buku saku atau semacam leaflet yang harganya terjangkau masyarakat umum.
Untuk melengkapi informasi kesejarahan dan kepurbakalaan Candi Bumiayu diperlukan pengembangan fasilitas informasi. Fasilitas pertama adalah museum situs (museum lapangan), yaitu museum yang didirikan di situs dengan fungsi mengumpulkan, merawat, dan menginformasikan tinggalan arkeologi yang ditemukan di situs Candi Bumiayu. Unsur-unsur bangunan dari Candi Bumiayu yang tidak dapat dipasang kembali perlu juga dipamerkan dalam museum tersebut. Dengan demikian harus dipersiapkan tiga kelompok tenaga terampil, yaitu tenaga koleksi yang mempunyai ketrampilan di bidang arkeologi, tenaga perawatan yang mempunyai ketrampilan menangani preservasi dan restorasi benda koleksi, dan tenaga pemandu yang mempunyai ketrampilan menjelaskan benda-benda yang dipamerkan. Selain itu, di museum tersebut perlu dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang menyimpan bahan dokumentasi dan kepustakaan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan Candi Bumiayu. Benda koleksi, bahan dokumentasi, dan kepustakaan itu dapat dimanfaatkan pula untuk kepentingan penelitian.
Untuk kepentingan pendidikan di Candi Bumiayu perlu dibangun pula sebuah bumi perkemahan yang representatif. Bumi perkemahan tidak hanya diperuntukkan bagi kegiatan jambore atau perkemahan dari kelompok-kelompok pemuda dan remaja yang mengunjungi candi, melainkan dapat juga diselenggarakan even-even kesenian, upacara peringatan keagamaan Hindu, dan pemerintahan, baik dalam sekala daerah maupun nasional. Dengan demikian secara tidak langsung dapat meningkatkan daya tarik dan promosi wisata.
Penutup
Pemanfaatan Situs Candi Bumiayu memerlukan pengembangan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam pemanfaatan dan pengembangannya harus diperhatikan dan dipatuhi rambu-rambu hukum dalam rangka perlindungan dan pemeliharannnya agar Candi Bumiayu sebagai sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui tidak mengalami kerusakan atau kemusnahan.
Pemanfaatan dan pengembangan situs Candi Bumiayu perlu melibatkan berbagai sektor, antara lain arkeologi, museum, pariwisata, arsitektur, dan konstruksi. Benturan antar-sektor atau superioritas sektor tertentu harus dihindari. Untuk itu diperlukan suatu kepemimpinan yang memadai dan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang profesional dan penuh dedikasi.
Daftar Pustaka
Soekmono, R., 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Dissertasi Universitas Indonesia Jakarta
Schnitger, F.M., 1937, The Archaeology of Hindoo Sumatra, Leiden: E.J. Brill
__________
Tri Marhaeni adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Palembang.
Sumber :http://arkeologi.palembang.go.id
Foto : http://1.bp.blogspot.com
Pendahuluan
Candi-candi di Bumiayu, Muara Enim, Sumatra Selatan, merupakan death monument, artinya monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. Tinggalan monumental itu beserta sistem budayanya benar-benar hilang pula dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumiayu tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Diceritakan pula bahwa wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang.
Penduduk Bumiayu tidak mengenal pula kata “candi” sebelum ada kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di situs tersebut. Kata “candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata “kuil” dari agama Hindu atau Budha. Namun, orang Jawa yang mewarisi puluhan candi-candi itu pun tidak mengenal lagi pengertian dan fungsi candi yang sebenarnya. Mereka menganggap candi sebagai bangunan pemakaman atau penanaman abu jenazah, bukan kuil dewa Hindu atau Budha. R. Soekmono (1974) melalui dissertasinya di Universitas Indonesia membuktikan dengan meyakinkan bahwa apa yang disebut candi itu sebenarnya adalah bangunan kuil dewa sebagaimana yang ada di tanah asalnya, Hindustan.
Selama ditinggalkan oleh pendukungnya, Candi Bumiayu potensial mengalami kerusakan, baik yang disebabkan oleh proses alam maupun tangan manusia. Diperkirakan kerusakannya lebih banyak disebabkan oleh karena tangan manusia. Masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Bumiayu belum menyadari tinggalan tersebut sebagai pusaka warisan leluhurnya yang harus dilestarikan. Sebagai buktinya, digunakannya bata candi, baik polos maupun berelief, untuk bangunan pemakaman dan masjid di desa setempat. Bapak Hasan Husein (60 tahun) mengakui bahwa bata masjid Desa Bumiayu diambil dari sisa bangunan nomor lima.
Candi-candi Bumiayu yang ditemukan dalam keadaan demikian itu sejak tahun 1991 telah diupayakan pemanfaatan dan pengembangannya oleh Pemerintah Republik Indonesia. Upaya tersebut dimulai oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan melakukan penelitian intensif sejak tahun 1991. Kemudian dilanjutkan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala dengan melakukan pemugaran sejak tahun 1992. Kini, seiring dengan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Muaraenim merencanakan pemanfaatan dan pengembangannya untuk kepentingan pariwisata dalam kerangka pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, perlu diketahui rambu-rambu hukum serta strategi pemanfaatan dan pengembangannya.
Rambu-Rambu Hukum
Candi Bumiayu yang ketika ditemukan keadaannya merana karena ditinggalkan masyarakat pendukungnya mendorong Pemerintah menguasai dan kemudian melindungi serta memeliharanya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Pasal 13 Ayat 1 bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.
Perlindungan dan pemeliharaannya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran (P.P. No. 10 Tahun 1993 Pasal 23 Ayat 1) dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya (P.P. No. 10 Pasal 23 Ayat 2). Khusus untuk pelaksanaan pemugaran diberikan rambu-rambu yang lebih jelas lagi dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 063/U/1995 Pasal 12 Ayat 4 bahwa pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tataletak dengan mempertahankan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Secara hukum telah ada pula upaya pencegahan benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya dari kerusakan oleh tangan manusia. Dalam UU No. 5 Tahun 1992 Pasal 15 Ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Selanjutnya dalam Pasal 15 Ayat 2 dinyatakan tanpa izin Pemerintah, setiap orang dilarang (a) mengambil atau memindahkan benda cagar budaya, baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat; (b) mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya; (c) memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya. Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya adalah mengurangi, menambah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya; dan (b) mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs (PP No. 10 Tahun 1993 Pasal 29 Ayat 2).
Rambu-rambu hukum demikian seharusnya benar-benar dipatuhi dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya. Hal itu mengingat bahwa Candi Bumiayu dan situs serta lingkungannya termasuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Kecerobohan yang dilakukan tidak hanya menimpa dunia arkeologi, melainkan juga bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal itu berarti pula mengingkari maksud dan tujuan dari pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya arkeologi itu sendiri.
Pemanfaatan Situs Candi Bumiayu
Pemanfaatan situs Candi Bumiayu untuk kepentingan wisata dapat mencapai sasaran bila pengunjung mudah mencapai lokasi, kemudian menyaksikan objek wisata yang asli dalam suasana aman dan nyaman dengan mendapatkan pengetahuan baru yang menarik, dan pulang mendapatkan kesan yang menyenangkan. Keaslian objek wisata merupakan hal yang paling menarik wisatawan. Oleh karena itu, pemugaran candi harus benar-benar memperhatikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada.
Kemudahan mencapai lokasi didukung dengan sarana dan prasarana jalan yang memadai. Keamanan di lingkungan candi harus diwujudkan. Keamanan tidak hanya dalam hal terhindar dari tindak kejahatan, melainkan dari sarana dan prasarana yang terdapat di lingkungan objek wisata. Suasana nyaman dapat diwujudkan dengan penyiapan parkir kendaraan, jalan lingkungan objek wisata, pertamanan, fasilitas pelepas lelah, dan toilet serta terjaganya kebersihan lingkungan. Pengetahuan baru yang menarik disediakan dengan memberi informasi yang singkat, jelas, akurat, dan disajikan dengan bahasa yang sederhana. Untuk membuat informasi demikian perlu mempunyai asumsi bahwa pengunjung adalah orang-orang yang tidak banyak waktu, beraneka ragam tingkat pendidikan, belum mengenal dengan baik Candi Bumiayu dan lingkungannya, dan menginginkan kemudahan.
Pemanfaatan Candi Bumiayu untuk kepentingan pendidikan sejarah bangsa dapat tercapai jika mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan Nasional, khususnya guru sejarah di sekolah-sekolah. Tercapainya sasaran pendidikan, termasuk pendidikan sejarah bangsa, dipengaruhi pula oleh kelengkapan media belajarnya. Dalam hal itu perlu juga dimasukkan Candi Bumiayu dalam muatan lokal dari pendidikan sejarah bangsa serta diprioritaskan sebagai tempat widyawisata murid-murid sekolah. Kelayakannya sebagai media belajar dan objek widyawisata anak didik dapat dilihat dari keaslian, nilai sejarah dan budayanya. Candi Bumiayu tidak hanya merupakan bukti kehidupan leluhur bangsa, melainkan juga merupakan simbol yang dapat membangkitkan kesadaran sejarah dan kebanggaan nasional serta memperkuat jatidiri bangsa.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek penelitian tidak hanya mencakup penelitian arkeologi, melainkan juga, sebagai contoh, arsitektur, teknik, dan biologi. Bagi arkeologi, Candi Bumiayu dan situs serta lingkungannya merupakan bahan kajian arkeologi keruangan (spatial archaeology) sekala mikro, semi-mikro, dan makro atau regional untuk mengetahui seluk-beluk teknologi/adaptasi lingkungan, sosial, dan idiologi/religinya. Bagi penelitian arsitektur, Candi Bumiayu dapat dipelajari dari segi pola perancangan dan latar belakangnya. Ilmu teknik sipil dapat meninjauanya dari aspek konstruksi. Sementara itu, peneliti biologi dapat memusatkan perhatian pada spesies lumut, jamur, dan ganggang yang tumbuh pada bangunan candi sekaligus teknologi pembasmiannya yang aman. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan menjadi umpan balik bagi pengembangan Candi Bumiayu itu sendiri. Sebelum melaksanakan penelitian harus minta izin kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek wisata, pendidikan, dan penelitian dapat menimbulkan kerusakan dengan banyaknya orang yang mengunjunginya. Kerusakan itu timbul karena bahan bangunan candi tersebut bersifat mudah pecah (fragile) dan rapuh. Bahannya dibuat dari tanah liat yang dibakar dengan suhu tertinggi tidak lebih daripada 1000o C (suhu tertinggi pembakaran tembikar). Dengan suhu tersebut butiran-butiran tanah liat belum mengalami pelelehan, baik di bagian permukaan maupun seluruhnya, serta berpori. Dalam keadaan demikian ikatan antarbutiran belum sekuat porselen serta bersifat menyerap air. Proses pelapukan bangunan candi berlangsung dalam pergantian musim hujan dengan kemarau. Selain itu, keadaan bata yang tinggi kelembabannya akan mengakibatkan tumbuhnya lumut, jamur, dan ganggang yang mempercepat proses pelapukannya. Oleh karena itu, tepat bila bangunan candi dinaungi bangunan cungkup.[1] Namun, bangunan cungkup itu hendaknya tidak menghalangi pandangan pengunjung. Apalagi bangunan candi digemari sebagai latar potret kenangan bagi pengunjung.
Keadaan bangunan yang mudah retak dan rapuh tidak memungkinkan pengunjung menginjak atau menaiki bangunan candi. Tekanan beban dari tubuh manusia, apalagi berulang-ulang, dapat mengakibatkan retaknya bata. Permukaan bata pun menjadi aus karena abrasi dari gesekan kaki pengunjung. Keausan akan berlangsung lebih cepat bila kaki pengunjung menggunakan alas atau sepatu yang dibuat dari bahan yang keras. Untuk mencegah kemungkinan yang tidak diharapkan itu harus dibuat sistem pengamanan yang menjamin keselamatan candi.
Penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Candi Bumiayu pun dapat memperparah kerusakan benda cagar budaya dan situs bila dilakukan tanpa metode dan teknik yang benar. Ekskavasi pada dasarnya mengambil benda dari matriknya. Oleh karena itu, dalam ekskavasi harus dilakukan perekaman data, baik dalam bentuk verbal maupun piktorial. Tanpa perekaman data yang benar, tinggalan arkeologi yang dipindahkan dari tempat asalnya (matriknya) kehilangan reliabilitasnya sebagai sumberdata. Pelaksanaan dan hasil kegiatan ekskavasi harus dilaporkan kepada instansi teknis yang berwenang (Balai Arkeologi Palembang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka-Belitung).
Pengembangan Situs Candi Bumiayu
Segala pengembangan situs Candi Bumiayu pada hakekatnya dimaksudkan untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Pengembangan itu bersifat fisik maupun nonfisik. Pengembangan fisik mencakup pengadaan sarana dan sarana untuk kepentingan pengunjung maupun pengelola. Sementara itu, pengembangan nonfisik salah satunya mencakup penataan sistem informasi objek wisata.
Pengembangan fisik tidak akan diuraikan dalam kesempatan ini karena ada di luar bidang disiplin ilmu penulis. Namun, perlu dikemukakan bahwa pembangunan fisik itu dapat menjadi ancaman kerusakan bangunan candi, situs, dan lingkungannya. Sebagai misal, dalam pembangunan gedung yang permanen, jalan, dan selokan di situs dan lingkungannya dilakukan penggalian-penggalian untuk pondasi bangunan yang mungkin akan merusak lapisan budaya Candi Bumiayu yang penting artinya bagi penelitian. Lapisan budaya Candi Bumiayu adalah sekumpulan tinggalan-tinggalan budaya yang sezaman dengan Candi Bumiayu dan yang terkumpul dalam suatu ruang atau lapisan tanah tertentu. Tinggalan-tinggalan budaya dalam lapisan tersebut mungkin dapat memperluas wawasan dalam penafsiran tentang Candi Bumiayu dalam konteks budayanya. Untuk menghindari kerusakan tersebut diperlukan ekskavasi penyelamatan (salvage excavation) di lokasi yang direncanakan untuk bangunan-bangunan permanen.
Pemanfaatan Candi Bumiayu sebagai objek wisata, pendidikan, dan penelitian memerlukan pengembangan sistem informasi Candi Bumiayu. Dalam sistem tersebut terdapat hubungan fungsional antara sumberdaya manusia, alat, dan bahan informasi. Untuk itu perlu disiapkan tenaga informasi dan pemandu dengan memberi semacam kursus atau penataran singkat. Bahan pengajarannya mencakup seni bertutur dan komunikasi, kepariwisataan, dan kesejarahan dan kepurbakalaan Candi Bumiayu. Untuk tenaga pemandu swasta dapat direkrut dari kalangan penduduk setempat.
Bahan informasi Candi Bumiayu dapat digali dari hasil penelitian yang dilakukan selama ini. Informasi dimaksud mencakup keadaan objek wisata secara keseluruhan serta hasil-hasil kesenian dan kerajinan dari masyarakat setempat. Bahan-bahan tersebut perlu diolah terlebih dahulu sehingga mudah dipahami dan menarik khalayak umum yang beraneka ragam tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Bahan-bahan informasi tersebut dapat dikemas dalam bentuk buku saku atau semacam leaflet yang harganya terjangkau masyarakat umum.
Untuk melengkapi informasi kesejarahan dan kepurbakalaan Candi Bumiayu diperlukan pengembangan fasilitas informasi. Fasilitas pertama adalah museum situs (museum lapangan), yaitu museum yang didirikan di situs dengan fungsi mengumpulkan, merawat, dan menginformasikan tinggalan arkeologi yang ditemukan di situs Candi Bumiayu. Unsur-unsur bangunan dari Candi Bumiayu yang tidak dapat dipasang kembali perlu juga dipamerkan dalam museum tersebut. Dengan demikian harus dipersiapkan tiga kelompok tenaga terampil, yaitu tenaga koleksi yang mempunyai ketrampilan di bidang arkeologi, tenaga perawatan yang mempunyai ketrampilan menangani preservasi dan restorasi benda koleksi, dan tenaga pemandu yang mempunyai ketrampilan menjelaskan benda-benda yang dipamerkan. Selain itu, di museum tersebut perlu dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang menyimpan bahan dokumentasi dan kepustakaan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan Candi Bumiayu. Benda koleksi, bahan dokumentasi, dan kepustakaan itu dapat dimanfaatkan pula untuk kepentingan penelitian.
Untuk kepentingan pendidikan di Candi Bumiayu perlu dibangun pula sebuah bumi perkemahan yang representatif. Bumi perkemahan tidak hanya diperuntukkan bagi kegiatan jambore atau perkemahan dari kelompok-kelompok pemuda dan remaja yang mengunjungi candi, melainkan dapat juga diselenggarakan even-even kesenian, upacara peringatan keagamaan Hindu, dan pemerintahan, baik dalam sekala daerah maupun nasional. Dengan demikian secara tidak langsung dapat meningkatkan daya tarik dan promosi wisata.
Penutup
Pemanfaatan Situs Candi Bumiayu memerlukan pengembangan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam pemanfaatan dan pengembangannya harus diperhatikan dan dipatuhi rambu-rambu hukum dalam rangka perlindungan dan pemeliharannnya agar Candi Bumiayu sebagai sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui tidak mengalami kerusakan atau kemusnahan.
Pemanfaatan dan pengembangan situs Candi Bumiayu perlu melibatkan berbagai sektor, antara lain arkeologi, museum, pariwisata, arsitektur, dan konstruksi. Benturan antar-sektor atau superioritas sektor tertentu harus dihindari. Untuk itu diperlukan suatu kepemimpinan yang memadai dan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang profesional dan penuh dedikasi.
Daftar Pustaka
Soekmono, R., 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Dissertasi Universitas Indonesia Jakarta
Schnitger, F.M., 1937, The Archaeology of Hindoo Sumatra, Leiden: E.J. Brill
__________
Tri Marhaeni adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Palembang.
Sumber :http://arkeologi.palembang.go.id
Foto : http://1.bp.blogspot.com