Abstrak
Hasil penelitian mengenai Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Indonesia: Studi Kasus Tenun Lombok menunjukkan bahwa tenun Lombok mempunyai potensi untuk diberdayakan sebagai basis pariwisata. Pemilihan topik didasarkan pada tren industri pariwisata abad XXI, yaitu cultural tourism, di mana tenun diyakini mampu mengambil peran di dalamnya. Acuan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah NTB yang menempatkan industri pariwisata dan kerajinan berskala ekspor sebagai prioritas bagi peningkatan potensi daerah. Ruang lingkup pariwisata dipilih karena pariwisata merupakan sektor industri yang bersifat quick yielding dan membuka peluang baru bagi industri pariwisata di Lombok yang selama ini hanya memfokuskan pada wisata alam bahari dan pegunungan..
Mengingat tenun adalah cultural hetitage, maka pendekatan yang digunakan dalam penelian ini adalah pendekatan Cultural Resources Management (CRM) dengan kerangka pikir bahwa aspek perlindungan dan pelestarian tenun ditujukan untuk pemberdayaannya secara ekonomi agar dapat memberikan manfaat masyarakat secara berkesinambungan. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan unit-unit analisis potensi wisata Lombok, tren pariwisata, sumber acuan hukum, serta prasarana dan sarana pariwisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang layak ditawarkan adalah Pariwisata Budaya Berbasis Tenun, karena di dalamnya mengandung konsep pelestarian, ekonomi, edukasi, dan berbasis masyarakat. Selanjutnya, potensi tenun yang telah dipetakan sebarannya dikorelasikan dengan objek-objek wisata yang telah diunggulkan oleh Pemerintah Daerah NTB sehingga menghasilkan kluster-kluster. Masing-masing kluster dikembangkan menjadi paket-paket wisata yang diorientasikan kepada permintaan pasar, hasilnya adalah paket-paket wisata berbasis destinasi dan berbasis program.
Meskipun tenun diyakini mampu meningkatkan pasar wisata Lombok, akan tetapi masih terdapat sejumlah kendala, yaitu bidang promosi, penguatan tenun, dan penciptaan masyarakat sadar wisata. Akar permasalahan dari ketiga kendala tersebut adalah kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok. Oleh karena itu, pada tahun ketiga, diusulkan penelitian yang memfokuskan pada topik kajian peningkatan kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok.
1. Pendahuluan
Hasil penelitian Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Lombok (Atmosudiro, dkk., 2003) menemukan bahwa tenun yang dijumpai di hampir semua desa di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Barat mempunyai potensi yang bernilai tinggi, baik dari segi material maupun nilai intrisiknya. Secara kolektif, tradisi dan kehidupan masyarakat Sasak mengkondisikan keberlanjutan tenun. Akan tetapi, ditemukan pula sejumlah permasalahan yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi keberlanjutannya, antara lain adalah bahwa tenun kurang diorientasikan ke arah profit. Padahal, penciptaannya sendiri memerlukan modal kerja yang tidak sedikit (Ibid.)
Gambaran lain yang diperoleh dari penelitian Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Lombok (Ibid.) adalah bahwa tenun merupakan asset potensial dalam menciptakan lapangan kerja. Tidak hanya itu, bahkan mempunyai peluang sebagai sumber pendapatan daerah hingga devisa negara. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila tenun dimanfaatkan dan dikelola secara terarah dan terencana. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya budaya tenun Lombok yang kami pandang sejalan dengan potensi dan kondisinya adalah dengan menempatkannya sebagai bagian dalam industri pariwisata.
Pemilihan bentuk pemanfaatan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa tren dalam industri pariwisata abad XXI adalah cultural tourism (Butler, 1997. Fletcher, 1997), di mana tenun diyakini mampu mengambil peran di dalamnya. Hal yang tidak kalah pentingnya, yang juga kami jadikan sumber acuan adalah kebijakan pemerintah daerah yang menempatkan skala prioritas bagi peningkatan potensi daerah melalui sektor pariwisata dan industri kerajikan berskala ekspor (Depdikbud, 1992: 5. lihat juga Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi NTB 2000-2015).
Penelitian ini bertujuan untuk merancang strategi pemanfaatan tenun yang merupakan cultural heritage agar supaya dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat pendukungnya, sehingga dapat memberikan solusi bagi ancaman kepunahannya. Secara spesifik, tujuan penelitian ini diselaraskan pula dengan kebijakan regional Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, yang mencanangkan target pengembangan kerajinan berorientasi ekspor (Depdikbud, 1992: 5). Untuk itulah dunia pariwisata dipandang sebagai wahana strategis untuk menampilkan potensi tenun secara maksimal untuk memenuhi berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan peningkatan sektor ekonomi di tingkat individu sampai dengan negara hingga kepentingan proteksi dan konservasinya.
Mengingat tenun adalah cultural hetitage yang merupakan unrenwable sources (Saraswati, 1998), maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan cultural resource management. Hal ini berarti bahwa perlindungan (protection) dan pelestarian (conservation) tenun tradisional diutamakan untuk tujuan memberdayakan masyarakat pendukungnya (Hutter dan Rizzo, 1997). Mengingat penelitian ini bersifat problem-solving.
Model penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penalar induktif (Tanudirjo, 1988), sehingga generalisasi empiris yang dihasilkan dapat pula diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan serupa di daerah lain. Karena menggunakan penalaran induktif, maka rumusan hipoteses tidak diperlukan. Teori¬teori baik yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya budaya maupun pariwisata mempunyai kedudukan sebagai pengarah penelitian dan supporting argument. Analisis yang dilakukan adalah analisis yang bersifat kualitatif, terhadap unit-unit analisis (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000: 73), yang terdiri atas :
a. Potensi wisata di Lombok, meliputi:
• Basis Wisata yang sudah ada di Lombok
• Aspek budaya yang terkait dengan tenun
• Kualitas SDM
• Sarana dan prasarana wisata
b. Trend pariwisata pada kultur dan kurun waktu tertentu dalam skala regional NTB
c. Perilaku Wisatawan yang menentukan
d. Peranan unit kelembagaan yang berkaitan dengan dunia kepariwisataan dan aspek perilaku kolektif terhadap tenun Lombok
e. Aspek promosi tenun
Pembahasan
Kondisi eksisting pariwisata yang menonjol di kawasan Nusa Tenggara Barat adalah potensi wisata alam, yang didudukkan sebagai ‘cabang kecil‘ dalam bisnis wisata Bali. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa Lombok tampaknya dipersepsikan dengan konsep komoditas yang dibangun dengan pikiran pragmatik. Dalam hal ini, tampak bahwa Lombok hanya dilihat secara fisik sebagai ‘objek‘ yang lepas dari ikatan tradisi dan kulturalnya. Konsep ini seolah-olah didasarkan pada rasionalitas yang pragmatik sebab potensi kasat mata, yakni kekayaan alam yang mempesona, dijadikan satu-satunya potensi yang dapat dikelola dan dijadikan aset perdagangan, dalam hal ini kepariwisataan.
Walaupun diakui bahwa pantai masih menjadi objek wisata yang terpenting (Soekadijo, 2000: 7), akan tetapi munculnya tren baru dalam industri pariwisata abad XXI yang berkiblat pada cultural tourism (Butler, 1997; Fletcher, 1997) memberikan peluang baru baik bagi negara maupun pemerintah daerah yang menitikberatkan pendapatannya pada industri pariwisata.
Apabila akan dibangun sebuah konsep pariwisata berbasis budaya, tampaknya perlu mempertimbangkan visi dan misi pariwisata daerah NTB, visinya adalah Kepulauan Sejuta Pesona. Sementara itu, misinya adalah: (a) mengembangkan pariwisata yang berbasis alam tanpa merusaknya; (b) mengangkat budaya setempat sebagai pendukung wisata alam; (c) mengembangkan pariwisata terpadu antara alam dan budaya; (d) membuat paket-paket wisata untuk memperkenalkan seluruh potensi yang ada; dan (e) pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kepariwisataan.
Tenun Lombok adalah salah satu pesona budaya yang diyakini dapat mewakili visi tersebut. Sementara tenun sebagai cultural attractions beserta segala aspek budaya yang menyertainya (social attractions) adalah atraksi wisata yang diyakini mampu membangkitkan motivasi wisatawan untuk memperpanjang lama tinggalnya di Lombok, karena menurut De Cuellar (1996: 56) motivasi utama wisatawan adalah mendapatkan pengetahuan serta perkayaan pengalaman melalui budaya, adat istiadat, dan keseharian masyarakat lain.
Mengingat tenun dan budaya yang melatarbelakangi adalah cultural hetitage yang bersifat unrenwable sources, maka penempatan sebagai basis pariwisata budaya tidak semata-mata dirancang untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga yang berwawasan perlindungan dan pelestarian, yang bersifat dinamis dengan memberikan ruang bagi budaya untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, kami sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Geertz (1997: 19) bahwa budaya tidak dapat dimandegkan dan secara konstan selalu berkembang, dibangun, serta diciptakan kembali untuk menjawab tantangan zaman dan perkembangan kebutuhan. Bahwa tenun tradisional Lombok pun diprediksikan mengalami perkembangan dan penciptaan kembali untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan zaman.
Selain mempertimbangkan faktor ekonomi dan konservasi, pariwisata budaya berbasis tenun juga mengandung konsep pariwisata berbasis rakyat. Persyaratan ini kami masukkan ke dalam model pengembangan pariwisata budaya berbasis tenun tersebut karena tenun merupakan kerajinan rakyat, sehingga keberadaan dan keberlanjutannya tidak dapat dilepaskan dari peran aktif masyarakat sebagai pemilik tenun dan budaya yang melatarbelakanginya. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pariwisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan event-event pariwisata berskala kecil yang dapat dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat, termasuk pengusaha lokal. Karena dikelola sendiri, maka masyarakat dapat terlibat langsung di dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk menentukan mana yang boleh untuk konsumsi touris dan mana yang tidak boleh. adalah keputusan kelompok yang memiliki budaya tersebut.
Apabila kondisi semacam itu dapat dipertahankan, maka kegiatan pariwisata dapat menekan dampak sosial dan kultural yang ditimbulkan, sehingga ke depannya dapat diterima masyarakat. Karena diterima masyarakat, maka pariwisata berbasismasyarakat mempunyai peluang berumur panjang, dan menjadi sustainable tourism (Fandeli, 2000:27).
Dalam industri pariwisata, terdapat sejumlah variabel, yaitu konsumen, produsen, demand, dan suply (Sukadijo, 2000: 28), yang hubungan relasionalnya dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
Melalui diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa konsumen adalah wisatawan, produsen adalah para pelaku pariwisata yang menghasilkan produk dan jasa wisata, demand adalah kebutuhan wisatawan yang harus dipenuhi, sedangkan suply adalah kemampunyai memenuhi permintaan konsumen.
Permintaan konsumen dapat diidentifikasikan berdasarkan motivasi wisata. Secara garis besar wisatawan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu wisatawan yang orientasinya pada destinasi dan wisatawan yang orientasinya pada program. Oleh karena itu, paket wisata yang ditawarkan pun kami sesuaikan dengan segmentasi konsumen tersebut, yaitu paket wisata yang bersifat mass tourism bagi wisatawan yang mengutamakan destinasi dan paket wisata yang special interest tourism bagi wisatawan yang mengutamakan program.
Untuk membuat paket-paket wisata, terlebih dahulu dilakukan ploting sentra tenun pada peta wisata dengan objek yang sudah diunggulkan (lihat Lampiran Peta 1), dilakukan untuk mengetahui sebaran tenun serta asosiasinya dengan objek-objek unggulan tersebut. Dari peta sebaran tersebut, dibuat kluster yang berpatokan pada wisata unggulan yang sudah ada (lihat Lampiran Peta 2), yang terdiri atas: (a) Kluster I : Senggigi; (b) Kluster II: Rinjani; (c) Kluster III: Otak Kokok; (d) Kluster IV: Kuta-Sade-Sukarara; dan (e) Kluster V: Lembar-Gili-gili. Di antara kelima kluster yang dihasilkan, hanya Kluster V yang tidak memiliki komponen desa tenun.
Pada paket wisata yang bersifat masal, keberadaan tenun, baik tenun itu sendiri maupun desa serta sentra tenun menjadi destinasi dari sejumlah paket yang telah dirancang. Penawaran paket-paket wisata sebagaimana ditawarkan melalui internet (lihat Atmosudiro, 2005: 85-86 dan 80) adalah contoh paket yang diperuntukkan bagi konsumen mass tourism. Dalam paket-paket tersebut tampak bahwa Sukarara dan Sade sebagai desa-desa penghasil tenun ditempatkan sebagai destinasi. Demikian juga Pasar Sweta, yang selain merupakan pasar tradisional juga merupakan pasar kerajinan dimana tenun Lombok dapat dibeli, juga hanya didudukkan sebagai destinasi. Diagram alir berikut ini memberikan gambaran tentang kedudukan tenun dalam mass tourism.
Diagram di atas menggambarkan bahwa wisatawan yang datang di kota kedatangan (Mataram, Lembar, atau Labuanhaji) pada umumnya mempunyai destinasi utama objek wisata unggulan, yaitu objek wisata alam (bahari dan gunung) serta objek wisata situs-situs kuna, kemudia baru menuju destinasi tenun, sehingga tenun hanya menjadi objek sampiran. Bandingkan dengan diagram alir berikut ini:
Diagram alir di atas menggambarkan satu paket mass tourism yang dikembangkan dari kluster I—Senggigi. Dalam model tersebut tenun masih ditempatkan sebagai destinasi, akan tetapi dijadikan destinasi utama. Dalam kasus yang digambarkan oleh dua diagram alir di atas, wisatawan disuguhi atraksi orang menenun dan tenun sebagai souvenir. Akan tetapi, tenun sebagai souvenir mempunyai kelemahan, antara lain adalah harga yang mahal, sehingga tidak setiap wisatawan mampu membeli tenun. Akibatnya, tenun dan penenun hanya menjadi ‘tontonan‘. Para Penenun kurang, bahkan tidak, mendapat manfaat dari kegiatan pariwisata tersebut.
Selain basis destinasi, dikembangkan pula paket wisata berbasis program, yang ditujukan bagi wisatawan yang mempunyai minat khusus. Karena wisatawan tipe ini pada umumnya well educated (Fletcher, 1997: 136), maka program yang ditawarkan dirancang agar wisatawan dapat memperoleh pengalaman dan pemahaman yang mendalam tentang tenun dan berbagai aspek budaya yang melatarinya, termasuk berinteraksi secara aktif dengan masyarakat pendukungnya. Berikut ini adalah spesimen program untuk special interest tourism yang dikembangkan dari kluster IV--Sukarara-Sade-Kuta.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata: menjelaskan jenis tenun dan cara memakai pakaian adat Sebagai basis pariwisata, tenun perlu mendapat penguatan agar supaya kegiatan pariwisata yang melibatkan tenun tidak mengorbankan tenun itu sendiri. Penguatan yang pertama adalah dilakukan identifikasi produk tenun berserta konteksnya, sehingga dapat ditentukan tenun manakah yang seharusnya dikonservasi dan tenun yang manakah yang dapat adaptasi untuk kepentingan tenun pengembangan, termasuk untuk produk-produk turistik. Keputusan mengenai hal tersebut dipegang sepenuhnya oleh masyarakat pemilik tenun tersebut.
Penguatan yang kedua adalah penguatan terhadap budaya pendukung. Sebagaimana disebutkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Atmosudiro, dkk. (2003), bahwa potensi tenun sebagai objek wisata tidak hanya terletak pada nilai produknya, akan tetapi juga pada nilai intrisik yang terkandung di dalamnya, yang berkenaan dengan berbagai aspek budaya dari masyarakat yang menghasilkannya. Oleh karena itu, diperlukan penggalian terhadap budaya pendukung, baik dalam konteks budaya lama maupun dalam konteks baru.
Mengingat tenun Lombok sebenarnya belum dikenal banyak oleh masyarakat di luar Pulau Lombok, maka strategi penguatan yang berikutnya adalah promosi. Promosi dapat dilakukan secara formal melalui media-media advertensi atau dilakukan secara informal, dengan melibatkan sebanyak mungkin produk tenun ke dalam kegiatan pariwisata maupun even-even lainnya. Demikian juga penggunanaan tenun atau motif tenun untuk produk lain baik yang brsifat turistik maupun untuk kepentingan non-turistik, misalnya sampul publikasi, kartu undangan, seminar kit, bahkan diperlukan memperbanyak publikasi tenun Lombok, agar supaya masyarakat dapat ,mengenali, memahami, dan mengapresiasinya.
Menarik untuk disimak adalah penciptaan idola atau patron yang bersedia mengenakan tenun Lombok untuk dijadikan panutan bagi masyarakat. Kasus serupa pernah dilakukan, misalnya oleh desainer Adjie Notonegoro, yang menggunakan patron Presiden Abdulrahman Wahid untuk mengangkat batik Yogya yang hampir punah, sehingga batik tersebut bangkit lagi dan dikenal di seluruh Indonesia sebagai ‘batik Gus Dur‘. Ratu Sirikit dari Kerajaan Thailand juga melakukan hal serupa untuk mengangkat sutera tradisional Thailand sehingga tekstil tersebut pun dikenal sebagai ‘sutera Sirikit‘.
Hal yang dipandang mempunyai urgensi tinggi untuk memberikan penguatan terhadap tenun yang digunakan sebagai basis pariwisata adalah panduan wisata yang menyertai program-program pariwisata budaya berbasis tenun, mengingat pemahaman masyarakat, termasuk pemandu wisata, terhadap jenis, fungsi , dan makna motif-motif pada tenun Lombok, rata-rata kurang memadai. Oleh karena itu, penelitian ini pun menghasilkan spesimen Modul Wisata Budaya Tenun Lombok (lihat suplemen terpisah). Di dalam modul tersebut diungkapkan pula budaya yang terkait dengan tenun, mulai dari upacara ritual, even-even tradisi, hingga mitos yang ada. Oleh karena itu, modul tersebut juga berguna untuk meningkatkan kemampuan pemandu wisata, terlebih apabila dilengkapi dengan Katalog Ragam Tenun Lombok yang dihasilkan dari penelitian mengenai Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Indonesia: Studi Kasus Tenun Lombok yang dihasilkan oleh Atmosudiro, dkk. (2003).
Modul pendamping untuk paket wisata yang dihasilkan oleh Atmosudiro, dkk. (2004)
Dalam kegiatan pariwisata, masyarakat di daerah tujuan wisata seringkali dijadikan bagian dari atraksi wisata, terlebih lagi apabila atraksi wisata yang dicari oleh wisatawan adalah cultural dan social attractions. Akan tetapi, sangatlah tidak etis apabila dalam hal ini masyarakat di daerah tujuan wisata dipandang sebagai objek yang dinikmati oleh wisatawan (Sukadijo, 2000: 57). Sebaliknya, dengan mengacu kepada Bramwell dan Lane (1993), sebagaimana dikutip Go (1996: 115), bahwa pariwisata adalah hubungan yang langgeng antara sumberdaya turisme dengan sumberdaya manusia, diwujudkan dalam interaksi yang kompleks antara pengelola industri pariwisata, wisatawan, lingkungan, dan masyarakat sebagai tuan rumah. Dalam hal ini, masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang sadar atas hak dan kewajibannya dalam menjalankan kegiatan pariwisata, tidak hanya berkewajiban melayani wisatawan-- sebagaimana yang selama ini didengunkan oleh slogan sapta pesona, bahwa masyarakat harus menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan—melainkan juga mempunyai kekuatan untuk keputusan mengenai hal¬hal apa yang menjadi bagian budayanya dapat dikonsumsi turis. Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif menjadi kontrol aktivitas pariwisata yang terjadi, termasuk menciptakan program-program paket wisata beserta sarana pendukungnya.
Kesimpulan
Penelitian “Pengembangan Pariwisata Budaya Berbasis Tenun di Lombok” ini merupakan upaya yang kami rekomendasikan untuk memberdayakan tenun sebagai basis pariwisata budaya di Lombok. Mengingat tenun adalah cultural heritage yang merupakan unrenwable sources, maka pariwisata yang dikembangkan tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi ditujukan pula untuk meminimalkan dampak negatif kegiatan parowosata terhadap lingkungan dan sosial-budaya masyarakat pendukungnya. Dengan mempertimbangkan faktor tersebut, maka strategi pemanfaatan tenun sebagai komponen kegiatan pariwisata yang kami tawarkan adalah yang berwawasan ekonomi, edukasi, perlindungan dan pelestarian dalam arti luas, serta berbasis masyarakat. Selain itu, pariwisata budaya berbasis tenun ini pun membuka peluang baru untuk memberikan nilai tambah bagi industri pariwisata di Lombok yang selama ini hanya menitik beratkan kepada potensi alamnya, khususnya yang berupa pantai dan gunung.
Untuk mengembangkan pariwisata budaya berbasis tenun, diperlukan penyusunan program yang melibatkan tenun dalam setiap kegiatan pariwisata, baik yang bersiafat massal maupun wisata minat khusus, dilakukan dengan cara memplotkan desa/sentra tenun ke dalam peta wisata Lombok. Malalui ploting tersebut diketahui sebarannya seingga dapat dibuat kluster-kluster wisata. Dari kluster-kluster tersebutlah dikembangkan paket-paket wisata yang disertai dengan modul pendukung. Modul yang dimaksud sekaligus berfungsi sebagai acuan untuk meningkatkan kemampuan pemandu wisata.
Meskipun tenun diyakini mampu memberikan nilai tambah, guna meningkatkan pangsa pasar wisata Lombok, akan tetapi masih diperlukan sejumlah penguatan di bidang: (a) promosi yang sampai saat ini promosi tenun Lombok dirasa masih sangat lemah; (b) penciptaan produk turistik, yang hingga saat inipun produk turistik tenun masih kurang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya; (c) peningkatan kualitas pemandu wisata; dan (d) penciptaan masyarakat sadar wisata.
Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan pariwisata di Lombok, tampak bahwa masih terdapat perhatian yang tidak seimbang antara potensi wisata alam dan budaya. Oleh karena itu, agar supaya aspek budaya Lombok mampu meningkatkankualitas pariwisata Lombok, kami merekomendasikan untuk meningkatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penggalian budaya Lombok, termasuk budaya-budaya yang terkait dengan tenun, dan didokumentasikan dalam bentuk publikasi sehingga mudah diakses publik.
2. Perlu secara terus menerus dilakukan sosialisasi budaya Lombok dengan baik dan benar, agar supaya masyarakat dapat mengapresiasinya
3. Selayaknya dilakukan diklat dan pendampingan mengenai berbagai komponen pariwisata, yaitu: penciptaan produk-produk turistik, kemampuan pemandu wisata, dan penciptaan masyarakat sadar wisata
4. Secara spesifik diperlukan penggalian dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok, karena kepedulian masyarakat merupakan fondasi dari keberlanjutan tradisinya, baik untuk kepentingan tradisi maupun pariwisata.
Daftar Pustaka
Anonimus, 2000. Pokok-Pokok Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Atmosudiro, Sumijati, D.S. Nugrahani, Chr. Wisma Nugraha Rich., Sektiadi, 2003. ...
Buttler, Richar W., 1997. “The Destination Life Cycle: Implication for Heritage Site Managemen and Attractivity”. Dalam Wiendu Nuryanti (ed.), 1997. Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 44-53.
Depdikbud, 1992. Pengrajin Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fandeli, Chafid dan Mukhlison, ed., 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Fletcher, John, 1997. “Heritage Tourism: Enhancing the Net Benefits of Tourism”. dlm Wiendu Nuryanti (ed.), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 134-46.
Geertz, Clifford, 1997. ”Cultural Tourism: Tradition, Identity and Heritage Construction”. dlm Wiendu Nuryanti (ed.), 1997. Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp 14-24.
Hutter, Michael and Ilde Rizzo, 1997. Economic Perspectives on Cultural Heritage. New York: ST. Martin‘s Press, Inc.
Kusmayadi dan Endar Sugiarto, 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Saraswati, Baidyanath, 1998. The Use of Cultural Heritage as a Tool for Development. New Delhi: UNESCO Chair in the Field of Cultural Development bekerjasama dg Indira Gandhi National Centre for the Arts.
Soekadijo, 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai “Systemic Linkage ”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tanudirjo, Daud Aris, 1988. “Ragam Metoda Penelitian Arkeologi”, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
__________
Sumijati Atmosudiro; DS. Nugrahani; Wisma Nugraha, Ch.R.; dan Sektiadi adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM dan peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada
Sumber : arkeologi.ugm.ac.id - Merupakan bagian dari penelitian Hibah Bersaing XI/2, 2004.
Foto :
http://4.bp.blogspot.com
http://www.lomboksouvenir.com
Hasil penelitian mengenai Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Indonesia: Studi Kasus Tenun Lombok menunjukkan bahwa tenun Lombok mempunyai potensi untuk diberdayakan sebagai basis pariwisata. Pemilihan topik didasarkan pada tren industri pariwisata abad XXI, yaitu cultural tourism, di mana tenun diyakini mampu mengambil peran di dalamnya. Acuan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah NTB yang menempatkan industri pariwisata dan kerajinan berskala ekspor sebagai prioritas bagi peningkatan potensi daerah. Ruang lingkup pariwisata dipilih karena pariwisata merupakan sektor industri yang bersifat quick yielding dan membuka peluang baru bagi industri pariwisata di Lombok yang selama ini hanya memfokuskan pada wisata alam bahari dan pegunungan..
Mengingat tenun adalah cultural hetitage, maka pendekatan yang digunakan dalam penelian ini adalah pendekatan Cultural Resources Management (CRM) dengan kerangka pikir bahwa aspek perlindungan dan pelestarian tenun ditujukan untuk pemberdayaannya secara ekonomi agar dapat memberikan manfaat masyarakat secara berkesinambungan. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan unit-unit analisis potensi wisata Lombok, tren pariwisata, sumber acuan hukum, serta prasarana dan sarana pariwisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang layak ditawarkan adalah Pariwisata Budaya Berbasis Tenun, karena di dalamnya mengandung konsep pelestarian, ekonomi, edukasi, dan berbasis masyarakat. Selanjutnya, potensi tenun yang telah dipetakan sebarannya dikorelasikan dengan objek-objek wisata yang telah diunggulkan oleh Pemerintah Daerah NTB sehingga menghasilkan kluster-kluster. Masing-masing kluster dikembangkan menjadi paket-paket wisata yang diorientasikan kepada permintaan pasar, hasilnya adalah paket-paket wisata berbasis destinasi dan berbasis program.
Meskipun tenun diyakini mampu meningkatkan pasar wisata Lombok, akan tetapi masih terdapat sejumlah kendala, yaitu bidang promosi, penguatan tenun, dan penciptaan masyarakat sadar wisata. Akar permasalahan dari ketiga kendala tersebut adalah kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok. Oleh karena itu, pada tahun ketiga, diusulkan penelitian yang memfokuskan pada topik kajian peningkatan kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok.
1. Pendahuluan
Hasil penelitian Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Lombok (Atmosudiro, dkk., 2003) menemukan bahwa tenun yang dijumpai di hampir semua desa di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Barat mempunyai potensi yang bernilai tinggi, baik dari segi material maupun nilai intrisiknya. Secara kolektif, tradisi dan kehidupan masyarakat Sasak mengkondisikan keberlanjutan tenun. Akan tetapi, ditemukan pula sejumlah permasalahan yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi keberlanjutannya, antara lain adalah bahwa tenun kurang diorientasikan ke arah profit. Padahal, penciptaannya sendiri memerlukan modal kerja yang tidak sedikit (Ibid.)
Gambaran lain yang diperoleh dari penelitian Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Lombok (Ibid.) adalah bahwa tenun merupakan asset potensial dalam menciptakan lapangan kerja. Tidak hanya itu, bahkan mempunyai peluang sebagai sumber pendapatan daerah hingga devisa negara. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila tenun dimanfaatkan dan dikelola secara terarah dan terencana. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya budaya tenun Lombok yang kami pandang sejalan dengan potensi dan kondisinya adalah dengan menempatkannya sebagai bagian dalam industri pariwisata.
Pemilihan bentuk pemanfaatan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa tren dalam industri pariwisata abad XXI adalah cultural tourism (Butler, 1997. Fletcher, 1997), di mana tenun diyakini mampu mengambil peran di dalamnya. Hal yang tidak kalah pentingnya, yang juga kami jadikan sumber acuan adalah kebijakan pemerintah daerah yang menempatkan skala prioritas bagi peningkatan potensi daerah melalui sektor pariwisata dan industri kerajikan berskala ekspor (Depdikbud, 1992: 5. lihat juga Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi NTB 2000-2015).
Penelitian ini bertujuan untuk merancang strategi pemanfaatan tenun yang merupakan cultural heritage agar supaya dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat pendukungnya, sehingga dapat memberikan solusi bagi ancaman kepunahannya. Secara spesifik, tujuan penelitian ini diselaraskan pula dengan kebijakan regional Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, yang mencanangkan target pengembangan kerajinan berorientasi ekspor (Depdikbud, 1992: 5). Untuk itulah dunia pariwisata dipandang sebagai wahana strategis untuk menampilkan potensi tenun secara maksimal untuk memenuhi berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan peningkatan sektor ekonomi di tingkat individu sampai dengan negara hingga kepentingan proteksi dan konservasinya.
Mengingat tenun adalah cultural hetitage yang merupakan unrenwable sources (Saraswati, 1998), maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan cultural resource management. Hal ini berarti bahwa perlindungan (protection) dan pelestarian (conservation) tenun tradisional diutamakan untuk tujuan memberdayakan masyarakat pendukungnya (Hutter dan Rizzo, 1997). Mengingat penelitian ini bersifat problem-solving.
Model penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penalar induktif (Tanudirjo, 1988), sehingga generalisasi empiris yang dihasilkan dapat pula diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan serupa di daerah lain. Karena menggunakan penalaran induktif, maka rumusan hipoteses tidak diperlukan. Teori¬teori baik yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya budaya maupun pariwisata mempunyai kedudukan sebagai pengarah penelitian dan supporting argument. Analisis yang dilakukan adalah analisis yang bersifat kualitatif, terhadap unit-unit analisis (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000: 73), yang terdiri atas :
a. Potensi wisata di Lombok, meliputi:
• Basis Wisata yang sudah ada di Lombok
• Aspek budaya yang terkait dengan tenun
• Kualitas SDM
• Sarana dan prasarana wisata
b. Trend pariwisata pada kultur dan kurun waktu tertentu dalam skala regional NTB
c. Perilaku Wisatawan yang menentukan
d. Peranan unit kelembagaan yang berkaitan dengan dunia kepariwisataan dan aspek perilaku kolektif terhadap tenun Lombok
e. Aspek promosi tenun
Pembahasan
Kondisi eksisting pariwisata yang menonjol di kawasan Nusa Tenggara Barat adalah potensi wisata alam, yang didudukkan sebagai ‘cabang kecil‘ dalam bisnis wisata Bali. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa Lombok tampaknya dipersepsikan dengan konsep komoditas yang dibangun dengan pikiran pragmatik. Dalam hal ini, tampak bahwa Lombok hanya dilihat secara fisik sebagai ‘objek‘ yang lepas dari ikatan tradisi dan kulturalnya. Konsep ini seolah-olah didasarkan pada rasionalitas yang pragmatik sebab potensi kasat mata, yakni kekayaan alam yang mempesona, dijadikan satu-satunya potensi yang dapat dikelola dan dijadikan aset perdagangan, dalam hal ini kepariwisataan.
Walaupun diakui bahwa pantai masih menjadi objek wisata yang terpenting (Soekadijo, 2000: 7), akan tetapi munculnya tren baru dalam industri pariwisata abad XXI yang berkiblat pada cultural tourism (Butler, 1997; Fletcher, 1997) memberikan peluang baru baik bagi negara maupun pemerintah daerah yang menitikberatkan pendapatannya pada industri pariwisata.
Apabila akan dibangun sebuah konsep pariwisata berbasis budaya, tampaknya perlu mempertimbangkan visi dan misi pariwisata daerah NTB, visinya adalah Kepulauan Sejuta Pesona. Sementara itu, misinya adalah: (a) mengembangkan pariwisata yang berbasis alam tanpa merusaknya; (b) mengangkat budaya setempat sebagai pendukung wisata alam; (c) mengembangkan pariwisata terpadu antara alam dan budaya; (d) membuat paket-paket wisata untuk memperkenalkan seluruh potensi yang ada; dan (e) pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kepariwisataan.
Tenun Lombok adalah salah satu pesona budaya yang diyakini dapat mewakili visi tersebut. Sementara tenun sebagai cultural attractions beserta segala aspek budaya yang menyertainya (social attractions) adalah atraksi wisata yang diyakini mampu membangkitkan motivasi wisatawan untuk memperpanjang lama tinggalnya di Lombok, karena menurut De Cuellar (1996: 56) motivasi utama wisatawan adalah mendapatkan pengetahuan serta perkayaan pengalaman melalui budaya, adat istiadat, dan keseharian masyarakat lain.
Mengingat tenun dan budaya yang melatarbelakangi adalah cultural hetitage yang bersifat unrenwable sources, maka penempatan sebagai basis pariwisata budaya tidak semata-mata dirancang untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga yang berwawasan perlindungan dan pelestarian, yang bersifat dinamis dengan memberikan ruang bagi budaya untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, kami sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Geertz (1997: 19) bahwa budaya tidak dapat dimandegkan dan secara konstan selalu berkembang, dibangun, serta diciptakan kembali untuk menjawab tantangan zaman dan perkembangan kebutuhan. Bahwa tenun tradisional Lombok pun diprediksikan mengalami perkembangan dan penciptaan kembali untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan zaman.
Selain mempertimbangkan faktor ekonomi dan konservasi, pariwisata budaya berbasis tenun juga mengandung konsep pariwisata berbasis rakyat. Persyaratan ini kami masukkan ke dalam model pengembangan pariwisata budaya berbasis tenun tersebut karena tenun merupakan kerajinan rakyat, sehingga keberadaan dan keberlanjutannya tidak dapat dilepaskan dari peran aktif masyarakat sebagai pemilik tenun dan budaya yang melatarbelakanginya. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pariwisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan event-event pariwisata berskala kecil yang dapat dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat, termasuk pengusaha lokal. Karena dikelola sendiri, maka masyarakat dapat terlibat langsung di dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk menentukan mana yang boleh untuk konsumsi touris dan mana yang tidak boleh. adalah keputusan kelompok yang memiliki budaya tersebut.
Apabila kondisi semacam itu dapat dipertahankan, maka kegiatan pariwisata dapat menekan dampak sosial dan kultural yang ditimbulkan, sehingga ke depannya dapat diterima masyarakat. Karena diterima masyarakat, maka pariwisata berbasismasyarakat mempunyai peluang berumur panjang, dan menjadi sustainable tourism (Fandeli, 2000:27).
Dalam industri pariwisata, terdapat sejumlah variabel, yaitu konsumen, produsen, demand, dan suply (Sukadijo, 2000: 28), yang hubungan relasionalnya dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
Melalui diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa konsumen adalah wisatawan, produsen adalah para pelaku pariwisata yang menghasilkan produk dan jasa wisata, demand adalah kebutuhan wisatawan yang harus dipenuhi, sedangkan suply adalah kemampunyai memenuhi permintaan konsumen.
Permintaan konsumen dapat diidentifikasikan berdasarkan motivasi wisata. Secara garis besar wisatawan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu wisatawan yang orientasinya pada destinasi dan wisatawan yang orientasinya pada program. Oleh karena itu, paket wisata yang ditawarkan pun kami sesuaikan dengan segmentasi konsumen tersebut, yaitu paket wisata yang bersifat mass tourism bagi wisatawan yang mengutamakan destinasi dan paket wisata yang special interest tourism bagi wisatawan yang mengutamakan program.
Untuk membuat paket-paket wisata, terlebih dahulu dilakukan ploting sentra tenun pada peta wisata dengan objek yang sudah diunggulkan (lihat Lampiran Peta 1), dilakukan untuk mengetahui sebaran tenun serta asosiasinya dengan objek-objek unggulan tersebut. Dari peta sebaran tersebut, dibuat kluster yang berpatokan pada wisata unggulan yang sudah ada (lihat Lampiran Peta 2), yang terdiri atas: (a) Kluster I : Senggigi; (b) Kluster II: Rinjani; (c) Kluster III: Otak Kokok; (d) Kluster IV: Kuta-Sade-Sukarara; dan (e) Kluster V: Lembar-Gili-gili. Di antara kelima kluster yang dihasilkan, hanya Kluster V yang tidak memiliki komponen desa tenun.
Pada paket wisata yang bersifat masal, keberadaan tenun, baik tenun itu sendiri maupun desa serta sentra tenun menjadi destinasi dari sejumlah paket yang telah dirancang. Penawaran paket-paket wisata sebagaimana ditawarkan melalui internet (lihat Atmosudiro, 2005: 85-86 dan 80) adalah contoh paket yang diperuntukkan bagi konsumen mass tourism. Dalam paket-paket tersebut tampak bahwa Sukarara dan Sade sebagai desa-desa penghasil tenun ditempatkan sebagai destinasi. Demikian juga Pasar Sweta, yang selain merupakan pasar tradisional juga merupakan pasar kerajinan dimana tenun Lombok dapat dibeli, juga hanya didudukkan sebagai destinasi. Diagram alir berikut ini memberikan gambaran tentang kedudukan tenun dalam mass tourism.
Diagram di atas menggambarkan bahwa wisatawan yang datang di kota kedatangan (Mataram, Lembar, atau Labuanhaji) pada umumnya mempunyai destinasi utama objek wisata unggulan, yaitu objek wisata alam (bahari dan gunung) serta objek wisata situs-situs kuna, kemudia baru menuju destinasi tenun, sehingga tenun hanya menjadi objek sampiran. Bandingkan dengan diagram alir berikut ini:
Diagram alir di atas menggambarkan satu paket mass tourism yang dikembangkan dari kluster I—Senggigi. Dalam model tersebut tenun masih ditempatkan sebagai destinasi, akan tetapi dijadikan destinasi utama. Dalam kasus yang digambarkan oleh dua diagram alir di atas, wisatawan disuguhi atraksi orang menenun dan tenun sebagai souvenir. Akan tetapi, tenun sebagai souvenir mempunyai kelemahan, antara lain adalah harga yang mahal, sehingga tidak setiap wisatawan mampu membeli tenun. Akibatnya, tenun dan penenun hanya menjadi ‘tontonan‘. Para Penenun kurang, bahkan tidak, mendapat manfaat dari kegiatan pariwisata tersebut.
Selain basis destinasi, dikembangkan pula paket wisata berbasis program, yang ditujukan bagi wisatawan yang mempunyai minat khusus. Karena wisatawan tipe ini pada umumnya well educated (Fletcher, 1997: 136), maka program yang ditawarkan dirancang agar wisatawan dapat memperoleh pengalaman dan pemahaman yang mendalam tentang tenun dan berbagai aspek budaya yang melatarinya, termasuk berinteraksi secara aktif dengan masyarakat pendukungnya. Berikut ini adalah spesimen program untuk special interest tourism yang dikembangkan dari kluster IV--Sukarara-Sade-Kuta.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata: menjelaskan jenis tenun dan cara memakai pakaian adat Sebagai basis pariwisata, tenun perlu mendapat penguatan agar supaya kegiatan pariwisata yang melibatkan tenun tidak mengorbankan tenun itu sendiri. Penguatan yang pertama adalah dilakukan identifikasi produk tenun berserta konteksnya, sehingga dapat ditentukan tenun manakah yang seharusnya dikonservasi dan tenun yang manakah yang dapat adaptasi untuk kepentingan tenun pengembangan, termasuk untuk produk-produk turistik. Keputusan mengenai hal tersebut dipegang sepenuhnya oleh masyarakat pemilik tenun tersebut.
Penguatan yang kedua adalah penguatan terhadap budaya pendukung. Sebagaimana disebutkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Atmosudiro, dkk. (2003), bahwa potensi tenun sebagai objek wisata tidak hanya terletak pada nilai produknya, akan tetapi juga pada nilai intrisik yang terkandung di dalamnya, yang berkenaan dengan berbagai aspek budaya dari masyarakat yang menghasilkannya. Oleh karena itu, diperlukan penggalian terhadap budaya pendukung, baik dalam konteks budaya lama maupun dalam konteks baru.
Mengingat tenun Lombok sebenarnya belum dikenal banyak oleh masyarakat di luar Pulau Lombok, maka strategi penguatan yang berikutnya adalah promosi. Promosi dapat dilakukan secara formal melalui media-media advertensi atau dilakukan secara informal, dengan melibatkan sebanyak mungkin produk tenun ke dalam kegiatan pariwisata maupun even-even lainnya. Demikian juga penggunanaan tenun atau motif tenun untuk produk lain baik yang brsifat turistik maupun untuk kepentingan non-turistik, misalnya sampul publikasi, kartu undangan, seminar kit, bahkan diperlukan memperbanyak publikasi tenun Lombok, agar supaya masyarakat dapat ,mengenali, memahami, dan mengapresiasinya.
Contoh promosi tenun dengan memanfaatkannya sebagai seminar kit. Tenun yang digunakan untuk produk seperti ini adalah tenun produk pengembangan
Menarik untuk disimak adalah penciptaan idola atau patron yang bersedia mengenakan tenun Lombok untuk dijadikan panutan bagi masyarakat. Kasus serupa pernah dilakukan, misalnya oleh desainer Adjie Notonegoro, yang menggunakan patron Presiden Abdulrahman Wahid untuk mengangkat batik Yogya yang hampir punah, sehingga batik tersebut bangkit lagi dan dikenal di seluruh Indonesia sebagai ‘batik Gus Dur‘. Ratu Sirikit dari Kerajaan Thailand juga melakukan hal serupa untuk mengangkat sutera tradisional Thailand sehingga tekstil tersebut pun dikenal sebagai ‘sutera Sirikit‘.
Hal yang dipandang mempunyai urgensi tinggi untuk memberikan penguatan terhadap tenun yang digunakan sebagai basis pariwisata adalah panduan wisata yang menyertai program-program pariwisata budaya berbasis tenun, mengingat pemahaman masyarakat, termasuk pemandu wisata, terhadap jenis, fungsi , dan makna motif-motif pada tenun Lombok, rata-rata kurang memadai. Oleh karena itu, penelitian ini pun menghasilkan spesimen Modul Wisata Budaya Tenun Lombok (lihat suplemen terpisah). Di dalam modul tersebut diungkapkan pula budaya yang terkait dengan tenun, mulai dari upacara ritual, even-even tradisi, hingga mitos yang ada. Oleh karena itu, modul tersebut juga berguna untuk meningkatkan kemampuan pemandu wisata, terlebih apabila dilengkapi dengan Katalog Ragam Tenun Lombok yang dihasilkan dari penelitian mengenai Potensi dan Peluang Pengembangan Tenun Tradisional Indonesia: Studi Kasus Tenun Lombok yang dihasilkan oleh Atmosudiro, dkk. (2003).
Modul pendamping untuk paket wisata yang dihasilkan oleh Atmosudiro, dkk. (2004)
Dalam kegiatan pariwisata, masyarakat di daerah tujuan wisata seringkali dijadikan bagian dari atraksi wisata, terlebih lagi apabila atraksi wisata yang dicari oleh wisatawan adalah cultural dan social attractions. Akan tetapi, sangatlah tidak etis apabila dalam hal ini masyarakat di daerah tujuan wisata dipandang sebagai objek yang dinikmati oleh wisatawan (Sukadijo, 2000: 57). Sebaliknya, dengan mengacu kepada Bramwell dan Lane (1993), sebagaimana dikutip Go (1996: 115), bahwa pariwisata adalah hubungan yang langgeng antara sumberdaya turisme dengan sumberdaya manusia, diwujudkan dalam interaksi yang kompleks antara pengelola industri pariwisata, wisatawan, lingkungan, dan masyarakat sebagai tuan rumah. Dalam hal ini, masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang sadar atas hak dan kewajibannya dalam menjalankan kegiatan pariwisata, tidak hanya berkewajiban melayani wisatawan-- sebagaimana yang selama ini didengunkan oleh slogan sapta pesona, bahwa masyarakat harus menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan—melainkan juga mempunyai kekuatan untuk keputusan mengenai hal¬hal apa yang menjadi bagian budayanya dapat dikonsumsi turis. Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif menjadi kontrol aktivitas pariwisata yang terjadi, termasuk menciptakan program-program paket wisata beserta sarana pendukungnya.
Kesimpulan
Penelitian “Pengembangan Pariwisata Budaya Berbasis Tenun di Lombok” ini merupakan upaya yang kami rekomendasikan untuk memberdayakan tenun sebagai basis pariwisata budaya di Lombok. Mengingat tenun adalah cultural heritage yang merupakan unrenwable sources, maka pariwisata yang dikembangkan tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi ditujukan pula untuk meminimalkan dampak negatif kegiatan parowosata terhadap lingkungan dan sosial-budaya masyarakat pendukungnya. Dengan mempertimbangkan faktor tersebut, maka strategi pemanfaatan tenun sebagai komponen kegiatan pariwisata yang kami tawarkan adalah yang berwawasan ekonomi, edukasi, perlindungan dan pelestarian dalam arti luas, serta berbasis masyarakat. Selain itu, pariwisata budaya berbasis tenun ini pun membuka peluang baru untuk memberikan nilai tambah bagi industri pariwisata di Lombok yang selama ini hanya menitik beratkan kepada potensi alamnya, khususnya yang berupa pantai dan gunung.
Untuk mengembangkan pariwisata budaya berbasis tenun, diperlukan penyusunan program yang melibatkan tenun dalam setiap kegiatan pariwisata, baik yang bersiafat massal maupun wisata minat khusus, dilakukan dengan cara memplotkan desa/sentra tenun ke dalam peta wisata Lombok. Malalui ploting tersebut diketahui sebarannya seingga dapat dibuat kluster-kluster wisata. Dari kluster-kluster tersebutlah dikembangkan paket-paket wisata yang disertai dengan modul pendukung. Modul yang dimaksud sekaligus berfungsi sebagai acuan untuk meningkatkan kemampuan pemandu wisata.
Meskipun tenun diyakini mampu memberikan nilai tambah, guna meningkatkan pangsa pasar wisata Lombok, akan tetapi masih diperlukan sejumlah penguatan di bidang: (a) promosi yang sampai saat ini promosi tenun Lombok dirasa masih sangat lemah; (b) penciptaan produk turistik, yang hingga saat inipun produk turistik tenun masih kurang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya; (c) peningkatan kualitas pemandu wisata; dan (d) penciptaan masyarakat sadar wisata.
Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan pariwisata di Lombok, tampak bahwa masih terdapat perhatian yang tidak seimbang antara potensi wisata alam dan budaya. Oleh karena itu, agar supaya aspek budaya Lombok mampu meningkatkankualitas pariwisata Lombok, kami merekomendasikan untuk meningkatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penggalian budaya Lombok, termasuk budaya-budaya yang terkait dengan tenun, dan didokumentasikan dalam bentuk publikasi sehingga mudah diakses publik.
2. Perlu secara terus menerus dilakukan sosialisasi budaya Lombok dengan baik dan benar, agar supaya masyarakat dapat mengapresiasinya
3. Selayaknya dilakukan diklat dan pendampingan mengenai berbagai komponen pariwisata, yaitu: penciptaan produk-produk turistik, kemampuan pemandu wisata, dan penciptaan masyarakat sadar wisata
4. Secara spesifik diperlukan penggalian dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap tenun Lombok, karena kepedulian masyarakat merupakan fondasi dari keberlanjutan tradisinya, baik untuk kepentingan tradisi maupun pariwisata.
Daftar Pustaka
Anonimus, 2000. Pokok-Pokok Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Atmosudiro, Sumijati, D.S. Nugrahani, Chr. Wisma Nugraha Rich., Sektiadi, 2003. ...
Buttler, Richar W., 1997. “The Destination Life Cycle: Implication for Heritage Site Managemen and Attractivity”. Dalam Wiendu Nuryanti (ed.), 1997. Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 44-53.
Depdikbud, 1992. Pengrajin Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fandeli, Chafid dan Mukhlison, ed., 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Fletcher, John, 1997. “Heritage Tourism: Enhancing the Net Benefits of Tourism”. dlm Wiendu Nuryanti (ed.), Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 134-46.
Geertz, Clifford, 1997. ”Cultural Tourism: Tradition, Identity and Heritage Construction”. dlm Wiendu Nuryanti (ed.), 1997. Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp 14-24.
Hutter, Michael and Ilde Rizzo, 1997. Economic Perspectives on Cultural Heritage. New York: ST. Martin‘s Press, Inc.
Kusmayadi dan Endar Sugiarto, 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Saraswati, Baidyanath, 1998. The Use of Cultural Heritage as a Tool for Development. New Delhi: UNESCO Chair in the Field of Cultural Development bekerjasama dg Indira Gandhi National Centre for the Arts.
Soekadijo, 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai “Systemic Linkage ”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tanudirjo, Daud Aris, 1988. “Ragam Metoda Penelitian Arkeologi”, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
__________
Sumijati Atmosudiro; DS. Nugrahani; Wisma Nugraha, Ch.R.; dan Sektiadi adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM dan peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada
Sumber : arkeologi.ugm.ac.id - Merupakan bagian dari penelitian Hibah Bersaing XI/2, 2004.
Foto :
http://4.bp.blogspot.com
http://www.lomboksouvenir.com