Oleh: H. Soewarno Darsoprajitno
Abstract
Southeast Asia that occupied by most of Malay stock can be developed an international destination for tourism, either for social, economy, or culture. What with geologically and geographically the natural setting is very beautiful and the influence to the culture behavior of the people has been created an interdependency that can be developed easily for attractive ecological tourism. How the people to be influence or modified third natural setting, has been created a characteristic natural behavior of the Malay stock that not be met in all over the world.
The natural setting that so beautiful and strong influence to the people behavior has been created so may characteristic of the Southeast Asia engineering built ups, and represent the principle the natural resource. But the influence of the sophisticated lives, there are so many capabilities heritage are not appreciated. Even though, all kinds of wise value are easy to be met in all over southeast especially in Indonesia that cultural behavior is growing up on the same ancestor cultural roots. The natural behavior that still lives based on this natural setting can be developed for ecological tourism in the frame of the characteristic Malay stock cultural.
Ekologi
Ekologi atau ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, memang belum berkembang di Indonesia. Padahal ilmu ini cukup banyak kaitannya dengan berbagai kegiatan hidup manusia baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Kegiatan hidup manusia yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tata alam di sekitarnya, sudah berlangsung sejak zaman prasejarah hingga waktu yang tidak diketahui sepanjang bumi masih layak untuk tempat manusia bermukim dan bermasyarakat. Demikian halnya dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Berdasarkan data geologi sejarah, punahnya hewan dan tumbuhan, juga disebabkan oleh adanya perubahan tata lingkungan alam. Sebagai akibat adanya perubahan tata lingkungan alam yang berlangsung secara alami, maka hewan dan tumbuhan pun harus mampu beradaptasi, berimigrasi, atau punah di tempat. Tidak setiap hewan atau tumbuhan mampu beradaptasi, dan demikian pula dengan setiap hewan yang tidak mampu berimigrasi, kalau lingkungannya sudah tidak memadai maka punah di tempat. Tumbuhan dan atau hewan yang punah di tempat, jika data geologinya memadai, maka akan berubah menjadi fosil, termasuk makhluk hidup lainnya yang sudah mati bukan karena perubahan lingkungan.
Karena tata alam selalu berubah dari waktu ke waktu, maka makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan yang tertinggal dan menjadi fosil, ada yang dapat digunakan sebagai pemandu matra ruang, waktu, dan lingkungannya. Sementara itu bagi manusia yang memiliki akal dan dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologinya dalam mempergauli lingkungannya cukup banyak kinerja peruntukannya. Kinerja tersebut umumnya berupa kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan sosial ini paling banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa mengeluarkan biaya, sedangkan kegiatan ekonomi adalah menggali atau memanfaatkan sumber daya alamnya untuk mencari keuntungan. Bertumpu pada keuntungan sosial dan ekonomi, maka manusia dapat membudayakan dirinya dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan hidupnya, antara lain untuk pendidikan, penelitian dan pariwisata. Dalam kaitan ini maka keterpadu-serasian antara ekologi dan pariwisata perlu dipelajari dan dibina untuk mengembangkan kinerja ekologi pariwisata.
Pariwisata
Menurut UU-RI No. 9/1990 tentang kepariwisataan, yang disebut pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Sementara itu yang disebut wisata, adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
Selain definisi berdasarkan UU-RI No. 9/1999 tentang kepariwisataan, masih cukup banyak definisi yang diutarakan oleh berbagai lembaga terutama lembaga pariwisata mancanegara. Salah satu definisi di antaranya, yaitu yang ditulis dalam buku The Travel Industry, 2nd Edition, Chuck Y., Gee, et al., 1989 menyatakan, bahwa yang disebut pariwisata atau tourism yaitu:
“The term tourism has been commonly used to describe the field of travel and reflected to some extend the increasing growth in pleasure travelers who usually were called tourists.”
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tujuan orang berwisata pada umumnya disebabkan oleh:
• Makin padatnya kegiatan kerja seseorang, maka kebutuhan untuk menyegarkan kembali ruhani dan jasmaninya makin diperlukan dengan berwisata.
• Demikian pula dengan meningkatnya penghasilan seseorang, meningkat pula kemampuannya untuk berwisata
• Selanjutnya, jika pengetahuan seseorang yang berpenghasilan tinggi meningkat, maka meningkat pula kualitas dan kuantitas wisata yang dicapainya.
Selain yang secara umum sudah dikenal, para wisatawan sebagai obyek dan daya tarik wisata, masih banyak daya tarik lainnya yang dapat dibina dan dipromosikan sasaran pelawatan wisata, bukan hanya di darat tetapi juga di laut dan udara. Sebagian besar di antaranya yang dapat dibina dan dikembangkan yaitu hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk lainnya dengan tata lingkungan hidupnya yang menciptakan perilaku budaya yang khas, dan dibina untuk wisata ekologi. Kekhasan wisata ekologi ,yaitu wisata yang mengacu pada asas pencagaran, sampai sekarang belum dikembangkan, padahal sasarannya cukup luas baik kualitas maupun kuantitas daya tariknya. Berdasar laporan para wisatawan manca-negara yang senang menjelajahi Kepulauan Indonesia, pada umumnya mereka mencari sasaran wisata ekologi yang tersebar di daerah pedalaman sampai dengan di daerah pantai yang khas rumpun Melayu.
Wisata Ekologi (Pariwisata Ekologi)
Masih banyak yang menerjemahkan atau mengindonesiakan “ecotourism” dengan bahasa yang keliru. Padahal “ecotourism” atau “ecological tourism” arti bahasanya yaitu wisata ekologi yang definisinya dalam bahasa Inggris adalah: “Ecotourism is responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people.” (S. Balangy and M.E. Wood, 1992)
Wisata ekologi di Indonesia belum dibina dengan baik dan benar, padahal wisatawan penggemarnya amat banyak, terutama wisatawan manca negara yang senang pada sesuatu yang baru, atau yang belum pernah dialami seperti halnya budaya khas rumpun Melayu yang tidak bersifat petualangan. Sesuatu yang baru tersebut dapat berupa pengalaman atau lingkungan hidup yang sama sekali berbeda dengan lingkungan hidup di tempatnya bermukim dan bermasyarakat. Mengingat bahwa kehidupan yang adati masih banyak terdapat di Indonesia, maka sasaran untuk berwisata ekologi masih cukup banyak, terutama di daerah yang belum dirambah jaringan jalan. Tetapi sayang sekali, di daerah tempat masyarakat adati tersebut bermukim sama sekali belum dicagar tata lingkungannya sesuai dengan keadaan alaminya termasuk perilaku budaya penduduknya. Padahal penduduk yang bermukim di daerah tersebut tidak selalu primitif, miskin, atau sengsara hidupnya. Sebab termasuk penduduk yang mampu menciptakan interdependensi dengan tata lingkungan alaminya melalui kearifan berdasar asas pencagaran. Interdependensi yang pada hakikatnya juga merupakan ekosistem yang adati, dapat dibina dan dikembangkan untuk wisata ekologi pendidikan dan penelitian sosial, ekonomi, dan atau budaya.
Untuk mencari lokasi wisata ekologi, dapat dipelajari melalui peta, foto udara, atau foto satelit hingga keunikan penampilannya dapat dianalisis daya tariknya. Sementara itu latar belakang sejarahnya dapat dipelajari melalui studi pustaka, atau kalau tidak ada dapat dianalisis melalui foto udara atau peta topografi. Untuk meyakinkan, maka studi lapangan dapat pula dilakukan untuk memperoleh data primer.
Berdasarkan studi di atas, maka suatu analisis mengenai dampak lingkungan sebaiknya juga dilakukan untuk mengambil keputusan. Hasil analisis (amdal) dapat digunakan untuk audit lingkungan sesuai dengan UU-RI No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab wisata ekologi merupakan kegiatan wisata yang bertanggung jawab khususnya pada tata alami dan perilaku budaya penduduknya.
Pariwisata Antropo-Ekologi
Pada asal mula ekologi dipelajari, masih terbatas pada hubungan makhluk hidup yang tergolong tumbuhan dan hewan dengan lingkungannya. Hingga semua kegiatan ekologi termasuk wisata ekologi, selalu cenderung masuk ke hutan, atau paling tidak di tepi kawasan hutan. Sampai sekarang pengertian ini masih belum sepenuhnya dipahami benar. Karena itu perlu sekali direnungkan konsepsi Clifford Geertz (1963), “How far is culture influenced by environment?” “How far is the environment modified by the activities of man?” Demikian pula konsepsi J.E. Spencer dan W.L. Thomas (1978) yang menyatakan, bahwa “How human living Systems in separate parts of the earth have developed at varying rates and into different culture systems.”
Berdasarkan konsepsi di atas rupanya Staanley Plog (1972) kemudian memberikan batasan kepribadian pada wisatawan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Psychocentrics; Individual with a strong need for consistency and the familiar the tried in true in this lives; when traveling they prefer to visit save destination and do not experiment with accommodations, food or entertainment.
2. Midcentrics; Individuals who are in his midrange between allocentrics (those wanting to experience new destinations and cultures) and psychocentrics (those wanting to travel only to familiar, tired are true destinations). Midcentrics are not too adventurous, neither are they afraid to try new experiences as long as they are not too challenging.
3. Alocentrics, Individuals with a strong need for variety and new experience, when traveling they seek destinations that offer an opportunity to experience different cultures and environments.
Mengacu pada konsepsi di atas, maka di samping pariwisata ekologi, maka pariwisata antropo-ekologi cukup banyak keanekaragamannya dan mudah sekali ditemukan di mana saja di Indonesia. Sebab lokasi banyak terdapat di kota, desa pulau terpencil, dan dimana saja manusia bermukim dan bermasyarakat, dan memiliki kekhasan tata sosial, ekonomi, dan budaya. Keunikan penampilan, latar belakang sejarah dan fungsinya untuk kepariwisataan cukup meyakinkan untuk dibina tanpa mengabaikan asas pencagaran. Pariwisata antropo-ekologi juga dapat dibina untuk pengembangan pariwisata udara (airbone tourism) dan pariwisata maritim (marine tourism).
Unsur Alami yang Membentuk Budaya Rumpun Melayu
Pada waktu angkutan darat dan udara belum berperan, maka angkutan laut dan sungailah yang amat berperan. Keadaan ini sangat menguntungkan, apalagi di beberapa batang sungai yang besar dan cukup panjang bermuara di Selat Malaka. Beberapa batang sungai tersebut yang paling berperan, yaitu sungai Musi, Batanghari, Siak, dan satu dua lagi lainnya. Namun dari semua sungai tersebut, secara geografi sungai Musi tampak paling terbuka dan posisinya paling mudah dicapai dari Laut Cina Selatan yang sejak awal terjadinya migrasi manusia dari daratan Asia ke Kepulauan Nusantara, khususnya Sumatera (Suwarnadwipa) dan Jawa (Jawadwipa), sudah mengenal beberapa muara sungai. Awal mula terjadinya migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara terjadi pada awal Plistosen (sekitar dua juta tahun yang lalu) berdasar berbagai temuan geologi yang dapat digunakan untuk mempelajari jejak perjalanan manusia prasejarah (Sartono, 1987). Salah satu lintasan yang dilalui, yaitu kawasan muara Sungai Musi yang pada saat itu tampaknya merupakan jalur lintasan paling mudah berdasar tata geologi daerah setempat.
Di samping muara Citarum dan Cimanuk di Jawa Barat yang menjadi jalur masuk ke pedalaman (van Bemmelen, 1949), muara Sungai Musi tampaknya juga menjadi alur masuk ke pedalaman, sekalipun belum seramai muara Citarum pada zaman prasejarah. Tampaknya baru pada peralihan milenium I ke milenium II, muara sungai Musi mulai dikunjungi oleh para pedagang, khususnya dari daratan Cina. Letaknya secara geografi yang sangat strategis inilah yang rupanya mendorong perkembangan kegiatan perdagangan termasuk penciptaan budaya rumpun Melayu.
Perkembangan yang amat pesat ini karena tata geografi alami yang demikian menarik, hingga mengalahkan berbagai muara sungai besar lainnya di sepanjang Selat Malaka yang tertutup gugusan pulau yang menyulitkan fungsinya sebagai jalur lalu lintas pelayaran. Apalagi tata geografi dan profil kepulauannya juga berfungsi sebagai rambu alami lalu lintas pelayaran sehingga ikut menunjang perkembangan Kerajaan Sriwijaya, termasuk budaya rumpun Melayunya.
Kerajaan rumpun Melayu yang umumnya bersifat maritim inilah yang kemudian mampu menyebarkan perilaku budayanya yang umumnya juga diwarnai unsur Islami, sekalipun perkembangan lanjutnya terdapat di Kesultanan Deli sesuai dengan arus perdagangan yang datang dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Sekalipun demikian, berbagai data semiotik berguna bagi kepentingan pariwisata sekaligus untuk pencagaran. Pariwisata yang paling memadai adalah pariwisata ekologi, sebab tidak perlu mengubah keadaan aslinya, kecuali melengkapi sarana yang juga berfungsi sebagai mintakat penyanga (buffer zone).
Pustaka Acuan
Achadiati, Y.S., 19(?). Sejarah Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya. Jakarta: Penerbit PT. (Persero) Gita Karya.
Bemmelen, R.W. van, 1949. The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
Darsoprajitno, S., “Kearifan Wiranatakusumah II dalam memantau Lingkungan Alamnya.” Harian umum Pikiran Rakyat, Bandung.
_______________, 2001. “Citarum dan Stabilitas Politik.” Harian umum Pikiran Rakyat, Bandung.
Hardesty, D.L., 1977. Ecological Anthropology. New York: John Wiley & Sons.
Sartono, 1987. Migrasi Manusia Plestosen Indonesia, Publikasi Khusus No. 7 Bandung: Puslitbang Geologi.
Soejono, R.P., 1987. Lingkungan dan Budaya Plestosen Indonesia. Publikasi Khusus No. 7 Bandung: Puslitbang Geologi.
Sukamto, R., Pengetahuan Geologi Indonesia: Tantangan dan Pemanfaatan. Publikasi Khusus No. 22 Bandung: Puslitbang Geologi.
Spencer, J.E. & Thomas, W.L., 1978. Introducing Cultural Geography, 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons.
__________________
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Nasional Pariwisata, Volume 2, Desember 2002 – ISSN 1411 – 1527
H. Soewarno Darsoprajitno, adalah Ketua Perhimpunan Objek Wisata Jawa Barat
Abstract
Southeast Asia that occupied by most of Malay stock can be developed an international destination for tourism, either for social, economy, or culture. What with geologically and geographically the natural setting is very beautiful and the influence to the culture behavior of the people has been created an interdependency that can be developed easily for attractive ecological tourism. How the people to be influence or modified third natural setting, has been created a characteristic natural behavior of the Malay stock that not be met in all over the world.
The natural setting that so beautiful and strong influence to the people behavior has been created so may characteristic of the Southeast Asia engineering built ups, and represent the principle the natural resource. But the influence of the sophisticated lives, there are so many capabilities heritage are not appreciated. Even though, all kinds of wise value are easy to be met in all over southeast especially in Indonesia that cultural behavior is growing up on the same ancestor cultural roots. The natural behavior that still lives based on this natural setting can be developed for ecological tourism in the frame of the characteristic Malay stock cultural.
Ekologi
Ekologi atau ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, memang belum berkembang di Indonesia. Padahal ilmu ini cukup banyak kaitannya dengan berbagai kegiatan hidup manusia baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Kegiatan hidup manusia yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tata alam di sekitarnya, sudah berlangsung sejak zaman prasejarah hingga waktu yang tidak diketahui sepanjang bumi masih layak untuk tempat manusia bermukim dan bermasyarakat. Demikian halnya dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Berdasarkan data geologi sejarah, punahnya hewan dan tumbuhan, juga disebabkan oleh adanya perubahan tata lingkungan alam. Sebagai akibat adanya perubahan tata lingkungan alam yang berlangsung secara alami, maka hewan dan tumbuhan pun harus mampu beradaptasi, berimigrasi, atau punah di tempat. Tidak setiap hewan atau tumbuhan mampu beradaptasi, dan demikian pula dengan setiap hewan yang tidak mampu berimigrasi, kalau lingkungannya sudah tidak memadai maka punah di tempat. Tumbuhan dan atau hewan yang punah di tempat, jika data geologinya memadai, maka akan berubah menjadi fosil, termasuk makhluk hidup lainnya yang sudah mati bukan karena perubahan lingkungan.
Karena tata alam selalu berubah dari waktu ke waktu, maka makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan yang tertinggal dan menjadi fosil, ada yang dapat digunakan sebagai pemandu matra ruang, waktu, dan lingkungannya. Sementara itu bagi manusia yang memiliki akal dan dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologinya dalam mempergauli lingkungannya cukup banyak kinerja peruntukannya. Kinerja tersebut umumnya berupa kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan sosial ini paling banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa mengeluarkan biaya, sedangkan kegiatan ekonomi adalah menggali atau memanfaatkan sumber daya alamnya untuk mencari keuntungan. Bertumpu pada keuntungan sosial dan ekonomi, maka manusia dapat membudayakan dirinya dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan hidupnya, antara lain untuk pendidikan, penelitian dan pariwisata. Dalam kaitan ini maka keterpadu-serasian antara ekologi dan pariwisata perlu dipelajari dan dibina untuk mengembangkan kinerja ekologi pariwisata.
Pariwisata
Menurut UU-RI No. 9/1990 tentang kepariwisataan, yang disebut pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Sementara itu yang disebut wisata, adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
Selain definisi berdasarkan UU-RI No. 9/1999 tentang kepariwisataan, masih cukup banyak definisi yang diutarakan oleh berbagai lembaga terutama lembaga pariwisata mancanegara. Salah satu definisi di antaranya, yaitu yang ditulis dalam buku The Travel Industry, 2nd Edition, Chuck Y., Gee, et al., 1989 menyatakan, bahwa yang disebut pariwisata atau tourism yaitu:
“The term tourism has been commonly used to describe the field of travel and reflected to some extend the increasing growth in pleasure travelers who usually were called tourists.”
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tujuan orang berwisata pada umumnya disebabkan oleh:
• Makin padatnya kegiatan kerja seseorang, maka kebutuhan untuk menyegarkan kembali ruhani dan jasmaninya makin diperlukan dengan berwisata.
• Demikian pula dengan meningkatnya penghasilan seseorang, meningkat pula kemampuannya untuk berwisata
• Selanjutnya, jika pengetahuan seseorang yang berpenghasilan tinggi meningkat, maka meningkat pula kualitas dan kuantitas wisata yang dicapainya.
Selain yang secara umum sudah dikenal, para wisatawan sebagai obyek dan daya tarik wisata, masih banyak daya tarik lainnya yang dapat dibina dan dipromosikan sasaran pelawatan wisata, bukan hanya di darat tetapi juga di laut dan udara. Sebagian besar di antaranya yang dapat dibina dan dikembangkan yaitu hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk lainnya dengan tata lingkungan hidupnya yang menciptakan perilaku budaya yang khas, dan dibina untuk wisata ekologi. Kekhasan wisata ekologi ,yaitu wisata yang mengacu pada asas pencagaran, sampai sekarang belum dikembangkan, padahal sasarannya cukup luas baik kualitas maupun kuantitas daya tariknya. Berdasar laporan para wisatawan manca-negara yang senang menjelajahi Kepulauan Indonesia, pada umumnya mereka mencari sasaran wisata ekologi yang tersebar di daerah pedalaman sampai dengan di daerah pantai yang khas rumpun Melayu.
Wisata Ekologi (Pariwisata Ekologi)
Masih banyak yang menerjemahkan atau mengindonesiakan “ecotourism” dengan bahasa yang keliru. Padahal “ecotourism” atau “ecological tourism” arti bahasanya yaitu wisata ekologi yang definisinya dalam bahasa Inggris adalah: “Ecotourism is responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people.” (S. Balangy and M.E. Wood, 1992)
Wisata ekologi di Indonesia belum dibina dengan baik dan benar, padahal wisatawan penggemarnya amat banyak, terutama wisatawan manca negara yang senang pada sesuatu yang baru, atau yang belum pernah dialami seperti halnya budaya khas rumpun Melayu yang tidak bersifat petualangan. Sesuatu yang baru tersebut dapat berupa pengalaman atau lingkungan hidup yang sama sekali berbeda dengan lingkungan hidup di tempatnya bermukim dan bermasyarakat. Mengingat bahwa kehidupan yang adati masih banyak terdapat di Indonesia, maka sasaran untuk berwisata ekologi masih cukup banyak, terutama di daerah yang belum dirambah jaringan jalan. Tetapi sayang sekali, di daerah tempat masyarakat adati tersebut bermukim sama sekali belum dicagar tata lingkungannya sesuai dengan keadaan alaminya termasuk perilaku budaya penduduknya. Padahal penduduk yang bermukim di daerah tersebut tidak selalu primitif, miskin, atau sengsara hidupnya. Sebab termasuk penduduk yang mampu menciptakan interdependensi dengan tata lingkungan alaminya melalui kearifan berdasar asas pencagaran. Interdependensi yang pada hakikatnya juga merupakan ekosistem yang adati, dapat dibina dan dikembangkan untuk wisata ekologi pendidikan dan penelitian sosial, ekonomi, dan atau budaya.
Untuk mencari lokasi wisata ekologi, dapat dipelajari melalui peta, foto udara, atau foto satelit hingga keunikan penampilannya dapat dianalisis daya tariknya. Sementara itu latar belakang sejarahnya dapat dipelajari melalui studi pustaka, atau kalau tidak ada dapat dianalisis melalui foto udara atau peta topografi. Untuk meyakinkan, maka studi lapangan dapat pula dilakukan untuk memperoleh data primer.
Berdasarkan studi di atas, maka suatu analisis mengenai dampak lingkungan sebaiknya juga dilakukan untuk mengambil keputusan. Hasil analisis (amdal) dapat digunakan untuk audit lingkungan sesuai dengan UU-RI No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab wisata ekologi merupakan kegiatan wisata yang bertanggung jawab khususnya pada tata alami dan perilaku budaya penduduknya.
Pariwisata Antropo-Ekologi
Pada asal mula ekologi dipelajari, masih terbatas pada hubungan makhluk hidup yang tergolong tumbuhan dan hewan dengan lingkungannya. Hingga semua kegiatan ekologi termasuk wisata ekologi, selalu cenderung masuk ke hutan, atau paling tidak di tepi kawasan hutan. Sampai sekarang pengertian ini masih belum sepenuhnya dipahami benar. Karena itu perlu sekali direnungkan konsepsi Clifford Geertz (1963), “How far is culture influenced by environment?” “How far is the environment modified by the activities of man?” Demikian pula konsepsi J.E. Spencer dan W.L. Thomas (1978) yang menyatakan, bahwa “How human living Systems in separate parts of the earth have developed at varying rates and into different culture systems.”
Berdasarkan konsepsi di atas rupanya Staanley Plog (1972) kemudian memberikan batasan kepribadian pada wisatawan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Psychocentrics; Individual with a strong need for consistency and the familiar the tried in true in this lives; when traveling they prefer to visit save destination and do not experiment with accommodations, food or entertainment.
2. Midcentrics; Individuals who are in his midrange between allocentrics (those wanting to experience new destinations and cultures) and psychocentrics (those wanting to travel only to familiar, tired are true destinations). Midcentrics are not too adventurous, neither are they afraid to try new experiences as long as they are not too challenging.
3. Alocentrics, Individuals with a strong need for variety and new experience, when traveling they seek destinations that offer an opportunity to experience different cultures and environments.
Mengacu pada konsepsi di atas, maka di samping pariwisata ekologi, maka pariwisata antropo-ekologi cukup banyak keanekaragamannya dan mudah sekali ditemukan di mana saja di Indonesia. Sebab lokasi banyak terdapat di kota, desa pulau terpencil, dan dimana saja manusia bermukim dan bermasyarakat, dan memiliki kekhasan tata sosial, ekonomi, dan budaya. Keunikan penampilan, latar belakang sejarah dan fungsinya untuk kepariwisataan cukup meyakinkan untuk dibina tanpa mengabaikan asas pencagaran. Pariwisata antropo-ekologi juga dapat dibina untuk pengembangan pariwisata udara (airbone tourism) dan pariwisata maritim (marine tourism).
Unsur Alami yang Membentuk Budaya Rumpun Melayu
Pada waktu angkutan darat dan udara belum berperan, maka angkutan laut dan sungailah yang amat berperan. Keadaan ini sangat menguntungkan, apalagi di beberapa batang sungai yang besar dan cukup panjang bermuara di Selat Malaka. Beberapa batang sungai tersebut yang paling berperan, yaitu sungai Musi, Batanghari, Siak, dan satu dua lagi lainnya. Namun dari semua sungai tersebut, secara geografi sungai Musi tampak paling terbuka dan posisinya paling mudah dicapai dari Laut Cina Selatan yang sejak awal terjadinya migrasi manusia dari daratan Asia ke Kepulauan Nusantara, khususnya Sumatera (Suwarnadwipa) dan Jawa (Jawadwipa), sudah mengenal beberapa muara sungai. Awal mula terjadinya migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara terjadi pada awal Plistosen (sekitar dua juta tahun yang lalu) berdasar berbagai temuan geologi yang dapat digunakan untuk mempelajari jejak perjalanan manusia prasejarah (Sartono, 1987). Salah satu lintasan yang dilalui, yaitu kawasan muara Sungai Musi yang pada saat itu tampaknya merupakan jalur lintasan paling mudah berdasar tata geologi daerah setempat.
Di samping muara Citarum dan Cimanuk di Jawa Barat yang menjadi jalur masuk ke pedalaman (van Bemmelen, 1949), muara Sungai Musi tampaknya juga menjadi alur masuk ke pedalaman, sekalipun belum seramai muara Citarum pada zaman prasejarah. Tampaknya baru pada peralihan milenium I ke milenium II, muara sungai Musi mulai dikunjungi oleh para pedagang, khususnya dari daratan Cina. Letaknya secara geografi yang sangat strategis inilah yang rupanya mendorong perkembangan kegiatan perdagangan termasuk penciptaan budaya rumpun Melayu.
Perkembangan yang amat pesat ini karena tata geografi alami yang demikian menarik, hingga mengalahkan berbagai muara sungai besar lainnya di sepanjang Selat Malaka yang tertutup gugusan pulau yang menyulitkan fungsinya sebagai jalur lalu lintas pelayaran. Apalagi tata geografi dan profil kepulauannya juga berfungsi sebagai rambu alami lalu lintas pelayaran sehingga ikut menunjang perkembangan Kerajaan Sriwijaya, termasuk budaya rumpun Melayunya.
Kerajaan rumpun Melayu yang umumnya bersifat maritim inilah yang kemudian mampu menyebarkan perilaku budayanya yang umumnya juga diwarnai unsur Islami, sekalipun perkembangan lanjutnya terdapat di Kesultanan Deli sesuai dengan arus perdagangan yang datang dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Sekalipun demikian, berbagai data semiotik berguna bagi kepentingan pariwisata sekaligus untuk pencagaran. Pariwisata yang paling memadai adalah pariwisata ekologi, sebab tidak perlu mengubah keadaan aslinya, kecuali melengkapi sarana yang juga berfungsi sebagai mintakat penyanga (buffer zone).
Pustaka Acuan
Achadiati, Y.S., 19(?). Sejarah Peradaban Manusia Zaman Sriwijaya. Jakarta: Penerbit PT. (Persero) Gita Karya.
Bemmelen, R.W. van, 1949. The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
Darsoprajitno, S., “Kearifan Wiranatakusumah II dalam memantau Lingkungan Alamnya.” Harian umum Pikiran Rakyat, Bandung.
_______________, 2001. “Citarum dan Stabilitas Politik.” Harian umum Pikiran Rakyat, Bandung.
Hardesty, D.L., 1977. Ecological Anthropology. New York: John Wiley & Sons.
Sartono, 1987. Migrasi Manusia Plestosen Indonesia, Publikasi Khusus No. 7 Bandung: Puslitbang Geologi.
Soejono, R.P., 1987. Lingkungan dan Budaya Plestosen Indonesia. Publikasi Khusus No. 7 Bandung: Puslitbang Geologi.
Sukamto, R., Pengetahuan Geologi Indonesia: Tantangan dan Pemanfaatan. Publikasi Khusus No. 22 Bandung: Puslitbang Geologi.
Spencer, J.E. & Thomas, W.L., 1978. Introducing Cultural Geography, 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons.
__________________
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Nasional Pariwisata, Volume 2, Desember 2002 – ISSN 1411 – 1527
H. Soewarno Darsoprajitno, adalah Ketua Perhimpunan Objek Wisata Jawa Barat