Oleh: A. Daliman
Pengantar
Sejak dahulu di wilayah Daerah Isti¬mewa Yogyakarta telah berdiri pusat¬-pusat kerajaan, silih berganti, yang se¬kaligus menjadi pusat-pusat kebudayaan, peradaban, dan seni. Peninggalan-pening¬galan sejarah dan budayanya masih dapat disaksikan hingga sekarang ini seperti candi-candi, bangunan kraton, tata-upacara serta adat-istiadat, kesenian, dan kerajinan rakyat tradisionai, yang sebagian besar ma¬sih lestari secara turun-temurun dan malah¬an berkembang sampai saat sekarang. Maka dari itu, adalah tepat dan sesuai dengan akar-akar historis dan kultural, apabila kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang Iebih-lebih didorong oleh tidak mungkinnya lagi sektor pertanian menjamin kehidupan rakyat, kemudian me¬ngembangkan program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wi¬sata budaya dengan didukung industri seni kerajinan rakyat.
Di antara industri-industri seni kerajinan rakyat Yogyakarta ini, yang menjadi prima¬dona dan memberikan identitas kepada kota ini adalah industri seni kerajinan perak. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas se¬telah secara selintas dikupas akar-akar se¬jarah dan profit industri seni kerajinan perak yang pada dasarnya memusat di kawasan Kotagede, dalam tulisan dikedepankan pula peranannya sebagai pendukung pariwisata budaya, strateginya dalam menanggulangi krisis ekonomi, beserta prospek dan tantangan global yang dihadapinya.
Kerangka Teori dan Metodologi
Pengembangan pariwisata setidak¬tidaknya mempersyaratkan dua hal, yaki pertama, penampilan eksotis (exotic) suau pariwisata, dan kedua, pemenuhan bagi kebutuhan orang modern dengan apa yang disebut sebagai hiuran waktu sengang (leisure) (Wit, 1987: iii).
Hampir semua industri pariwisata se¬nantiasa mengidentifikasikan produk dan objek wisatanya sebagai sesuatu yang eksotis. Eksotisme pariwisata buanlah se¬suatu yang sama sekali belum dikenal atau diketahuinya. Lebih dari itu, eksotisme me¬nawarkan suatu bentuk penjelajahan, pe¬tualangan, dan peneuan baru. Maka dari itu, tidaklah mengheanan dengan berbagai rekayasa citra buaya eksotisme tujuan wi¬sata seringkali ditampilkan sebagai sesuatu yang masih asli dan membuat pesertanya bertambah harga dirinya.
Hiburan waktu senggang (leisure time) memiliki makna yang semakin penting se¬bagai bagian dari nilai tambah kerja dan produksi seseorang. Leisure ditawarkan se¬bagai sebuah produk pariisata. Citra yang ditampilkan adalah baha orang perlu ber¬wisata untuk mendapatkan kesegaran yang telah hilang dari dirinya karena bekerja (Spillane, 1994: 14-17 ).
Eksotisme Yogyakarta sebagai pusat dan tujuan wisata terletak pada faktor bu¬dayanya. Yang dimaksud budaya menakup keduanya, baik dalam arti bentuk-bentuk bangunan monumental peinggalan sejarah dan peradaban masa lampau yang statis maupun produk dinamika warga masya¬rakat, seniman dan budayawannya dengan segala aktiitas dan kreativitasnya. Program ungulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya, karenanya, bukanah tanpa aset dan mampu menjamin kedua persyaratan pariwisata, eksotise. dan hiburan waktu senggang (leisure). Orisinali¬tas objek pariwisata budaya yang ditawar¬kannya pun bukanlah seuau hasil rekayasa.
Ada lima ciri utama industri pariwisata budaya sebagai suatu bisnis jasa dan pe¬layanan, ialah: (1) sifatnya yang tak ber¬wujud (intangible), (2) sulit diukur standar kualitasnya, (3) proses produksi dan kon¬sumsi bersifat simultan. (4) produk pari¬wisata tidak dapat disimpan, dan (5) karena sifatnya yang tak berwujud, tampaknya si pembeli jasa tidak memperoleh sesuatu dari transaksinya dengan si penjual jasa (Spillane. 1989: 445). Sebagai sektor eko¬nomi pariwisata juga merupakan sektor yang tidak kelihatan dalam data stastistik (statistically invisible).
Oleh sebab itu, industri pariwisata se¬betulnya lebih besar daripada pariisata itu. Ada aspek-aspek kegiatan yang berhu¬bungan secara langsung seperti fasilitas rekreasi, atraksi wisata, toko-toko dan jasa¬jasa lokal, dan tidak kalah pentingnya pula adalah aspek yang tidak langsung (sebagai pendukung) seperti pertanian, industri dan kerajinan cindeamata. dan lain-lain. Industri pariwisata tidak berdiri sendiri dan memer¬lukan dukungan ganda (multiplier support) (Spillane, 1994 : 39).
Pendukung utama bagi industri pariwi¬sata budaya di Yogyakarta berasal dari industri-industri seni kerajinan cinderamata (souvenir) seperti kerajnan kulit, batik, dan kerajinan perak sebagai primadonanya. Untuk melihat peranan industri cinderamata sebagai pendukung pariwisata dapat dikaji besarnya pengeluaran wisatawan yang dibelanjakan untuk cinderamata.
Untuk mengungkap peranan industri se¬ni kerajinan perak sebagai pendukung pari¬wisata budaya di Daerah Istimewa Yogya¬karta digunakan metode dan pendekatan multidimensional. Data-data digali dan di¬himpun dengan penggunaan berbagai me¬tode secara simultan melalui observasi, wawancara, studi dokumen, dan kepusta¬kaan. Demikian pula untuk menganalisisnya dipergunakan secara simultan pendekatan¬pendekatan ekonomik, historis, budaya, dan seni. Semua itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan komprehensif.
Sejarah dan Profil Industri Seni Kerajinan Perak
Pengalaman negara-negara maju me¬nunjukkan bahwa fundamental ekonomi suatu bangsa hanya bisa dibangun secara kokoh di atas tradisi dan pengalaman usa¬ha (entrepreneurship) bangsa tersebut. Tradisi dan pengalaman usaha industri ke¬rajinan perak di Kotagede, Yogyakarta. yang telah mengalir turun-temurun selama empat abad akan memberikan jaminan bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjadikan industri seni kerajinan sebagai primadona pendukung usaha Yog¬yakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya.
a. Asal-usul Industri Seni Kerajinan Perak
Tumbuhnya seni kerajinan perak. juga emas. can tembaga adalah bersama-sama dengan tumbuhnya kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede sebagai ibukota kerajaan (kuthagara) pada abad ke-16 dan 17. bahkan ada indikasi sejak lebih awal lagi. yaitu sekitar abad ke-9 (Soe¬kiman, 1993 : 71). Seni kerajinan tersebut pada masa itu merupakan pekerjaan para abdi dalem (pegawai kraton) yang disebut abdi dalem kriya dalam memenuhi perleng¬kapan dan kebutuhan kraton akan berbagai perhiasan dari emas dan perak dan alat¬alat serta perlengkapan rumah tangga lain. Para abdi dalem kriya tersebut tinggal mengelompok pada suatu perkampungan yang memperoleh nama sesuai dengan jenis kerajinan yang mereka kerjakan yang toponimnya hingga kini masih mudah diidentifikasi di sekitar Kotagede. Perkam¬pungan bagi para abdi dalem perajin emas (dan perak) disebut Kemasan, bagi perajin alat-alat dari besi disebut Pandean. bagi perajin keris Mranggi atau Mranggen atau sekarang menjadi Prenggan, dan Bathikan bagi perajin batik (Sagimun MD dan Abu. 1981 : 70-71).
Ketika pusat kerajaan pindah dari Kota¬gede ke Yogyakarta para perajin emas dan perak tersebut tetap tinggal di Kotagede serta tetap terus mengembangkan usaha kerajinannya. Namun, hubungan dengan Kraton Yogyakarta tidak terputus karena¬nya. Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939), misalnya, adalah pelanggan dan konsumen utama produk kerajinan emas dan perak dari Kotagede. Dalam hu¬bungan ini kraton bertungsi sebagai pelindung, pelestari dan penerus kesenian dan kebudayaan tradisional pada umumnya (Soekiman, 1993 : 72).
Tumbuhnya kelompok pakaryan perak mengembangkan kerajinan perak menjadi lebih komersial (Soekiman, 1993 : 71) tanpa meninggalkan nilai-nilai seni adi¬luhung (indah dan tinggi filosofi)-nya (Humas Propinsi DIY : 63). Masuknya pengaruh Barat (Belanda) telah memacu perkembangan industri kerajinan perak. Nilai dan apresiasi terhadap produk ke¬rajinan perak menjadi meningkat ketika orang-orang Belanda mulai memesan dari industri seni kerajinan perak berbagai peralatan dan perlengkapan rumah tangga model Eropa, tetapi dengan motif serta ukiran bias Yogyakarta. Sejak saat itu pula produk-produk industri kerajinan perak bukan saja dipasarkan di kalangan orang¬orang Belanda serta orang-orang asing yang bermukim di Indonesia, tetapi juga diekspor ke Eropa, terutama ke negeri Belanda. Orang Jawa sendiri rupa-rupanya lebih menyukai perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas yang dipandang nilai intrinsiknya lebih tinggi dibandingkan dengan perak`.
Pemerintah Kolonial Belanda pun me¬naruh perhatian terhadap perkembangan industri kerajinan perak ini. Sejak tahun 1927 para perajin perak memperoleh pem¬binaan dengan diperkenalkannya teknik-¬teknik kerja baru, terutama teknik pemba¬karan, melalui dan atas biaya Jogjasche Jaarmarktvereeniging (Memori Serah Ja¬batan 1921-1930 : 448). Dalam kerangka upaya pembinaan industri kerajinan perak pula pada tahun 1933 atas inisiatif Guber¬nur Verohuur di Yogyakarta didirikan yayasan Stichting Beverdering van Het Jogjakarta Kenst Ambacht yang dengan singkat disebut Pakaryan Ngayogyakarta.
Tenaga ahli dan para peminat yang mem¬bantu yayasan ini adalah Ir. Sitsen, Ir. Ulvans, Ir. Gan van der Vet, Ir. Resink, demikian juga tenaga ahli pribumi seperti Ir. Supardi, Katamsi, G.T. Tedjakusuma, dan beberapa ahli dari Kraton Yogyakarta. Yayasan ini memberikan bimbingan dan pembinaan mengenai peningkatan teknik pengerjaan seperti menggambar, menghias dan meningkatkan kualitas perak beserta teknik garapannya, bahkan juga mendirikan dan menyelenggarakan art shop guna me¬nampung dan memasarkan produksi seni kerajinan perak tersebut. Yayasan ini mengikuti pameran pada Pekan Raya di Jepang pada tahun 1937 dan pada tahun 1938 di Amerika Serikat (Atmodimulyo, 1997:2).
Perkembangan pesat industri seni ter¬jadi sekitar tahun 1934-1939. Upaya-upaya peningkatan kualitas produksi dan dikem¬bangkannya kreasi dan motif-motif baru mengantarkan usaha industri seni kerajinan perak ke masa-masa kejayaan menurut ukuran zamannya. Meningkatnya keuntung¬an menarik minat para golongan pemodal dan pedagang untuk mengatihkan usaha¬nya ke bidang usaha industri dan per¬dagangan produk seni kerajinan perak. Masa-masa kejayaan industri perak tidak berlangsung lama. Perang Dunia II (1939-1945) memporak-porandakan industri seni kerajinan perak. meskipun tidak mema¬tikannnya. Industri seni kerajinan perak yang memberikan identitas dan ciri khas ke¬pada Kotagede. Yogyakarta tidak lenyap karenanya. Mahalnya harga bahan baku perak pada masa pendudukan Jepang me¬maksa para perajin dan pengusaha meng¬gunakan bahan baku yang lebih murah, seperti tembaga dan kuningan, yang kemu¬dian disepuh dengan warna perak, sesuatu yang .harus tidak boleh dipandang kemun¬duran (Soekiman 1993: 72), melainkan se¬bagai upaya perluasan usaha dengan kreasi dan variasi baru dengan mempertim¬bangkan bahan dan harga bahan dengan jangkauan masyarakat konsumen yang lebih luas pula. Dalam masa-masa sulit seperti itu terjadi pula diversifikasi usaha ialah dikembangkannya pula seni kerajinan dengan bahan-bahan baku seperti tempu¬rung kelapa, tanduk dan tulang binatang. Produknya adalah berupa tusuk konde, sisir, cincin, peniti dan lain-lain (Atmodi¬mulyo, 1997 : 2).
Masa kemerdekaan mengantarkan in¬dustri kerajinan perak kepada usaha-usaha perdagangan dan industri seni kerajinan perak menuju pola manajemen baru dan modern. Langkah ini diawali dengan rintisan berdirinya Persatuan Pengusaha Perak Kotagede (P3K) pada tahun 1951 yang akhirnya pada 9 Februari 1960 memperoleh bentuk sebagai koperasi produksi dengan nama Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y) dan berlangsung hing¬ga sekarang ini. Pengambilan nama `Yog¬yakarta" dimaksudkan untuk lebih menge¬depankan identitas daerah kerjanya. Seba¬gai koperasi produksi, KP3Y bertugas membina, mengkoordinasikan, dan mewa¬dahi aktivitas-aktivitas usaha perak di Yog¬yakarta.
b. Profit Industri Seni Kerajinan Perak Dewasa Ini
Industri seni kerajinan perak yang mem¬berikan identitas dan ciri khas kepada Yog¬yakarta ini pada dasarnya hingga sekarang masih tetap terkonsentrasi di kawasan sekitar daerah Kotagede lama, bekas kuthanegara Kerajaan Mataram Islam abad ke-16 dan 17. Pada saat sekarang kawasan industri seni kerajinan perak tersebut uta¬manya menempati wilayah-wilayah Kelu¬rahan Prenggan dan Kelurahan Purbayan (termasuk Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta) dan Kelurahan Jagalan (Keca¬matan Banguntapan, Kabupatenn Bantul). Kalaupun terdapat pengusaha industri kerajinan perak di daerah wilayah Kabu¬paten Sleman, dan jumlahnya hanya 3 unit usaha, itu pun berada di sekitar kawasan konsentrasi industri kerajinan tersebut, yakni di sekitar Maguwoharjo. Yang berada di Wonosari sebanyak 5 unit usaha, itu pun merupakan perluasan usaha industri ke¬luarga yang sudah ada. Bahkan, pada saat sekarang sudah ada juga pengusaha in¬dustri kerajinan perak dari Kotagede yang telah memperluas usahanya di Bali.
Di Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagang¬an Propinsi DIY tercatat 95 unit usaha industri kerajinan perak, 75 unit usaha di Kotagede, Yogyakarta dan 20 unit usaha di Kabupaten Bantul, yang mempekerjakan 1.269 orang tenaga kerja. Hanya 8 unit usaha di antaranya yang dapat dikatego¬rikan sebagai industri kerajinan perak yang besar (Company Profile of Yogyakarta Municipality, 1998: 87-94), tetapi yang telah tercatat sebagai eksportir mencapai jumlah 17 unit usaha (Yogya Exporters Directory. 1999: 21-24).
Pada awal tahun 1998, awal krisis di Indonesia, nilai investasi untuk tiap-tiap pengusaha industri kerajinan perak cukup bervariasi besarnya. Rata-rata sekitar Rp 283,3 juta. Nilai investasi tertinggi sebesar Rp 500 juta. dan yang terendah sebesar Rp 60 juta serta dengan nilai jual produksi yang tertinggi mencapai sekitar Rp 801 juta lebih dan yang terendah Rp 50 juta (Company Profile of Yogyakarta Muncipality, 1998 : 87-94). Mengenai sumber investasi sekitar 40 % adalah milik sendiri dan sekitar 60% selebihnya berasal dari modal pinjaman bank (Profit Sentra Kerajinan Perak, 1998 : 1). Mengenai bahan baku, seluruhnya (100%) berasal dari dalam negeri. Saban baku perak murni disuplai dari PN Aneka Tambang dari tambang emas dan perak di Cikotok, Jawa Barat (Tnunai, 1991 : 555).
Jumlah tenaga kerja pengrajin yang dipekerjakan di tiap-tiap pengusaha juga bergantung pada besar kecilnya usaha. Yang besar ada yang mempekerjakan lebih dari 200 orang, yang sedang sekitar 50-100 orang, dan yang kecil bahkan ada yang hanya mempekerjakan sekitar 5 orang (Rekapitulasi Data Perusahaan Perak 1997/1998: 1-3) dengan gaji/-upah pada waktu itu sekitar Rp 6.000.00 per hari. Gaji/upah ini adalah gaji bersih (take home pay) sebab setiap hari mereka memperoleh makanan dan minuman dari perusahaan (pabrik). Di samping gaji dan makan para pekerja itu juga memperoleh fasilitas pakaian kerja. perawatan kesehatan, tunjangan hari raya. Sumbangan perkawinan dan kematian, fasilitas olah raga. dan rekreasi setiap tahun.
Selain asosiasi utama para pengusaha perak ini, yaitu KP3Y, kini tumbuh pula berbagai asosiasi usaha lain, seperti IWAPI, ASEPHI, APINDO, ASKRAKIINDO. APIKRI, AKKPIA, AKKPI, ASITA dan KADIN sebagai tempat memperluas jaringan usaha mereka.
Sebagai Industri Cinderamata
Sektor industri kerajinan tampaknya se¬makin menjadi tumpuan harapan bagi masa depan Propinsi Daerah Istimewa Yogya¬karta. Sektor ini banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 95 % dari industri yang tum¬buh adalah berwujud dan terdiri dari industri kerajinan rakyat. Di antara 9 bahan ekspor industri kerajinan dari Yogyakarta ini andal¬an utamanya adalah produk-produk industri seni kerajinan perak. Sebagai pendukung program unggulan Yogyakarta sebagai pu¬sat budaya dan tujuan wisata (nomor dua sesudah Bali) industri kerajinan perak lebih diarahkan sebagai industri cinderamata dengan mengutamakan seni dan lebih ber¬orientasi untuk konsumsi wisatawan, balk wisatawan nusantara, maupun wisatawan mancanegara serta untuk diekspor.
a. Nilai Seni yang Tinggi
Nilai lebih dari produk industri kerajinan tradisional perak di Yogyakarta adalah kualitas seninya yang tinggi (adi luhung). Sebagai identitas karya seni kota Yogyakarta, seni kerajinan perak memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Produk-produk kera¬jinan perak lebih bersifat sebagai komoditas seni, dan karenanya, produk itu banyak dikemas dalam bentuk barang-barang sou¬venir atau cinderamata.
Sebagai komoditas seni maka proses produksi industri kerajinan perak tetap bersifat tradisional dan tetap masih mengandalkan kerja manual. Hanya bagian tertentu dalam proses kerja itu yang bagi beberapa pengusaha telah menggunakan mesin modern, misalnya dalam proses pembakaran. Sifat kerja industri kerajinan perak yang menitikberatkan segi-segi kein¬dahan menyebabkan kerja manual tidak dapat digantikan dengan kerja mekanik. Ukiran untuk ragam hias dan proses sang-ling tetap memerlukan sentuhan-sentuan tangan para seniman ukir perak.
Pola-pola ragam hias seni ukir yang memberikan ciri khas ragam hias masa Islam memperkaya nuansa motif-motif ornamen hias seni kerajinan perak. Motif-motif dasar sulur-sulur daun, bunga-bungaan, binatang-binatang tersamar (seperti burung, ular, raksasa, makara, kalamakara dan kalamerga) serta aneka bentuk geo¬metrik, bukan saja memperkaya serta mempertinggi corak dan keindahan seni kerajinan perak, sekaligus lebih mempermudah perkembangan-perkembangan un¬tuk selanjutnya (Dirdjoamiguno, 1969 : ix).
Aneka macam produk industri kerajinan perak juga meliputi aneka ragam keperluan kehidupan, dari berbagai perhiasan, ase¬soris, souvenir, hiasan dinding, tanda peng¬hargaan, miniatur-miniatur dan peralatan rumah tangga, yang semuanya senantiasa bernuansakan seni dan keindahan.
Di showroom atau artshop industri¬industri kerajinan perak di Kotagede dapat dilihat dan dinikmati nuansa seni dan keindahan aneka produk kerajinan perak yang terpajang di situ. Produk-produk perhiasan wanita. misalnya bros, kalung, giwang, anting¬anting. subang. tusuk konde, gelang, cincin. kancing manchet, peniti dan lain-lain. Ber¬bagai miniatur tampak seperti miniatur ber¬bagai candi dan patung. monumen, senjata. helm, miniatur binatang seperti kuda. gajah, harimau. naga. dan lain-lain. Peralatan rumah tangga, antara lain. adalah berbagai macam sendok. garpu. piring, cangkir dan gelas. tempat buah. tempat teh. kopi dan susu. kotak rokok. tempat abu (asbak). tempat Surat. bingkai foto. tempat lilin. dan sebagainya. Aneka jenis plate (piringan) dan plaket serta bentuk-bentuk piagam lainnya juga disediakan bagi instansi¬instansi yang bermaksud memberikan tanda-tanda penghargaan tertentu.
Apabila lebih cermat lagi mengamati produk-produk seni kerajinan perak tersebut. kita sungguh dikagumkan oleh aneka bentuknya yang indah-indah dengan pernik¬perniknya yang halus. Tampak pula kejelian kerja ukirnya yang disertai dengan ketelitian presisi dalam berbagai aspek seperti besar¬kecilnya barang (produksi). penggunaan¬nya, letak relief ukirnya, harmoni, proporsi dan komposisi ragam hias. bentuk simetrik¬nya. alur gerak (ritme) ukiran, corak seni (artistik) dan corak watak (karakteristik) nya. Nilai seni bermutu tinggi ini akan tetap menandai produk-produk kerajinan perak sebagai produk unggulan.
b. Berorientasi pada Wisatawan dan Ekspor
Sebagai pendukung industri pariwisata, pangsa pasar produk-produk seni kerajinan perak adalah 40% untuk konsumsi wisata¬wan nusantara (wisnu) dan pasar dalam negeri, dan 60% selebihnya untuk kon¬sumsi wisatawan mancanegara (wisman) dan pasar luar negeri (ekspor) (Profil Sentra Kerajinan Perak, 1998 :2).
Pemasarannya pun banyak menggu¬nakan potensi pariwisata, baik melalui para wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara dalam bentuk shipping request (barang cangkingan), yang transaksi pembelian atau pemesanannya dapat lang¬sung melalui ruang pameran, atau melalui paket lokal bagi wisatwan nusantara dan melalui paket internasional bagi wisatawan mancanegara.
Sebagai produk unggulan dan identitas bangsa, pemerintah menggunakan produk¬produk kerajinan perak dari Yogyakarta ini sebagai hadiah kenegaraan kepada tamu¬tamu agung negara, termasuk kepada pengantin agung dari Inggris (Humas Pro¬pinsi DIY : 66). Untuk itu, pemerintah sejak 1968 telah menunjuk KP3Y menjadi supplier barang-barang souvenir perak bagi Rumah Tangga Kepresidenan guna dibe¬rikan sebagai hadiah kenegaraan bagi tamu-tamu agung negara atau Kepala Ne¬gara yang datang berkunjung atau dikun¬jungi oleh Presiden RI (Atmodimulyo , 1997: 7).
Usaha-usaha menembus pasaran luar negeri bagi produk-produk industri seni kerajinan perak telah dirintis sejak tahun 1962-an. Langkah-langkah promosi ke dunia internasional telah dilakukan. Hasil¬nya baru tampak sepuluh tahun kemudian, ialah pada tahun 1972 untuk pertama kalinya berhasil memasarkan produk in¬dustri kerajinan perak ke luar negeri. Nega¬ra tujuan ekspor adalah negara-negara di Asia (5%), Australia (5%), dan bagian terbesar adalah ke Eropa (60%) dan ke Amerika Serikat serta Kanada (30%).
Krisis Ekonomi dan Peluang Global
Sampai akhir tahun 1997 pada dasarnya krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia ini belumlah berpengaruh pada industri seni kerajinan perak, bahkan se¬baliknya. Dengan meningkatnya harga jual, keuntungan pun meningkat, yakni terutama bagi ekspor dan permintaan atau peme¬sanan wisatawan mancanegara yang di¬bayar dengan dollar AS sebab kedua sektor ini menjadi primadona pangsa pasar bagi produk-produk industri seni kerajinan perak. Pengaruh krisis masih terbatas pada pasaran lokal dalam negeri, sedang untuk pasaran luar negeri masih berjalan biasa.
a. Menghadapi Krisis Ekonomi (1998-1999)
Sesudah Mei 1998 ketika nilai tukar ru¬piah terhadap US $ merosot tajam (hingga Rp 15.000,- per US $) dan ketika tiada lagi wisatawan mancanegara masuk ke Indone¬sia sebagai akibat adanya berbagai gejolak politik serta kerusuhan, maka krisis eko¬nomi-moneter mulai memukul industri seni kerajinan perak. Harga bahan baku perak melonjak naik, yang semula per kg seharga sekitar Rp 400.000,00 naik tiga kali lipat lebih menjadi sekitar Rp 1,7 juta per kg, bahkan pernah naik 7 kali lipat menjadi se¬kitar Rp 3,25 juta per kg. Harga bahan baku penolong (seperti kuningan, tembaga, po¬tas, pijer, dan lain-lain) dan alat-alat proses produksi (rempelas) ikut naik pula, juga sampai 7 kali lipat. Akibatnya ialah menu¬runnya kemampuan usaha, anjloknya ke¬mampuan menyuplai bahan baku dan merosotnya kapasitas berproduksi menjadi tak terhindarkan lagi, sementara tingkat serap pasar dalam negeri juga menurun, sedangkan kegiatan ekspor ke luar negeri hampir terhenti sama sekali. Apabila para pengusaha yang besar masih dengan gigih mencoba bertahan mengatasi keadaan, bagi para pengusaha kecil tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan usahanya untuk sementara waktu sambil menantikan per¬kembangan situasi yang lebih baik.
Belum adanya kesatuan dan kesamaan visi dan misi para pengusaha dalam me¬nanggulangi krisis ikut memperparah kon¬disi mereka. Para pengusaha cenderung lebih mengutamakan keuntungan dan ke¬pentingan sendiri-sendiri daripada berupaya memajukan usaha industri seni kerajinan perak secara keseluruhan bersama-sama (Moeljyapranoto, 1999: 4).
Secara organisatoris usaha terdapat tiga kelompok pengusaha industri seni kerajinan perak: (1) pengusaha-pengusaha yang ter¬gabung dalam asosiasi pengusaha perak; (2) pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam koperasi pengusaha perak; dan (3) pengusaha-pengusaha yang sama sekali tidak atau belum tergabung pada salah satu di antara kedua kelompok usaha, 1 atau 2. Bagi mereka yang sudah tergabung dalam kelompok asosiasi ataupun koperasi. ke¬naikan harga baku bukanlah merupakan masalah pokok sebab mereka akan mem¬peroleh bahan baku perak dari PN Aneka Tambang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pemerintah (cq PN Aneka Tambang) telah menyuplai bahan baku yang cukup sehingga tidak ada alasan untuk mengalami kesulitan mengenai persediaan bahan baku. Sebaliknya bagi pe¬ngusaha yang tergabung dalam kelompok asosasi ataupun koperasi dan tergolong se¬bagai pengusaha kecil, pengaruh kenaikan harga bahan baku perak akan sangat tera¬sa (Dirjen Industri Logam, Mesin dan Kimia, 1998: 3).
Langkah-langkah makro strategis yang seharusnya diambil para pengusaha guna menanggulangi situasi krisis serta untuk mengantisipasi gejolak-gejolak pada masa depan adalah (1) bergabung dalam ko¬perasi dan asosiasi sehingga mampu mem¬bentuk economic power yang Iebih kuat serta memiliki bargaining power yang Iebih besar pula. Melalui koperasi dan asosiasi para pengusaha, terutama para pengusaha kecil menjadi lebih terjamin dalam mem¬peroleh bahan baku serta dalam memasarkan produk-produknya. (2) Menentukan bersama standar harga guna menghindari persaingan yang tidak sehat, yang cen¬derung merugikan para pengusaha yang kecil. (3) Mengefektifkan pola mitrakerja bapak angkat-anak angkat yang saling menguntungkan akan mampu menjauhkan akibat-akibat krisis yang lebih jauh lagi. Pengusaha Bapak angkat bukan saja men¬jadi payung serta membantu pengem¬bangan para pengusaha industri kerajinan perak yang kecil, tetapi juga memperoleh dukungan dengan menampung serta meng¬himpun usaha dan produk-produk mereka.
b. Prospek dan Tantangan Global
Setelah memasuki milenium ketiga ini telah terlihat terjadinya pergeseran menda¬sar dalam prioritas penggunaan waktu senggang dan bekerja. Sejak dasawarsa ta¬hun 1990-an seni dan budaya secara ber¬tahap telah menggantikan olah raga se¬bagai kegiatan utama masyarakat dalam mengisi waktu senggang. Di mana-mana tampak terjadinya ledakan kegiatan seni dan budaya. Dari AS, Eropa, hingga ka¬wasan pinggiran Pasifik, termasuk Indo¬nesia. terutama di negara-negara yang telah makmur seperti Jepang dan Taiwan misalnya, telah tumbuh kebutuhan untuk mengkaji kembali makna kehidupan melalui seni dan budaya. Dengan telah berlalunya perang dingin, maka sebagian besar umat manusia kini Iebih bebas untuk merenung dan untuk mengkaji kembali apa maknanya menjadi manusia.
Fenomena tersebut jelas merupakan suatu kebangkitan kembali spiritual, tetapi implikasinya di bidang ekonomi juga akan mencengangkan. Kebangkitan seni dan budaya ini akan merangsang peluang bisnis baru di bidang pasar seni dan pariwsata budaya yang menjanjikan keuntungan. Keuntungan itu Iebih mencengangkan lagi apabila didasarkan pada pertimbangan citra, keaslian, kepribadian dan gaga hidup seni dan budayanya (Naisbitt dan Abur¬dene, 1990 : 11 - 12 ).
Sekalipun belum terlepas dari himpitan krisis ekonomi, dalam jangka ke depan tetap terbuka lebar peluang prospektif bagi industri seni kerajinan perak dalam per¬caturan global pasar seni dan pariwisata budaya. Industri seni kerajinan perak yang tumbuh di lingkungan budaya tradisional kraton sejak abad ke-16 dan 17 memiliki potensi ekonomi yang tinggi sebagai pasar seni dan pariwisata budaya lokal dan tradisional (indigenous and traditional). Wisatawan-wisatawan mancanegara akan terus memburu produk-produk lokal yang orisinal serta bernilai seni dan budaya yang tinggi (adi luhung) seperti halnya industri seni kerajinan perak. Bahkan, sejak tahun 1930-an (Wheeler dan Maureen, 1993:249) dunia internasional telah mengenal kete¬naran seni kerajinan dari Kotagede, Yogya¬karta ini.
Masalahnya sekarang adalah mampu¬kah para pengusaha industri seni kerajinan perak di satu pihak dan di lain pihak peme¬rintah (cq Pemerintah Propinsi Daerah Isti¬mewa Yogyakarta) menggunakan peluang global yang prospektif tersebut untuk menjadikan Yogyakarta sebagai pasar seni dan pariwisata budaya global sebagai ben¬tuk realisasi program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya dengan industri kerajinan rakyat (cq industri seni kerajinan perak) sebagai pendukungnya serta menjawab tantangan¬tantangan yang dituntutnya?
Jawaban atas permasalahan termaksud juga bergantung kepada kedua-duanya, yakni kebijakan pemerintah dalam memfa¬silitasi kepariwisataan di satu pihak serta di lain pihak kesediaan para pengusaha in¬dustri seni kerajinan perak untuk mening¬katkan kualitas produk-produknya sesuai dengan tuntutan global.
Menjadi tugas pemerintah yang men¬desak adalah melaksanakan normalisasi kehidupan politik dan keamanan yang men¬jadi prasyarat masuknya para wisatawan, baik wisatawan nusantara dan lebih-lebih bagi para wisatawan mancanegara. Untuk meningkatkan daya saing produk-produk seni kerajinan perak dalam menghadapi datangnya pasar bebas dan pemerintah hendaknya menghapus PPN (pajak pertambahan nilai) baik PPN bahan baku perak murni maupun PPN produk jadi, yang selama ini dirasa oleh para pengusaha cukup memberatkan. Tanpa dihapuskannya aneka jenis PPN tersebut, mereka tidak akan siap memasuki era globalisasi yang sudah di ambang pintu (Haryanto, 2000: 4).
Bagi para pengusaha guna menghadapi kompetisi global dalam usaha industri dan perdagangan seni kerajinan perak, di sam¬ping harus meningkatkan kemampuan manajerialnya, juga harus berani mengam¬bil langkah-langkah antisipatif dalam upaya meningkatkan kualitas produk-produknya melalui (1) tetap mempertahankan standar kualitas produk peraknya dengan kadar 92,5% untuk produk barang-barang per¬hiasan dan 83,8% untuk produk nonper¬hiasan; (2) meningkatkan profesionalitas para perajinnya dengan mengembangkan teknik know-how-nya dan nilai seni serta nilai budayanya, sehingga menjadi lebih slap dan mampu mengembangkan diri ke arah industri yang lebih maju dan modern sesuai dengan tuntutan perkembangan global yang demikian cepat; (3) membe¬rikan perspektif dan prospektif global akan potensi ekonomi industri seni kerajinan perak sebagai industri seni kerajinan lokal dan tradisional (indigenous and traditional handicraft art industry) guna meningkatkan motivasi kerja para perajin dalam era glo¬balisasi ini.
Penutup
Sejarah industri seni kerajinan perak dalam perjalanannya selama empat abad telah mewariskan dari generasi ke generasi suatu sosok jiwa dan tradisi usaha yang mengakar, ulet, mandiri, mampu merekam dan menangkap makna setiap gejolak perubahan zaman serta konsisten terhadap nilai-nilai luhur seni-budaya bangsanya sehingga telah mewariskannya kepada generasi sekarang suatu citra kepribadian seni-budaya yang luhur pula yang terlekat pada industri seni kerajinan perak. Oleh sebab itu, peranan industri seni kerajinan perak menjadi sangat signifikan sebagai pendukung program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan pariwisata budaya .
Krisis ekonomi (1998-1999) memang menghantam industri-industri seni kerajinan perak, tetapi tidak mematikan mereka. Sifat-sifatnya sebagai industri rumah¬tangga dengan kepemilikan sendiri asset-¬aset usahanya menyebabkan mereka mampu tetap bertahan. Meskipun krisis ekonomi kini mulai bergeser, mereka juga telah mampu menangkap sinyal-sinyal pe¬ranan prospektif global bagi industri seni kerajinan. Citranya sebagai produk seni bu¬daya kerajinan asli dan tradisional (indige¬neous, traditional, and cultural art) membe¬rikan peluang emas kepada industri seni kerajinan perak untuk ikut berkiprah dalam percaturan bisnis global pasar seni dan pariwisata budaya dengan diharapkan Yogyakarta sebagai pusatnya.
Daftar Pustaka
Atmodimulyo AY. 1997. Riwayat Berdirinya Koperasi Produksi Pengusaha PeraYogyakarta ( KP3Y ). Yogyakarta : KP3Y.
------------, Buku Tahunan Pemerintah Propinsi D.I. Yogyakarta 1997/1998. Yogyakarta: Biro Humas Propinsi DIY.
-----------, Company Profile of Yogyakarta Municipality 1997/1998. Yogyakarta: Yogyakarta Municipality Government.
Dalton, Bill. 1986. Indonesia Hand Book. New York : Moon Publication
Dirdjoamiguna, Waridio, RP. 1969. Seni Hias Kerajinan Perak Yogyakarta. Jakarta: Bhratara
Ginny, Bruce. 1986. Indonesia, A Travel Survival Kit. New York : Demco.
Haryanto. 2000. Perajin Perak Kotagede Tak Siap Hadapi AFTA 2000: Bernas. 18 Maret 2000. Yogyakarta: P T Bernas.
Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta : Biro Humas Kodya Yogyakarta.
Laporan Tahunan Kanwil Perindustrian DIY 1995. Yogyakarta : Kanwil Perindus¬trian DIY.
Laporan Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kanwil Deperindag DIY 1996/1997. Yogyakarta: Kanwil Deperindag DIY.
Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. 1978. Jakarta : Arsip Nasional RI.
Moeyapranoto, MD. 1999. Industri Perak Kotagede Memprihatinkan : Bernas, 5 Februari 1999. Yogyakarta: PT Bernas.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1990. Megatrends 2000. Jakarta : Warta Ekonomi.
Oey. Eric. 1991. Java, Garden of The East. Illionis: Passport Books.
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yog¬yakarta. Yogyakarta: Humas Propinsi DIY
Penelitian Pengaruh Depresiasi terhadap Perkembangan Kelompok Industri Logam, Mesin dan Kimia, 1998. Jakarta: Dirjen Industri Logam, Me-sin dan Kimia, Deperindag RI.
Profil Perusahaan Daerah Istimewa Yogya¬karta 1996/1997. Yogyakarta: Kanwi! Deperindag Propinsi DIY.
Profil Produk Unggulan (Perak) 1992-1997. Yogyakarta: Kanwil Deperin¬dag Propinsi DIY.
Profit Sentra Kerajinan Perak Kotagede Kodya Yogyakarta. Yogyakarta: Kan¬wil Deperindag Propinsi DIY.
Realisasi Ekspor Daerah Istimewa Yog¬yakarta per Mata Dagangan (Perak) Tahun 1994-1998. Yogyakarta: Kan¬wil Deperindag Propinsi DIY.
Rekapitulasi Data Perusahaan Perak (sentra) Kotagede dan Dati ll Bantu/ 1997/1998. Yogyakarta: Kanwil Deperindag Propinsi DIY.
Sagimun MD dan Abu. Rival. 1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Soekiman. Djoko. 1993. Kota Gede. Jakar¬ta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.
Spillane. James J.. 1989. Pendidikan Kepa¬riwisataan di Indonesia. Basis. De¬sember 1989. Yogyakarta: Pener¬bit Andi Offset.
--------. 1994. Pariwisata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tnunai, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten: CV Sahabat Klaten.
Wheeler, Tony dan Maureen. 1993. Indonesia. Victoria : Lonely Planet Publicatons.
Wit, Augusta De. 1987. Java: Fact and Fan¬cies. Singapore: Oxford University Press.
Yogya Exporters Directory. Yogyakarta: Export Development Project 1998/ 1999. Department of Industry and Trade, Yogyakarta Provincial Office.
__________
A. Daliman, Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber: i-lib.ugm.ac.id dan Jurnal Humaniora edisi XII No. 2 Tahun 2002.
Pengantar
Sejak dahulu di wilayah Daerah Isti¬mewa Yogyakarta telah berdiri pusat¬-pusat kerajaan, silih berganti, yang se¬kaligus menjadi pusat-pusat kebudayaan, peradaban, dan seni. Peninggalan-pening¬galan sejarah dan budayanya masih dapat disaksikan hingga sekarang ini seperti candi-candi, bangunan kraton, tata-upacara serta adat-istiadat, kesenian, dan kerajinan rakyat tradisionai, yang sebagian besar ma¬sih lestari secara turun-temurun dan malah¬an berkembang sampai saat sekarang. Maka dari itu, adalah tepat dan sesuai dengan akar-akar historis dan kultural, apabila kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang Iebih-lebih didorong oleh tidak mungkinnya lagi sektor pertanian menjamin kehidupan rakyat, kemudian me¬ngembangkan program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wi¬sata budaya dengan didukung industri seni kerajinan rakyat.
Di antara industri-industri seni kerajinan rakyat Yogyakarta ini, yang menjadi prima¬dona dan memberikan identitas kepada kota ini adalah industri seni kerajinan perak. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas se¬telah secara selintas dikupas akar-akar se¬jarah dan profit industri seni kerajinan perak yang pada dasarnya memusat di kawasan Kotagede, dalam tulisan dikedepankan pula peranannya sebagai pendukung pariwisata budaya, strateginya dalam menanggulangi krisis ekonomi, beserta prospek dan tantangan global yang dihadapinya.
Kerangka Teori dan Metodologi
Pengembangan pariwisata setidak¬tidaknya mempersyaratkan dua hal, yaki pertama, penampilan eksotis (exotic) suau pariwisata, dan kedua, pemenuhan bagi kebutuhan orang modern dengan apa yang disebut sebagai hiuran waktu sengang (leisure) (Wit, 1987: iii).
Hampir semua industri pariwisata se¬nantiasa mengidentifikasikan produk dan objek wisatanya sebagai sesuatu yang eksotis. Eksotisme pariwisata buanlah se¬suatu yang sama sekali belum dikenal atau diketahuinya. Lebih dari itu, eksotisme me¬nawarkan suatu bentuk penjelajahan, pe¬tualangan, dan peneuan baru. Maka dari itu, tidaklah mengheanan dengan berbagai rekayasa citra buaya eksotisme tujuan wi¬sata seringkali ditampilkan sebagai sesuatu yang masih asli dan membuat pesertanya bertambah harga dirinya.
Hiburan waktu senggang (leisure time) memiliki makna yang semakin penting se¬bagai bagian dari nilai tambah kerja dan produksi seseorang. Leisure ditawarkan se¬bagai sebuah produk pariisata. Citra yang ditampilkan adalah baha orang perlu ber¬wisata untuk mendapatkan kesegaran yang telah hilang dari dirinya karena bekerja (Spillane, 1994: 14-17 ).
Eksotisme Yogyakarta sebagai pusat dan tujuan wisata terletak pada faktor bu¬dayanya. Yang dimaksud budaya menakup keduanya, baik dalam arti bentuk-bentuk bangunan monumental peinggalan sejarah dan peradaban masa lampau yang statis maupun produk dinamika warga masya¬rakat, seniman dan budayawannya dengan segala aktiitas dan kreativitasnya. Program ungulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya, karenanya, bukanah tanpa aset dan mampu menjamin kedua persyaratan pariwisata, eksotise. dan hiburan waktu senggang (leisure). Orisinali¬tas objek pariwisata budaya yang ditawar¬kannya pun bukanlah seuau hasil rekayasa.
Ada lima ciri utama industri pariwisata budaya sebagai suatu bisnis jasa dan pe¬layanan, ialah: (1) sifatnya yang tak ber¬wujud (intangible), (2) sulit diukur standar kualitasnya, (3) proses produksi dan kon¬sumsi bersifat simultan. (4) produk pari¬wisata tidak dapat disimpan, dan (5) karena sifatnya yang tak berwujud, tampaknya si pembeli jasa tidak memperoleh sesuatu dari transaksinya dengan si penjual jasa (Spillane. 1989: 445). Sebagai sektor eko¬nomi pariwisata juga merupakan sektor yang tidak kelihatan dalam data stastistik (statistically invisible).
Oleh sebab itu, industri pariwisata se¬betulnya lebih besar daripada pariisata itu. Ada aspek-aspek kegiatan yang berhu¬bungan secara langsung seperti fasilitas rekreasi, atraksi wisata, toko-toko dan jasa¬jasa lokal, dan tidak kalah pentingnya pula adalah aspek yang tidak langsung (sebagai pendukung) seperti pertanian, industri dan kerajinan cindeamata. dan lain-lain. Industri pariwisata tidak berdiri sendiri dan memer¬lukan dukungan ganda (multiplier support) (Spillane, 1994 : 39).
Pendukung utama bagi industri pariwi¬sata budaya di Yogyakarta berasal dari industri-industri seni kerajinan cinderamata (souvenir) seperti kerajnan kulit, batik, dan kerajinan perak sebagai primadonanya. Untuk melihat peranan industri cinderamata sebagai pendukung pariwisata dapat dikaji besarnya pengeluaran wisatawan yang dibelanjakan untuk cinderamata.
Untuk mengungkap peranan industri se¬ni kerajinan perak sebagai pendukung pari¬wisata budaya di Daerah Istimewa Yogya¬karta digunakan metode dan pendekatan multidimensional. Data-data digali dan di¬himpun dengan penggunaan berbagai me¬tode secara simultan melalui observasi, wawancara, studi dokumen, dan kepusta¬kaan. Demikian pula untuk menganalisisnya dipergunakan secara simultan pendekatan¬pendekatan ekonomik, historis, budaya, dan seni. Semua itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan komprehensif.
Sejarah dan Profil Industri Seni Kerajinan Perak
Pengalaman negara-negara maju me¬nunjukkan bahwa fundamental ekonomi suatu bangsa hanya bisa dibangun secara kokoh di atas tradisi dan pengalaman usa¬ha (entrepreneurship) bangsa tersebut. Tradisi dan pengalaman usaha industri ke¬rajinan perak di Kotagede, Yogyakarta. yang telah mengalir turun-temurun selama empat abad akan memberikan jaminan bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjadikan industri seni kerajinan sebagai primadona pendukung usaha Yog¬yakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya.
a. Asal-usul Industri Seni Kerajinan Perak
Tumbuhnya seni kerajinan perak. juga emas. can tembaga adalah bersama-sama dengan tumbuhnya kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede sebagai ibukota kerajaan (kuthagara) pada abad ke-16 dan 17. bahkan ada indikasi sejak lebih awal lagi. yaitu sekitar abad ke-9 (Soe¬kiman, 1993 : 71). Seni kerajinan tersebut pada masa itu merupakan pekerjaan para abdi dalem (pegawai kraton) yang disebut abdi dalem kriya dalam memenuhi perleng¬kapan dan kebutuhan kraton akan berbagai perhiasan dari emas dan perak dan alat¬alat serta perlengkapan rumah tangga lain. Para abdi dalem kriya tersebut tinggal mengelompok pada suatu perkampungan yang memperoleh nama sesuai dengan jenis kerajinan yang mereka kerjakan yang toponimnya hingga kini masih mudah diidentifikasi di sekitar Kotagede. Perkam¬pungan bagi para abdi dalem perajin emas (dan perak) disebut Kemasan, bagi perajin alat-alat dari besi disebut Pandean. bagi perajin keris Mranggi atau Mranggen atau sekarang menjadi Prenggan, dan Bathikan bagi perajin batik (Sagimun MD dan Abu. 1981 : 70-71).
Ketika pusat kerajaan pindah dari Kota¬gede ke Yogyakarta para perajin emas dan perak tersebut tetap tinggal di Kotagede serta tetap terus mengembangkan usaha kerajinannya. Namun, hubungan dengan Kraton Yogyakarta tidak terputus karena¬nya. Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939), misalnya, adalah pelanggan dan konsumen utama produk kerajinan emas dan perak dari Kotagede. Dalam hu¬bungan ini kraton bertungsi sebagai pelindung, pelestari dan penerus kesenian dan kebudayaan tradisional pada umumnya (Soekiman, 1993 : 72).
Tumbuhnya kelompok pakaryan perak mengembangkan kerajinan perak menjadi lebih komersial (Soekiman, 1993 : 71) tanpa meninggalkan nilai-nilai seni adi¬luhung (indah dan tinggi filosofi)-nya (Humas Propinsi DIY : 63). Masuknya pengaruh Barat (Belanda) telah memacu perkembangan industri kerajinan perak. Nilai dan apresiasi terhadap produk ke¬rajinan perak menjadi meningkat ketika orang-orang Belanda mulai memesan dari industri seni kerajinan perak berbagai peralatan dan perlengkapan rumah tangga model Eropa, tetapi dengan motif serta ukiran bias Yogyakarta. Sejak saat itu pula produk-produk industri kerajinan perak bukan saja dipasarkan di kalangan orang¬orang Belanda serta orang-orang asing yang bermukim di Indonesia, tetapi juga diekspor ke Eropa, terutama ke negeri Belanda. Orang Jawa sendiri rupa-rupanya lebih menyukai perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas yang dipandang nilai intrinsiknya lebih tinggi dibandingkan dengan perak`.
Pemerintah Kolonial Belanda pun me¬naruh perhatian terhadap perkembangan industri kerajinan perak ini. Sejak tahun 1927 para perajin perak memperoleh pem¬binaan dengan diperkenalkannya teknik-¬teknik kerja baru, terutama teknik pemba¬karan, melalui dan atas biaya Jogjasche Jaarmarktvereeniging (Memori Serah Ja¬batan 1921-1930 : 448). Dalam kerangka upaya pembinaan industri kerajinan perak pula pada tahun 1933 atas inisiatif Guber¬nur Verohuur di Yogyakarta didirikan yayasan Stichting Beverdering van Het Jogjakarta Kenst Ambacht yang dengan singkat disebut Pakaryan Ngayogyakarta.
Tenaga ahli dan para peminat yang mem¬bantu yayasan ini adalah Ir. Sitsen, Ir. Ulvans, Ir. Gan van der Vet, Ir. Resink, demikian juga tenaga ahli pribumi seperti Ir. Supardi, Katamsi, G.T. Tedjakusuma, dan beberapa ahli dari Kraton Yogyakarta. Yayasan ini memberikan bimbingan dan pembinaan mengenai peningkatan teknik pengerjaan seperti menggambar, menghias dan meningkatkan kualitas perak beserta teknik garapannya, bahkan juga mendirikan dan menyelenggarakan art shop guna me¬nampung dan memasarkan produksi seni kerajinan perak tersebut. Yayasan ini mengikuti pameran pada Pekan Raya di Jepang pada tahun 1937 dan pada tahun 1938 di Amerika Serikat (Atmodimulyo, 1997:2).
Perkembangan pesat industri seni ter¬jadi sekitar tahun 1934-1939. Upaya-upaya peningkatan kualitas produksi dan dikem¬bangkannya kreasi dan motif-motif baru mengantarkan usaha industri seni kerajinan perak ke masa-masa kejayaan menurut ukuran zamannya. Meningkatnya keuntung¬an menarik minat para golongan pemodal dan pedagang untuk mengatihkan usaha¬nya ke bidang usaha industri dan per¬dagangan produk seni kerajinan perak. Masa-masa kejayaan industri perak tidak berlangsung lama. Perang Dunia II (1939-1945) memporak-porandakan industri seni kerajinan perak. meskipun tidak mema¬tikannnya. Industri seni kerajinan perak yang memberikan identitas dan ciri khas ke¬pada Kotagede. Yogyakarta tidak lenyap karenanya. Mahalnya harga bahan baku perak pada masa pendudukan Jepang me¬maksa para perajin dan pengusaha meng¬gunakan bahan baku yang lebih murah, seperti tembaga dan kuningan, yang kemu¬dian disepuh dengan warna perak, sesuatu yang .harus tidak boleh dipandang kemun¬duran (Soekiman 1993: 72), melainkan se¬bagai upaya perluasan usaha dengan kreasi dan variasi baru dengan mempertim¬bangkan bahan dan harga bahan dengan jangkauan masyarakat konsumen yang lebih luas pula. Dalam masa-masa sulit seperti itu terjadi pula diversifikasi usaha ialah dikembangkannya pula seni kerajinan dengan bahan-bahan baku seperti tempu¬rung kelapa, tanduk dan tulang binatang. Produknya adalah berupa tusuk konde, sisir, cincin, peniti dan lain-lain (Atmodi¬mulyo, 1997 : 2).
Masa kemerdekaan mengantarkan in¬dustri kerajinan perak kepada usaha-usaha perdagangan dan industri seni kerajinan perak menuju pola manajemen baru dan modern. Langkah ini diawali dengan rintisan berdirinya Persatuan Pengusaha Perak Kotagede (P3K) pada tahun 1951 yang akhirnya pada 9 Februari 1960 memperoleh bentuk sebagai koperasi produksi dengan nama Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y) dan berlangsung hing¬ga sekarang ini. Pengambilan nama `Yog¬yakarta" dimaksudkan untuk lebih menge¬depankan identitas daerah kerjanya. Seba¬gai koperasi produksi, KP3Y bertugas membina, mengkoordinasikan, dan mewa¬dahi aktivitas-aktivitas usaha perak di Yog¬yakarta.
b. Profit Industri Seni Kerajinan Perak Dewasa Ini
Industri seni kerajinan perak yang mem¬berikan identitas dan ciri khas kepada Yog¬yakarta ini pada dasarnya hingga sekarang masih tetap terkonsentrasi di kawasan sekitar daerah Kotagede lama, bekas kuthanegara Kerajaan Mataram Islam abad ke-16 dan 17. Pada saat sekarang kawasan industri seni kerajinan perak tersebut uta¬manya menempati wilayah-wilayah Kelu¬rahan Prenggan dan Kelurahan Purbayan (termasuk Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta) dan Kelurahan Jagalan (Keca¬matan Banguntapan, Kabupatenn Bantul). Kalaupun terdapat pengusaha industri kerajinan perak di daerah wilayah Kabu¬paten Sleman, dan jumlahnya hanya 3 unit usaha, itu pun berada di sekitar kawasan konsentrasi industri kerajinan tersebut, yakni di sekitar Maguwoharjo. Yang berada di Wonosari sebanyak 5 unit usaha, itu pun merupakan perluasan usaha industri ke¬luarga yang sudah ada. Bahkan, pada saat sekarang sudah ada juga pengusaha in¬dustri kerajinan perak dari Kotagede yang telah memperluas usahanya di Bali.
Di Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagang¬an Propinsi DIY tercatat 95 unit usaha industri kerajinan perak, 75 unit usaha di Kotagede, Yogyakarta dan 20 unit usaha di Kabupaten Bantul, yang mempekerjakan 1.269 orang tenaga kerja. Hanya 8 unit usaha di antaranya yang dapat dikatego¬rikan sebagai industri kerajinan perak yang besar (Company Profile of Yogyakarta Municipality, 1998: 87-94), tetapi yang telah tercatat sebagai eksportir mencapai jumlah 17 unit usaha (Yogya Exporters Directory. 1999: 21-24).
Pada awal tahun 1998, awal krisis di Indonesia, nilai investasi untuk tiap-tiap pengusaha industri kerajinan perak cukup bervariasi besarnya. Rata-rata sekitar Rp 283,3 juta. Nilai investasi tertinggi sebesar Rp 500 juta. dan yang terendah sebesar Rp 60 juta serta dengan nilai jual produksi yang tertinggi mencapai sekitar Rp 801 juta lebih dan yang terendah Rp 50 juta (Company Profile of Yogyakarta Muncipality, 1998 : 87-94). Mengenai sumber investasi sekitar 40 % adalah milik sendiri dan sekitar 60% selebihnya berasal dari modal pinjaman bank (Profit Sentra Kerajinan Perak, 1998 : 1). Mengenai bahan baku, seluruhnya (100%) berasal dari dalam negeri. Saban baku perak murni disuplai dari PN Aneka Tambang dari tambang emas dan perak di Cikotok, Jawa Barat (Tnunai, 1991 : 555).
Jumlah tenaga kerja pengrajin yang dipekerjakan di tiap-tiap pengusaha juga bergantung pada besar kecilnya usaha. Yang besar ada yang mempekerjakan lebih dari 200 orang, yang sedang sekitar 50-100 orang, dan yang kecil bahkan ada yang hanya mempekerjakan sekitar 5 orang (Rekapitulasi Data Perusahaan Perak 1997/1998: 1-3) dengan gaji/-upah pada waktu itu sekitar Rp 6.000.00 per hari. Gaji/upah ini adalah gaji bersih (take home pay) sebab setiap hari mereka memperoleh makanan dan minuman dari perusahaan (pabrik). Di samping gaji dan makan para pekerja itu juga memperoleh fasilitas pakaian kerja. perawatan kesehatan, tunjangan hari raya. Sumbangan perkawinan dan kematian, fasilitas olah raga. dan rekreasi setiap tahun.
Selain asosiasi utama para pengusaha perak ini, yaitu KP3Y, kini tumbuh pula berbagai asosiasi usaha lain, seperti IWAPI, ASEPHI, APINDO, ASKRAKIINDO. APIKRI, AKKPIA, AKKPI, ASITA dan KADIN sebagai tempat memperluas jaringan usaha mereka.
Sebagai Industri Cinderamata
Sektor industri kerajinan tampaknya se¬makin menjadi tumpuan harapan bagi masa depan Propinsi Daerah Istimewa Yogya¬karta. Sektor ini banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 95 % dari industri yang tum¬buh adalah berwujud dan terdiri dari industri kerajinan rakyat. Di antara 9 bahan ekspor industri kerajinan dari Yogyakarta ini andal¬an utamanya adalah produk-produk industri seni kerajinan perak. Sebagai pendukung program unggulan Yogyakarta sebagai pu¬sat budaya dan tujuan wisata (nomor dua sesudah Bali) industri kerajinan perak lebih diarahkan sebagai industri cinderamata dengan mengutamakan seni dan lebih ber¬orientasi untuk konsumsi wisatawan, balk wisatawan nusantara, maupun wisatawan mancanegara serta untuk diekspor.
a. Nilai Seni yang Tinggi
Nilai lebih dari produk industri kerajinan tradisional perak di Yogyakarta adalah kualitas seninya yang tinggi (adi luhung). Sebagai identitas karya seni kota Yogyakarta, seni kerajinan perak memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Produk-produk kera¬jinan perak lebih bersifat sebagai komoditas seni, dan karenanya, produk itu banyak dikemas dalam bentuk barang-barang sou¬venir atau cinderamata.
Sebagai komoditas seni maka proses produksi industri kerajinan perak tetap bersifat tradisional dan tetap masih mengandalkan kerja manual. Hanya bagian tertentu dalam proses kerja itu yang bagi beberapa pengusaha telah menggunakan mesin modern, misalnya dalam proses pembakaran. Sifat kerja industri kerajinan perak yang menitikberatkan segi-segi kein¬dahan menyebabkan kerja manual tidak dapat digantikan dengan kerja mekanik. Ukiran untuk ragam hias dan proses sang-ling tetap memerlukan sentuhan-sentuan tangan para seniman ukir perak.
Pola-pola ragam hias seni ukir yang memberikan ciri khas ragam hias masa Islam memperkaya nuansa motif-motif ornamen hias seni kerajinan perak. Motif-motif dasar sulur-sulur daun, bunga-bungaan, binatang-binatang tersamar (seperti burung, ular, raksasa, makara, kalamakara dan kalamerga) serta aneka bentuk geo¬metrik, bukan saja memperkaya serta mempertinggi corak dan keindahan seni kerajinan perak, sekaligus lebih mempermudah perkembangan-perkembangan un¬tuk selanjutnya (Dirdjoamiguno, 1969 : ix).
Aneka macam produk industri kerajinan perak juga meliputi aneka ragam keperluan kehidupan, dari berbagai perhiasan, ase¬soris, souvenir, hiasan dinding, tanda peng¬hargaan, miniatur-miniatur dan peralatan rumah tangga, yang semuanya senantiasa bernuansakan seni dan keindahan.
Di showroom atau artshop industri¬industri kerajinan perak di Kotagede dapat dilihat dan dinikmati nuansa seni dan keindahan aneka produk kerajinan perak yang terpajang di situ. Produk-produk perhiasan wanita. misalnya bros, kalung, giwang, anting¬anting. subang. tusuk konde, gelang, cincin. kancing manchet, peniti dan lain-lain. Ber¬bagai miniatur tampak seperti miniatur ber¬bagai candi dan patung. monumen, senjata. helm, miniatur binatang seperti kuda. gajah, harimau. naga. dan lain-lain. Peralatan rumah tangga, antara lain. adalah berbagai macam sendok. garpu. piring, cangkir dan gelas. tempat buah. tempat teh. kopi dan susu. kotak rokok. tempat abu (asbak). tempat Surat. bingkai foto. tempat lilin. dan sebagainya. Aneka jenis plate (piringan) dan plaket serta bentuk-bentuk piagam lainnya juga disediakan bagi instansi¬instansi yang bermaksud memberikan tanda-tanda penghargaan tertentu.
Apabila lebih cermat lagi mengamati produk-produk seni kerajinan perak tersebut. kita sungguh dikagumkan oleh aneka bentuknya yang indah-indah dengan pernik¬perniknya yang halus. Tampak pula kejelian kerja ukirnya yang disertai dengan ketelitian presisi dalam berbagai aspek seperti besar¬kecilnya barang (produksi). penggunaan¬nya, letak relief ukirnya, harmoni, proporsi dan komposisi ragam hias. bentuk simetrik¬nya. alur gerak (ritme) ukiran, corak seni (artistik) dan corak watak (karakteristik) nya. Nilai seni bermutu tinggi ini akan tetap menandai produk-produk kerajinan perak sebagai produk unggulan.
b. Berorientasi pada Wisatawan dan Ekspor
Sebagai pendukung industri pariwisata, pangsa pasar produk-produk seni kerajinan perak adalah 40% untuk konsumsi wisata¬wan nusantara (wisnu) dan pasar dalam negeri, dan 60% selebihnya untuk kon¬sumsi wisatawan mancanegara (wisman) dan pasar luar negeri (ekspor) (Profil Sentra Kerajinan Perak, 1998 :2).
Pemasarannya pun banyak menggu¬nakan potensi pariwisata, baik melalui para wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara dalam bentuk shipping request (barang cangkingan), yang transaksi pembelian atau pemesanannya dapat lang¬sung melalui ruang pameran, atau melalui paket lokal bagi wisatwan nusantara dan melalui paket internasional bagi wisatawan mancanegara.
Sebagai produk unggulan dan identitas bangsa, pemerintah menggunakan produk¬produk kerajinan perak dari Yogyakarta ini sebagai hadiah kenegaraan kepada tamu¬tamu agung negara, termasuk kepada pengantin agung dari Inggris (Humas Pro¬pinsi DIY : 66). Untuk itu, pemerintah sejak 1968 telah menunjuk KP3Y menjadi supplier barang-barang souvenir perak bagi Rumah Tangga Kepresidenan guna dibe¬rikan sebagai hadiah kenegaraan bagi tamu-tamu agung negara atau Kepala Ne¬gara yang datang berkunjung atau dikun¬jungi oleh Presiden RI (Atmodimulyo , 1997: 7).
Usaha-usaha menembus pasaran luar negeri bagi produk-produk industri seni kerajinan perak telah dirintis sejak tahun 1962-an. Langkah-langkah promosi ke dunia internasional telah dilakukan. Hasil¬nya baru tampak sepuluh tahun kemudian, ialah pada tahun 1972 untuk pertama kalinya berhasil memasarkan produk in¬dustri kerajinan perak ke luar negeri. Nega¬ra tujuan ekspor adalah negara-negara di Asia (5%), Australia (5%), dan bagian terbesar adalah ke Eropa (60%) dan ke Amerika Serikat serta Kanada (30%).
Krisis Ekonomi dan Peluang Global
Sampai akhir tahun 1997 pada dasarnya krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia ini belumlah berpengaruh pada industri seni kerajinan perak, bahkan se¬baliknya. Dengan meningkatnya harga jual, keuntungan pun meningkat, yakni terutama bagi ekspor dan permintaan atau peme¬sanan wisatawan mancanegara yang di¬bayar dengan dollar AS sebab kedua sektor ini menjadi primadona pangsa pasar bagi produk-produk industri seni kerajinan perak. Pengaruh krisis masih terbatas pada pasaran lokal dalam negeri, sedang untuk pasaran luar negeri masih berjalan biasa.
a. Menghadapi Krisis Ekonomi (1998-1999)
Sesudah Mei 1998 ketika nilai tukar ru¬piah terhadap US $ merosot tajam (hingga Rp 15.000,- per US $) dan ketika tiada lagi wisatawan mancanegara masuk ke Indone¬sia sebagai akibat adanya berbagai gejolak politik serta kerusuhan, maka krisis eko¬nomi-moneter mulai memukul industri seni kerajinan perak. Harga bahan baku perak melonjak naik, yang semula per kg seharga sekitar Rp 400.000,00 naik tiga kali lipat lebih menjadi sekitar Rp 1,7 juta per kg, bahkan pernah naik 7 kali lipat menjadi se¬kitar Rp 3,25 juta per kg. Harga bahan baku penolong (seperti kuningan, tembaga, po¬tas, pijer, dan lain-lain) dan alat-alat proses produksi (rempelas) ikut naik pula, juga sampai 7 kali lipat. Akibatnya ialah menu¬runnya kemampuan usaha, anjloknya ke¬mampuan menyuplai bahan baku dan merosotnya kapasitas berproduksi menjadi tak terhindarkan lagi, sementara tingkat serap pasar dalam negeri juga menurun, sedangkan kegiatan ekspor ke luar negeri hampir terhenti sama sekali. Apabila para pengusaha yang besar masih dengan gigih mencoba bertahan mengatasi keadaan, bagi para pengusaha kecil tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan usahanya untuk sementara waktu sambil menantikan per¬kembangan situasi yang lebih baik.
Belum adanya kesatuan dan kesamaan visi dan misi para pengusaha dalam me¬nanggulangi krisis ikut memperparah kon¬disi mereka. Para pengusaha cenderung lebih mengutamakan keuntungan dan ke¬pentingan sendiri-sendiri daripada berupaya memajukan usaha industri seni kerajinan perak secara keseluruhan bersama-sama (Moeljyapranoto, 1999: 4).
Secara organisatoris usaha terdapat tiga kelompok pengusaha industri seni kerajinan perak: (1) pengusaha-pengusaha yang ter¬gabung dalam asosiasi pengusaha perak; (2) pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam koperasi pengusaha perak; dan (3) pengusaha-pengusaha yang sama sekali tidak atau belum tergabung pada salah satu di antara kedua kelompok usaha, 1 atau 2. Bagi mereka yang sudah tergabung dalam kelompok asosiasi ataupun koperasi. ke¬naikan harga baku bukanlah merupakan masalah pokok sebab mereka akan mem¬peroleh bahan baku perak dari PN Aneka Tambang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pemerintah (cq PN Aneka Tambang) telah menyuplai bahan baku yang cukup sehingga tidak ada alasan untuk mengalami kesulitan mengenai persediaan bahan baku. Sebaliknya bagi pe¬ngusaha yang tergabung dalam kelompok asosasi ataupun koperasi dan tergolong se¬bagai pengusaha kecil, pengaruh kenaikan harga bahan baku perak akan sangat tera¬sa (Dirjen Industri Logam, Mesin dan Kimia, 1998: 3).
Langkah-langkah makro strategis yang seharusnya diambil para pengusaha guna menanggulangi situasi krisis serta untuk mengantisipasi gejolak-gejolak pada masa depan adalah (1) bergabung dalam ko¬perasi dan asosiasi sehingga mampu mem¬bentuk economic power yang Iebih kuat serta memiliki bargaining power yang Iebih besar pula. Melalui koperasi dan asosiasi para pengusaha, terutama para pengusaha kecil menjadi lebih terjamin dalam mem¬peroleh bahan baku serta dalam memasarkan produk-produknya. (2) Menentukan bersama standar harga guna menghindari persaingan yang tidak sehat, yang cen¬derung merugikan para pengusaha yang kecil. (3) Mengefektifkan pola mitrakerja bapak angkat-anak angkat yang saling menguntungkan akan mampu menjauhkan akibat-akibat krisis yang lebih jauh lagi. Pengusaha Bapak angkat bukan saja men¬jadi payung serta membantu pengem¬bangan para pengusaha industri kerajinan perak yang kecil, tetapi juga memperoleh dukungan dengan menampung serta meng¬himpun usaha dan produk-produk mereka.
b. Prospek dan Tantangan Global
Setelah memasuki milenium ketiga ini telah terlihat terjadinya pergeseran menda¬sar dalam prioritas penggunaan waktu senggang dan bekerja. Sejak dasawarsa ta¬hun 1990-an seni dan budaya secara ber¬tahap telah menggantikan olah raga se¬bagai kegiatan utama masyarakat dalam mengisi waktu senggang. Di mana-mana tampak terjadinya ledakan kegiatan seni dan budaya. Dari AS, Eropa, hingga ka¬wasan pinggiran Pasifik, termasuk Indo¬nesia. terutama di negara-negara yang telah makmur seperti Jepang dan Taiwan misalnya, telah tumbuh kebutuhan untuk mengkaji kembali makna kehidupan melalui seni dan budaya. Dengan telah berlalunya perang dingin, maka sebagian besar umat manusia kini Iebih bebas untuk merenung dan untuk mengkaji kembali apa maknanya menjadi manusia.
Fenomena tersebut jelas merupakan suatu kebangkitan kembali spiritual, tetapi implikasinya di bidang ekonomi juga akan mencengangkan. Kebangkitan seni dan budaya ini akan merangsang peluang bisnis baru di bidang pasar seni dan pariwsata budaya yang menjanjikan keuntungan. Keuntungan itu Iebih mencengangkan lagi apabila didasarkan pada pertimbangan citra, keaslian, kepribadian dan gaga hidup seni dan budayanya (Naisbitt dan Abur¬dene, 1990 : 11 - 12 ).
Sekalipun belum terlepas dari himpitan krisis ekonomi, dalam jangka ke depan tetap terbuka lebar peluang prospektif bagi industri seni kerajinan perak dalam per¬caturan global pasar seni dan pariwisata budaya. Industri seni kerajinan perak yang tumbuh di lingkungan budaya tradisional kraton sejak abad ke-16 dan 17 memiliki potensi ekonomi yang tinggi sebagai pasar seni dan pariwisata budaya lokal dan tradisional (indigenous and traditional). Wisatawan-wisatawan mancanegara akan terus memburu produk-produk lokal yang orisinal serta bernilai seni dan budaya yang tinggi (adi luhung) seperti halnya industri seni kerajinan perak. Bahkan, sejak tahun 1930-an (Wheeler dan Maureen, 1993:249) dunia internasional telah mengenal kete¬naran seni kerajinan dari Kotagede, Yogya¬karta ini.
Masalahnya sekarang adalah mampu¬kah para pengusaha industri seni kerajinan perak di satu pihak dan di lain pihak peme¬rintah (cq Pemerintah Propinsi Daerah Isti¬mewa Yogyakarta) menggunakan peluang global yang prospektif tersebut untuk menjadikan Yogyakarta sebagai pasar seni dan pariwisata budaya global sebagai ben¬tuk realisasi program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan wisata budaya dengan industri kerajinan rakyat (cq industri seni kerajinan perak) sebagai pendukungnya serta menjawab tantangan¬tantangan yang dituntutnya?
Jawaban atas permasalahan termaksud juga bergantung kepada kedua-duanya, yakni kebijakan pemerintah dalam memfa¬silitasi kepariwisataan di satu pihak serta di lain pihak kesediaan para pengusaha in¬dustri seni kerajinan perak untuk mening¬katkan kualitas produk-produknya sesuai dengan tuntutan global.
Menjadi tugas pemerintah yang men¬desak adalah melaksanakan normalisasi kehidupan politik dan keamanan yang men¬jadi prasyarat masuknya para wisatawan, baik wisatawan nusantara dan lebih-lebih bagi para wisatawan mancanegara. Untuk meningkatkan daya saing produk-produk seni kerajinan perak dalam menghadapi datangnya pasar bebas dan pemerintah hendaknya menghapus PPN (pajak pertambahan nilai) baik PPN bahan baku perak murni maupun PPN produk jadi, yang selama ini dirasa oleh para pengusaha cukup memberatkan. Tanpa dihapuskannya aneka jenis PPN tersebut, mereka tidak akan siap memasuki era globalisasi yang sudah di ambang pintu (Haryanto, 2000: 4).
Bagi para pengusaha guna menghadapi kompetisi global dalam usaha industri dan perdagangan seni kerajinan perak, di sam¬ping harus meningkatkan kemampuan manajerialnya, juga harus berani mengam¬bil langkah-langkah antisipatif dalam upaya meningkatkan kualitas produk-produknya melalui (1) tetap mempertahankan standar kualitas produk peraknya dengan kadar 92,5% untuk produk barang-barang per¬hiasan dan 83,8% untuk produk nonper¬hiasan; (2) meningkatkan profesionalitas para perajinnya dengan mengembangkan teknik know-how-nya dan nilai seni serta nilai budayanya, sehingga menjadi lebih slap dan mampu mengembangkan diri ke arah industri yang lebih maju dan modern sesuai dengan tuntutan perkembangan global yang demikian cepat; (3) membe¬rikan perspektif dan prospektif global akan potensi ekonomi industri seni kerajinan perak sebagai industri seni kerajinan lokal dan tradisional (indigenous and traditional handicraft art industry) guna meningkatkan motivasi kerja para perajin dalam era glo¬balisasi ini.
Penutup
Sejarah industri seni kerajinan perak dalam perjalanannya selama empat abad telah mewariskan dari generasi ke generasi suatu sosok jiwa dan tradisi usaha yang mengakar, ulet, mandiri, mampu merekam dan menangkap makna setiap gejolak perubahan zaman serta konsisten terhadap nilai-nilai luhur seni-budaya bangsanya sehingga telah mewariskannya kepada generasi sekarang suatu citra kepribadian seni-budaya yang luhur pula yang terlekat pada industri seni kerajinan perak. Oleh sebab itu, peranan industri seni kerajinan perak menjadi sangat signifikan sebagai pendukung program unggulan Yogyakarta sebagai pusat budaya dan tujuan pariwisata budaya .
Krisis ekonomi (1998-1999) memang menghantam industri-industri seni kerajinan perak, tetapi tidak mematikan mereka. Sifat-sifatnya sebagai industri rumah¬tangga dengan kepemilikan sendiri asset-¬aset usahanya menyebabkan mereka mampu tetap bertahan. Meskipun krisis ekonomi kini mulai bergeser, mereka juga telah mampu menangkap sinyal-sinyal pe¬ranan prospektif global bagi industri seni kerajinan. Citranya sebagai produk seni bu¬daya kerajinan asli dan tradisional (indige¬neous, traditional, and cultural art) membe¬rikan peluang emas kepada industri seni kerajinan perak untuk ikut berkiprah dalam percaturan bisnis global pasar seni dan pariwisata budaya dengan diharapkan Yogyakarta sebagai pusatnya.
Daftar Pustaka
Atmodimulyo AY. 1997. Riwayat Berdirinya Koperasi Produksi Pengusaha PeraYogyakarta ( KP3Y ). Yogyakarta : KP3Y.
------------, Buku Tahunan Pemerintah Propinsi D.I. Yogyakarta 1997/1998. Yogyakarta: Biro Humas Propinsi DIY.
-----------, Company Profile of Yogyakarta Municipality 1997/1998. Yogyakarta: Yogyakarta Municipality Government.
Dalton, Bill. 1986. Indonesia Hand Book. New York : Moon Publication
Dirdjoamiguna, Waridio, RP. 1969. Seni Hias Kerajinan Perak Yogyakarta. Jakarta: Bhratara
Ginny, Bruce. 1986. Indonesia, A Travel Survival Kit. New York : Demco.
Haryanto. 2000. Perajin Perak Kotagede Tak Siap Hadapi AFTA 2000: Bernas. 18 Maret 2000. Yogyakarta: P T Bernas.
Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta : Biro Humas Kodya Yogyakarta.
Laporan Tahunan Kanwil Perindustrian DIY 1995. Yogyakarta : Kanwil Perindus¬trian DIY.
Laporan Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kanwil Deperindag DIY 1996/1997. Yogyakarta: Kanwil Deperindag DIY.
Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. 1978. Jakarta : Arsip Nasional RI.
Moeyapranoto, MD. 1999. Industri Perak Kotagede Memprihatinkan : Bernas, 5 Februari 1999. Yogyakarta: PT Bernas.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1990. Megatrends 2000. Jakarta : Warta Ekonomi.
Oey. Eric. 1991. Java, Garden of The East. Illionis: Passport Books.
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yog¬yakarta. Yogyakarta: Humas Propinsi DIY
Penelitian Pengaruh Depresiasi terhadap Perkembangan Kelompok Industri Logam, Mesin dan Kimia, 1998. Jakarta: Dirjen Industri Logam, Me-sin dan Kimia, Deperindag RI.
Profil Perusahaan Daerah Istimewa Yogya¬karta 1996/1997. Yogyakarta: Kanwi! Deperindag Propinsi DIY.
Profil Produk Unggulan (Perak) 1992-1997. Yogyakarta: Kanwil Deperin¬dag Propinsi DIY.
Profit Sentra Kerajinan Perak Kotagede Kodya Yogyakarta. Yogyakarta: Kan¬wil Deperindag Propinsi DIY.
Realisasi Ekspor Daerah Istimewa Yog¬yakarta per Mata Dagangan (Perak) Tahun 1994-1998. Yogyakarta: Kan¬wil Deperindag Propinsi DIY.
Rekapitulasi Data Perusahaan Perak (sentra) Kotagede dan Dati ll Bantu/ 1997/1998. Yogyakarta: Kanwil Deperindag Propinsi DIY.
Sagimun MD dan Abu. Rival. 1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Soekiman. Djoko. 1993. Kota Gede. Jakar¬ta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.
Spillane. James J.. 1989. Pendidikan Kepa¬riwisataan di Indonesia. Basis. De¬sember 1989. Yogyakarta: Pener¬bit Andi Offset.
--------. 1994. Pariwisata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tnunai, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten: CV Sahabat Klaten.
Wheeler, Tony dan Maureen. 1993. Indonesia. Victoria : Lonely Planet Publicatons.
Wit, Augusta De. 1987. Java: Fact and Fan¬cies. Singapore: Oxford University Press.
Yogya Exporters Directory. Yogyakarta: Export Development Project 1998/ 1999. Department of Industry and Trade, Yogyakarta Provincial Office.
__________
A. Daliman, Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber: i-lib.ugm.ac.id dan Jurnal Humaniora edisi XII No. 2 Tahun 2002.