Oleh: Bambang Budi Utomo
Pada tanggal 30 Januari–7 Februari 2004, di Vientiane (Republik Rakyat Demokrasi Laos) telah diselenggarakan ASEAN Tourism Forum (ATF) 2004 dengan tema “ASEAN: the New Tourism Landscape”. Salah satu hal yang dibicarakan dan disepakati dalam pertemuan itu adalah tentang ASEAN Heritage Cities, gagasan tentang pembentukannya diajukan oleh delegasi Thailand. Tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan hubungan bagi kota-kota bersejarah di wilayah Asia Tenggara, baik di daratan maupun di kepulauan.
Rincian dari tujuan pembentukan ASEAN Heritage Cities antara lain adalah:
1. Menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota;
2. Mendorong untuk pengelolaan tinggalan sejarah dan budaya masa lampau yang lebih baik di masing-masing negara anggota;
3. Mempromosikan wisata sejarah ASEAN dan mendorong arus wisatawan ke kawasan ASEAN;
4. Menggalakkan hubungan dan pemahaman antar warga negara ASEAN dan memberikan gambaran kepada dunia di luar ASEAN tentang integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN.
Tujuan tersebut di atas kertas sangat menarik, namun implementasinya di lapangan saya kurang dapat membayangkan keberhasilannya. Melalui tulisan singkat ini, saya akan mencoba memberikan pemikiran bagaimana mengimplementasikannya di lapangan dengan mengambil contoh kasus di Palembang, karena:
1. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang terus berkembang dan kelahirannya dicatat dalam sebuah prasasti yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi.
2. Pada zaman Śrīwijaya, kota ini mempunyai hubungan persahabatan dengan Nālanda dan Nagipattana, India (Prasasti Nālanda, abad ke-9 M, Prasasti Raja-raja I, tahun 1044/1046 M), Nakhon Sitammarat, Thailand (Prasasti Wiang Sa, tahun 775 M), Kedah, Malaysia (Berita Tionghoa, I tsing abad ke-7 M), dan Canton, Tiongkok (Prasasti Tien Qing, tahun 1079 M).
3. Pada masa pendudukan Majapahit (abad ke-15 M), Palembang berhubungan dengan Malaka, Malaysia. Bahkan, pembangunan Kota Malaka dikaitkan dengan Parameswara yang berasal dari Bukit Siguntang, Palembang.
4. Pada Masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-17-19 M) terdapat hubungan persahabatan dengan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan (Mindanau). Sebuah sumber sejarah menginformasikan bahwa salah seorang Sultan Sulu masih kerabat dekat Sultan Palembang Darussalam.
1. Palembang Kota Tua
Indonesia atau dulunya dikenal dengan sebutan “Nusantara” telah memiliki sejarah hunian manusia yang cukup panjang. Sebut saja Pulau Jawa yang dikenal oleh dunia internasional sebagai salah satu tempat asalnya manusia purba dengan situsnya Sangiran, Pacitan, dan Wajak. Sedangkan awal babakan sejarah Indonesia telah dimulai pada abad ke-5 M, yaitu di Kutai (Kalimantan Timur) dan Tarumanegara (Jawa Barat). Sayangnya, dari awal peradaban manusia ini tidak ditemukan sisa-sisa huniannya, apalagi hunian yang terus berkembang menjadi sebuah kota.
Kota merupakan hasil perkembangan terakhir dari sebuah bentuk permukiman. Berkembang tidaknya sebuah permukiman menjadi sebuah kota dapat tergantung dari keletakan permukiman tersebut dan sumber daya alam yang dapat menghidupi penduduk di suatu hunian. Indonesia mempunyai banyak kota tua yang berasal dari hunian tingkat sederhana. Namun, tidak seluruhnya dapat berkembang pesat menjadi sebuah kota besar. Sebut saja, misalnya kota-kota tua di Barus, Pidie, Jambi, Palembang, Banten, Jakarta, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya, Makassar, Ternate, Tidore, dan masih banyak lagi.
Di antara kota-kota tua yang ada di Nusantara, Palembang merupakan kota tua yang mempunyai keunikan, sebagaimana telah saya utarakan di bagian muka. Setelah dimukimi dan dibangun, Palembang terus berkembang dari masa ke masa hingga kini. Berbagai pemerintahan silih berganti membangun dan menghidupi kota ini.
Palembang sebagai sebuah situs kota (urban site) tentu saja memiliki arsitektur tinggi sebagai produk peradaban. Dilihat dari data tertulis (prasasti dan naskah-naskah kuno) dan data arkeologis yang sampai kepada kita, sejarah Palembang sebagai kota metropolitan secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase I merupakan Fase Awal (682-1365 M) berdirinya sebuah kota ditandai dengan pembangunan wanua (=perkampungan) Śrīwijaya pada tanggal 16 Juni 682 M oleh Dapunta Hiyaŋ yang dilanjutkan dengan pembangunan Taman Śrīksetra pada tanggal 23 Maret 684 M, dan akhirnya perluasan wilayah kekuasaan ke berbagai penjuru (Jambi, Bangka, dan Lampung).
2. Fase II merupakan Fase Pendudukan (1365-1407 M) oleh Majapahit atau dapat dikatakan juga Fase Status Quo yang terjadi pada sekitar abad ke-14 M. Pada masa ini, Palembang dalam keadaan “tidak terurus” dan secara de jure tidak ada penguasa. Berita Tiongkok menyebutkan bahwa pada masa itu Palembang dikuasai oleh orang-orang dari Nan-hai dengan menobatkan Liang Tau-ming bersama putranya sebagai penguasa tertinggi.
3. Fase III merupakan Fase Awal Kesultanan Palembang (1407-1642 M). Dimulai tahun 1407 M ketika Mugni diangkat menjadi raja di Palembang dengan gelar Sultan Palembang. Pada tahun 1445 M, Mugni kemudian digantikan oleh Aria Damar--seorang bangsawan Majapahit yang memeluk Islam—yang menjadi penguasa di Palembang setelah berganti nama menjadi Aria Dilah. Pada masa ini, Palembang masih berada di bawah pengaruh Jawa (Demak dan Mataram) sampai dengan tahun 1642 M.
4. Fase IV merupakan Fase Kesultanan Palembang-Darussalam (1643-1821 M) dimulai dari masa pemerintahan Sri Susuhunan Abdurrahman (1643-1651 M), dan diakhiri pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1811-1821 M). Pada fase ini, Palembang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Bangunan monumental yang dibuat kala itu adalah Keraton Kuto Tengkuruk, Masjid Agung Palembang, Makam Kawah Tengkurep, dan Benteng Kuto Besak.
5. Fase V merupakan Fase Pendudukan oleh Belanda yang diawali dengan jatuhnya Benteng Koto Besak pada tahun 1821 M. Fase ini berlangsung sampai kemerdekaan tahun 1945 M. Pada masa ini, bangunan Keraton Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah, dan di atas reruntuhannya dibangun rumah Komisaris Belanda. Bangunan ini sekarang menjadi bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Rekonstruksi Palembang pada Masa Sriwijaya, sekitar abad ke-7-9 M (tahun 680-an) dimulai dari 1 Ilir di sebelah timur sampai Desa Karanganyar di sebelah barat, mulai dari tepi utara Musi sampai Desa Talang Kelapa di sebelah utara. Sementara itu, wilayah Seberang Ulu (selatan Musi) tidak ditemukan data arkeologis dari Masa Śrīwijaya. Ini berarti Kota Palembang yang kala itu masih bernama Śrīwijaya masih menempati areal sisi utara Sungai Musi.
Luas Palembang pada masa kesultanan tidak jauh berbeda dengan masa Śrīwijaya. Hanya ditambah sedikit dengan wilayah seberang ulu. Namun, pusat pemerintahannya tetap di sisi utara Musi. Pusat pemerintahan (keraton tempat tinggal sultan) berpindah-pindah. Mulai dari daerah 1 Ilir (Keraton Palembang Lamo atau Kuto Gawang), 16 Ilir (Keraton Beringin Janggut), Kuto Lama atau Kuto Batu, dan terakhir Keraton Kuto Besak. Kuto Besak dibangun sekitar 100 meter di sebelah barat Keraton Kuto Lama. Belakangan keraton Kesultanan Palembang yang masih tersisa adalah Keraton Kota Besak. Pada masa ini, sudah terdapat penataan kota, misalnya tempat tinggal orang-orang asing terletak di wilayah seberang ulu, di sekitar Plaju.
2. Palembang dan Malaka
Rupa-rupanya, dari masa ke masa Bukit Siguntang∗ memang sudah lama dikenal, sebagaimana tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu yang ditulis pada tanggal 13 Mei 1612 M.
Adapun Negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Sungai Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit bernama Bukit Si Guntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya itu berumah di Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya, syahadan terlalu jadi padinya, tiada dapat terkatakan; telah hampir masak padi itu.
Itulah sepenggal kalimat yang tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu. Seterusnya kitab itu menceriterakan turunnya makhluk setengah dewa (Sang Siperba) ke Bukit Siguntang dan di kemudian hari menurunkan raja-raja Melayu di Sumatra, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Tanah Melayu. Menurut Sejarah Melayu, Bukit Siguntang adalah Gunung Mahameru seperti yang terdapat dalam cerita-cerita sastra agama Hindu dan Buddha.
Telah masyhurlah pada segala negeri bahwa anak raja anak cucu Raja Iskandar Dhu‘lkarnain turun ke Bukit Si Guntang Maha Miru, maka segala raja-raja dari segala negeri pun datanglah menghadap raja itu sekaliannya dengan persembahannya.
Selanjutnya Kitab Sejarah Melayu menguraikan perjalanan Sang Siperba ke tempat lain menyeberang Sumatra menuju Kalimantan.
Setelah keluar dari Kuala Palembang, lalu berlayar menuju selatan enam hari enam malam, jatuh ke Tanjung Pura. Maka Raja Tanjung Pura pun keluar mengelu-elukan Baginda dengan serba kebesaran dan kemuliaan ... Setelah mendengar bahwa raja turun dari Bukit Siguntang itu ada di Tanjung Pura, maka Batara Majapahit pun berangkat hendak bertemu dengan Sang Siperba.
Dalam Kitab Sejarah Melayu tersebut, dapat diketahui ada tiga orang raja, yaitu seorang raja yang turun dari Bukit Siguntang, Raja Tanjung Pura, dan Raja Majapahit. Raja Majapahit dikatakan sebagai raja yang mulia: “Adapun pada jaman itu Ratu Majapahit itu raja besar, lagi amat bangsawan”. Karena kehormatan Raja Majapahit, Sang Siperba, raja yang turun dari Bukit Siguntang, kemudian mengawinkan seorang putrinya dengan Raja Majapahit. Sementara itu, salah seorang anak Sang Siperba, Sang Maniaka, dikawinkan dengan anak Raja Tanjung Pura dan kemudian menjadi raja di Tanjung Pura. Keturunan dari Sang Siperba adalah Parameswara yang kemudian meneruskan perjalanannya ke Semenanjung Tanah Melayu.
Bukit Siguntang oleh sebagian masyarakat Melayu di Sumatra dan Semenanjung, dianggap suci karena merupakan “punden”-nya orang-orang Melayu. Menurut Kitab Sejarah Melayu, raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan dari Sang Siperba, makhluk setengah dewa yang turun di Bukit Siguntang. Oleh sebab itu, orang-orang Melayu dari Malaka yang berkunjung ke Palembang, rasanya kurang lengkap kalau tidak berkunjung ke Bukit Siguntang.
Kuatnya “kepercayaan” terhadap cerita sejarah Melayu tersebut mendorong Gubernur Malaka untuk melakukan napak tilas perjalanan Parameswara, mulai dari Sang Siperba hingga membangun Kesultanan Malaka di pantai barat Semenanjung Malaysia. Perjalanan napak tilas dengan menggunakan kapal layar besar ini menjadikan semacam wisata ziarah dengan tujuannya Bukit Siguntang.
Jika dikaitkan antara Palembang dan Malaka, dan keterikatan emosional (penduduk) Malaka dan Palembang, keadaan ini akan menguntungkan kita. Orang-orang Malaka, sekurang-kurangnya kaum bangsawan Melayunya datang ke Palembang untuk melakukan perjalanan ziarah. Sepengetahuan saya pada saat tertentu di setiap tahun mereka secara berombongan datang ke Palembang.
3. Palembang-Darussalam
Penguasa Palembang yang dikenal sebagai Tokoh Pembangunan Modern adalah Sultan Mahmud Badaruddin I atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo yang memerintah pada tahun 1724-1758 M. Selama masa pemerintahannya, Sultan ini banyak melakukan pembangunan kota, di antaranya Makam Lemabang atau dikenal juga dengan nama Kawah Tengkurep (1728 M), Kuto Batu (Kuto Lamo, 29 September 1737 M), Masjid Agung (26 Mei 1748 M), dan terusan-terusan (kanal) di sekitar Kota Palembang. Konon kabarnya, Sultan ini juga memprakarsai pembangunan Benteng Kuto Besak. Selain itu, beliau juga mengembangkan tambang timah di Bangka dan menata sistem perdagangan agar lebih menguntungkan kesultanan.
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya, di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan (Benteng) Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan bangunan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah.
Perang Palembang tahun 1819 dan 1821 M antara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Belanda, tidak hanya menghapuskan institusi kesultanan tetapi juga menghancurkan bangunan Keraton Kuto Tengkuruk. Di atas puing-puing bekas bangunan Kuto Tengkuruk dibangun sebuah rumah megah untuk kediaman Residen Palembang, van Sevenhoven (1825 M). Bangunan ini sekarang berfungsi sebagai bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Di dalam kawasan inti keraton, pada masa pemerintahan Gemeente Palembang (awal abad ke-20 M) dibuat beberapa buah bangunan yang hingga sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan tersebut antara lain Menara Air (sekarang Kantor Wali Kota Palembang), dan Hotel Musi. Pada masa ini pula, beberapa sungai yang terdapat di kawasan inti telah berubah fungsi. Sungai Tengkuruk yang terdapat di sebelah timur Kuto Tengkuruk ditimbun untuk jalan yang sekarang menjadi Jl. Jendral Soedirman. Sungai yang terdapat di sebelah utara Kuto Besak/Menara Air ditimbun menjadi Jl. Merdeka.
4. Saran
Kota Palembang telah dikenal oleh dunia internasional, sekurang-kurangnya dikenal oleh para ilmuwan yang bergerak di bidang sejarah dan arkeologi. Palembang dikenal sebagai kota tua yang berkaitan erat dengan keberadaan Kerajaan Śrīwijaya. Karena itulah di kawasan regional Asia Tenggara, berbicara mengenai Śrīwijaya mau tidak mau juga harus berbicara mengenai Palembang, Kedah, Nakhon Sitammarat, Tiongkok, dan India.
Berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah serta banyaknya ragam tinggalan budaya masa lampau di Palembang, pengelolaan sumber daya budaya, dan daerah kunjungan wisata (khususnya wisata sejarah dan wisata ziarah), melalui tulisan singkat ini saya mengusulkan:
1. Membangun kawasan wisata budaya Palembang sesuai dengan kaidah-kaidah pemintakatan (zoning) benda cagar budaya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Disarankan kawasan yang dapat dijadikan kawasan kota tua bersejarah adalah pada kawasan inti keraton yang luasnya sekitar 50 ha.
2. Melakukan pemantauan pembangunan fisik kota dengan memperhatikan tinggalan budaya baik yang ada di dalam tanah maupun yang di permukaan tanah, dan memberikan asistensi terhadap kegiatan pembangunan yang menyangkut benda cagar budaya. Apalagi pada saat ini Pemerintah Kota Palembang sedang giat melakukan pembangunan fisik. Sebuah bangunan tua, bekas tempat kediaman Residen Palembang telah dibongkar untuk dibangun Museum Tekstil (Kompas, 11 dan 14 Oktober 2005, hlm. 12). Bangunan ini dibangun tahun 1883 M, sebelum pemerintahan Gemeente Palembang.
3. Melakukan pembenahan untuk kebersihan dan keamanan lingkungan di sekitar obyek wisata budaya dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota. faktor keamanan di Palembang sangat penting untuk dibenahi, karena banyaknya tempat yang rawan kejahatan.
4. Membuat perencanaan yang matang dengan konsep yang jelas mengenai Palembang sebagai Heritage City.
5. Dalam usaha menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota ASEAN, perlu ditekankan pada promosi mengenai hubungan kesejarahan antara Palembang dan tempat-tempat lain yang ada kaitan sejarahnya, misalnya antara Palembang dan Malaka. Secara umum, kota-kota lain di Indonesia yang akan dijadikan Heritage City sebaiknya mempunyai hubungan kesejarahan dengan Heritage City lain yang ada di kawasan Asia Tenggara (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan).
6. Dalam usaha memperkenalkan integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN, beberapa hasil budaya materi (material culture) Palembang yang mendapat pengaruh asing, misalnya pengaruh Tionghoa yang tercermin dalam seni pembuatan kerajinan lakuer dan tenunan songket, harus dipromosikan ke mancanegara.
∗ Merupakan sebuah bukit kecil yang tingginya +26 meter d.p.l. Bukit ini letaknya sekitar 5 km menuju ke arah barat dari pusat Kota Palembang. Dari bukit kecil ini, terdapat tinggalan budaya masa lampau berupa sebuah arca Buddha yang tingginya sekitar 4 meter, prasasti batu, fondasi bangunan bata, pecahan-pecahan keramik dan tembikar, dan beberapa jenis artefak keagamaan lain.
__________
Bambang Budi Utomo adalah Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional.
Foto : http://www.semarang.go.id
Pada tanggal 30 Januari–7 Februari 2004, di Vientiane (Republik Rakyat Demokrasi Laos) telah diselenggarakan ASEAN Tourism Forum (ATF) 2004 dengan tema “ASEAN: the New Tourism Landscape”. Salah satu hal yang dibicarakan dan disepakati dalam pertemuan itu adalah tentang ASEAN Heritage Cities, gagasan tentang pembentukannya diajukan oleh delegasi Thailand. Tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan hubungan bagi kota-kota bersejarah di wilayah Asia Tenggara, baik di daratan maupun di kepulauan.
Rincian dari tujuan pembentukan ASEAN Heritage Cities antara lain adalah:
1. Menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota;
2. Mendorong untuk pengelolaan tinggalan sejarah dan budaya masa lampau yang lebih baik di masing-masing negara anggota;
3. Mempromosikan wisata sejarah ASEAN dan mendorong arus wisatawan ke kawasan ASEAN;
4. Menggalakkan hubungan dan pemahaman antar warga negara ASEAN dan memberikan gambaran kepada dunia di luar ASEAN tentang integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN.
Tujuan tersebut di atas kertas sangat menarik, namun implementasinya di lapangan saya kurang dapat membayangkan keberhasilannya. Melalui tulisan singkat ini, saya akan mencoba memberikan pemikiran bagaimana mengimplementasikannya di lapangan dengan mengambil contoh kasus di Palembang, karena:
1. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang terus berkembang dan kelahirannya dicatat dalam sebuah prasasti yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi.
2. Pada zaman Śrīwijaya, kota ini mempunyai hubungan persahabatan dengan Nālanda dan Nagipattana, India (Prasasti Nālanda, abad ke-9 M, Prasasti Raja-raja I, tahun 1044/1046 M), Nakhon Sitammarat, Thailand (Prasasti Wiang Sa, tahun 775 M), Kedah, Malaysia (Berita Tionghoa, I tsing abad ke-7 M), dan Canton, Tiongkok (Prasasti Tien Qing, tahun 1079 M).
3. Pada masa pendudukan Majapahit (abad ke-15 M), Palembang berhubungan dengan Malaka, Malaysia. Bahkan, pembangunan Kota Malaka dikaitkan dengan Parameswara yang berasal dari Bukit Siguntang, Palembang.
4. Pada Masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-17-19 M) terdapat hubungan persahabatan dengan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan (Mindanau). Sebuah sumber sejarah menginformasikan bahwa salah seorang Sultan Sulu masih kerabat dekat Sultan Palembang Darussalam.
1. Palembang Kota Tua
Indonesia atau dulunya dikenal dengan sebutan “Nusantara” telah memiliki sejarah hunian manusia yang cukup panjang. Sebut saja Pulau Jawa yang dikenal oleh dunia internasional sebagai salah satu tempat asalnya manusia purba dengan situsnya Sangiran, Pacitan, dan Wajak. Sedangkan awal babakan sejarah Indonesia telah dimulai pada abad ke-5 M, yaitu di Kutai (Kalimantan Timur) dan Tarumanegara (Jawa Barat). Sayangnya, dari awal peradaban manusia ini tidak ditemukan sisa-sisa huniannya, apalagi hunian yang terus berkembang menjadi sebuah kota.
Kota merupakan hasil perkembangan terakhir dari sebuah bentuk permukiman. Berkembang tidaknya sebuah permukiman menjadi sebuah kota dapat tergantung dari keletakan permukiman tersebut dan sumber daya alam yang dapat menghidupi penduduk di suatu hunian. Indonesia mempunyai banyak kota tua yang berasal dari hunian tingkat sederhana. Namun, tidak seluruhnya dapat berkembang pesat menjadi sebuah kota besar. Sebut saja, misalnya kota-kota tua di Barus, Pidie, Jambi, Palembang, Banten, Jakarta, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya, Makassar, Ternate, Tidore, dan masih banyak lagi.
Di antara kota-kota tua yang ada di Nusantara, Palembang merupakan kota tua yang mempunyai keunikan, sebagaimana telah saya utarakan di bagian muka. Setelah dimukimi dan dibangun, Palembang terus berkembang dari masa ke masa hingga kini. Berbagai pemerintahan silih berganti membangun dan menghidupi kota ini.
Palembang sebagai sebuah situs kota (urban site) tentu saja memiliki arsitektur tinggi sebagai produk peradaban. Dilihat dari data tertulis (prasasti dan naskah-naskah kuno) dan data arkeologis yang sampai kepada kita, sejarah Palembang sebagai kota metropolitan secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase I merupakan Fase Awal (682-1365 M) berdirinya sebuah kota ditandai dengan pembangunan wanua (=perkampungan) Śrīwijaya pada tanggal 16 Juni 682 M oleh Dapunta Hiyaŋ yang dilanjutkan dengan pembangunan Taman Śrīksetra pada tanggal 23 Maret 684 M, dan akhirnya perluasan wilayah kekuasaan ke berbagai penjuru (Jambi, Bangka, dan Lampung).
2. Fase II merupakan Fase Pendudukan (1365-1407 M) oleh Majapahit atau dapat dikatakan juga Fase Status Quo yang terjadi pada sekitar abad ke-14 M. Pada masa ini, Palembang dalam keadaan “tidak terurus” dan secara de jure tidak ada penguasa. Berita Tiongkok menyebutkan bahwa pada masa itu Palembang dikuasai oleh orang-orang dari Nan-hai dengan menobatkan Liang Tau-ming bersama putranya sebagai penguasa tertinggi.
3. Fase III merupakan Fase Awal Kesultanan Palembang (1407-1642 M). Dimulai tahun 1407 M ketika Mugni diangkat menjadi raja di Palembang dengan gelar Sultan Palembang. Pada tahun 1445 M, Mugni kemudian digantikan oleh Aria Damar--seorang bangsawan Majapahit yang memeluk Islam—yang menjadi penguasa di Palembang setelah berganti nama menjadi Aria Dilah. Pada masa ini, Palembang masih berada di bawah pengaruh Jawa (Demak dan Mataram) sampai dengan tahun 1642 M.
4. Fase IV merupakan Fase Kesultanan Palembang-Darussalam (1643-1821 M) dimulai dari masa pemerintahan Sri Susuhunan Abdurrahman (1643-1651 M), dan diakhiri pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1811-1821 M). Pada fase ini, Palembang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Bangunan monumental yang dibuat kala itu adalah Keraton Kuto Tengkuruk, Masjid Agung Palembang, Makam Kawah Tengkurep, dan Benteng Kuto Besak.
5. Fase V merupakan Fase Pendudukan oleh Belanda yang diawali dengan jatuhnya Benteng Koto Besak pada tahun 1821 M. Fase ini berlangsung sampai kemerdekaan tahun 1945 M. Pada masa ini, bangunan Keraton Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah, dan di atas reruntuhannya dibangun rumah Komisaris Belanda. Bangunan ini sekarang menjadi bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Rekonstruksi Palembang pada Masa Sriwijaya, sekitar abad ke-7-9 M (tahun 680-an) dimulai dari 1 Ilir di sebelah timur sampai Desa Karanganyar di sebelah barat, mulai dari tepi utara Musi sampai Desa Talang Kelapa di sebelah utara. Sementara itu, wilayah Seberang Ulu (selatan Musi) tidak ditemukan data arkeologis dari Masa Śrīwijaya. Ini berarti Kota Palembang yang kala itu masih bernama Śrīwijaya masih menempati areal sisi utara Sungai Musi.
Luas Palembang pada masa kesultanan tidak jauh berbeda dengan masa Śrīwijaya. Hanya ditambah sedikit dengan wilayah seberang ulu. Namun, pusat pemerintahannya tetap di sisi utara Musi. Pusat pemerintahan (keraton tempat tinggal sultan) berpindah-pindah. Mulai dari daerah 1 Ilir (Keraton Palembang Lamo atau Kuto Gawang), 16 Ilir (Keraton Beringin Janggut), Kuto Lama atau Kuto Batu, dan terakhir Keraton Kuto Besak. Kuto Besak dibangun sekitar 100 meter di sebelah barat Keraton Kuto Lama. Belakangan keraton Kesultanan Palembang yang masih tersisa adalah Keraton Kota Besak. Pada masa ini, sudah terdapat penataan kota, misalnya tempat tinggal orang-orang asing terletak di wilayah seberang ulu, di sekitar Plaju.
2. Palembang dan Malaka
Rupa-rupanya, dari masa ke masa Bukit Siguntang∗ memang sudah lama dikenal, sebagaimana tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu yang ditulis pada tanggal 13 Mei 1612 M.
Adapun Negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Sungai Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit bernama Bukit Si Guntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya itu berumah di Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya, syahadan terlalu jadi padinya, tiada dapat terkatakan; telah hampir masak padi itu.
Itulah sepenggal kalimat yang tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu. Seterusnya kitab itu menceriterakan turunnya makhluk setengah dewa (Sang Siperba) ke Bukit Siguntang dan di kemudian hari menurunkan raja-raja Melayu di Sumatra, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Tanah Melayu. Menurut Sejarah Melayu, Bukit Siguntang adalah Gunung Mahameru seperti yang terdapat dalam cerita-cerita sastra agama Hindu dan Buddha.
Telah masyhurlah pada segala negeri bahwa anak raja anak cucu Raja Iskandar Dhu‘lkarnain turun ke Bukit Si Guntang Maha Miru, maka segala raja-raja dari segala negeri pun datanglah menghadap raja itu sekaliannya dengan persembahannya.
Selanjutnya Kitab Sejarah Melayu menguraikan perjalanan Sang Siperba ke tempat lain menyeberang Sumatra menuju Kalimantan.
Setelah keluar dari Kuala Palembang, lalu berlayar menuju selatan enam hari enam malam, jatuh ke Tanjung Pura. Maka Raja Tanjung Pura pun keluar mengelu-elukan Baginda dengan serba kebesaran dan kemuliaan ... Setelah mendengar bahwa raja turun dari Bukit Siguntang itu ada di Tanjung Pura, maka Batara Majapahit pun berangkat hendak bertemu dengan Sang Siperba.
Dalam Kitab Sejarah Melayu tersebut, dapat diketahui ada tiga orang raja, yaitu seorang raja yang turun dari Bukit Siguntang, Raja Tanjung Pura, dan Raja Majapahit. Raja Majapahit dikatakan sebagai raja yang mulia: “Adapun pada jaman itu Ratu Majapahit itu raja besar, lagi amat bangsawan”. Karena kehormatan Raja Majapahit, Sang Siperba, raja yang turun dari Bukit Siguntang, kemudian mengawinkan seorang putrinya dengan Raja Majapahit. Sementara itu, salah seorang anak Sang Siperba, Sang Maniaka, dikawinkan dengan anak Raja Tanjung Pura dan kemudian menjadi raja di Tanjung Pura. Keturunan dari Sang Siperba adalah Parameswara yang kemudian meneruskan perjalanannya ke Semenanjung Tanah Melayu.
Bukit Siguntang oleh sebagian masyarakat Melayu di Sumatra dan Semenanjung, dianggap suci karena merupakan “punden”-nya orang-orang Melayu. Menurut Kitab Sejarah Melayu, raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan dari Sang Siperba, makhluk setengah dewa yang turun di Bukit Siguntang. Oleh sebab itu, orang-orang Melayu dari Malaka yang berkunjung ke Palembang, rasanya kurang lengkap kalau tidak berkunjung ke Bukit Siguntang.
Kuatnya “kepercayaan” terhadap cerita sejarah Melayu tersebut mendorong Gubernur Malaka untuk melakukan napak tilas perjalanan Parameswara, mulai dari Sang Siperba hingga membangun Kesultanan Malaka di pantai barat Semenanjung Malaysia. Perjalanan napak tilas dengan menggunakan kapal layar besar ini menjadikan semacam wisata ziarah dengan tujuannya Bukit Siguntang.
Jika dikaitkan antara Palembang dan Malaka, dan keterikatan emosional (penduduk) Malaka dan Palembang, keadaan ini akan menguntungkan kita. Orang-orang Malaka, sekurang-kurangnya kaum bangsawan Melayunya datang ke Palembang untuk melakukan perjalanan ziarah. Sepengetahuan saya pada saat tertentu di setiap tahun mereka secara berombongan datang ke Palembang.
3. Palembang-Darussalam
Penguasa Palembang yang dikenal sebagai Tokoh Pembangunan Modern adalah Sultan Mahmud Badaruddin I atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo yang memerintah pada tahun 1724-1758 M. Selama masa pemerintahannya, Sultan ini banyak melakukan pembangunan kota, di antaranya Makam Lemabang atau dikenal juga dengan nama Kawah Tengkurep (1728 M), Kuto Batu (Kuto Lamo, 29 September 1737 M), Masjid Agung (26 Mei 1748 M), dan terusan-terusan (kanal) di sekitar Kota Palembang. Konon kabarnya, Sultan ini juga memprakarsai pembangunan Benteng Kuto Besak. Selain itu, beliau juga mengembangkan tambang timah di Bangka dan menata sistem perdagangan agar lebih menguntungkan kesultanan.
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya, di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan (Benteng) Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan bangunan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah.
Perang Palembang tahun 1819 dan 1821 M antara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Belanda, tidak hanya menghapuskan institusi kesultanan tetapi juga menghancurkan bangunan Keraton Kuto Tengkuruk. Di atas puing-puing bekas bangunan Kuto Tengkuruk dibangun sebuah rumah megah untuk kediaman Residen Palembang, van Sevenhoven (1825 M). Bangunan ini sekarang berfungsi sebagai bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Di dalam kawasan inti keraton, pada masa pemerintahan Gemeente Palembang (awal abad ke-20 M) dibuat beberapa buah bangunan yang hingga sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan tersebut antara lain Menara Air (sekarang Kantor Wali Kota Palembang), dan Hotel Musi. Pada masa ini pula, beberapa sungai yang terdapat di kawasan inti telah berubah fungsi. Sungai Tengkuruk yang terdapat di sebelah timur Kuto Tengkuruk ditimbun untuk jalan yang sekarang menjadi Jl. Jendral Soedirman. Sungai yang terdapat di sebelah utara Kuto Besak/Menara Air ditimbun menjadi Jl. Merdeka.
4. Saran
Kota Palembang telah dikenal oleh dunia internasional, sekurang-kurangnya dikenal oleh para ilmuwan yang bergerak di bidang sejarah dan arkeologi. Palembang dikenal sebagai kota tua yang berkaitan erat dengan keberadaan Kerajaan Śrīwijaya. Karena itulah di kawasan regional Asia Tenggara, berbicara mengenai Śrīwijaya mau tidak mau juga harus berbicara mengenai Palembang, Kedah, Nakhon Sitammarat, Tiongkok, dan India.
Berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah serta banyaknya ragam tinggalan budaya masa lampau di Palembang, pengelolaan sumber daya budaya, dan daerah kunjungan wisata (khususnya wisata sejarah dan wisata ziarah), melalui tulisan singkat ini saya mengusulkan:
1. Membangun kawasan wisata budaya Palembang sesuai dengan kaidah-kaidah pemintakatan (zoning) benda cagar budaya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Disarankan kawasan yang dapat dijadikan kawasan kota tua bersejarah adalah pada kawasan inti keraton yang luasnya sekitar 50 ha.
2. Melakukan pemantauan pembangunan fisik kota dengan memperhatikan tinggalan budaya baik yang ada di dalam tanah maupun yang di permukaan tanah, dan memberikan asistensi terhadap kegiatan pembangunan yang menyangkut benda cagar budaya. Apalagi pada saat ini Pemerintah Kota Palembang sedang giat melakukan pembangunan fisik. Sebuah bangunan tua, bekas tempat kediaman Residen Palembang telah dibongkar untuk dibangun Museum Tekstil (Kompas, 11 dan 14 Oktober 2005, hlm. 12). Bangunan ini dibangun tahun 1883 M, sebelum pemerintahan Gemeente Palembang.
3. Melakukan pembenahan untuk kebersihan dan keamanan lingkungan di sekitar obyek wisata budaya dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota. faktor keamanan di Palembang sangat penting untuk dibenahi, karena banyaknya tempat yang rawan kejahatan.
4. Membuat perencanaan yang matang dengan konsep yang jelas mengenai Palembang sebagai Heritage City.
5. Dalam usaha menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota ASEAN, perlu ditekankan pada promosi mengenai hubungan kesejarahan antara Palembang dan tempat-tempat lain yang ada kaitan sejarahnya, misalnya antara Palembang dan Malaka. Secara umum, kota-kota lain di Indonesia yang akan dijadikan Heritage City sebaiknya mempunyai hubungan kesejarahan dengan Heritage City lain yang ada di kawasan Asia Tenggara (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan).
6. Dalam usaha memperkenalkan integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN, beberapa hasil budaya materi (material culture) Palembang yang mendapat pengaruh asing, misalnya pengaruh Tionghoa yang tercermin dalam seni pembuatan kerajinan lakuer dan tenunan songket, harus dipromosikan ke mancanegara.
∗ Merupakan sebuah bukit kecil yang tingginya +26 meter d.p.l. Bukit ini letaknya sekitar 5 km menuju ke arah barat dari pusat Kota Palembang. Dari bukit kecil ini, terdapat tinggalan budaya masa lampau berupa sebuah arca Buddha yang tingginya sekitar 4 meter, prasasti batu, fondasi bangunan bata, pecahan-pecahan keramik dan tembikar, dan beberapa jenis artefak keagamaan lain.
__________
Bambang Budi Utomo adalah Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional.
Foto : http://www.semarang.go.id